TEMPIAS
Jurnalisme di Bumi Manusia

–Tantangan jurnalisme sekarang adalah memisahkannya dari produk seakan-akan jurnalisme–
“Bumi Manusia” adalah istilah yang saya pinjam dari judul novel Pramoedya Ananta Toer yang sekarang hangat dibicarakan di “Bumi Indonesia” karena akan difilmkan.
Bumi Manusia adalah tempat makhluk hidup bernama manusia yang dalam kesehariannya menggunakan akal pikiran atau logika. Sedangkan manusia yang derajat intelektualnya lebih tinggi menggunakan pikirannya untuk berdialektika.
Orang Minangkabau mencatatkan diri sebagai manusia yang berpikir melalui falsafah. Dalam bahasa yang sedikit kasar, mereka mengatakan jika akan bicara hendaknya membuka mulut terlebih dulu (“mangango dulu ka mangecek”). Artinya, pikirkan dulu masak-masak sebelum mengeluarkan kata-kata.
Ketika hendak memutuskan sesuatu, mereka mengatakan harus bersilang kayu maka hiduplah api. Tidak ada silang-kata, berdiskusi, yang akan membuahkan sesuatu yang berguna. Yang akan menyelesaikan urusan ekonomi yang paling utama, yaitu makanan. “Bulek kato dek mufakat”, satu keputusan akan didapatkan dengan bermusyawarah, beradu kata untuk mencari solusi.
Semuanya menggariskan bahwa kata, berkata-kata, menyampaikan pikiran, saling adu argumentasi, dialektika adalah puncak dari peradaban, itulah Bumi Manusia. Tempat orang-orang berpikir hidup sama tinggi dan sama rendah, tanpa kekerasan. Ini sejalan dengan prinsip demokrasi.
Potret Bumi Manusia Hari Ini
Media sosial memperlihatkan api jika sedang membahas agama dan kekuasaan, seperti pemilihan presiden. Kubu-kubuan telah melahirkan “pokoknya”, menuntaskan suatu posisi sebelum adu argumentasi dan berbeda pandang. Komentar di bawah berita media pers siber penuh dengan caci-maki.
Air telah duluan berpisah sebelum ke pembuluh. Kayu sudah duluan terbakar sebelum masuk tungku. Dialektika masih jauh dari tempat yang dituju.
Ini adalah fenomena “culture shock”, gegar budaya yang menjangkiti umat “Bumi
Indonesia” karena tiba-tiba Anda yang tidak siapa-siapa bisa menyampaikan pikiran dan berbagi apapun melalui sebuah media. Sebelumnya hanya orang-orang terpilih yang bisa menulis di koran, orang-orang memiliki minat dan kecukupan bisa memotret, apalagi mengambil video untuk disiarkan di televisi.
Lalu semua orang bisa menulis, memotret, membuat video, juga tentang dirinya, dan dibaca siapa saja lewat media massa. Tidak ada orang lain yang “membimbing” Anda, seperti dulu jika ingin naskah kita diterbitkan mesti melewati redaksi. Ada suatu standar yang harus dilewati.
Inilah Abad ke-21 yang ditandai dengan “sirine” datangnya era Teknologi Informasi. Dunia maya menjadi dunia nyata. Penyebaran informasi yang sebelumnya dilakukan melalui “gatekeeper” atau penyeleksi informasi (redaksi), akhirnya tidak diperlukan lagi.
Siapa saja bisa memiliki media sendiri dan memproduksi informasi sendiri. Terserah apakah ia memiliki informasi yang dipercaya dan layak dikonsumsi atau sama sekali tidak.
Layak dipercaya dan layak dikonsumsi adalah dua hal yang berbeda, yang satu adalah fakta, satu lagi adalah pantas.
Juga terserah apakah pendapatnya masuk akal dan berdasarkan pengetahuan yang memadai atau asal-asalan. Gaya lama telah bubar, yaitu seseorang yang menganggap dirinya tidak patut berbicara dengan orang yang level pengetahuannya lebih tinggi dan orang yang lebih tinggi tidak pantas berbicara dengan orang yang level pengetahuannya di bawah, apalagi jauh di bawah.
