TEMPIAS
Genosida dan Jejak Para Leluhur Tano Batak

TAHUN 1816-1833 merupakan masa paling kelam dalam sejarah di Tano (Tanah) Batak. Pasukan Padri menjajah dan menghancur leburkan suku Batak Toba, Pasukan Paderi berhasil menang melawan orang Batak Toba, diperkirakan sekitar 75 persen orang Batak Toba terbunuh termasuk anak-anak dan perempuan. Sisanya 25 persen yang tersisa adalah mereka-mereka yang melarikan diri ke hutan dan kelompok-kelompok yang tunduk pada pasukan Padri.
Seperti dikutip dari tirto, disebutkan bahwa Mangaradja Onggang Parlindungan punya cerita menarik soal Haji Miskin, Haji Piobang, dan Haji Sumanik dalam buku kontroversialnya, Tuanku Rao, Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak (kali pertama terbit pada 1964). Menurut Parlindungan, trio haji itu adalah mantan tentara Turki ketika Turki berperang dengan tentara Napoleon.
Di antara mereka bertiga, menurut Parlindungan, Haji Piobang menyandang pangkat tertinggi kolonel di kesatuan Janisari alias pasukan berkuda. Sementara Haji Sumanik adalah mayor pasukan artileri Turki dan Haji Miskin tidak mencapai pangkat hingga perwira.
Intinya, menurut Parlindungan, trio haji ini adalah ahli perang. Mereka punya kawan dari Sulu Filipina bernama Haji Datuk Onn, yang dalam ketentaraan Turki, adalah kapten bawahan Haji Piobang. Ketika bertugas di Arab Saudi, para haji ini ditahan dan menjadi murid dari orang-orang Saudi penganut mazhab Hambali dan pelopor gerakan Wahabi.
“Kira-kira di tahun 1800 ketiga haji ini pulang dari tanah suci menuju Minangkabau. Kepulangan ketiga haji tersebut bersama satu orang lain, (seorang) haji dari Sulu Filipina bernama haji datuk Onn, atas saran dari Abdulah Ibnu Saud penguasa Arab Saudi waktu itu yang beraliran Wahabi,” tulis Parlindungan.
Baca Juga: Berita Mau Laku? Pikirkan Selera Milenial
Di Minang inilah Haji Piobang membangun pasukan militer Padri. Dalam bukunya, Parlindungan menyebut soal pembantaian yang dilakukan Kaum Padri terhadap Kerajaan Pagaruyung, istana kuno Minangkabau, yang dianggap sumber budaya Melayu. Istana ini menjadi korban serangan Tuanku Pasaman dan orang-orang Batak Mandailing oleh serangan pasukan Tuanku Rao. Kedua peristiwa ini lantas menjadi perdebatan antara Parlindungan dan Buya Hamka.
Meski buku Parlindungan dianggap 80 persen bohong dan 20 persen meragukan oleh Hamka, dalam buku tandingan yang ditulis Hamka, Antara Fakta Dan Khayal “Tuanku Rao” (1974), soal pembantaian terhadap orang Mandailing dan Pagaruyung itu tidaklah disebut. Seakan pembantaian itu tak pernah ada.
Menurut Franz Wilhelm Junghuhn (naturalis, doktor, botanikus, geolog dan pengarang berkebangsaan Jerman yang meninggal di Lembang, Bandung), seperti dikutip Bungaran Antonius Simanjuntak dalam Konflik Status dan Kekuasaan Orang Batak Toba (2006), 200 ribu orang dari suku Batak Mandailing dan Angkola jadi korban. Simanjuntak menyebut, “Tentara Padri menindas Tanah Batak dengan pedang dan membunuh rakyat yang tak mau masuk Islam.”
Daniel Perret menuliskan dalam Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut (2010) bahwa penolakan jenazah “Batak” di pekuburan Sungai Mati ialah salah satu peristiwa penting dalam pembentukan etnisitas Mandailing.
