Connect with us

PERISTIWA

Massa DPW SPI Jambi Demo di Depan Gedung PN Muara Bulian

DETAIL.ID

Published

on

SPI Jambi

DETAIL.ID, Batanghari – DPW SPI Provinsi Jambi menggelar aksi damai di depan gedung Pengadilan Negeri Muara Bulian, Kabupaten Batanghari, Senin (9/3/2020). Dalam rilis resmi DPW SPI Jambi yang diterima detail, massa aksi mengklaim 19 terdakwa rekan mereka tidak bersalah dan segera dibebaskan.

Ketua DPW SPI Jambi, Sarwadi mengatakan jauh sebelum terbitnya izin lokasi PT REKI di Provinsi Jambi, petani SPI Jambi sejak tahun 2007 telah memulihkan kerusakan hutan oleh PT Asialog dan Inhutani, sebagai tempat berladang untuk menopang ekonomi keluarga. Kini, berbagai jenis tanaman sebagian telah berproduksi dan perkampungan telah terbangun dan tertata dengan baik.

Semenjak tahun 2010 saat PT REKI mendapat izin Menhut MS Kaban seluas 98.555 hektar hutan di Provinsi Jambi. Seluas 46.385 hektar terletak di Kabupaten Batanghari dan Sarolangun sedangkan sisanya terletak di Provinsi Sumatra Selatan.

Konflik agraria kian akut dan meningkat. Pencaplokan sumber agraria oleh kongsi nasional dan internasional sebuah konsorsium ini didanai oleh NABU, KFW, Bank Jerman dan DKK tak mampu menyokong manajemen PT REKI untuk menyelesaikan berbagai konflik dengan berbagai kelompok dan organisasi sosial.

Baca Juga: SPI Jambi Menilai 19 Petani Tidak Terbukti Bersalah Dalam Persidangan

Hingga berdampak pada pelanggaran HAM serius yang disistematisasi dengan cara kriminalisasi, penggusuran, bahkan tindak kekerasan fisik serta pembakaran rumah petani.

Dalam persidangan, saksi PT REKI menyebut 17.000 hektar lahan petani berada di areal konsesi PT REKI dan ketika PT REKI mendapatkan konsesi di Jambi pada tahun 2010 seluas 10.000 hektar lahan. Dari awal, konsesi PT REKI bermasalah hingga lebih dari 35 persen areal konsesinya tidak dikuasai PT REKI karena menjadi perladangan petani.

Sebuah pusaran konflik besar yang terus meningkat. Dari persoalan agraria yang masih berlangsung, kini konflik akibat kehadiran PT REKI telah meluas pada konflik tata batas antara Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Batanghari.

Wilayah Pangkalan Ranjau yang merupakan bagian dari wilayah Desa Tanjung Lebar Muaro Jambi dihuni oleh 800 kepala keluarga, sebagian besar dari mereka memiliki dokumen kependudukan Muaro Jambi.

“Warga Pangkalan Ranjau, Desa Tanjung Lebar, Kabupaten Muaro Jambi masih berkonflik dengan PT REKI. Jelas Pangkalan Ranjau dan Tanjung Lebar adalah wilayah dan penduduknya secara administrasi mereka warga Muaro Jambi bukan warga Batanghari. Sampai saat ini belum ada Permendagri yang menyatakan tata batas kedua kabupaten di sana. Petani yang saat ini jadi terdakwa berada di wilayah Desa Tanjung Lebar, Muaro Jambi. Jadi secara prosedur proses penangkapan mereka salah. Untuk itu kami meminta Majelis Hakim yang mulia membebaskan mereka,” kata Sarwadi.

Pemerintah pusat telah berusaha menjalankan dan memajukan amanah UUPA Nomor 5 Tahun 1960. Untuk menuntaskan konflik agraria disektor kehutanan yang mengalami kebuntuan, Presiden Ir Joko Widodo memberikan jalan keluar dengan mengeluarkan Perpres Nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan hutan di sektor Kehutanan dan mempertegasnya dengan mengeluarkan Perpres Nomor 86 tahun 2018 tentang Reforma Agraria.