Gatekeeper telah beralih ke setiap indidvidu, ke konsumen itu sendiri. Andalah editor terhadap semua pesan yang masuk, Andalah yang menentukan apakah itu harus dijadikan pegangan, sebarkan, atau hanya dijadikan sampah.
Akibatnya, informasi palsu atau “hoax” menyebar secepat penyebaran berita dari jurnalis profesional, hasil penelitian ilmuwan terkemuka, atau pendapat pakar. Hoax, tentu saja adalah satu bentuk kemasan untuk sensasi. Informasi sensasi, bagaimanapun pasti menarik minat banyak orang.
Informasi palsu pasti sama usianya dengan peradaban manusia. Itu dilakukan untuk banyak tujuan untuk kepentingan sendiri, seperti kekuasaan, kekayaan, agama, dan kemegahan. Di Indonesia informasi palsu pada masa lampau pernah diceritakan Marco Polo, seorang pengelana dari Venesia pada abad ke-13 atau awal tahun 1290-an.
Polo mengisahkan tentang penemuan yang menghebohkan Eropa, yaitu bukti adanya manusia mini yang disebut Pigmi yang telah diawetkan dari Hindia (Nusantara).
“Saya beritahu Anda bahwa mereka yang mengaku telah membawa orang-orang pigmi dari Hindia terlibat dalam penipuan dan kebohongan besar. Saya yakinkan Anda bahwa yang disebut manusia pigmi diciptakan di pulau ini (Sumatra) dan akan saya beritahu caranya.”
Sesungguhnya, tulis Polo, ada semacam monyet di sini (Sumatra) yang ukurannya sangat kecil dan berwajah seperti manusia. Jadi manusia mengambil beberapa ekor monyet ini dan menggunduli seluruh bulu mereka dengan sejenis salep.
Hoax ada sejak manusia pandai berkomunikasi dan membutuhkan penipuan untuk kepentingannya. Media tanpa “gatekeeper” membantu penyebarannya. Itu bukan berarti media yang memiliki “gatekeeper” juga terbebas dari informasi palsu.
Terkait dengan kemudahan akses informasi ini atau informasi setara untuk semua, juga muncul problem. Manusia adalah makluk yang suka informasi “bizzar” atau “bizarre”(aneh), syahwat (putri yang cantik, bidadari, dan seksualitas), serta humor. Ketiganya bila disatukan akan menjadi pembahasan jutaan orang di abad ini.
Tapi, ketiganya adalah informasi orang kebanyakan. Bukan konsumsi kaum intelektual. Butuh humor tingkat tinggi untuk membuat seorang intelektual tersenyum.
Potret Pers Hari Ini
“Koran tiba suatu pagi, tapi ada yang kurang. Tidak ada tukang koran yang melemparkan koran ke halaman rumah yang temaram, tak terdengar bunyi berisik jatuhnya koran. Malah korannya pun tak ada,” tulis Vic Sussman dalam buku “Pers Tak Terbelenggu”, suatu terbitan untuk memperkenalkan pers di Amerika Serikat oleh Dinas Penerangan Amerika Serikat (USIS).
Yang menarik adalah tulisan ini diterbitkan pada 1997, 21 tahun silam. Ini adalah periode awal gelombang media siber menghantam bisnis pers di dunia, terutama Amerika Serikat. Tahun demi tahun, teknologi informasi semakin maju yang mempermudah semua orang mengakses informasi.
Semua orang kini bisa menjadi produser dan konsumen berita. Dunia jurnalisme mendapat tantangan baru. Iklan sebagai penopang bisnis media konvensional, cetak, radio, dan televisi, tergerus sedemikian rupa. Iklan mulai melirik ‘penyedia jasa’ media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan Youtube. Iklan selalu mengejar tempat di mana banyak pembaca atau konsumen yang dalam bahasa koran ditentukan oleh oplah.
Media siber sebagai “kupu-kupu” yang umumnya lahir dari kepompong media cetak, mencari bentuk baru pelayanan informasi kepada publik: ia dipengaruhi kecepatan penyajian, banyaknya klik, dan komentar di bawah berita.
Sementara media sosial menjadi keasyikan bagi siapa saja, termasuk para jurnalis sendiri. Persoalan baru pun muncul karena konflik ini, jurnalis digugat karena postingannya di media sosial.
