No Result
View All Result
KONTAK
Bicara Apa Adanya
REDAKSI
  • ADVERTORIAL
  • DAERAH
  • LINGKUNGAN
  • NASIONAL
  • NIAGA
  • OPINI
  • PENJURU
  • PERISTIWA
  • PERKARA
  • SIASAT
  • TEMPIAS
  • TEMUAN
  • ADVERTORIAL
  • DAERAH
  • LINGKUNGAN
  • NASIONAL
  • NIAGA
  • OPINI
  • PENJURU
  • PERISTIWA
  • PERKARA
  • SIASAT
  • TEMPIAS
  • TEMUAN
No Result
View All Result
Bicara Apa Adanya
Home OPINI

Menjelang Piala Bergilir Pilkada (Keluarga)

Oleh: Yulfi Alfikri Noer S.IP., M.AP*

JOGI by JOGI
November 17, 2020
Pilkada
36
VIEWS
ShareTweetSend

PASCA demokrasi digulirkan setelah reformasi, demokrasi menjadi alat untuk melanggengkan kekuasaan untuk sebagian orang. Salah satu yang menjadi permasalahan dalam demokrasi di Indonesia adalah menjangkitnya politik dinasti. Praktik ini makin subur setelah Mahkamah Konstitusi (MK) pada 8 Juli 2015 secara tak langsung melegalkan dinasti politik.

ArtikelTerkait

COVID-19 Itu Nyata, Berani Buka Sekolah?

COVID-19 Itu Nyata, Berani Buka Sekolah?

December 29, 2020
Catatan Buruk 2020, Karhutla dan Omnibus Law Jadi Ancaman di Jambi

Catatan Buruk 2020, Karhutla dan Omnibus Law Jadi Ancaman di Jambi

December 28, 2020
Karhutla

Menanti Aksi Pemimpin Baru Atasi Karhutla di Jambi

December 17, 2020
Siap Menang

Siap Menang (Tidak) Siap Kalah?

December 14, 2020

MK membatalkan pasal 7 huruf (r) Undang- Undang Nomor 8 tahun 2015 tentang Pilkada, yang menerangkan, syarat calon Kepala Daerah (Gubernur, Bupati atau Wali Kota) tak mempunyai konflik kepentingan dengan petahana. Begitu pula Peraturan KPU maupun Surat Edaran KPU mengenai petahana. Sebab, keluarga petahana bisa mencalonkan diri untuk maju di dalam pilkada menggantikan keluarganya. Ketika Mahkamah Konstitusi (MK) melegalkan politik dinasti pada pilkada di Indonesia, titik awal buramnya politik praktis di Indonesia sebagai negara demokrasi di Asia Tenggara. MK tidak mempertimbangkan negara Indonesia sebagai negara republik bukan kerajaan.

Persoalan ikut mengikuti jejak kerabat dan sanak saudara dalam dunia politik di Indonesia memang bukan hal baru dan tampaknya belum akan mereda. Konstitusi membenarkan bahwa setiap individu mempunyai hak untuk memilih dan dipilih. Kecuali ada putusan pengadilan yang inkrah telah mencabut hak politiknya.

Dalam dinasti politik tidak pernah mengukur kapasitas dan kapabilitas. Hubungan kekeluargaan mengalahkan kriteria prestasi. Jabatan-jabatan politis digilir dan diperebutkan oleh orang-orang yang masih dalam lingkaran trah keluarga. Proses injeksi publisitas dan uang merupakan hal yang paling dominan untuk mendapatkan kekuasaan.

Politik kekerabatan sebenarnya sudah muncul sejak lama, awal gejala politik tersebut sudah ada ketika gejala patrimonialistik. Dalam sistem patrimonial, sistem yang digunakan adalah sistem regenerasi politik berdasarkan pada ikatan genealogis, ketimbang prestasi dan lainnya. Di era modern ini, sistem tersebut memang tidak digunakan lagi, namun sistem tersebut bertransformasi menyesuaikan dengan sistem demokrasi.

Jika dahulu, pewaris kekuasaan menggunakan sistem tunjuk, maka saat ini sistem yang digunakan melalui sistem politik prosedural. Sanak saudara dimasukkan terlebih dahulu melalui partai politik, baru kemudian dicalonkan melalui mekanisme yang digunakan oleh masing-masing partai. Jadi seolah-olah sistem patrimonial atau dinasti politik ini seperti tidak digunakan, namun sesungguhnya tetap berjalan dengan menggunakan cara yang berbeda.

