LINGKUNGAN
Ironis, Cuma Dua Puskesmas di Tebo yang Berizin Lingkungan

DETAIL.ID, Tebo – Dari 20 puskesmas di Kabupaten Tebo — 11 di antaranya berstatus rawat inap dan 9 non rawat inap — ternyata hanya dua mengantongi dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup (UKL-UPL) guna memperoleh perizinan lingkungan yang menjadi syarat formal dalam hal legalitas pengolahan limbah medis.
Kepala Dinas Kesehatan Tebo, dr Riana Elizabeth mengakui fakta tersebut. “Baru dua puskesmas yang memiliki UKL-UPL, satu puskesmas memiliki Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL),” kata dr Riana Elizabeth di Aula Kantor Dinkes Tebo, belum lama ini.
Dr Riana berujar semestinya setiap puskesmas wajib mengurus dokumen lingkungannya untuk bisa menyimpan limbah medis mereka. Hal ini sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (Limbah B3).
“Tadi sudah disampaikan oleh DLH, jadi setiap puskesmas wajib memiliki izin lingkungan agar bisa mengelola atau menyimpan limbah medis mereka,“ ucapnya.
Menurut Riana, agar puskesmas tidak menyalahi aturan dalam mengelola limbah medis, pihaknya telah berkoordinasi dengan DLH Tebo untuk melakukan pengurusan izin secara kolektif. Pada puskesmas rawat inap nantinya akan diurus UKL-UPL sedangkan puskesmas non rawat inap akan diurus SPPL.
“Semua itu harus melalui proses dan bertahap, mulai dari perencanaan, mengurus kelengkapan dokumen, dan jika dokumen sudah lengkap baru ke proses selanjutnya yakni pengadaan TPS dan lemari pendingin,“ ujarnya.
Lemari pendingin, Riana menjelaskan, itu perlu dan sangat dibutuhkan biar puskesmas bisa menyimpan limbah medisnya sampai 90 hari.
Ditanya apa tindakan Dinkes terkait seluruh puskesmas dan fasilitas kesehatan di Tebo diduga menyalahi aturan dalam penanganan limbah medis karena belum memiliki TPS ataupun lemari pendingin, Riana tidak menepis. Namun dia mengaku telah meminta kepada pihak puskesmas agar mengemas limbah medisnya dengan rapi dan ditempatkan di tempat yang terpisah.
“Rata-rata puskesmas kita memang belum memiliki Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) atau lemari pendingin untuk menyimpan limbah. Namun kita minta kepada pihak Puskesmas untuk menyimpan limbah dengan rapi dan ditempatkan di tempat yang terpisah seperti drum atau safety box. Kalau untuk pengangkutan dan pemusnahan limbah, kita sudah bekerja sama dengan pihak ketiga,” ujarnya.
Terkait hal ini, Ketua Lembaga Pemantau Penyelamat Lingkungan Hidup (LP2LH) Provinsi Jambi, Tri Joko menegaskan bahwa, limbah medis yang dihasilkan fasilitas kesehatan seperti puskesmas maupun fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, harus mendapatkan penanganan khusus. Karena limbah tersebut digolongkan sebagai limbah bahan berbahaya dan beracun (B3).
Joko mengatakan pengelolaan limbah B3 harus dilakukan secara terpadu karena dapat menimbulkan kerugian terhadap kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya dan lingkungan hidup.
“Untuk pengelolaan limbah medis atau limbah B3 ini telah diatur pada Permen LHK Nomor 56 tahun 2015,” kata Joko saat dikonfirmasi detail, Minggu (10/2/2019).
Jika pihak penghasil limbah tidak menangani limbahnya dengan benar, kata Joko, maka bisa dikenakan sanksi sesuai Permen LHK Nomor 101 tahun 2014 tentang Pengelolaan Limbah.
“Pada Permen ini sudah sangat jelas, bisa dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3 tahun. Selain itu denda paling sedikit Rp1 miliar dan paling banyak Rp3 miliar,” ujar Joko.
Dijelaskan Joko, perusahaan penghasil Limbah B3, baik rumah sakit, puskesmas atau lainnya wajib bertanggungjawab sejak Limbah B3 dihasilkan sampai dimusnahkan (from cradle to grave).
Dengan melakukan pengelolaan secara internal dengan benar dan memastikan pihak ketiga pengelola Limbah B3 memenuhi regulasi dan kompeten.
“Yang jelas penanganan Limbah B3 harus ramah lingkungan. Tidak semuanya dibakar karena dengan cara itu menghasilkan polusi udara. Kini ada cara pemanfaatannya yang bisa menghasilkan nilai ekonomis. Tapi tentunya penanganan harus dilakukan oleh petugas atau pihak ketiga yang bersertifikasi,” ucapnya. (DE 01)
LINGKUNGAN
Sembilan Perusahaan Perkebunan di Provinsi Jambi Beroperasi di Kawasan Hutan