Apa yang terjadi hari ini? Berikut adalah beberapa gambaran:
- Media cetak hidup dalam kegamangan “senjakala media”, gamang karena ditinggalkan pembaca dan tentu saja yang paling penting adalah ditinggalkan pemasang iklan. Halaman berlangganan dengan pemerintah adalah tren untuk bahan bakar terakhir pada banyak media cetak. Pada saat pilkada berlangsung, juga ada media cetak yang teken kontrak berita dengan kontestan pemilu.
- Berita media cetak mulai dipengaruhi isu-isu di media sosial.
- Jurnalis malas melakukan verifikasi, mengutip sumber-sumber yang tidak relevan, dan menjadi corong tokoh-tokoh kontroversial tanpa isi.
- Media siber berlomba memburu klik dan rating, ini adalah modal bagi mereka untuk meyakinkan pemasang iklan (dulu di koran adalah oplah, kemudian rating di dunia televisi).
- Jurnalis dibayar berdasarkan klik: jurnalis memburu klik, apa yang akan diklik pembaca lebih banyak itulah akhirnya yang dipikirkan ketika mencari angle.
- Yang menarik semakin jauh dari yang penting. Penting adalah tujuan utama jurnalisme, penting bagi publik.
- Mengutip media sosial sebagai sumber berita, tanpa konfirmasi atau yang lebih parah menjadikan tanggapan orang di media sosial sebagai bahan berita dengan label “reaksi netizen”.
- Yang BIZZAR (aneh) semakin dikejar meski terkadang jauh dari akal sehat.
- Eksploitasi kasus seksual dijadikan ladang klik.
- Redaksi menerima siaran pers (press release) sama dengan publik di media sosial.
- Siapa saja menginformasi (memberitakan) suatu peristiwa, termasuk berita tentang dirinya sendiri. Pejabat memposting ia dilantik. Berita seperti itu diproduksi setiap hari meski banyak yang sepotong (kurang unsur berita).
- Lembaga dan pejabat atau humas langsung menerbitkan informasi tentang mereka.
- Media asing semakin menjajah: Facebook, Youtube, Instagram, UCNews, dll mencuri iklan lokal.
Informasi seakan-akan itu produk jurnalisme berhamburan ke hadapan publik. Produk ini tidak hanya diproduksi oleh warga biasa, warga yang sudah mendapatkan pelatihan jurnalistik (jurnalis warga), tetapi juga tak kalah banyak oleh jurnalis sendiri.
Dalam kondisi seperti ini muncul pertanyaan: bagaimana masa depan pers atau jurnalisme? Apakah orang masih menunggu diliput oleh media? Apakah orang menunggu informasi dari jurnalis? Kenapa?
Jurnalis Adalah Intelektual
Dalam kondisi seperti inilah justru seharusnya jurnalis hadir sebagai sosok intelektual. Sebagai “sang pencerah” yang menunjukkan jalan terang di tengah kegelapan di “Bumi Indonesia”, sehingga bisa tercipta menjadi “Bumi Manusia”.
Intelektual, seperti dikutip dari buku Edward W. Said, “Peran Intelektual” (YOI: 1998) adalah “pencipta sebuah bahasa yang mengatakan yang benar kepada yang berkuasa”. Ia semacam orang yang berpikir, filsuf, dan menyampaikan kebenaran meskipun pahit. Ia orang independen dalam berpikir terkait dengan keilmuannya.
Pada 1968 segerombolan intelektual, terutama dari kampus, masuk ke media massa menjadi jurnalis, pembawa acara dan tamu talkshow, penasihat, manajer, dan sebagainya.
Meski ia dituduh “terdomistikasi” atau terkekang oleh kepentingan yang bersifat praktis dan menyesuaikan diri dengan keinginan khalayak, namun ini peran sadar untuk memanfaatkan media massa untuk perubahan menjadi masyarakat yang berpikir, yang kritis.
Orang-orang yang independen, kritis, dan berakal sehat perlu menjalankan media agar fungsi pers sebagai gerbong menuju kehidupan manusia yang lebih baik bisa berjalan dan kehidupan demokrasi tetap terpelihara. Apalah artinya pers tanpa orang-orang semacam ini.