Pada dekade pertama abad ke-20, satu per satu orang bagian selatan Tapanuli yang merantau ke pesisir timur laut Sumatra mulai mengidentifikasi dirinya sebagai Mandailing. Sebelumnya, mereka dianggap “Batak” oleh pemerintah kolonial. Sebagian besar orang Mandailing beragama Islam dan sebagian lagi lulusan sekolah misi Kristen.
“Mengenai sebabnya barangkali dapat diajukan kemungkinan bahwa pada saat itu kalangan elite yang mendapat pendidikan Barat di bagian selatan Tapanuli sudah dapat membaca publikasi dan hasil penelitian orang Barat yang tidak memberikan gambaran menguntungkan mengenai ‘suku Batak’,” kata Perret.
Salah satu rumor yang berkembang dan dipercaya hingga sekarang ialah Batak bangsa kanibal. Hasil penelitian Daniel Perret menuliskan dalam Kolonialisme dan Etnisitas: Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut (2010) menunjukkan kanibalisme menjadi faktor yang digunakan para pembuat kategori etnis untuk membedakan, pertama, Batak dan Melayu.
“Jadi kami beranggapan bahwa sebutan ‘Batak’ tidak muncul dengan sendirinya, tetapi dari pertentangan dengan identitas Melayu. Seluruh penduduk pedalaman dimasukkan dalam kategori ‘Batak’ yang merujuk pada orang-orang pedalaman, bukan Melayu, bukan Islam,” ujar Perret.
Cerita-cerita ini berkembang dari catatan penjelajah (Eropa, Timur Tengah, atau Cina) yang singgah di Sumatra bagian utara pada beberapa abad sebelumnya. Namun, dalam “European Travelers and Local Informants in the Making of the Image of “Cannibalism” (2005), Masashi Hirosue menunjukkan rumor itu diciptakan penguasa pesisir agar orang asing tidak kontak langsung dengan orang pedalaman yang kerap disebut Batak.
Menyandang identitas “Batak”, waktu itu, artinya juga mesti siap dipandang rendah bangsa-bangsa lain. Dalam artikel yang dimuat Pewarta Deli edisi 21 Oktober 1918, misalnya. Artikel yang sudah diterbitkan Java Bode dan diperkirakan ditulis seorang Jawa dari Yogyakarta itu menyebutkan, “Negeri jang beloem dikenal. Tapanuli […] Di sana, sebelah barat poelaoe Soematra ada satoe ketoeroenan bangsa jang liar, jang dinamai bangsa Batak.”
Jejak Leluhur
Dua cerita di atas, soal genosida (masih diperdebatkan) dan kanibalisme membuat saya bertanya-tanya apakah memang itu sungguh-sungguh terjadi. Saya tak punya kemampuan dan waktu untuk merisetnya. Saya hanya ingin menelusuri jejak para leluhur saya sebagai orang Batak.
Opung Doli (kakek atau ayah Bapakku) saya sama sekali tak pernah saya lihat langsung. Fotonya pun tak ada. Ia meninggal saat Bapak baru berusia 10 tahun. Jangankan saya, mungkin Bapak pun lupa wajah ayahnya. Apakah wajahnya mirip Leonardo Di Caprio atau justru malah mirip Keanu Reeves. Entahlah!
Hanya Opung Boru (nenek) yang pernah saya jumpai ketika berusia 4 tahun. Tahun 1982 silam. Cerita dari Bapak selama ini soal Tarombo (silsilah keluarga Batak) selalu bikin saya puyeng. Saya pikir tidak ada jalan lain. Satu-satunya cara adalah menelusuri jejak kampung halaman. Istilah kerennya “Wisata Leluhur”.
Buat apa? Ya, buat meneruskan jejak leluhur kepada anak-anak saya. Biar mereka paham dari mana asal muasalnya. Liburan penghujung tahun 2019 ini adalah waktunya.
