Connect with us

OPINI

Politik Brutal Ala Jokowi

DETAIL.ID

Published

on

Harus dijelaskan terlebih dahulu bahwa tulisan ini tidak lahir dari pikiran seorang intelektual. Dan jauh, jauh sekali dari semacam buah pikiran kaum bangsawan di dunia pikiran. Itu jika menjadi intelektual harus menafikan aspek emosional. Itu jika menjadi intelektual berarti semata-mata menggunakan rasio. Memandang persoalan dengan dingin tanpa rasa benci tanpa caci maki. Melihat apa yang terjadi dengan ketajaman akal dan jauh dari pelibatan perasaan.

Harus diterangkan pula bahwa tulisan ini tidak bisa dipertanggungjawabkan di hadapan sidang ilmiah. Akan tetapi, tulisan ini berani mengangkat muka di hadapan sidang rasa keadilan. Yang akhir-akhir ini tercoreng, mungkin sengaja dicoreng, atau barangkali bagian dari usaha yang (menurut KMP dan pendukungnya) sistematis dan masif dalam membawa negara ini ke jurang kenistaan.

Jokowi. Nama ini pernah menjadi harapan. Menjadi simbol kesungguhan dari negeri yang sedang berusaha bangkit. Jokowi ibarat udara segar. Aku sendiri bahkan sempat mempercayainya, menilainya berbeda dari pemimpin kebanyakan yang hanya mementingkan pencitraan. Seorang kawan—jurnalis politik—pernah menceritakan bagaimana keseriusan Jokowi dalam bekerja.

Waktu ia masih menjadi Gubernur di Jakarta, ia sampai dini hari memantau pergerakan air di sungai Ciliwung. Ia tidak disertai pengawal atau embel-embel kekuasaan macam pejabat biasanya. Ia hanya bersama sopir yang mungkin merangkap sebagai asisten pribadinya. Seorang wartawan yang mengikuti ke mana pun ia pergi, bahkan disuruh pulang. Si wartawan menolak karena takut dimarahi atasannya.

Dan Jokowi menelepon atasan si wartawan, hanya untuk meminta izin agar ia memperbolehkan bawahannya pulang. Itu Jokowi. Aku pikir dia memiliki kepribadian yang luar biasa. Aku pikir, di zaman sekarang ini, sulit, amat sulit—jika tidak dikatakan mustahil—menemukan pejabat publik seperti dia. Jokowi yang tidak suka mendapat upacara penyambutan, Jokowi yang tidak suka dilayani, hanya mau melayani. Dan semua itu dilakukan dengan tulus (tampaknya begitu). Ia tidak mengundang wartawan saat ia melakukan infeksi lapangan. Bahkan asisten pribadinya tidak tahu apa yang akan dilakukan Jokowi hari ini. Dia hanya masuk ke mobil, berkata pada sopir, “Ayo kita tinjau pasar,” misalnya begitu. Ia datang tanpa iring-iringan. Tanpa kegaduhan pengawal motor. Jokowi hanya datang.

Hal inilah yang membuatku menaruh harapan besar pada Jokowi. Dan bukan hanya aku, tapi juga banyak orang lain–dari banyak kalangan yang sama-sama ingin perubahan–percaya bahwa Jokowi adalah solusi. Jokowi berhasil memberi harapan pada orang-orang yang memiliki tradisi golput. Seorang kawan yang sinis pada politik, yang malas berpanas-panas, pemalas nomor wahid yang lebih baik menahan lapar menunggu tukang nasi goreng lewat daripada pergi ke warteg, mau menempuh perjalanan Depok-Sukabumi hanya untuk memilih Jokowi. Dari forum-forum marxis, aku tahu bahwa banyak penganut marxisme yang mengikuti Pemilu—padahal bagi kaum marxis, pemilu adalah perangkat kaum borjuis untuk mengeruk dan menguasai sumber dan alat produksi.