“Tanggung jawab sosial para jurnalis, paling tidak dalam demokrasi, adalah untuk memperhatikan dan melaporkan peristiwa-peristiwa dan isu-isu penting yang perlu diketahui warga agar mereka dapat secara efektif mengatur diri mereka sendiri,” kata Kovach dan Rosenstiel (2001).
Lalu apakah kaum intelektual ini bisa menjadi jawaban terhadap kondisi pers atau jurnalisme di tengah gempuran “peradaban baru” Teknologi Informasi? Di tengah gempuran siapa saja bisa melaporkan dan memproduksi informasinya sendiri?
“Teknologi baru bukan pengganti keterampilan dan nilai jurnalistik,” kata editor lama, Robert Giles. “Kemampuan untuk menyaksikan dan mengumpulkan data tidak membuat seseorang menjadi jurnalis”.
“Yang membedakan ‘semua orang’ dengan jurnalis ialah pemahaman etika. Tugas media bukan menjaga ‘teritorinya’ dengan mengatakan saya jurnalis, dan Anda bukan,” kata Ati Nurbaiti.
Jadi, mari kita singkirkan kekhawatiran bahwa “siapa saja” bisa menggantikan peran seorang jurnalis profesional dan media sosial bisa menggantikan media pers, sejauh yang dipraktikkan adalah jurnalisme yang sebenarnya. Bukan sekadar legalitas formal bahwa media itu terdaftar sebagai perusahaan pers di Dewan Pers dan jurnalisnya memiliki sertifikat kompeten.
Dus, terlebih para “penggerak” jurnalisme tersebut menjadikan dirinya intelektual, sang pencerah. Seorang intelektual tidak akan menghambakan dirinya menjadi corong seorang tokoh yang “asbun” (asal bunyi), hadir sebagai perekam yang pasif, mengejar keanehan, dan berlebihan melakukan komersialisasi jurnalisme.
Semoga kita terus bersemangat menciptakan “Bumi Manusia”.
*)Syofiardi Bachyul Jb, anggota AJI Padang dan Ketua Majelis Etik Nasional AJI
TEMPIAS
Keretaku

SUARA sirine kereta api mengagetkanku. Tiba-tiba kereta berhenti perlahan di Stasiun Prupuk, penumpang dengan barang bawaan turun satu persatu keluar Stasiun Tegal, aku turun sambil mengendong tas sandang berisi pakaian untuk bekal di kampungku beberapa hari, sementara tangan kiriku membawa tas berisi makanan ringan sisa perjalanan dari Jogjakarta pagi tadi.
“Tunggu aku, jalannya pelan saja, kakiku sedikit lelah,” ujar istriku sambil memegang lengan kiriku.
Perjalanan yang memakan waktu hingga empat jam, terasa begitu lama apalagi kami berdua duduk di kursi yang menghadap belakang, sehingga selama dalam perjalanan di dalam kereta kurang nyaman, sebab tidak bisa melihat pemandangan alam di sepanjang perjalanan.
“Cari saja bus atau becak, biar kita lekas sampai rumah nenek,” ujar istriku lagi.
Tubuh letih langsung keluar Stasiun Prupuk, untuk mencari kendaraan, tiba-tiba ponselku berbunyi, nama ponakanku muncul di layar androidku. Langsung kuangkat di sudut telepon terdengar suara ponakanku menanyakan sudah sampai mana.
“Ini baru saja turun dari kereta, masih menunggu kendaraan,” ucapku.
“Biar dijemput saja. Abang tunggu barang sebentar aku sampai membawa mobilku,” terdengar suara adikku di ujung telepon.
Seperempat jam perjalanan dari stasiun menuju rumah kakekku, tak kusangka jika kepulanganku kali ini sudah mereka tunggu, bukan hanya bertanya soal kabar keluarga saja tetapi bertanya kesehatan anak-anakku juga.
Tiba di rumah kakekku, tak banyak yang berubah rumah yang dulu kami tempati bersama ayah dan ibu serta kakakku, masih terlihat dinding rumah tua yang berbahan dasar batu bata masih kokoh, hanya saja beberapa sudut ada semen yang sudah mulai ambrol, menandakan bahwa bangunan itu sudah sangat tua dan lama ditempati.
