Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) sejatinya punya misi yang ideal dalam mengawal proses pembangunan agar para pihak terkait merasa “nyaman” bekerja. Lembaga itu punya tugas mulia berupaya mengawalnya dengan cara-cara preventif.
Mereka memberi penyuluhan hukum kepada instansi pemerintah terkait dengan materi tentang tindak pidana korupsi pengadaan barang dan jasa administrasi pemerintah dan pengelolaan keuangan negara.
Kemudian, mereka berdiskusi dengan instansi pemerintah daerah/SKPD untuk mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dalam penyerapan anggaran serta memberi penyuluhan hukum – baik inisiatif TP4D maupun atas permintaan instansi yang membutuhkan.
Bahkan, TP4D memberikan pendampingan hukum bagi pejabat birokrasi dan pejabat pengelola keuangan dan anggaran dalam setiap tahapan proyek dari awal sampai akhir. Hingga akhirnya berkoordinasi dengan aparat pengawasan internal pemerintah atau inspektorat apabila ada temuan penyimpangan dalam pelaksanaan proyek.
Namun pertanyaannya apakah sejak keterlibatan TP4D lantas semua pekerjaan proyek pembangunan menjadi berjalan maksimal?
Saya berpandangan yang terjadi justru sebaliknya. Saya menilai pertama, TP4D justru menciptakan celah dan menimbulkan polemik, terutama dalam proses penanganan dan penegakan hukum bagi para koruptor. Potensi persekongkolan proyek pembangunan di daerah justru berpotensi semakin marak.
Kedua, sejak terbentuknya TP4D yang bertujuan untuk mengoptimalkan penyerapan anggaran ini, tindakan atau perbuatan yang menyebabkan kerugian keuangan negara tidak lagi dianggap sebagai masalah pidana melainkan cukup diselesaikan lewat proses perdata.
Sedangkan penanganan perkara ringan terkait penyerapan anggaran yang terindikasi merugikan keuangan negara, akan ditangani secara internal oleh jajaran Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota dan Pemerintah Kabupaten melalui pemeriksaan dan penyidikan oleh pihak inspektorat.
Padahal tujuan awal pembentukan TP4D sebagai upaya pemerintah pusat dalam mengoptimalkan penyerapan anggaran. Namun kenyataan di lapangan, penyerapan anggaran tidak mampu mencapai 100 persen.
Kejaksaan dikhawatirkan hanya menggunakan tim Pengawal, Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) sebagai alat untuk bernegosiasi dengan kontraktor maupun dari pihak penyelenggara negara yang bermasalah. Tidak ada kasus dugaan korupsi yang diselesaikan sampai putusan hakim tindak pidana korupsi.
Terbukti, beberapa proyek yang diawasi TP4D justru bermasalah. Sejumlah proyek molor karena pengawasan Kejaksaan Negeri yang kurang maksimal misalnya. Bukankah semestinya ketika proses pekerjaan itu diawasi sejak awal justru hasilnya akan maksimal? Lantas kenapa masih ada pekerjaan yang progres fisiknya hanya mencapai 20 persen sampai kontraknya berakhir?
Penegakan hukum tindak pidana korupsi agaknya tidak memberi efek jera dan mengubah perilaku para koruptor. Meskipun banyak Operasi tangkap tangan (OTT) kasus korupsi sudah disidang dan diadili, toh tidak membuat pelaku jera! Tindakan represif dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi selama ini ternyata tidak menyelesaikan masalah.
Upaya pelemahan pemberantasan korupsi bisa juga dari pendekatan kekuasaan. Undang-undang Korupsi harus menghukum pelaku seberat-beratnya. Tujuan penegakan hukum adalah mengembalikan aset negara demi kesejahteraan rakyat. Aparat penegak hukum harus memiliki integritas, akuntabilitas dan transparansi dalam penindakan.
Jika itu dilakukan dengan baik, pendapat publik bahwa TP4D justru menjadi “biang kerok” pelemahan hukum akan terbantahkan!
*) Penulis adalah pengamat infrastruktur