Saya bersama istri dan ketiga anakku berangkat dari Jambi pada Senin, 16 November 2019. Dan baru bisa bergerak ke Parapat, Sumatra Utara pada Jumat, 27 November 2019. Kami bergerak dari Tanjung Balai, Asahan, Sumatra Utara jam tiga sore. Sampai di Parapat sudah jam 8 malam. Kami makan malam dulu. Satu jam kemudian kami bergerak menuju Balige namun melihat panjangnya antrean mobil nyali saya kecut. “Jam berapa pula tibanya,” pikir saya. “Kita nginap di Parapatlah ya,” kata saya kepada istri. “Lebih baik begitu, Pa,” jawabnya.
Mobil kami putar kembali dan mencari penginapan. Bapak merekomendasikan sebuah penginapan murah di Parapat. Bapak cuma kasih tahu dekat Telkom. Saya tanya sana-sini akhirnya ketemu juga. Penginapan milik Gereja Katolik Santo Fidelis Sigmaringen. Saya tak sempat bertanya, kapan dibangun.
Kamarnya luas. Di pintu kamar tertulis “dilarang merokok”. Tersedia enam ranjang tidur. Cukup buat kami bertujuh. Saya, istri, anak-anak serta kakak dan anaknya. Besoknya kami disediakan pula sarapan. Nyaman sekali tempatnya. Bagus pula buat spot berswafoto. Pemandangan bukit menjadi latar belakang bangunan ini.
Ternyata biaya penginapan tidak dipatok harga. “Sukarela,” kata suster pengelola tempat itu. Istri saya langsung bayar Rp300 ribu. Ia tersenyum.
Kami check out jam 9.30. Kami telepon Bapatua Rinal. Dia bilang jalan saja ke arah Lumbanjulu. Tujuan kami memang ke Hutanamora, kampung asal Opung. Dalam tempo satu jam kami sudah tiba di sana.
Bapatua Rinai saya wawancarai soal silsilah keluarga kami. Setelah berpamitan kami menziarahi makam Opung Guru Solomon yang sudah dibuat berbentuk tugu.
Dari dia saya baru tahu bahwa Opung paling atas adalah Datu Pejel. Dari dia pula, saya diberi tahu bahwa tugu Opung di Sibisa, arah ke Bandara Sibisa. Kita memang beruntung zaman telah menyediakan teknologi yang canggih. Saya gunakan aplikasi Waze sebagai penuntun jalan.
Berbekal informasi itu, saya bergerak dan bertanya dengan warga setempat. Tibalah kami di Tugu Sirait. Dari situ kami ke Tugu Raja Mangatur. Dari situ pula kami ketemu Tugu Datu Pejel. Tanpa disangka-sangka saya bertemu dengan Ito (boru Sirait) yang rumahnya berdekatan dengan rumah kami di Jambi.
Di tugu Datu Pejel terpampang bendera Bangso Batak yang terdiri dari tiga warna: Merah, Putih dan Hitam. Merah melambangkan Merah semangat/kekuatan/hagogoon. Putih melambangkan kesucian/kebenaran/habonaron. Hitam melambangkan kepemimpinan/hahomion.
“Bah, sudah ketemu kau ya, tugu Opung Datu Pejel?” kata Bapak lewat telepon genggam. “Sudah, Pak. Untuk soal ini, Bapak sudah kukalahkan,” kata saya dengan bangga. Bapak ternyata belum pernah sampai ke sini.
Saya puas. Saya menjadi paham betul Tarombo kami. Siapa saja urutan Opung, dan garis keturunan kami. Suatu saat saya akan ajak Bapak berdua ke sini. Tinggal mendarat di Bandara Sibisa, ya beres.
Menurut portal informasi Indonesia disebutkan bahwa Indonesia memiliki lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa, lebih tepatnya terdapat 1.340 suku bangsa di Tanah Air menurut sensus BPS tahun 2010. Suku Batak menempati posisi ketiga terbesar jumlah populasinya di bumi pertiwi ini dengan populasi 3,58 persen setelah Jawa 40,22 persen, dan Sunda 15,5 persen.
Sekarang saya merasa bangga menjadi orang Batak. Itu buktinya, nomor tiga terbesar.