“Di belakang rumah ini dulu, engkau bersama adikmu pernah bermain air, tapi sayangnya sawah yang luas, yang ada kandang babi milik orang keturunan sudah ditimbun dan dijadikan perumahan,” kata kakek sambil duduk di kursi kayu di belakang rumah di bawah pohon mangga.
“Selokan air yang dulu sering untuk bermain, kini sudah tertutup tanah dan hanya ditumbuhi rerumputan liar, bahkan setiap kali hujan lebat lokasi belakang rumah jadi banjir,” keluhnya.
Tubuh tua itu terlihat sudah sedikit kepayahan untuk bangun dari kursi kayu, dengan gerakan perlahan lelaki tua yang dulu dikenal sangat kekar, hanya menyisakan garis-garis kekarnya saja.
Ku pandangi punggung lelaki tua itu, dengan penuh kenangan, betapa tidak dulu saat aku kecil pundak kekar itu jadi tempat ternyaman untuk sekedar digendong dan diletakkan tubuh mungilku di pundaknya.
Ya sosok lelaki tua itu, sangatlah mirip dengan ayahku yang berperawakan kekar dan sangat tegas terhadap keluarganya, terdengar air dalam sumur seperti tengah ditimba, bergegas aku menghampiri di dapur rumah nenekku, langsung saja kuraih tangan renta itu dan kuganti dengan tangan untuk menimba air sumur.
“Sudahlah, istirahatlah ajak istrimu itu masuk ke dalam rumah, kasihan sangat jauh perjalanan menuju rumah nenek, biarkan kusiapkan air hangat untuk membuat minuman hangat,” ungkap kakek.
Malam berlalu, suara jangkrik di samping kamarku terdengar jelas. Lamat-lamat suara Gending Jawa dari radio tua terdengar dari belakang rumah, ya..kakekku masih suka duduk menyendiri di belakang rumah. Ku Dekati kakek. Sedikit terkejut kakek berpindah posisi duduknya.
“Dulu ayahmu memiliki tujuh saudara, setelah besar mereka berpencar mencari kehidupan agar mereka bisa hidup layak, dari semua cucuku yang ada hanya dirimu yang sering ke rumah kakek, wajahmu mirip sekali dengan wajah almarhum ayahmu, Nak,” ucap kakek sambil membelai kepalaku.
Ada buliran hangat di pelupuk mata jatuh melewati pipiku, ingatanku kembali melayang mengingat almarhum ayah, yang saat itu masih gagah, memenuhi permintaan ibuku yang tengah menyiram adikku, permintaan ibuku sangat aneh menurutku, sebab ibu meminta ayah untuk mencarikan kodok hijau di sawah yang sudah selesai dibajak menunggu ditanami padi.
Untuk menuruti permintaan ibuku, ayah menyiapkan peralatan untuk mencari kodok di belakang rumah kakekku, dengan menggunakan lampu minyak, dengan pelan-pelan ayah mulai mencari kodok, berharap bisa mendapatkan beberapa ekor kodok untuk bisa dibawa pulang untuk memenuhi permintaan ibuku yang tengah hamil adik bungsuku dengan wajah riang ayah pulang membawa enam ekor kodok hijau yang didapatkan di sawah kemudian dibersihkan dan diserahkan ibuku untuk dijadikan lauk makan ibuku.
Sosok ayah yang begitu gagah, berperawakan kekar serta memiliki kumis tebal, ayah terlihat begitu gagah dan berwibawa, kasih sayang ayah dan cara ayah merawat anak-anaknya tinggallah kenangan bagiku, tiba-tiba tangan kakek membuyarkan lamunanku, dan memintaku untuk masuk ke dalam rumah sebab sudah tengah malam, sementara istriku yang kelelahan tengah tertidur pulas sekali.
Aku bersimpuh di depan kakekku, aku berpamitan untuk kembali ke rumahku, lagi-lagi lelaki tua itu membelai kepalaku dengan lembut, entah doa apa yang diucapkan di atas kepalaku, tapi aku yakin bahwa doa terbaik dipanjatkan kakekku.
