Beberapa kejanggalan itu di antaranya para terdakwa tak dihadirkan secara pribadi di ruang sidang, pembatasan jalan masuk untuk mengunjungi sidang, hingga diterimanya anggota Polri sebagai penasihat aturan terdakwa.
“Kekhawatiran kami berhubungan dengan sidang yang tertutup (tak disiarkan secara eksklusif) dan juga berbagai keganjilan yang ada, kami khawatir bahwa proses persidangan yang berlangsung itu hanya sekedar formalitas,” kata perwakilan koalisi dari KontraS, Andi Muhammad Rizaldi di gedung Komisi Yudisial (KY), Jakarta Pusat, Kamis, 19 Januari.
Andi menilai masyarakat sipil sebaiknya mampu mengakses dan mengawasi proses aturan. Menurutnya, pemantauan itu juga penting supaya tidak terjadi penyalahgunaan wewenang oleh majelis hakim.
“Seharusnya masyarakat ataupun golongan masyarakat sipil yang lain itu diberikan jalan masuk seluas-luasnya untuk melakukan pemantauan, biar tidak terjadi adanya penyalahgunaan wewenang oleh majelis hakim,” ujarnya.
Terkait itu koalisi meminta KY untuk melakukan pengawasan atas jalannya persidangan. Koalisi juga meminta KY untuk mendesak PN Surabaya menggelar sidang Kanjuruhan terbuka untuk publik seluas-luasnya.
“Komisi Yudisial mampu mendesak Pengadilan Negeri Surabaya untuk menunjukkan terusan seluas-luasnya bagi publik untuk mampu melakukan pemantauan atau pengawasan jalannya proses persidangan,” katanya.
Koalisi terdiri dari LBH Pos Malang, LBH Surabaya, YLBHI, KontraS, Lokataru Foundation, dan IM57+ Institute.
Sementara itu, Jubir KY Miko Ginting mengklaim sudah menerjunkan tim untuk melaksanakan pengawasan secara pribadi kepada proses persidangan dan hakim yang bertugas.
“Sebelum permohonan pemantauan diajukan oleh koalisi penduduk dan tim advokasi Aremania Menggugat, KY telah menetapkan untuk melaksanakan pemantauan terhadap persidangan dan sikap hakim dalam perkara ini,” kata Miko.