Ketiga anakku dan keturunanku selanjutnya terus akan bertambah. Mereka bisa jadi akan menjadi mayoritas. Apalagi kami kini bervariasi, setidaknya di darah ketiga anakku telah mengalir tiga suku: Batak, Simalungun dan Karo.
Namun yang terpenting bagi saya adalah mengenal diri sendiri. Siapa saya, siapa saja leluhurku karena semuanya melekat dan tak bisa terelakkan. Ini akan menjadi modal untuk melangkah ke depan. Tak penting kami ini bagian dari minoritas atau mayoritas. Kita sangat kaya akan budaya.
Paling tidak pengetahuan kami akan budaya nenek moyang tidak tergerus oleh zaman. Tergerus akan “genosida” budaya. Anak-anakku bisa semakin mengenal siapa mereka. Zaman boleh berubah tapi identitas takkan pernah berubah.
Saya terus melaju kencang mengendarai mobil. Rasa lelah telah terbayar. Malam semakin larut. Anak-anak terlelap dengan dinginnya cuaca Parapat.
*wartawan, tinggal di Jambi
TEMPIAS
Keretaku

SUARA sirine kereta api mengagetkanku. Tiba-tiba kereta berhenti perlahan di Stasiun Prupuk, penumpang dengan barang bawaan turun satu persatu keluar Stasiun Tegal, aku turun sambil mengendong tas sandang berisi pakaian untuk bekal di kampungku beberapa hari, sementara tangan kiriku membawa tas berisi makanan ringan sisa perjalanan dari Jogjakarta pagi tadi.
“Tunggu aku, jalannya pelan saja, kakiku sedikit lelah,” ujar istriku sambil memegang lengan kiriku.
Perjalanan yang memakan waktu hingga empat jam, terasa begitu lama apalagi kami berdua duduk di kursi yang menghadap belakang, sehingga selama dalam perjalanan di dalam kereta kurang nyaman, sebab tidak bisa melihat pemandangan alam di sepanjang perjalanan.
“Cari saja bus atau becak, biar kita lekas sampai rumah nenek,” ujar istriku lagi.
Tubuh letih langsung keluar Stasiun Prupuk, untuk mencari kendaraan, tiba-tiba ponselku berbunyi, nama ponakanku muncul di layar androidku. Langsung kuangkat di sudut telepon terdengar suara ponakanku menanyakan sudah sampai mana.
“Ini baru saja turun dari kereta, masih menunggu kendaraan,” ucapku.
“Biar dijemput saja. Abang tunggu barang sebentar aku sampai membawa mobilku,” terdengar suara adikku di ujung telepon.
Seperempat jam perjalanan dari stasiun menuju rumah kakekku, tak kusangka jika kepulanganku kali ini sudah mereka tunggu, bukan hanya bertanya soal kabar keluarga saja tetapi bertanya kesehatan anak-anakku juga.
Tiba di rumah kakekku, tak banyak yang berubah rumah yang dulu kami tempati bersama ayah dan ibu serta kakakku, masih terlihat dinding rumah tua yang berbahan dasar batu bata masih kokoh, hanya saja beberapa sudut ada semen yang sudah mulai ambrol, menandakan bahwa bangunan itu sudah sangat tua dan lama ditempati.
“Di belakang rumah ini dulu, engkau bersama adikmu pernah bermain air, tapi sayangnya sawah yang luas, yang ada kandang babi milik orang keturunan sudah ditimbun dan dijadikan perumahan,” kata kakek sambil duduk di kursi kayu di belakang rumah di bawah pohon mangga.
“Selokan air yang dulu sering untuk bermain, kini sudah tertutup tanah dan hanya ditumbuhi rerumputan liar, bahkan setiap kali hujan lebat lokasi belakang rumah jadi banjir,” keluhnya.
Tubuh tua itu terlihat sudah sedikit kepayahan untuk bangun dari kursi kayu, dengan gerakan perlahan lelaki tua yang dulu dikenal sangat kekar, hanya menyisakan garis-garis kekarnya saja.