Kursi kereta yang ku tumpangi terasa bergoyang, saat melintasi relnya, sementara di depanku dua ibu-ibu terdengar asyik ngobrol, sementara istriku yang duduk di sampingku masih menyandarkan kepalanya di pundakku.
“Banyak kenangan masa kecil dan masa bahagia yang di tinggalkan di rumah kakek, semoga saja kita bisa kembali mengunjungi kakek,” ucap istriku pelan.
Kereta melaju hingga stasiun terakhir, sejuta kenangan dan lelahnya istriku kubawa kembali ke rumahku….
Sanggar Imaji Tegal, 2 November 2023
OPINI
Erick Thohir, Politik dan Sepak Bola

PADA AKHIR tahun 2017, George Weah menorehkan sejarah dunia. Weah, mantan pesepakbola pertama di dunia yang berhasil menjadi presiden pertama. Mantan pemain terbaik dunia tahun 1995 itu menjadi Presiden Liberia.
Memang tidak banyak pemain sepakbola yang setelah pensiun berhasil menjadi politisi. Selain Weah ada pula Romario, Kakha Kaladze dan legenda sepakbola dunia, Pele.
Romario, salah satu pemain kunci Brasil pada Piala Dunia 1994, menjadi politisi yang menonjol di negaranya. Pada tahun 2010, Romario terpilih menjadi anggota senat Brasil dengan suara terbanyak yang pernah diterima seorang kandidat yang mewakili Rio de Janeiro.
Lalu Kakha Kaladze, pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Georgia dan menduduki kursi Menteri Energi. Kini mantan mantan bek Milan itu menjadi Wali Kota Ibu Kota Georgia, Tbilisi.
Lain pula kisah Pele. Setelah sukses membawa skuat Samba merebut tiga kali Piala Dunia, Pele didaulat menjadi Menteri Olahraga Brasil pada 1995 hingga 2001. Kala itu, salah satu fokus utama Pele, melenyapkan praktik-praktik korupsi dalam dunia persepak bolaan di Brasil. Tak heran, sempat pula muncul sebutan “Hukum Pele” dalam dunia olahraga Brasil.
Hari ini, Indonesia juga kembali mencatat sejarah. Menteri BUMN, Erick Thohir terpilih menjadi Ketua Umum PSSI. Ini keempat kalinya seorang Menteri menjabat posisi yang sama. Sebelumnya adalah Maladi pada tahun 1950. Ia dipilih menjadi Ketua Umum PSSI saat masih menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga.
Kedua, Azwar Anas pada tahun 1991 saat ia menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Ketiga adalah Agum Gumelar. Ia terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, juga saat menjabat Menteri Perhubungan. Keempat adalah Erick Thohir. Bedanya, Erick Thohir berlatar belakang pengusaha, sementara kedua pendahulunya berlatar belakang militer. Sementara Maladi adalah mantan kiper Timnas Indonesia.
Bicara sepakbola dunia, punya fenomena yang luar biasa. Didier Drogba, mantan pemain Chelsea mampu mendamaikan perang saudara di negaranya, Pantai Gading. Usai menahan imbang Mesir 1-1 pada tahun 2005 sehingga Pantai Gading akhirnya lolos ke putaran final Piala Dunia 2006 Drogba langsung berpidato memberikan pernyataan yang sangat luar bisa.
“Masyarakat Pantai Gading. Dari utara, selatan, tengah dan barat, kami membuktikan hari ini bahwa semua warga Pantai Gading dapat hidup berdampingan dan bermain bersama dengan tujuan yang sama, untuk lolos ke Piala Dunia,” kata Drogba.
Pidato Drogba efektif. Dua kubu yang saling berperang akhirnya melakukan gencatan senjata serta berunding hingga akhirnya berdamai. Perang usai.
Semangat Drogba ini perlu kita bawa ke negeri kita. Jutaan warga Indonesia merindukan prestasi PSSI dan Timnas Indonesia. Jutaan warga Indonesia berharap banyak pada kepemimpinan Erick Thohir.
Erick Thohir memang suka bola. Namanya mulai melambung sejak membeli saham Inter Milan pada tahun 2012 dan menjabat Presiden klub hingga 2016. Selain Inter Milan, Erick juga memiliki saham di DC United – salah satu klub sepak bola yang berkiprah di MLS Amerika Serikat.