Karena itulah bagi kaum Marxis hukum pemilu adalah haram. Dan tidak hanya memilih, kaum marxis itu juga bahkan banyak yang menjadi relawan pemenangan Jokowi. Lelaki asal Solo ini berhasil menginspirasi (atau mungkin menipu) banyak orang dari berbagai kalangan untuk bergerak dan mewujudkan perubahan. Indonesia seperti disetrum. Kembali digelorakan politik. Para saksi sejarah masa revolusi, mungkin akan terkenang masa ideologi di zaman Soekarno, mengingat gegap gempita pemilu 2014 yang luar biasa. Gegap gempita itu, karena Jokowi. Antusiasme pemilih meningkat pesat karena orang ini. Entah untuk mendukungnya, atau untuk mengadang jalannya.

Aku ingat tulisan Cak Nun tentang Jokowi di Kompas. Cak Nun melihat fenomena Jokowi sebagai sosok yang mampu membangkitkan kerinduan massal atas keterikatan pada yang purba, yang asal, dan jauh dari kesan modern. Seperti kerinduan manusia untuk kembali kepada rahim ibunya.

Di sana manusia seperti menemukan tempat aman, tempat yang jauh dari kegaduhan dan hingar bingar segala pencitraan politisi mainstream. Jokowi berhasil membangkitkan hasrat itu, dengan gayanya yang sederhana, dengan wajahnya yang seperti kebanyakan rakyat Indonesia, dengan gayanya yang spontan dan jauh dari kesan setingan penyusun strategi kampanye. Jokowi, tak ubahnya Obama yang dengan kharismanya berhasil menyedot simpati rakyat Amerika.

Aku teringat celotehan Sarah Palin ketika bersanding dengan Mc Cain melawan Obama. Dia melihat kerumunan pendukung Obama. Dia merasakan harapan besar kerumunan itu pada Obama. Lalu Palin berkata pada tim suksesnya, “Aku kira kita tidak sedang melawan Nabi.” Dan begitu pun yang mungkin dialami Prabowo sekiranya ada catatan tentang itu. Dia barangkali akan mengatakan hal yang sama terhadap Jokowi lawannya.

Kedatangan Jokowi memang pas dengan keinginan rakyat Indonesia yang sudah jenuh dengan sikap kekanak-kanakan elit politik. Jokowi ibarat fajar yang muncul setelah malam panjang yang gelap. Mungkin karena fajar itulah, ia tampak begitu indah. Tapi karena fajar itu juga ia hanya sebentar. Sebab baru dua minggu menjabat sebagai presiden, Jokowi sudah menunjukkan sinyal ganjil dari langkah-langkah kontroversial yang kemudian kerap ia lakukan.

Pertama, ia membuat Kartu Indonesia Sehat secara tidak transparan. Program yang ia tawarkan saat kampanye, rupanya ingin ia wujudkan secara cepat, tapi tidak mengikuti prosedur kebijakan anggaran yang berlaku di Indonesia. Kartu sehat ia buat tanpa ba-bi-bu. Seperti lahir dari tangan pesulap, kartu itu muncul begitu saja. Muncul hanya dua minggu setelah ia dilantik.

Banyak yang bertanya, dari mana dana pembuatan kartu itu? Ada yang mengatakan dari CSR perusahaan, ada yang mengatakan dari perubahan anggaran 2014. Tapi jika dari CSR perusahaan, apakah itu dibenarkan? Jika dari APBN perubahan, apakah sudah sesuai prosedur dan tidak termasuk penyelewengan? Banyak pemimpin-pemimpin daerah yang dijadikan tersangka korupsi karena anggaran belanja tidak digunakan sesuai APBD yang sudah disepakati dengan DPRD, bahkan dengan kenyataan bahwa uang itu tidak diselewengkan untuk memenuhi kepentingan pribadi dan golongan.

Argumen-argumen bermunculan untuk menutupi kejanggalan itu. Katanya, perubahan nama dari BPJS ke KIS adalah wilayah teknis. Dan itu dibolehkan sesuai keputusan Mahkamah Konstitusi. Hanya saja ada satu pertanyaan yang gagal dijawab oleh Jokowi dan antek-anteknya. Kapan tender kartu itu dilangsungkan? Bukankah tender harus diumumkan minimal selama 30 hari setelah proyek diputuskan? Bukankah uang Negara yang banyak itu, yang digunakan untuk proyek itu, harus melalui tender? Agar pengawasan dan permintaan tanggung jawabnya jelas? Tidak jelas memang berapa uang yang digunakan untuk pengadaan kartu itu. Tapi mengingat luasnya cakupan kartu, patut diduga bahwa bukan lagi Miliar, tapi Triliun. Bayangkan, uang sebanyak itu digunakan dengan gegabah! Jika bukan Presiden yang punya hajat, KPK mungkin langsung sikat.