Ku pandangi punggung lelaki tua itu, dengan penuh kenangan, betapa tidak dulu saat aku kecil pundak kekar itu jadi tempat ternyaman untuk sekedar digendong dan diletakkan tubuh mungilku di pundaknya.
Ya sosok lelaki tua itu, sangatlah mirip dengan ayahku yang berperawakan kekar dan sangat tegas terhadap keluarganya, terdengar air dalam sumur seperti tengah ditimba, bergegas aku menghampiri di dapur rumah nenekku, langsung saja kuraih tangan renta itu dan kuganti dengan tangan untuk menimba air sumur.
“Sudahlah, istirahatlah ajak istrimu itu masuk ke dalam rumah, kasihan sangat jauh perjalanan menuju rumah nenek, biarkan kusiapkan air hangat untuk membuat minuman hangat,” ungkap kakek.
Malam berlalu, suara jangkrik di samping kamarku terdengar jelas. Lamat-lamat suara Gending Jawa dari radio tua terdengar dari belakang rumah, ya..kakekku masih suka duduk menyendiri di belakang rumah. Ku Dekati kakek. Sedikit terkejut kakek berpindah posisi duduknya.
“Dulu ayahmu memiliki tujuh saudara, setelah besar mereka berpencar mencari kehidupan agar mereka bisa hidup layak, dari semua cucuku yang ada hanya dirimu yang sering ke rumah kakek, wajahmu mirip sekali dengan wajah almarhum ayahmu, Nak,” ucap kakek sambil membelai kepalaku.
Ada buliran hangat di pelupuk mata jatuh melewati pipiku, ingatanku kembali melayang mengingat almarhum ayah, yang saat itu masih gagah, memenuhi permintaan ibuku yang tengah menyiram adikku, permintaan ibuku sangat aneh menurutku, sebab ibu meminta ayah untuk mencarikan kodok hijau di sawah yang sudah selesai dibajak menunggu ditanami padi.
Untuk menuruti permintaan ibuku, ayah menyiapkan peralatan untuk mencari kodok di belakang rumah kakekku, dengan menggunakan lampu minyak, dengan pelan-pelan ayah mulai mencari kodok, berharap bisa mendapatkan beberapa ekor kodok untuk bisa dibawa pulang untuk memenuhi permintaan ibuku yang tengah hamil adik bungsuku dengan wajah riang ayah pulang membawa enam ekor kodok hijau yang didapatkan di sawah kemudian dibersihkan dan diserahkan ibuku untuk dijadikan lauk makan ibuku.
Sosok ayah yang begitu gagah, berperawakan kekar serta memiliki kumis tebal, ayah terlihat begitu gagah dan berwibawa, kasih sayang ayah dan cara ayah merawat anak-anaknya tinggallah kenangan bagiku, tiba-tiba tangan kakek membuyarkan lamunanku, dan memintaku untuk masuk ke dalam rumah sebab sudah tengah malam, sementara istriku yang kelelahan tengah tertidur pulas sekali.
Aku bersimpuh di depan kakekku, aku berpamitan untuk kembali ke rumahku, lagi-lagi lelaki tua itu membelai kepalaku dengan lembut, entah doa apa yang diucapkan di atas kepalaku, tapi aku yakin bahwa doa terbaik dipanjatkan kakekku.
Kursi kereta yang ku tumpangi terasa bergoyang, saat melintasi relnya, sementara di depanku dua ibu-ibu terdengar asyik ngobrol, sementara istriku yang duduk di sampingku masih menyandarkan kepalanya di pundakku.
“Banyak kenangan masa kecil dan masa bahagia yang di tinggalkan di rumah kakek, semoga saja kita bisa kembali mengunjungi kakek,” ucap istriku pelan.
Kereta melaju hingga stasiun terakhir, sejuta kenangan dan lelahnya istriku kubawa kembali ke rumahku….
