DETAIL.ID, Jakarta – Jalur Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) dilewati salah satu sumber gempa memiliki potensi di Jawa Barat, ialah sesar Lembang. Bagaimana infrastruktur ini bisa bertahan?
Sesar Lembang ialah salah satu dari enam sesar aktif atau patahan yang memiliki peluang mengakibatkan gempa di Jawa Barat. Sesar ini membentang sampai permukiman padat penduduk dan sejumlah infrastruktur penting, salah satunya jalur KCJB.
Beberapa gempa pernah terjadi alasannya adalah pergerakan sesar ini. Salah satu yang terbesar terjadi pada 28 Agustus 2011 yang berkekuatan M 3.3 pada kedalaman yang sangat dangkal sampai mengakibatkan efek signifikan.
Gempa yang terjadi saat itu menghancurkan 384 rumah warga di Kampung Muril, Desa Jambudipa, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Kemudian terjadi lagi gempa bumi 14 dan 18 Juni 2017.
Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Dwiyana Slamet Riyadi mengatakan struktur prasarana KCJB sendiri akan dibangun tahan gempa.
Contohnya, jembatan, subgrade, hingga terowongan yang berada di sepanjang trase KCJB dirancang memiliki ketahanan gempa hingga 8-9 Skala Intensitas Seismik atau setara Magnitudo 8.
“Struktur prasarana KCJB telah memikirkan keadaan di Indonesia yang sering terjadi gempa. Struktur prasarana KCJB didesain tahan gempa dan bisa memiliki usia pakai hingga 100 tahun,” ujar Dwiyana, Kamis , 24 November 2022.
Patokan M 8 sendiri didapat dari data gempa paling besar yang pernah terjadi di Jawa. Dengan persiapan itu, struktur KCJB diperkirakan bisa menghadapi gempa yang menjadikan kerusakan parah, keretakan pada tanah hingga longsor.
Antisipasi bahaya
Dilansir dari situs KCIC, KCJB yang dirancang untuk mampu beroperasi hingga kecepatan 350 km/jam diyakini mempunyai tingkat keamanan yang tinggi, utamanya dari bahaya tornado, hujan deras, gempa bumi, objek abnormal, sampai sambaran petir di lintasan KCJB.
Tingkat keselamatan KCJB ini ditopang oleh teknologi yang terpasang pada tata cara perlindungan ancaman KCJB.
Dwiyana mengaku pihaknya telah merencanakan aneka macam instrument untuk melindungi KCJB dari bahaya diantaranya Disaster Monitoring Center, sensor pendeteksi bahaya di sepanjang trase KCJB, dan Disaster Monitoring Terminal di Tegalluar selaku pusat pengelolaan data kebencanaan.
Terkait bahaya gempa, Dwiyana menyampaikan bila di sepanjang trase KCJB akan terpasang 7 sensor yang dipasang di jarak rata-rata tiap 25 kilometer.
Setiap sensor nantinya akan mengantardata ke Disaster Monitoring Center bila mendeteksi getaran. Data tersebut kemudian dianalisa dan ditarik kesimpulan untuk dilakukan upaya pencegahan kecelakaan pada KCJB.
Sinyal kegempaan yang pertama kali akan ditangkap dan dikirim oleh alat sensor tersebut berbentukgelombang P yang ialah tanda permulaan terjadinya gempa.
Informasi ini lalu akan hingga ke Disaster Monitoring System sebelum terjadinya Gelombang S yang ialah getaran perusak dari gempa bumi.
Dari sinyal gelombang P yang terdeteksi tersebut, Dwiyana menjelaskan kalau pihaknya dapat segera melakukan mitigasi ancaman dengan mengirimkan peringatan dan aba-aba ke setiap rangkaian kereta yang sedang beroperasi.
Lebih lanjut, Dwiyana memaparkan bahwa alarm yang dikirim dari Disaster Monitoring Center untuk ancaman kegempaan terbagi ke dalam tiga level, yakni level 1 untuk gelombang P antara 40 gal-80 gal, level 2 untuk 80 gal -120 gal, dan level 3 untuk gelombang P lebih dari 120 gal.
Nantinya, KCJB juga akan berafiliasi dengan BMKG untuk tunjangan KCJB dari ancaman gempa.
Dengan rencana kerjasama ini, Disaster Monitoring Center KCJB mampu menerima data terkait bahaya gempa lebih permulaan dikarenakan BMKG sudah mempunyai banyak alat sensorik yang terpasang di erat episentrum gempa.
“KCJB ini proyek kerja sama, termasuk untuk santunan gempa yang berhubungan dengan BMKG. mereka sudah mempunyai alat sensor yang terpasang di dekat sentra gempa jadi kita bisa dapat early information jika ada bahaya gempa untuk secepatnya dijalankan mitigasi,” ujar Dwiyana.