PARA PIHAK sering kali berbeda pendapat soal pengadilan mana yang lebih berhak mengadili perkara lelang tender proyek pemerintah. Pengadilan Negeri (PN) atau justru Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)?
Salah ajukan gugatan bisa repot. Ujung-ujungnya dimentahkan oleh Mahkamah Agung. Padahal penggugat sudah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit dan menghabiskan waktu yang tidak sebentar, menanti putusan pengadilan.
Mari kita kupas satu persatu. Pertama dari UU Nomor 5 tahun 1986 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 51 tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, pasal 1 angka 9 yang berbunyi bahwa; “…Keputusan Tata Negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara yang bersifat kongkret, individual dan final dan menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Artinya, perkara yang bisa diajukan ke PTUN adalah persoalan yang bersifat absolut atau mutlak.
Sementara produk Kelompok Kerja (Pokja) adalah surat penetapan pemenang atau penetapan tertulis. Apakah Pokja adalah Badan? Jelas tidak. Berdasarkan Perpres 54/2010 pasal 15 ayat (3) menyatakan Anggota Kelompok Kerja ULP berjumlah gasal beranggotakan paling kurang 3 (tiga) orang dan dapat ditambah sesuai dengan kompleksitas pekerjaan.
Ini menandakan bahwa Pokja bukan Pejabat atau Badan, melainkan hanya panitia atau Pokja. Sangat keliru jika kemudian disebut Pejabat Tata Usaha Negara. Pejabat saja bukan!
Perkara yang dapat diajukan ke PTUN adalah tindakan hukum yang kongkret, individual, dan final. Sementara putusan Pokja masih dapat dibatalkan oleh pejabat yang berada di atasnya seperti Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) atau Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran (PA/KPA).
Berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2010 dengan Perubahan Kedua Perpres Nomor 70 Tahun 2012 pasal 83 ayat 3 huruf a yang intinya berbunyi: “PA/KPA menyatakan Pelelangan/Seleksi/Pemilihan Langsung gagal, apabila: PA/KPA sependapat dengan PPK yang tidak bersedia menandatangani SPPBJ karena proses Pelelangan/Seleksi/Pemilihan Langsung tidak sesuai dengan Perpres ini”.
Dengan demikian putusan Pokja tidak bersifat final. Selain itu, berdasarkan jurisprudensi MARI Nomor 448K/TUN/2007 tanggal 22 September 2008 jo jurisprudensi MARI Nomor 189.K/TUN/2008 tanggal 24 September 2008 jo jurisprudensi MARI Nomor 111.K/TUN/2008 tanggal 9 Juli 2008 jo jurisprudensi MARI Nomor 296.K/TUN/2008 tanggal 3 Desember 2008 dengan tegas menyatakan “bahwa perbuatan lelang merupakan suatu rangkaian perbuatan yang bersifat keperdataan yang bukan merupakan objek sengketa Tata Usaha Negara”.
Pada akhirnya dapat disimpulkan bahwa proses pemilihan penyedia, dengan hasil akhir penetapan pemenang, bukanlah keputusan pejabat tata usaha negara yang bersifat final. Untuk itu, tidak selayaknya dijadikan obyek sengketa tata usaha negara.
Sementara tindakan itu dapat menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Atau dengan kata lain, tindakan yang salah yang dilakukan oleh Pokja lebih tepat disebut perbuatan melawan hukum.
Dengan demikian, menurut pemikiran saya, perkara lelang tender lebih tepat diperkarakan di pengadilan negeri.
Agar langkah hukum yang bertujuan untuk menghindari kerugian justru bisa diambil dengan tepat. Baik dari sisi biaya uang, waktu, pikiran dan tenaga. Langkah hukum yang tepat terhadap obyek yang tepat akan menghasilkan value yang tepat pula bagi para pihak dan negara.
*)Pengacara, tinggal di Jambi
Discussion about this post