DETAIL.ID, Jambi – Sebanyak 436 perusahaan perkebunan sawit dinyatakan beroperasi dalam kawasan hutan. Di Provinsi Jambi, setidaknya terdapat 9 perusahaan sebagaimana tercantum dalam SK Menteri Kehutanan RI Nomor 36 tahun 2025.
Dalam lampiran subjek hukum kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan yang berproses atau ditolak permohonannya di Kementerian Kehutanan.
Perusahaan perkebunan yang beroperasi di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi yakni PT Indokebun Unggul, grup KPN Plantation tercatat mengajukan permohonan perizinan sebanyak 771 hektare, Seluas 765 hektare di antaranya sedang berproses, dan 6 hektare ditolak.
Kemudian PT Pratama Sawit Mandiri dengan permohonan 116 hektare, berproses 111 hektare, dan 5 hektare ditolak.
Di Kabupaten Muarojambi, ada PT Puri Hijau Lestari dengan permohonan 379 hektare, berproses 393 hektare, ditolak 4 hektare. Selanjutnya PT Muaro Kahuripan Indonesia permohonan 863 hektare, 698 hektare berproses, 165 hektare ditolak dan PT Ricky Kurniawan Kertapersada, permohonan 300 hektare, berproses 267 hektare dan 33 hektare ditolak.
Di wilayah Kabupaten Bungo dan Tebo ada PT Satya Kisma Usaha (Sinarmas Agro) dengan catatan permohonan 105 hektare, 7 hektare berproses dan 98 hektare ditolak.
Selanjutnya, PT Sukses Maju Abadi, group Incasi, permohonan 403 hektare, berproses 324 hektare, ditolak 79 hektare.
Kabupaten Tanjungjabung Barat PT Pradira Mahajana, permohonan 49 hektare dan berproses 49 hektare.
Kabupaten Tanjungjabung Timur juga tercatat 1 perusahaan yakni PT Ladang Sawit Sejahtera group PT Nusantara Sawit Sejahtera Tbk permohonan 51 hektare berproses 51 hektare.
“Penetapan daftar subjek hukum kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang telah terbangun dalam kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan di bidang kehutanan sebagaimana dimaksud dalam amar kesatu sebagai bahan masukan Kementerian Kehutanan kepada Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan,” demikian bunyi putusan kedua, Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 36 tahun 2025.
Reporter: Juan Ambarita
LINGKUNGAN
Hasil Laboratorium, Sumur Milik Sawal di Dekat Kolam Limbah PT SGN Tak Layak Dikonsumsi

DETAIL.ID, Merangin – Teka-teki hasil laboratorium terhadap sumur milik Sawal yang berada tak jauh dari kolam limbah milik PT Sumber Guna Nabati (SGN) sudah terjawab.
Dasar pengujian sampel air limbah sesuai dengan Permen LH Nomor 5 tahun 2004 pasal 16 ayat 3, dan dasar pengujian air sumur no p.68/MenLhk.setjen/2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik, serta Permenkes No 32 tahun 2017.
Dari hasil pengujian sampel yang diambil oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Merangin didapat hasil bahwa sumur milik Sawal dengan hasil PH 3,09 tidak layak konsumsi.
Hal ini berdasarkan hasil uji laboratorium, dengan mengunakan parameter fisika padatan tersuspensi total (TTS), temperatur dan padatan terlarut total dan juga mengunakan parameter kimia seperti PH, BOD, COD dan CL.
“Dari hasil uji laboratorium, dengan menggunakan parameter fisika dan kimia, untuk air sumur milik Sawal tidak layak konsumsi sebab PH airnya 3,09 atau lebih asam jika diminum maka berasa seperti asam air jeruk,” kata Kadis DLH Kabupaten Merangin, Syafrani pada Senin, 13 Januari 2025.
Sementara itu hasil laboratorium di outlet 13 milik PT SGN, terdapat PH air 9,05, BOD 39, COD 188, outlet parit warga diketahui PH airnya 9,7, BOD 24, COD 283. Sementara sampel air yang diambil di hulu Sungai Retih PH 5,36, BOD 2, COD 54, CL 1 dan sampel air di hilir Sungai Retih PH 6,52, BOD 2, COD 51, Cl 11.
“Dengan hasil yang kami rilis, ada beberapa titik sampel yang diambil mengalami peningkatan. Agar warga berhati-hati tidak mengonsumsi air yang tercemar dan jika terkonsumsi maka bisa saja ada reaksi pada tubuh,” ujarnya.
Terkait dengan hasil yang dirilis DLH Kabupaten Merangin, Feri Irawan Direktur Perkumpulan Hijau, mengatakan bahwa izin perusahaan PT SGN bisa saja direkomendasikan untuk dicabut, dan mendorong pemerintah daerah dan pemerintah provinsi untuk meninjau ulang izin Amdal yang pernah dikeluarkan.
“Ada kejahatan lingkungan, pemerintah wajib meninjau ulang, jika tidak bisa saja aparat kepolisian menindaklanjuti agar kejadian ini tidak terulang,” kata Feri Irawan yang juga anggota forum WALHI.
Reporter: Daryanto
LINGKUNGAN
Kadis LH Merangin: Secara Kasat Mata Sumur Milik Sawal Tercemar

DETAIL.ID, Merangin – Hingga saat ini sampel air sumur milik Sawal yang sudah tidak bisa dimanfaatkan, masih menunggu hasil uji laboratorium. Yang berwenang untuk mengumumkan hasilnya adalah Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Merangin.
Kadis LH Merangin, Syafrani mengatakan, secara kasat mata sumber air sumur milik warga yang bernama Sawal sudah jelas tercemar.
“Dari warna dan bau air sumurnya saja sudah menjelaskan secara kasat mata bahwa umur tersebut tercemar,” katanya pada Sabtu, 21 Desember 2024.
Namun untuk kepastiannya, ia masih menunggu hasil dari Lakesda Merangin.
“Nanti hasilnya dari laboratorium kesehatan daerah, bakal kita umumkan ke masyarakat, sebab sampel yang diambil kemarin bukanlah berasal dari PT SGN tetapi dari sumur warga yang tinggalnya dekat dengan PT SGN,” ujarnya.
Ditegaskan Syafrani, dengan turunnya DLH dan juga laboratorium daerah menjadi fokus atas pengaduan masyarakat kepada DLH.
“Ini harus dibedakan, kita bukan dalam rangka pembinaan rutin kepada perusahaan, tetapi karena ada pengaduan dan jika terbukti mencemari lingkungan kita umumkan dan tentu ada sanksinya,” tuturnya.
Reporter: Daryanto