  Baca Juga
Warga Dua Desa Penghasil Minyak Ilegal Bakal Geluti Bisnis Madu January 25, 2021
Tak Tahu Malu! Wanita Ini Mesum di tempat Umum, Pelaku: Emang Kenapa? January 25, 2021
Pria yang Buang Telur Ayam ke Sawah Minta Maaf setelah Videonya Viral January 25, 2021
Sepasang Pasien COVID-19 ini Mengikat Janji Pernikahan January 25, 2021
Mantan Direktur Teknik Garuda Indonesia Didakwa Terima Suap Pengadaan Pesawat January 25, 2021
Next
Prev

Dalam Pemilihan Umum Kepala Daerah. Dinasti politik juga terjadi di beberapa daerah, mengutip riset Nagara Institute yang dilansir di kompas.com (28/10/2020), jumlah calon kepala daerah dari dinasti politik pada Pilkada 9 Desember nanti adalah, 124 kandidat Kepala Daerah yang terdiri dari 57 calon bupati dan 30 calon wakil bupati, 20 calon wali kota dan 8 calon wakil wali kota serta 5 calon gubernur dan 4 calon wakil gubernur. Dari 124 kandidat tersebut, terdapat 67 laki-laki dan 57 perempuan. Dari 57 perempuan itu, sebanyak 29 orang adalah istri dari kepala daerah atau petahana sebelumnya.

Transfer kekuasaan dari pemegang jabatan terpilih kepada anggota keluarga mereka sendiri dapat mengakibatkan tiga pilar demokrasi berada dalam ancaman besar. Sistem check and balances dipastikan tidak akan berjalan efektif manakala semua lini dikuasai orang-orang sekerabat. Dinasti politik menciptakan sebuah segitiga piramida dimana seorang pemimpin yang mengangkat dan merangkul sebagian besar keluarganya untuk turut andil dalam urusan politik dan pemerintahan yang dijalankannya.

Akarnya akan menjalar ke seluruh sektor pemerintahan di bawah kekuasaannya serta memperkuat jaringan baru yang bisa tersentuh olehnya. Ironisnya, para kepala daerah yang menggunakan kekuatan dinasti politik ini cenderung korup. Mereka kerap menyelewengkan amanah jabatan dan sekalipun sudah lengser, mereka masih bisa menyetir pemerintahan karena penerusnya dari kalangan keluarga sendiri. Rapat-rapat atau sidang-sidang yang sedianya menentukan hajat orang banyak justru lebih mirip arisan keluarga.

Karena dinasti politik rentan menciptakan sifat koruptif. Dalam pendekatan teoritis, Lord Acton mengatakan, “power tends to corrupt, and absolute power corrupt absolutely”. Kekuasaan yang mutlak menjadikan seseorang berbuat korupsi. Jika demikian, maka sudah sepatutnya menginduksi masyarakat, sebagai bagian dari penyadaran publik demokrasi untuk menciptakan kesadaran kolektif bahwa dinasti politik cenderung merugikan lantaran menggerogoti anggaran, menyelewengkan kekuasaan dan menghambat terimplementasikannya good governance and clean governance dansebagai filosofi dasar bahwa negara berada dalam kedaulatan rakyat.

Pesannya hanya satu, para pemilih sendiri yang hendaknya harus tegas untuk tidak memilih para kerabat dari yang berkuasa tersebut. Agar memilih kepala daerah yang sesuai dengan hati nurani, bukan karena tren politik dan money politics.

 

*Akademisi UIN STS Jambi

Tags: Dinasti PolitikJambiKekuasaanKeluargaKorupPetahanaPilkadaTrahYulfi Alfikri Noer
Next Post
Pilkada Serentak

Mengidentifikasi Calon Pemimpin Profetik dalam Pilkada Serentak

Potong Jari Sendiri

Erdina Sihombing Dituntut 9 Bulan Karena Nekat Potong Jari Sendiri Lalu Ngaku Dibegal

Tangkap 7 Pelaku, Polisi: Bagi Warga Merasa Pernah Kehilangan Sepeda Silakan Ambil di Polda

Tangkap 7 Pelaku, Polisi: Bagi Warga Merasa Pernah Kehilangan Sepeda Silakan Ambil di Polda

Gempa M 6,0 Guncang Mentawai, BMKG: Tak Berpotensi Tsunami

Gempa M 6,0 Guncang Mentawai, BMKG: Tak Berpotensi Tsunami

Ada 37 RUU Berpotensi Masuk Prolegnas Prioritas 2021

Ada 37 RUU Berpotensi Masuk Prolegnas Prioritas 2021

Discussion about this post

Bicara Apa Adanya

PT MOKSHA MULTI MEDIA

© 2020 Alamat Kantor Detail di Jalan Guru Muchtar, No. 26, RT 09, Kebun Handil, Jelutung, Kota Jambi. Kode pos 36137. Developed by Ara.

  • Detail
  • Hubungi Kami
  • Tim Redaksi
  • Tentang Kami
  • Pedoman Media Siber
  • Company Profile

Media Sosial

No Result
View All Result
  • ADVERTORIAL
  • DAERAH
  • LINGKUNGAN
  • NASIONAL
  • NIAGA
  • OPINI
  • PENJURU
  • PERISTIWA
  • PERKARA
  • SIASAT
  • TEMPIAS
  • TEMUAN

PT MOKSHA MULTI MEDIA