Blunder kedua  adalah Jokowi menaikkan BBM tanpa peduli dengan harga minyak dunia yang sedang turun. Alasannya, pengalihan subsidi. Subsidi untuk minyak terlalu besar dan karena itu sayang jika uang 211,9 triliun itu habis menjadi asap. Mungkin argumen ini bisa diterima. Sehingga menurutku, titik tolak pikiran kritis bukan kenapa BBM naik melainkan kepada pengalihannya. Apa peningkatan di bidang kesehatan, apa peningkatan di bidang pendidikan, di bidang pertanian, dan terutama infrastruktur? Jika poin-poin ini nyata perubahannya, it’s oke. Tapi jika tidak, lagi-lagi Jokowi sedang membuat tiang gantungannya sendiri.

Banyak analisis terkait kenaikan BBM ini (meskipun akhirnya turun lagi). Bahwa dengan menarik subsidi BBM, pemerintah sedang membiarkan Pertamina tersungkur di rumah sendiri di hadapan pengusaha minyak dunia. Pertamina bertarung dengan Shell, Petronas, dan sebagainya. Padahal untuk pertarungan itu BUMN ini belum punya kemampuan cukup. Minyak yang dia jual, masih di bawah standar.

Oleh karena itu, saat harga yang ditetapkan pemerintah tidak jauh-jauh amat dengan produk luar, sudah barang tentu masyarakat lebih memilih barang yang lebih bagus meski uang yang dikeluarkan sedikit lebih banyak. Dan terutama, penaikan BBM ini ibarat membuka terowongan besar, sebesar-besarnya, untuk pengusaha minyak global ikut berjualan di Indonesia. Selama ini mereka tidak bisa (atau sulit) masuk karena minyak Pertamina disubsidi.

Biar produk mereka lebih bagus, tapi jika Pertamina menjual bensin dengan harga yang jauh lebih murah, pengusaha minyak global ini akan kalah juga. Dan puncak dari kegaduhan ini adalah Pertamina kalah saing, bangkrut, lalu dijual ke pengusaha asing. Skenario ini bukan tanpa dasar sejarah. Di masa PDIP berkuasa (Presiden Megawati) berkuasa, Indosat dijual. Dan Jokowi, meski di masa kampanye berhasil meneguhkan diri tidak disetir Mega atau partai pendukungnya, saat ia sudah menjadi presiden, sinyal itu bermunculan tanpa bisa disumbat.

Yang paling kuingat dan kuharapkan dari salah satu program Jokowi untuk membuat “Indonesia Hebat” adalah pemilihan pejabat publik yang dilakukan melalui lelang. Program ini penting, mengingat di sanalah kunci untuk membuat pemerintahan yang sehat. Di masa lalu, pejabat-pejabat ini dibagi-bagi ke partai pendukung, atau orang dekat lingkaran kekuasaan. Jokowi datang dan memprogramkan itu. Tak berlebihan jika kupikir Jokowi adalah si penentang arus, Jokowi adalah jeda yang menghentikan tradisi politik yang tidak beretika.

Tapi belum ada setengah tahun memprogramkan itu. Jokowi mengangkat Prasetyo sebagai Jaksa Agung (20 November 2014). Orang yang tidak memiliki prestasi yang menonjol di kejaksaan. Memang pernah menjadi Jaksa Muda Pidana Umum, tapi biasa-biasa aja. Dan yang lebih menyakiti perasaan, Prasetyo adalah politisi Nasdem, salah satu partai yang menyokong Jokowi habis-habisan lewat media nasional yang dimiliki Ketua Umum Nasdem Surya Paloh. Sulit untuk tidak menduga bahwa pemilihan Jaksa Agung ini adalah titipan. Karena itu juga tak bisa dibantah kenyataan bahwa Jokowi adalah pemimpin biasa, yang disetir, dikendalikan dan boneka.