Sanggar Imaji Tegal, 2 November 2023
OPINI
Erick Thohir, Politik dan Sepak Bola

PADA AKHIR tahun 2017, George Weah menorehkan sejarah dunia. Weah, mantan pesepakbola pertama di dunia yang berhasil menjadi presiden pertama. Mantan pemain terbaik dunia tahun 1995 itu menjadi Presiden Liberia.
Memang tidak banyak pemain sepakbola yang setelah pensiun berhasil menjadi politisi. Selain Weah ada pula Romario, Kakha Kaladze dan legenda sepakbola dunia, Pele.
Romario, salah satu pemain kunci Brasil pada Piala Dunia 1994, menjadi politisi yang menonjol di negaranya. Pada tahun 2010, Romario terpilih menjadi anggota senat Brasil dengan suara terbanyak yang pernah diterima seorang kandidat yang mewakili Rio de Janeiro.
Lalu Kakha Kaladze, pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Georgia dan menduduki kursi Menteri Energi. Kini mantan mantan bek Milan itu menjadi Wali Kota Ibu Kota Georgia, Tbilisi.
Lain pula kisah Pele. Setelah sukses membawa skuat Samba merebut tiga kali Piala Dunia, Pele didaulat menjadi Menteri Olahraga Brasil pada 1995 hingga 2001. Kala itu, salah satu fokus utama Pele, melenyapkan praktik-praktik korupsi dalam dunia persepak bolaan di Brasil. Tak heran, sempat pula muncul sebutan “Hukum Pele” dalam dunia olahraga Brasil.
Hari ini, Indonesia juga kembali mencatat sejarah. Menteri BUMN, Erick Thohir terpilih menjadi Ketua Umum PSSI. Ini keempat kalinya seorang Menteri menjabat posisi yang sama. Sebelumnya adalah Maladi pada tahun 1950. Ia dipilih menjadi Ketua Umum PSSI saat masih menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga.
Kedua, Azwar Anas pada tahun 1991 saat ia menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Ketiga adalah Agum Gumelar. Ia terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, juga saat menjabat Menteri Perhubungan. Keempat adalah Erick Thohir. Bedanya, Erick Thohir berlatar belakang pengusaha, sementara kedua pendahulunya berlatar belakang militer. Sementara Maladi adalah mantan kiper Timnas Indonesia.
Bicara sepakbola dunia, punya fenomena yang luar biasa. Didier Drogba, mantan pemain Chelsea mampu mendamaikan perang saudara di negaranya, Pantai Gading. Usai menahan imbang Mesir 1-1 pada tahun 2005 sehingga Pantai Gading akhirnya lolos ke putaran final Piala Dunia 2006 Drogba langsung berpidato memberikan pernyataan yang sangat luar bisa.
“Masyarakat Pantai Gading. Dari utara, selatan, tengah dan barat, kami membuktikan hari ini bahwa semua warga Pantai Gading dapat hidup berdampingan dan bermain bersama dengan tujuan yang sama, untuk lolos ke Piala Dunia,” kata Drogba.
Pidato Drogba efektif. Dua kubu yang saling berperang akhirnya melakukan gencatan senjata serta berunding hingga akhirnya berdamai. Perang usai.
Semangat Drogba ini perlu kita bawa ke negeri kita. Jutaan warga Indonesia merindukan prestasi PSSI dan Timnas Indonesia. Jutaan warga Indonesia berharap banyak pada kepemimpinan Erick Thohir.
Erick Thohir memang suka bola. Namanya mulai melambung sejak membeli saham Inter Milan pada tahun 2012 dan menjabat Presiden klub hingga 2016. Selain Inter Milan, Erick juga memiliki saham di DC United – salah satu klub sepak bola yang berkiprah di MLS Amerika Serikat.
Tak hanya itu, saat ini ia bersama Anindya Bakrie menjadi pemilik Oxford United. Erick juga menjadi pendiri sekaligus pemilik klub basket Satria Muda. Prestasi Erick menyelenggarakan Asian Games 2018 banyak dipuji sehingga ia ditunjuk sebagai Menteri BUMN pada tahun 2019 hingga kini.