Tak hanya itu, saat ini ia bersama Anindya Bakrie menjadi pemilik Oxford United. Erick juga menjadi pendiri sekaligus pemilik klub basket Satria Muda. Prestasi Erick menyelenggarakan Asian Games 2018 banyak dipuji sehingga ia ditunjuk sebagai Menteri BUMN pada tahun 2019 hingga kini.
Atas rekam jejak dan popularitasnya itu, tak heran Erick Thohir dinilai mumpuni membenahi sepakbola Indonesia. Ada banyak PR yang sudah menunggu di depan mata. Tragedi Kanjuruhan, melanjutkan kembali Liga 2 dan Liga 3 serta menerapkan kembali sistem degradasi di Liga 1.
Sebelum terpilih, Erick Thohir berjanji lima hal. Pertama, melanjutkan Liga 2 dan Liga 3 yang saat ini dihentikan Exco lama PSSI. Kedua, menerapkan VAR di Liga 1 musim 2023/2024. Ketiga membenahi kualitas wasit. Keempat, membangun Training Center untuk Timnas Indonesia. Kelima, mengejar ketertinggalan dari negara lain.
Tampaknya Erick meniru Pele. Hendak bersih-bersih di tubuh PSSI.
Sayangnya Erick tak menyinggung soal pembinaan sepak bola usia dini. Hal yang tak kalah penting di tengah maraknya Sekolah Sepak Bola (SSB) di seluruh penjuru nusantara meski masih minim kompetisi.
Tengoklah di Liga Anak Nusantara U-11 dan U-13 yang digelar di Yogyakarya pada 25-27 Januari 2023 di Yogyakarta, Jawa Tengah. Minim publikasi dan tidak digelar dengan baik. Alhasil, penyelenggaraan U-13 hanya sebatas delapan besar. Kita ingin punya timnas senior yang berkualitas tetapi belum serius membenahi sepak bola usia dini. Kita ingin prestasi yang instan.
Kursi Ketua Umum PSSI periode 2023-2027 jelas menggiurkan untuk mendongkrak popularitas. Mengingat tahun ini akan digelar Piala Dunia U20 di Indonesia dan Pemilu 2024.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai bahwa majunya Erick Thohir menjadi Ketum PSSI tidak terlepas dari kesempatannya menjadi calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu 2024. Sebab, selama ini dalam beberapa survei, elektabilitas Erick sebagai cawapres cukup tinggi.
Survei yang dirilis oleh Poltracking pada Desember 2022 menunjukkan bahwa Erick menjadi sosok cawapres dengan elektabilitas tertinggi di angka 15,5 persen. Ia mengungguli beberapa tokoh lain, seperti Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Sandiaga Uno.
Masalahnya, mungkinkah dalam waktu yang singkat, Erick Thohir bisakah membawa perubahan dalam tubuh PSSI dan memenuhi janji-janjinya?
Posisi Ketua Umum PSSI memang kerap kali diincar para politisi Indonesia. Ada yang menduga, Erick Thohir aji mumpung. Mumpung posisi itu kosong, ia ambil. Jika berhasil memimpin PSSI, setidaknya elektabilitasnya untuk 2024 akan melonjak.
Erick Thohir sepertinya melihat peluang sepakbola untuk mengantarkannya menjadi pemenang Pilpres 2024.
Pertanyaan kemudian, berhasilkah Erick Thohir menjadi pemenang di PIlpres 2024 mendatang? Barangkali Pak Erick Thohir berprinsip, bola itu bundar. Siapa pun bisa jadi pemenang, tergantung situasi di lapangan.
*jurnalis dan tinggal di Jambi
TEMPIAS
Selamat Jalan Kawan

KEMARIN aku masih menangisi kepergianmu kawan. Hari ini, aku mulai kuat. Mulai mengikhlaskan kepergianmu. Bukan apa-apa. Baru dua hari kulihat kau bahagia dilantik menjadi Komisioner Informasi Publik tapi kemarin siang tiba-tiba kabar duka itu datang.