Tentu saja, sistem demokrasi mau tidak mau memang begitu. “bagi bagi kue” adalah wajar sebab menjadi akibat dari kelaziman lobi-lobi politik yang tidak bisa tidak harus dilakukan. Akan tetapi, di masa lalu, bagi-bagi jatah ini diberikan diam-diam, elegan, dan tidak begitu menyakiti perasaan. Bahkan SBY, yang dinilai gagal dan buruk dalam memerintah, sangat hati-hati dan selektif dalam memilih Jaksa Agung. Di era Jokowi, bagi-bagi kekuasaan itu terkesan brutal dan terang-terangan. Dan parahnya itu dilakukan setelah ia, dengan segala cara, meyakinkan relawan dan simpatisan untuk “tidak akan melakukan bagi-bagi kekuasaan”. Menurutnya, ekses sistem demokrasi itu tidak etis, harus diubah sebab akan memenjara siapa pun yang menduduki posisi tertinggi di pemerintahan. Dan yang paling fatal, bagi-bagi kue itu akan memunculkan berbagai kebijakan yang mengabdi pada partai dan golongan, dan tidak berpihak pada rakyat.

Masalah Jaksa Agung belum reda, tapi kebrutalan seolah mesti jalan terus! Kali ini tentang Kapolri. Proses pemilihan Kapolri yang dilakukan Jokowi tidak transparan dan kuat terkesan pesanan Mega, bukan atas dasar prestasi. Bukan atas dasar integritas si calon. Budi Gunawan, meski Jokowi sudah mendapat peringatan dari PPATK sebab memiliki potensi korup, tetap dicalonkan oleh Jokowi! Orang yang konon berupaya mewujudkan good governanceitu.

Alhasil Jokowi ditampar—mungkin diludahi—oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Sehari setelah nama BG diberikan ke DPR untuk dilakukan fit and proper test, calon tunggal Kapolri usungan Jokowi itu dijadikan tersangka kasus suap oleh KPK. Dan KPK, sekali menjadikan seseorang sebagai tersangka, tidak akan melepas orang itu. Artinya, status itu diberikan kepada siapa pun, selalu dan selalu, setelah KPK menemukan dua bukti kuat. KPK tidak sembarangan. Karena itulah, orang yang menjadi tersangka, seolah sudah pasti akan menjadi terdakwa dan terpidana. Penetapan status tersangka itu mungkin tidak pada momen yang tepat. Mungkin terkesan buru-buru dan kejar tayang hingga diasumsikan memiliki tujuan politis. Akan tetapi, apa yang publik tahu, apa yang publik rasakan terlanjur diketahui dan dirasakan. Rasa kecewa itu bukan alang kepalang. Dan politik selamanya tentang persepsi publik. Jokowi menjadi presiden sekarang pun sejatinya karena persepsi itu.

Saat Jokowi menaikkan BBM ketika harga minyak dunia mengalami penurunan, aku masih memiliki ruang prasangka baik. Mungkin dia melakukan itu benar-benar untuk kemajuan negeri; untuk pendidikan, kesehatan dan infrastruktur. Tapi saat pemilihan orang-orang nomor 1 di kejaksaan dan kepolisian begitu brutal, aku tidak punya lagi ruang itu. Ini jelas tidak benar. Aku telah mendukung dan berharap pada orang yang salah!

*) Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Mataram

OPINI

Pilihan Jalan atau Hanya Berpetualang

DETAIL.ID

Published

on

USAI sudah Pilgub Jambi 2024. Usai sudah penghitungan. Baik penghitungan lembaga survey, quick count maupun penetapan resmi dari KPU. Baik berjenjang dari KPU Kabupaten maupun penetapan akhir KPU Provinsi Jambi. Hasilnya tidak jauh berubah. Kemenangan telak diraih oleh Al Haris-Sani. Sang incumbent yang mantap dengan peraihan 60%. Jauh dari perkiraan para ahli yang banyak meramalkan hanya mampu meraih 52%-26%.