Atas rekam jejak dan popularitasnya itu, tak heran Erick Thohir dinilai mumpuni membenahi sepakbola Indonesia. Ada banyak PR yang sudah menunggu di depan mata. Tragedi Kanjuruhan, melanjutkan kembali Liga 2 dan Liga 3 serta menerapkan kembali sistem degradasi di Liga 1.
Sebelum terpilih, Erick Thohir berjanji lima hal. Pertama, melanjutkan Liga 2 dan Liga 3 yang saat ini dihentikan Exco lama PSSI. Kedua, menerapkan VAR di Liga 1 musim 2023/2024. Ketiga membenahi kualitas wasit. Keempat, membangun Training Center untuk Timnas Indonesia. Kelima, mengejar ketertinggalan dari negara lain.
Tampaknya Erick meniru Pele. Hendak bersih-bersih di tubuh PSSI.
Sayangnya Erick tak menyinggung soal pembinaan sepak bola usia dini. Hal yang tak kalah penting di tengah maraknya Sekolah Sepak Bola (SSB) di seluruh penjuru nusantara meski masih minim kompetisi.
Tengoklah di Liga Anak Nusantara U-11 dan U-13 yang digelar di Yogyakarya pada 25-27 Januari 2023 di Yogyakarta, Jawa Tengah. Minim publikasi dan tidak digelar dengan baik. Alhasil, penyelenggaraan U-13 hanya sebatas delapan besar. Kita ingin punya timnas senior yang berkualitas tetapi belum serius membenahi sepak bola usia dini. Kita ingin prestasi yang instan.
Kursi Ketua Umum PSSI periode 2023-2027 jelas menggiurkan untuk mendongkrak popularitas. Mengingat tahun ini akan digelar Piala Dunia U20 di Indonesia dan Pemilu 2024.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai bahwa majunya Erick Thohir menjadi Ketum PSSI tidak terlepas dari kesempatannya menjadi calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu 2024. Sebab, selama ini dalam beberapa survei, elektabilitas Erick sebagai cawapres cukup tinggi.
Survei yang dirilis oleh Poltracking pada Desember 2022 menunjukkan bahwa Erick menjadi sosok cawapres dengan elektabilitas tertinggi di angka 15,5 persen. Ia mengungguli beberapa tokoh lain, seperti Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Sandiaga Uno.
Masalahnya, mungkinkah dalam waktu yang singkat, Erick Thohir bisakah membawa perubahan dalam tubuh PSSI dan memenuhi janji-janjinya?
Posisi Ketua Umum PSSI memang kerap kali diincar para politisi Indonesia. Ada yang menduga, Erick Thohir aji mumpung. Mumpung posisi itu kosong, ia ambil. Jika berhasil memimpin PSSI, setidaknya elektabilitasnya untuk 2024 akan melonjak.
Erick Thohir sepertinya melihat peluang sepakbola untuk mengantarkannya menjadi pemenang Pilpres 2024.
Pertanyaan kemudian, berhasilkah Erick Thohir menjadi pemenang di PIlpres 2024 mendatang? Barangkali Pak Erick Thohir berprinsip, bola itu bundar. Siapa pun bisa jadi pemenang, tergantung situasi di lapangan.
*jurnalis dan tinggal di Jambi
TEMPIAS
Selamat Jalan Kawan

KEMARIN aku masih menangisi kepergianmu kawan. Hari ini, aku mulai kuat. Mulai mengikhlaskan kepergianmu. Bukan apa-apa. Baru dua hari kulihat kau bahagia dilantik menjadi Komisioner Informasi Publik tapi kemarin siang tiba-tiba kabar duka itu datang.
Engkau pergi dalam suasana indah. Hari Jumat, saat khatib berceramah. Kau dikabarkan mendadak roboh, berpakaian favoritmu selama kukenal. Aku tanya istrimu di depan jenazahmu, kau mendapat serangan jantung. Begini caramu pergi. Di hari yang diimpikan semua umat Islam. Saat ibadah Salat Jumat.