Engkau pergi dalam suasana indah. Hari Jumat, saat khatib berceramah. Kau dikabarkan mendadak roboh, berpakaian favoritmu selama kukenal. Aku tanya istrimu di depan jenazahmu, kau mendapat serangan jantung. Begini caramu pergi. Di hari yang diimpikan semua umat Islam. Saat ibadah Salat Jumat.
Masalahnya, kabar itu benar-benar bikin dadaku sesak. Aku tak percaya, secepat itu kau pergi. Usai menginjakkan kaki pertama kalinya di kantormu yang baru pula. Hanya sehari kau menikmati ruangan barumu.
Aku mengenalmu kalau tak salah pada tahun 2013. Di sebuah acara pelatihan di sebuah hotel. Tiga atau empat tahun kemudian kita mulai akrab. Kita mulai sering nongkrong di Warung Feri di samping GOR Kotabaru, sampai larut malam.
Kita ternyata satu visi dalam mengelola media, bagaimana cara memandang jurnalisme. Mediamu jauh lebih tua ketimbang usia mediaku yang baru seumur jagung. Kau bahkan sering memberiku masukan agar kita bisa menghadapi zaman yang berkejaran dengan kecepatan. Soal itu, kau selalu lebih pintar. Kau mendalaminya. Pokoknya kau jagonya. Aku banyak terinspirasi dengan ide-idemu.
Kita bahkan semakin dekat selama periode tahun 2020 hingga 2021. Kita dalam satu tim, bersama teman kita satu lagi, Ali Monas. Kita bertiga bersama teman-teman lain sering tertawa bersama, saling berdebat, saling belajar. Ah, banyak sekali yang kita bahas setiap hari. Dan satu hal kusuka adalah kita tak pernah berdebat di media sosial. Kita berdebat secara langsung. Kita bahkan saling tahu ketika suasana hati kita sedang tak elok. Kita benar-benar tulus berteman.
Hanya saja, periode itu maafkan aku teman. Sekali lagi maafkan aku yang kadang bicara terlalu keras. Cerewet soal tubuhmu. Aku khawatir melihat tubuhmu yang rentan. Beberapa kali kau jatuh sakit. Kesehatanmu makin menurun. Bahkan, kau pernah dilarikan ke rumah sakit. Aku benar-benar sedih.
Yang terkadang aku bingung adalah soal sikap kepasrahanmu. Melihat sikapmu itu, sering kali aku memilih diam. Terutama akhir-akhir ini. Kita mulai jarang bertemu dan mulai jarang bicara. Kita mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Saat kau tiba-tiba datang dan bilang bahwa kau maju di Komisi Informasi Publik, aku sebenarnya senang. Kau bilang mau membahagiakan anak istrimu dan keluarga besarmu. Aku hanya khawatir bila kau gagal. Kami sungguh-sungguh mendukungmu. Mendengar kau terpilih, betapa senangnya aku. Kita sama-sama “rentan” hidup di media ini. Tujuan kita tentu sama. Sama-sama hendak membahagiakan anak istri. Tetapi kenapa secepat ini kau pergi?
Terakhir kita saling bercanda dan tertawa di bulan puasa ini, saat berbuka puasa di Sekretariat KONI Jambi. Aku lihat kau makin tenang. Wajahmu semakin bersih. Aku yakin ibadahmu makin kuat. Aku sungguh senang. Aku juga melihat kesehatanmu makin membaik.
Tetapi ternyata aku salah. Kau pergi begitu cepat. Aku mulai mempertanyakan ini pada Tuhan. Kenapa memanggil temanku secepat ini, Tuhan? Aku mengantarmu sampai ke peristirahatanmu terakhir. Aku buka dan melihat wajahmu dari dekat. Aku melihat kesedihan anak istrimu. Aku tak tahan. Aku langsung ke luar. Inilah yang kukhawatirkan sejak dulu kawan. Aku cerewet padamu soal pola hidup.
Ya sudahlah. Semua sudah digariskan Yang Maha Kuasa. Kau kuat dalam bertarung di kehidupan yang keras. Aku bangga menjadi temanmu. Kau pergi dalam kebahagiaan. Aku yakin anak istrimu juga bangga punya ayah sepertimu. Selamat jalan kawan. Berbahagialah di surga.