Namun apapun hasil kemenangan Pilgub, cerita dibalik pilkada yang berlangsung selama setahun terakhir banyak memberikan pelajaran. Sekaligus cerita yang bisa ditorehkan. Sekaligus diceritakan kepada generasi muda.

Pertama. Memilih Gubernur/Wakil Gubernur Jambi tentu saja tidak memilih yang terbaik. Tentu saja banyak putra-putra terbaik di Jambi.

Berbagai teori ilmu politik maupun sebagian aliran pemikiran, memilih pemimpin bak memilih seperti kaum Sofi. Kaum yang memang dilahirkan manusia suci dan mempunyai pemikiran yang sangat bijaksana.

Bahkan banyak sekali aliran agama yang menempatkan Pemimpin politik bak memilih seperti ulama. Lengkap pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan perilaku yang terpuji.

Maqom ini sering digunakan untuk menangkis terhadap calon-calon yang populer. Sekaligus membentengi diri dan melindungi kandidatnya.

Sebagai pemikiran, ajaran ataupun strategi, cara-cara ini sah saja digunakan.

Namun ditengah perkembangan zaman yang begitu pesat, strategi kampanye yang setiap Pilgub yang berbeda-beda, saya memilih dengan ukuran yang paling sederhana.

Memilih pemimpin ketika dia mau mendengarkan. Mau melaksanakan janji-janjinya yang sederhana. Sekaligus dia mau mendengarkan ketika saya mengumpat, memaki bahkan menghardik kinerja.

Dia lebih banyak mendengarkan. Dia sama sekali tidak memberikan klarifikasi ataupun bantahan terhadap apa yang saya sampaikan.

Apakah terlalu sederhana itu ? Ya. Cukup sederhana.

Di dalam berbagai kesempatan, ukuran realistis yang paling mudah dijangkau, apakah dia mau mengurusi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan.

Selama itu bisa dijangkau dengan ukuran obyektif selama itu saya tetap didalam barisan. Termasuk juga kalaupun banyak yang berlarian meninggalkannya, mungkin saya orang terakhir meninggalkannya.

Sebagai manusia, tentu saja kadangkala sering dongkol, kecewa bahkan kesal. Namun ketika seseorang mau mendengarkan gerutukkan saya, lebih banyak diam ketika saya umbarkan kemarahan, itulah kemewahan saya sebagai rakyat.

Dan ketika satu persatu pertimbangan, nasihat ataupun saran kemudian diikuti, bagiku itulah seseorang pemimpin. Menjawab dengan tindakan. Bukan sekadar janji.

Kedua. Di tengah Pilgub Jambi 2024, tentu saja ada sebagian kemudian memilih berbeda barisan. Memilih kemudian berbeda bagiku tidak terlalu mengganggu pemikiran.

Namun yang menarik pemikiran tentu saja alasan kemudian ketika pernah bersama-sama kemudian memilih berbeda barisan.

Selama memilih dengan alasan prinsip dan mendasar, tentu saja respek selalu kuhargai.

Namun ketika alasan memilih bukanlah prinsip dan mendasar dan lebih mengutamakan emosi, baper, tentu saja bagiku itu kekanak-kanakan.

Padahal kutahu sang pengabar mempunyai literatur bacaan yang kuat. Sikap dan prinsip yang selama ini sempat kukagumi. Bahkan cara penyampaian yang begitu tajam tidak salah kemudian kutempatkan sebagai tokoh panutan.

Namun ketika kutahu sang tokoh kemudian meninggalkan barisan dengan alasan (mungkin bagiku konyol) seketika respekku hilang. Berganti dengan nada sentimentil yang mendayu-dayu. Persis kayak anak ABG yang lagi galau. Ketika cuma SMS, telp ataupun WA sama sekali tidak dibalas.

Padahal di ujung telepon, sang pacar malah sibuk dengan pekerjaan rutinitas yang memang memaksa tidak memegang HP.

Yang kadangkala bikin geli, selevel tokoh (kata orang bijak sering “hatinya harus jember”), yang mewarisi sikap keteladanan bersikap kekanak-kanakan justru menjadi hiburan tersendiri. Kalaupun bukan pelajaran pahit yang menjadi perjalanan hidup.