Namun akibat ketidakpahaman terhadap mekanisme penyelesaian konflik kehutanan ini, Tim Karhutla bersama Polres Batanghari pada 22 September 2019 tanpa menunjukkan surat penangkapan telah menangkap 19 orang petani Sungai Jerat, Desa Tanjung Lebar dengan tuduhan Karhutla. Sementara pada saat penangkapan mereka sedang  berada di warung, di rumah dan dalam perjalanan, serta tidak sedang melakukan pembakaran lahan apalagi pembalakan.

“Sejalan dengan pandangan saksi ahli JPU dan saksi ahli terdakwa, maka instrumen hukum untuk penyelesaian konflik di sektor kehutanan itu sudah ada. Mestinya PT REKI dan penegak hukum penjaga konstitusi berpedoman pada Perpres Nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan hutan di Sektor Kehutanan, Perladangan Petani dan Perkampungan dengan fasilitas umum dan fasilitas sosial tersedia cukup sebagai pertimbangan dasar penegak hukum untuk justru tidak gegabah dalam bertindak. Sehingga tidak merampas hak-hak kemanusiaan para petani,” kata Kepala Biro Polhukam SPI Jambi, Azhari.

Pada 22 September 2019, sejumlah warga Sungai Jerat, RT 10 Desa Tanjung Lebar, Kecamatan Bahar Selatan, Kabupaten Muaro Jambi ditangkap oleh tim Gabungan Polres Batanghari dan Tim Karhutla. Sebanyak 19 orang petani ditangkap tanpa surat penangkapan.

Pada fakta persidangan, berdasarkan kesaksian yang diajukan oleh JPU, keterangan para terdakwa dan keterangan saksi lainya, mereka di tangkap oleh Polres Batanghari  di tempat yang jaraknya dua sampai tujuh kilometer dari TKP kebakaran lahan. Saat itu mereka ditangkap saat berada di warung, di rumah dan ditangkap saat dalam perjalanan.

“Resolusi 73/165 tentang Hak Asasi Petani oleh PBB sebagai Instrumen HAM jelas menyatakan bahwa petani dan pemuda-pemudi yang bekerja di pedesaan harus dilindungi dari kekerasan dan tindakan semena-mena aparat. Ini hak paling asasi agar petani bisa memberi makan keluarga dan dunia, sungguh sangat memalukan jika aktor pelanggar HAM itu dilakukan oleh perusahaan berkedok melestarikan hutan tapi justru langgeng merampas tanah rakyat sekaligus mengkriminalisasinya. Untuk itu, kami Gema Petani Jambi meminta Majelis Hakim dengan lantang menolak intervensi korporasi, kami meminta Majelis Hakim membebaskan terdakwa demi keadilan dan konstitusi,” kata Ketua Umum Gema Petani, Yoggy E Sikumbang.

Massa juga meminta Majelis Hakim yang menangani kasus ditangkapnya petani Sungai Jerat, Desa Tanjung Lebar, Kecamatan Bahar Selatan, Kabupaten Muaro Jambi, sebagaimana disampaikan oleh saksi PT REKI bahwa 17.000 hektar lahan sudah dikuasai petani.

Saksi PT Reki mengakui bahwa seluas 10.000 hektar lahan petani sudah ada sebelum izin PT REKI diterima pada tahun 2010. Para terdakwa ditangkap tidak sedang membakar lahan, namun ditangkap di warung, di rumah dan di perjalanan dengan paksaan.

Mereka para terdakwa berada di wilayah Desa Tanjung Lebar, Kabupaten Muaro Jambi, bukan wilayah Kabupaten Batanghari. Untuk menyelesaikan Persoalan Konflik di sektor Kehutanan Presiden RI telah mengeluarkan Perpres Nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan. Seluas 600 hektar lahan di areal PT REKI telah terbakar dan PT REKI tidak mampu memadamkan api.

Massa aksi solidaritas kemanusiaan, rakyat, petani, mahasiswa, tim advokasi Hak Asasi Petani, menyatakan sikap atas semua proses hukum dan fakta persidangan. Massa mendukung Majelis Hakim demi menjaga muruah Pengadilan Negeri Muara Bulian untuk memutus sesuai fakta persidangan demi melindungi Hak Asasi Petani dan HAM.

“Bahwa demi keadilan atas nama Ketuhanan YME berdasarkan fakta persidangan dan kesaksian yang diajukan pihak JPU, keterangan para saksi fakta, saksi ahli, dan saksi lainnya serta keterangan terdakwa agar memutuskan semua terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan,” ucapnya.