Masalahnya, kabar itu benar-benar bikin dadaku sesak. Aku tak percaya, secepat itu kau pergi. Usai menginjakkan kaki pertama kalinya di kantormu yang baru pula. Hanya sehari kau menikmati ruangan barumu.
Aku mengenalmu kalau tak salah pada tahun 2013. Di sebuah acara pelatihan di sebuah hotel. Tiga atau empat tahun kemudian kita mulai akrab. Kita mulai sering nongkrong di Warung Feri di samping GOR Kotabaru, sampai larut malam.
Kita ternyata satu visi dalam mengelola media, bagaimana cara memandang jurnalisme. Mediamu jauh lebih tua ketimbang usia mediaku yang baru seumur jagung. Kau bahkan sering memberiku masukan agar kita bisa menghadapi zaman yang berkejaran dengan kecepatan. Soal itu, kau selalu lebih pintar. Kau mendalaminya. Pokoknya kau jagonya. Aku banyak terinspirasi dengan ide-idemu.
Kita bahkan semakin dekat selama periode tahun 2020 hingga 2021. Kita dalam satu tim, bersama teman kita satu lagi, Ali Monas. Kita bertiga bersama teman-teman lain sering tertawa bersama, saling berdebat, saling belajar. Ah, banyak sekali yang kita bahas setiap hari. Dan satu hal kusuka adalah kita tak pernah berdebat di media sosial. Kita berdebat secara langsung. Kita bahkan saling tahu ketika suasana hati kita sedang tak elok. Kita benar-benar tulus berteman.
Hanya saja, periode itu maafkan aku teman. Sekali lagi maafkan aku yang kadang bicara terlalu keras. Cerewet soal tubuhmu. Aku khawatir melihat tubuhmu yang rentan. Beberapa kali kau jatuh sakit. Kesehatanmu makin menurun. Bahkan, kau pernah dilarikan ke rumah sakit. Aku benar-benar sedih.
Yang terkadang aku bingung adalah soal sikap kepasrahanmu. Melihat sikapmu itu, sering kali aku memilih diam. Terutama akhir-akhir ini. Kita mulai jarang bertemu dan mulai jarang bicara. Kita mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Saat kau tiba-tiba datang dan bilang bahwa kau maju di Komisi Informasi Publik, aku sebenarnya senang. Kau bilang mau membahagiakan anak istrimu dan keluarga besarmu. Aku hanya khawatir bila kau gagal. Kami sungguh-sungguh mendukungmu. Mendengar kau terpilih, betapa senangnya aku. Kita sama-sama “rentan” hidup di media ini. Tujuan kita tentu sama. Sama-sama hendak membahagiakan anak istri. Tetapi kenapa secepat ini kau pergi?
Terakhir kita saling bercanda dan tertawa di bulan puasa ini, saat berbuka puasa di Sekretariat KONI Jambi. Aku lihat kau makin tenang. Wajahmu semakin bersih. Aku yakin ibadahmu makin kuat. Aku sungguh senang. Aku juga melihat kesehatanmu makin membaik.
Tetapi ternyata aku salah. Kau pergi begitu cepat. Aku mulai mempertanyakan ini pada Tuhan. Kenapa memanggil temanku secepat ini, Tuhan? Aku mengantarmu sampai ke peristirahatanmu terakhir. Aku buka dan melihat wajahmu dari dekat. Aku melihat kesedihan anak istrimu. Aku tak tahan. Aku langsung ke luar. Inilah yang kukhawatirkan sejak dulu kawan. Aku cerewet padamu soal pola hidup.
Ya sudahlah. Semua sudah digariskan Yang Maha Kuasa. Kau kuat dalam bertarung di kehidupan yang keras. Aku bangga menjadi temanmu. Kau pergi dalam kebahagiaan. Aku yakin anak istrimu juga bangga punya ayah sepertimu. Selamat jalan kawan. Berbahagialah di surga.