Namun apapun yang terjadi dibalik Pilgub Jambi 2024, seleksi alam begitu kejam. Hanya orang mampu menghadapi perubahan zaman yang akan bertahan.

Selain itu mereka akan tergilas dengan kehadiran generasi milenial bahkan generasi Gen Z yang tidak kenal ampun. Melumat orang-orang cengeng di kancah politik.

Dan saya kemudian memilih. Bergabung dengan generasi milenial dan generasi Gen Z untuk menertawakan “kecengengan” kaum tua yang ketika berbicara selalu menepuk-nepuk dada.

Pilgub Jambi 2024 juga mengajarkan. Kemenangan Pilgub ketika menguasai generasi millenial dan Generasi Z.

Selamat datang, Era baru. Selamat datang generasi baru. (***)

*Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani

Continue Reading

OPINI

Kebijakan Pajak 12%: Selektivitas untuk Barang Mewah, Strategi atau Tantangan?

DETAIL.ID

Published

on

PEMERINTAH Indonesia telah mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menerapkan tarif PPN sebesar 12%. Rencana ini akan dimulai per 1 Januari 2025, sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, telah diputuskan bahwa kebijakan ini hanya akan berlaku untuk barang mewah. Banyak orang melihat kebijakan ini sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan negara dan menghalangi daya beli industri dan masyarakat tertentu.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah mengatur mekanisme pemungutan pajak atas barang-barang yang dikategorikan sebagai barang mewah. Menurut pasal 1 ayat (1) UU tersebut, barang mewah adalah barang yang dalam penggunaannya tidak memberikan manfaat langsung terhadap kelangsungan hidup atau kehidupan manusia, yang menyebabkan pengenaan pajak untuk membatasi kontribusi kelangsungan hidup atau kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengenaan pajak 12% ini dimaksudkan untuk membatasi konsumsi barang tersebut.

Pandangan Pemangku Kebijakan

Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk meminimalisir konsumsi barang mewah yang tidak bersifat esensial bagi masyarakat umum. Ia menegaskan pentingnya melindungi rakyat kecil melalui pengecualian PPN untuk barang kebutuhan pokok.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kebijakan ini sebagai langkah yang menyesuaikan tren global dalam perpajakan dengan pelaksanaan cukup diatur melalui PMK. Ia memastikan bahwa pelaksanaannya dirancang agar tidak merugikan ekonomi rakyat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mencerminkan asas keadilan. “Kami ingin memastikan barang-barang yang memiliki kontribusi lebih besar terhadap pendapatan pajak adalah barang-barang yang memang hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki daya beli tinggi,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada awal November 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)

Namun, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Mukhamad Misbakhun, mengatakan kelompok barang yang akan dikenai PPN 12 persen tersebut masih akan diseleksi. Khususnya untuk objek barang yang selama ini tergolong dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Perspektif Pemerintah: Ini adalah Pendekatan yang Mempertimbangkan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara

Kebijakan ini tentu tidak mengabaikan pandangan beberapa menteri yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan, kebijakan ini merupakan tindakan yang lebih strategis yang bertujuan untuk memastikan keseimbangan dalam pendapatan negara dan pada saat yang sama mengatur konsumsi barang-barang mewah.

Ada kalanya Sri Mulyani menguraikan masalah ini: “Pengenaan cukai dengan tarif 12 persen pada barang-barang mewah bertujuan untuk mencegah konsumsi berlebihan barang-barang mewah dan mengarahkan konsumsi pada barang-barang yang akan produktif bagi ekonomi, selain tentu saja untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk pembangunan.”

Pendapatan yang diperoleh dari pajak barang-barang mewah dimaksudkan untuk digunakan dalam meningkatkan fasilitas publik, kesehatan, dan pendidikan, serta untuk meningkatkan kebijakan fiskal yang lebih luas yang melindungi proses pemulihan pasca-covid.