 

Reporter: Ardian Faisal

PERISTIWA

Masyarakat Lima Desa di Jambi Geruduk Kanwil ATR/BPN, Tuntut Penyelesaian Konflik Agraria

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Ratusan warga dari lima desa di Provinsi Jambi mendatangi Kantor Wilayah (Kanwil) Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Jambi untuk menuntut penyelesaian konflik agraria yang berlarut-larut.

Aksi ini dilakukan sebagai bentuk protes karena surat permohonan audiensi mereka tidak direspons oleh Kepala Kanwil ATR/BPN Jambi yang baru, Drs. Agustin Samosir, M.Eng.Sc. Warga didampingi oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi serta jaringan advokasi lainnya dalam perjuangan mendapatkan hak atas tanah mereka.

Salah satu desa yang mengalami konflik agraria adalah Desa Pandan Sejahtera, di mana penerbitan Hak Guna Usaha (HGU) PT Indonusa Agromulia diduga dilakukan tanpa pengecekan lapangan yang memadai. Akibatnya, terjadi tumpang tindih dengan lahan masyarakat yang telah lama menggarap tanah tersebut, sehingga menimbulkan ketidakpastian dan ancaman terhadap kehidupan mereka.

Di Desa Gambut Jaya, warga menghadapi masalah serius karena tanah mereka di kawasan permukiman Trans Swakarsa Mandiri diduga telah dikuasai oleh mafia tanah. Dugaan kuat mengarah pada keterlibatan BPN Muarojambi dalam penerbitan Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dianggap tidak sah. Hal ini membuat masyarakat kehilangan akses terhadap tanah yang seharusnya menjadi hak mereka.

Sementara itu, warga Desa Mekar Sari menghadapi situasi di mana mereka memiliki SHM atas lahan usaha transmigrasi mereka, tetapi tanah tersebut telah beralih ke pihak lain yang diduga merupakan mafia tanah. Meski memiliki bukti legal kepemilikan, masyarakat tetap tidak bisa menggunakan tanah mereka, sehingga menimbulkan keresahan dan ketidakadilan yang berkepanjangan.

Di Desa Tebing Tinggi, warga mendesak Kanwil BPN Jambi untuk melakukan pengecekan ulang dan menetapkan koordinat lahan usaha mereka. Langkah ini dianggap penting untuk mencegah konflik kepemilikan tanah di masa depan dan memastikan hak-hak masyarakat tidak terusik oleh klaim pihak lain yang tidak bertanggung jawab.

Sedangkan di Desa Rawa Mekar, yang merupakan kawasan eks-transmigrasi, masyarakat menuntut realisasi hak atas tanah yang seharusnya diberikan oleh negara. Sesuai dengan ketentuan, setiap kepala keluarga berhak mendapatkan lahan seluas 2 hektare, tetapi hingga kini hak tersebut belum dipenuhi. Warga merasa diabaikan dan meminta kejelasan dari pemerintah terkait hak mereka yang telah lama tertunda.

Direktur Walhi Jambi, Abdullah, menegaskan bahwa konflik agraria yang terjadi ini merupakan bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Ia menilai negara telah melakukan pembiaran dan penghilangan hak atas tanah yang seharusnya menjadi milik masyarakat. “Negara seharusnya hadir untuk melindungi hak rakyat, bukan justru membiarkan mereka kehilangan tanah akibat permainan para pemodal dan mafia tanah,” katanya.

Abdullah juga mengkritik peran BPN yang seharusnya bertanggung jawab dalam memastikan kejelasan lokasi lahan transmigrasi. Namun, dalam praktiknya, BPN justru diduga mengalihkan lahan untuk kepentingan pihak lain, yang semakin memperparah konflik agraria. Ia menilai lembaga ini gagal menjalankan tugasnya secara transparan dan justru menjadi bagian dari masalah yang dihadapi masyarakat.

Masyarakat bersama Walhi Jambi menuntut Kanwil ATR/BPN Jambi segera mengambil langkah konkret dalam menyelesaikan konflik agraria ini. Mereka mendesak agar hak atas tanah masyarakat dikembalikan secara adil dan transparan, serta meminta pemerintah pusat turun tangan jika permasalahan ini terus diabaikan. Aksi ini menegaskan bahwa masyarakat tidak akan tinggal diam hingga hak mereka benar-benar dipenuhi oleh negara.

