KETIKA SAYA dihubungi teman-teman Jambi TV untuk mengikuti dialog live Kupas Abis di Jambi TV, saya hanya manggut-manggut. Yah, sekadar refresing setelah “terjebak” rutinitas sidang yang hampir menyita waktu.
Tak perlu lagi saya meriset ataupun menguasai data-data. Dengan mengikuti perkembangan politik kontemporer, saya cukup mengetahui. Ke mana arah pembicaraan.
Benar. Ketika Akmal memulai alasan mengajukan permohonan ke MK dan kemudian diputuskan oleh MK, dengan rinci dipaparkan alasan kelemahan KPU di dalam menyelenggarakan Pilkada.
Kelemahan (apabila tidak mau dikatakan sebagai kesalahan KPU), masalah DPT menjadi perhatian MK. MK dengan tegas memutuskan. KPU tidak profesional dan integritas.
Akibatnya apa? MK kemudian memerintahkan Pemungutan Suara Ulang (PSU) di 88 TPS. Bak bola lambung seperti main volly. Umpan langsung saya sambar.
Bukan sekadar MK yang memerintahkan PSU. Tapi MK juga memerintahkan PSU dengan KPPS dan PPK yang baru.
Namun bukan amar putusan MK yang menarik perhatian. Sebagai advokat yang sudah biasa praktik di persidangan, bagi seorang advokat, pertimbangan MK yang menjadi dasar untuk menilai putusan MK.
Salah satu pertimbangan MK yang menarik perhatian adalah pertimbangan MK “Profesional dan Integritas” KPU.
Umpan langsung saya sambar. Ya. KPU tidak profesional dan integritas.
Umpan lambung dari Akmal dan bersandarkan kepada pertimbangan MK membuat KPU tidak integritas dan profesional menjadikan sebaiknya komisioner KPU harus mundur.
Padahal sebagai lembaga penyelenggara pilkada, profesional dan integritas adalah kata-kata kunci membuat dia mendapatkan kepercayaan publik.
Sekali saja tidak mendapatkan kepercayaan publik, apapun hasil yang ditetapkan akan mendapatkan cemoohan dari publik.
Kata tidak profesional dapat disaksikan selama persidangan di KPU.
Sebagai peserta pilkada, tentu saja konsentrasi hanya pada penghitungan suara. Melihat suara yang diraih. Namun berbagai pernik-pernik selama proses selama pemilihan di TPS, tentu saja menjadi kewenangan dari pihak penyelenggara.
Benar kemudian. Selama persidangan di MK, berbagai pertanyaan hakim MK, komisioner KPU yang dihadirkan cuma cengar-cengir tidak karuan.
Padahal sebagai penyelenggara, mereka memegang dokumen resmi yang berkaitan dengan seluruh proses pilkada. Sehingga berbagai argumentasi harus didukung dengan data-data.
Apabila di dalam dalilnya menyebutkan nama-nama yang tidak berhak memilih (yang menjadi keberatan dari pemohon), KPU harus menunjukkan daftar hadir (absensi). Bukan sekadar omong doang (omdo).
Tentu saja para peserta pilkada tidak memegang absensi untuk mengecek siapa yang berhak memilih atau tidak.
Saya tidak membayangkan. Bagaimana para komisioner yang memegang amanat sebagai penyelenggara pilkada, sama sekali tidak memegang mandat untuk memastikan penetapan KPU yang telah diteken untuk diamankan di MK.
Pertimbangan MK berkaitan dengan profesional dan integritas sekali lagi membuktikan. Itu kelemahan KPU. Bukan kecurangan oleh peserta pilkada.
Akibat kelemahan KPU, membuat para peserta dirugikan. Masyarakat Jambi juga dirugikan.
Belum lagi, akibat kelemahan KPU, membuat negara harus mengeluarkan kocek lebih dalam. Mengeluarkan dana untuk melaksanakan PSU.
Padahal di tengah pandemi corona yang belum usai, dana yang dikeluarkan dapat memberikan subsidi kepada siswa-siswa yang harus mengeluarkan biaya untuk sekolah.
Sehingga pernyataan saya di forum live KUPAS ABISS di Jambi TV meminta seluruh komisioner KPU Provinsi Jambi adalah muara dari rangkaian peristiwa.
Bukan sekadar pernyataan dari langit.
*Direktur Media dan Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani
Discussion about this post