Tantangan yang Dihadapi

Tetapi kebijakan ini menghadapi beberapa masalah seperti berdampak pada daya beli konsumen. Ekonom bernama Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pengenaan pajak lebih tinggi pada barang tertentu dapat berdampak pada penurunan konsumsi, terutama untuk industri yang bergantung pada penjualan barang premium.

Potensi Kebijakan Tidak Efektif: Beberapa pengamat mengkhawatirkan pengalihan konsumsi masyarakat ke pasar gelap atau pembelian langsung di luar negeri untuk menghindari pajak tinggi.

Kompleksitas Administrasi: Penetapan barang mewah dalam kategori dapat menjadi kontroversial, terutama bagi bisnis yang menganggap kebijakan ini terlalu luas.

Pengaruh terhadap Sektor dan Lingkungan Sosial

Akan tetapi, ada juga dampak negatif dari kebijakan ini, terutama untuk industri yang langsung berhubungan dengan barang-barang mewah. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kebijakan tersebut perlu diikuti oleh kebijakan lain yang lebih memperhatikan industri dalam negeri. Dalam pernyataan tersebut, beliau menekankan: “Kita harus memastikan bahwa dampak dari kebijakan berbasis pajak tidak merugikan industri lokal.” Ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran besar terkait apa yang terjadi pada berbagai sektor, terutama yang paling berisiko tidak bisa bersaing di level global.

Secara khusus pada barang mewah yang dihasilkan di Negara kita Indonesia seperti otomotif, elektronik, atau barang fashion, maka kebijakan pajak akan mengurangi daya beli masyarakat dan juga akan memperlambat laju pertumbuhan industri yang bersangkutan.

Secara keseluruhan, pemerintah menggunakan kebijakan pajak 12% pada barang mewah untuk mengontrol konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara.

Namun, kebijakan ini menghadirkan beberapa kesulitan, baik dari segi bagaimana ia diterapkan di lapangan maupun bagaimana hal itu berdampak pada sektor industri tertentu. Kebijakan ini mungkin memiliki dampak negatif yang lebih besar, terutama dalam jangka panjang, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dan melindungi daya beli masyarakat.

*Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI)

Continue Reading

OPINI

Pilgub Jambi 2024: Kemenangan Fakta, Kegagalan Propaganda

DETAIL.ID

Published

on

DALAM dunia yang semakin terjebak dalam pusaran informasi dan disinformasi, pepatah lama Belanda “All is de leugen nog zo snel, de waarheid achterhaalt haar wel” atau “Seberapa cepat pun kebohongan berlari, kebenaran akan mengejarnya” terasa semakin relevan. Di era digital saat ini, ketika informasi mampu menyebar secara viral dalam hitungan detik, ruang publik sering kali menjadi ajang pertarungan antara kebenaran dan manipulasi. Kebohongan, yang dirancang untuk memengaruhi emosi massa, dapat dengan mudah menciptakan ilusi kebenaran. Namun, meski lambat, kebenaran tetap memiliki daya tahan yang mampu membongkar kebohongan secara sistematis.

Fenomena ini tidak hanya menjadi persoalan global, tetapi juga tercermin dalam dinamika politik lokal, seperti yang terlihat dalam Pilgub Jambi 2024. Pilgub Jambi 2024 menjadi panggung nyata dari pergulatan ini. Dalam kontestasi yang panas, strategi pihak lawan tampak memanfaatkan disinformasi sebagai senjata politik untuk melemahkan kredibilitas petahana, Al Haris. Narasi negatif, fitnah personal, hingga hoaks terstruktur menyasar capaian-capaian Al Haris, seolah-olah keberhasilan yang diraihnya hanyalah mitos belaka. Di era ketika literasi digital masyarakat belum merata, pola semacam ini sering kali efektif dalam membentuk opini publik jangka pendek. Namun, strategi manipulatif ini mengabaikan satu hal mendasar, masyarakat yang telah merasakan dampak nyata dari kebijakan seorang pemimpin tidak mudah dikelabui oleh narasi kosong.