Reporter: Andrey

Continue Reading

PERISTIWA

Forum Pemuda Batin IX Ilir Pertanyakan Dana CSR, Manajemen PT KDA Tak Bisa Ditemui

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Merangin – Keterbukaan pengelolaan dana CSR dipertanyakan Forum Pemuda Batin IX Ilir Pamenang. Pasalnya selama ini masyarakat belum merasakan kehadiran perusahaan atas pemberdayaan masyarakat, baik pendidikan ekonomi dan kesehatan.

Namun sayangnya tiga kali bersurat kepada manajemen PT KDA, belum satupun yang ditanggapi. Bahkan saat Ketua Forum Pemuda Batin IX Ilir Pamenang, Mahyudin mendatangi pabrik PT KDA yang berada di Desa Langling tapi tak satupun pihak manajemen PT KDA yang bisa ditemui.

“Jujur saja kami kecewa terhadap perilaku yang ditunjukkan oleh petinggi di PT Kresna Duta Agroindo (KDA) Langling, padahal sudah tiga kali bersurat untuk beraudensi dengan kami,” kata Mahyudin pada Selasa, 18 Februari 2025.

Menurutnya selama ini mereka hanya ingin mengetahui, pengelolaan CSR terhadap desa desa sekitar perusahaan.

“Kami ingin mengetahui pengelolaan dana CSR, bagi warga desa di seputaran perusahaan, jangan mereka malah seperti takut menemui kami,” ujarnya.

Terkait dengan tidak diresponsnya surat dan kedatangan Forum Pemuda Batin IX Ilir Pamenang, Mahyudin menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan aksi di kantor KDA Langling.

“Mereka sudah tidak menghargai cara-cara kami yang prosedural, dan saya pastikan akan membuat aksi di kantor KDA,” tuturnya.

Sementara itu Ibnu, Humas PT KDA saat dikonfirmasi mengaku tidak berada di tempat, sementara RC PT KDA juga masih cuti.

“Saya lagi tidak di tempat, dan Pak RC masih cuti,” kata Ibnu.

Forum Pemuda Batin IX Ilir Pamenang sudah berkumpul sesuai dengan surat mereka pukul 10.00 WIB untuk melakukan audiensi tetapi gagal sebab tidak satupun manajemen yang menemui mereka,bahkan sebelum pulang mereka sempat melakukan orasi di pintu masuk pabrik PT KDA.

Reporter: Daryanto

Continue Reading

PERISTIWA

Ketua DPRD Kota Jambi Apresiasi Pembangunan Rumah Sakit Adhyaksa, Sorot Upaya Kejaksaan Dalam Pelayanan Kesehatan

DETAIL.ID

Published

on

Jambi – Ketua DPRD Kota Jambi, Kemas Faried Alfarelly mengapresiasi pembangunan Rumah Sakit Adhyaksa Jambi dan peresmian gedung Sentra Diklat Kejaksaan Tinggi Jambi, Senin 17 Februari 2025.

Kemas Faried Alfarelly, menilai pembangunan Rumah Sakit Adhyaksa Jambi menjadi kebanggaan karena merupakan rumah sakit Adhyaksa pertama di Sumatera dan keempat di Indonesia. Dan yang terpenting menurut Kemas yaitu upaya Kejaksaan dalam meningkatkan pelayanan kesehatan bagi masyarakat di Kota dan Provinsi Jambi.

“Saya mendengarkan secara langsung penyampaian Jaksa Agung, ini membanggakan. Ini pertama di Sumatera, dan keempat di Indonesia,” kata Kemas, saat menghadiri acara di gedung Sentra Diklat Kejaksaan Tinggi Jambi, Senin 17 Februari 2025.

Menurut Ketua DPRD Kota Jambi tersebut, kehadiran RS Adhyaksa di Kota Jambi bakal berperan penting dalam pelayanan kesehatan masyarakat Jambi. Terlebih lagi, mengurangi jumlah masyarakat yang harus berobat keluar Jambi, bahkan hingga ke luar negeri.

“Cukup di Jambi saja, di Kota Jambi dan seberang Kota Jambi. Saya rasa ini perlu diapresiasi dan didukung baik oleh Pemerintah Provinsi maupun Pemerintah Kota,” katanya.

Continue Reading
Advertisement