Dalam konteks ini, upaya pihak lawan untuk memanfaatkan kelemahan literasi digital di masyarakat menjadi semakin terlihat. Mereka mencoba menyulut sentimen dengan narasi bombastis, namun gagal mengukur satu hal penting, masyarakat yang telah melihat dan merasakan hasil kerja nyata memiliki dasar penilaian yang lebih konkret dibandingkan janji kosong. Program-program unggulan seperti Dumisake, peningkatan kualitas layanan publik, hingga perbaikan infrastruktur strategis menjadi bukti nyata yang sulit dibantah. Fakta-fakta inilah yang menjadi jawaban atas propaganda negatif yang dilancarkan sepanjang kampanye.

Fakta-fakta keberhasilan ini tidak hanya mampu membantah propaganda negatif, tetapi juga menjadi dasar kuat yang mendukung kemenangan Al Haris, membuktikan bahwa politik yang berlandaskan integritas dan kerja nyata tetap menjadi pilihan masyarakat. Alih-alih terjebak dalam permainan lawan yang mencoba menjatuhkannya dengan fitnah, Al Haris dan timnya tetap fokus pada narasi berbasis fakta. Mereka mengedukasi masyarakat, meluruskan informasi keliru, dan memperkuat narasi keberhasilan program-program pembangunan. Pendekatan ini bukan hanya memperkuat basis dukungan, tetapi juga mengungkap kelemahan mendasar dalam strategi lawan bahwa kebohongan, tanpa landasan fakta, tidak mampu bertahan lama.

Di sisi lain, kemenangan ini menggarisbawahi pentingnya literasi digital sebagai tameng masyarakat dari manipulasi politik. Literasi digital bukan hanya tentang mengenali hoaks, tetapi juga memahami konteks informasi dan mengevaluasi sumbernya secara kritis. Masyarakat Jambi yang semakin sadar dan kritis memberikan pesan kuat bahwa mereka tidak akan lagi menjadi korban propaganda murahan.

Kemenangan ini juga menjadi tamparan bagi politik transaksional dan oportunistik. Al Haris telah menunjukkan bahwa politik yang berakar pada kinerja dan komitmen jangka panjang terhadap rakyat adalah senjata paling ampuh dalam melawan politik hitam. Dengan menjadikan fakta dan transparansi sebagai fondasi utama kampanye, ia tidak hanya berhasil meraih kepercayaan rakyat, tetapi juga memberikan standar baru dalam praktik politik lokal. Pilgub Jambi 2024 mengajarkan bahwa politik harus kembali ke esensinya melayani rakyat, bukan memanipulasi mereka.

Pada akhirnya, kemenangan Al Haris adalah cerminan dari sebuah prinsip abadi, kebenaran mungkin tertunda, tetapi ia tidak pernah kalah. Ini adalah pengingat bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk melihat melampaui kabut propaganda, menuntut integritas dari para pemimpin mereka, dan menolak jebakan politik usang yang menjual kebohongan untuk keuntungan sesaat. Pilgub Jambi 2024 bukan sekadar kemenangan politik, tetapi sebuah kemenangan moral yang mencerminkan kedewasaan masyarakat dalam menilai pemimpin mereka berdasarkan kinerja nyata, bukan retorika palsu. Kemenangan ini menegaskan bahwa era manipulasi tanpa batas telah usang, dan kebenaran, dengan segala kekuatannya, akan selalu menemukan jalannya untuk mengalahkan kebohongan, membawa harapan baru bagi masa depan yang lebih baik.

Selamat atas kemenangan Al Haris dan Abdullah Sani dalam Pilgub Jambi 2024. Kemenangan ini bukan hanya refleksi dari kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan yang telah terbukti, tetapi juga harapan besar akan kelanjutan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan amanat rakyat yang kini berada di pundak, semoga pasangan Haris-Sani dapat terus menjunjung tinggi kepemimpinan yang berlandaskan integritas, transparansi, dan komitmen nyata terhadap pembangunan. Dedikasi mereka dalam melayani masyarakat Jambi diharapkan dapat terus menginspirasi, memperkuat kebersamaan, dan memperkokoh fondasi kemajuan. Semoga kepemimpinan yang baru ini membawa perubahan positif yang nyata, meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, dan menjadikan Jambi semakin mantap di segala bidang. Lanjutkan.

*Akademisi UIN STS Jambi

Continue Reading
Advertisement