OPINI
Netralitas KPU di Antara PSU dan Golput
PUBLIK dikejutkan dengan tertangkapnya salah satu petinggi KPU RI, yaitu Wahyu Setiawan, yang ditangkap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK, terkait dengan penyuapan pergantian anggota legislatif.
Kejadian ini sangat berdampak pada netralitas dan integritas KPU provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilu/Pemilukada yang telah dilakukan. Publik akan bertanya-tanya, apakah penyelenggaraan Pemilu/Pemilukada yang telah lalu tidak ada hal seperti itu, dilakukan oleh penyelenggara Pemilu/Pemilukada, baik KPU provinsi dan KPU kabupaten/kota maupun Bawaslu provinsi dan Bawaslu kabupaten/kota.
Dan yang lebih menarik, setelah Wahyu Setiawan didakwa oleh KPK menerima suap, dia mengajukan diri sebagai Justice Collaborator (JC) untuk mengungkap berbagai kecurangan yang dilakukan oleh KPU pada saat Pemilu Pilpres bahkan Pilkada di berbagai daerah. Jika apa yang dikatakan oleh Wahyu Setiawan adalah benar, bahwa dia akan membongkar kasus kecurangan yang dilakukan oleh KPU pada saat Pilpres dan Pilkada, maka dalam pemilihan umum kita mempunyai hak pilih, tetapi tidak punya hak menentukan.
Pada konteks Pemilu/Pemilukada sebagai praktik untuk mengukur etika seseorang penyelenggara Pemilu/Pemilukada pada barometer melanggar atau tidak melanggar baik yang bersifat administrasi maupun yang mengarah pada pidana rujukannya ada pada peraturan perundang-undangan. Penyelenggara Pemilu/Pemilukada perlu etika dan moral karena penyelenggara Pemilu/Pemilukada merupakan panutan bagi orang lain dalam segala pemikiran dan tingkah lakunya, dan sebagai pelayan dan pelindung hak politik.
Kode etik penyelenggara Pemilu/Pemilukada adalah satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi perilaku penyelenggara Pemilu/Pimilukada yang diwajibkan, dilarang patut atau tidak patut. Prinsip utamanya, adalah Pemilu/Pemilukada mesti dilaksanakan oleh otoritas yang profesional, mandiri, dan tidak memihak. Ini adalah satu syarat untuk terselenggaranya pemilu secara demokratis.
Kode etik dibutuhkan, karena penyelenggara Pemilu/Pemilukada sebagai lembaga dan personal yang bertugas menyelenggarakan Pemilu/Pemilukada, punya potensi menjadi tidak profesional, memihak, dan tidak mandiri. Alasannya beragam yakni akses kekuasaan, sumber daya ekonomi, kapasitas, serta orientasi yang beragam.
Penyelenggara Pemilu/Pemilukada wajib bertindak netral dan tidak memihak terhadap parpol tertentu, peserta pemilu dan media massa tertentu serta tidak menerima hadiah dari peserta Pemilu/Pemilukada.
Kedaulatan rakyat tidak cukup hanya melibatkan peran serta rakyat dalam memilih calon pemimpinnya. Tetapi kedaulatan rakyat atas pilihannya sangat ditentukan oleh KPU yang mampu bersikap jujur dan adil.
Dalam kasus Pemilukada Provinsi Jambi, bahwa terdapat tindakan-tindakan yang di luar prosedur dan diduga kuat melanggar kode etik penyelenggara pemilu yang dilakukan oleh salah seorang anggota KPU Provinsi Jambi.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) dugaan perkara aduan Ansori terhadap Anggota KPU Provinsi Jambi, M. Sanusi atas tidak netral dengan berpihak kepada salah satu pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Jambi.
Teradu diduga memberikan DPT pemilih yang belum melakukan perekaman KTP elektronik kepada pasangan tersebut. Untuk diketahui, data inilah yang digunakan pasangan paslon tersebut menggugat KPU di Mahkamah Konstitusi hingga berujung putusan PSU oleh MK. Dalam persidangan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Republik Indonesia (DKPP RI) pada tanggal 5 Maret 2021 (dapat kita saksikan di channel youtube DKPP RI di alamat url https://www.youtube.com/watch?v=Lhi4QV-TkVc, ), fakta persidangan DKPP mengungkapkan bahwa Staf Program dan Data KPU Provinsi Jambi, Ivan Oriza Fikri memberikan data DPT Belum Rekam E-KTP kepada M. Sanusi pada tanggal 11 Desember 2020 melalui pesan WhatsApp, sementara permintaan data yang diajukan oleh salah satu tim Pemenangan paslon diserahkan pada tanggal 24 Oktober 2020.
Berdasarkan keterangan saksi-saksi dalam persidangan bahwa terdapat dua data. Yaitu, data internal dan data eksternal. Data internal adalah data yang utuh di mana NIK dan NKK tidak diberi bintang sedangkan data eksternal adalah data yang NIK dan NKK diberi bintang, karena memang hal itu harus dilakukan untuk melindungi data pemilih. Seperti kita ketahui bersama bahwa data gugatan salah satu paslon ke MK identik dengan data KPU Provinsi Jambi, yang seharusnya data itu untuk kalangan internal KPU Provinsi Jambi.
Pada sidang itu juga, terungkap bahwa Sanusi juga meminta Ivan (staf Ahdiyenti) untuk memberikan data non KTP-el tersebut kepada Iin Habibi. Hal ini menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi penulis mengapa tim pemenangan salah satu paslon meminta data tersebut sedangkan pada saat pleno DPT sudah diberikan? Lalu, seberapa gentingnyakah situasi dan kondisi Provinsi Jambi pada saat itu, sehingga M. Sanusi meminta data dengan segera dan meminta untuk diberikan kepada Iin Habibi?
Namun, biarlah pertanyaan penulis menjadi pertanyaan saja, yang perlu kita pahami bersama adalah penyelenggaraan pemilu/pemilukada pada hakikatnya adalah sebagai gelanggang pendidikan politik, ruang pencerahan, sarana untuk mencerdaskan kehidupan politik bangsa. Penyelenggaraan pemilu/pemilukada bukanlah ruang untuk memuaskan syahwat politik terpilihnya seorang politisi sehingga duduk di lembaga politik dan bukan pula untuk membodohi, membodohkan atau penjahiliyahan rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Proses Pemilu/Pemilukada harus menjadi sebab pembodohan masyarakat salah satunya dapat berbentuk keberpihakan penyelenggara Pemilu/Pemilukada, money politik, janji politik, intimidasi politik, mobilisasi, politisasi birokrasi, politisasi bansos-bansos, politisasi BLSM, pelanggengan dinasti dan lain-lain.
Pembodohan seperti ini akan menutup peluang orang lain berpolitik dan berkubang pada muara matinya demokrasi. Karena sejatinya, proses penyelenggaraan pemilu/pemilukada adalah pesta demokrasi untuk menyampaikan aspirasi masyarakat dalam memilih pemimpin yang dapat memberikan perubahan dalam sosial ekonomi masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan pemilu/pemilukada ada kode etik yang perlu dipahami, dijalani, dan ditaati secara bersama agar tujuan hakiki dari penyelenggaraan pemilu/pemilukada dapat terwujud. Jika dilihat dari penyelenggaraan pemilukada Provinsi Jambi, Apabila terbukti terjadi pelanggaran kode etik maka dianggap telah terjadi pelanggaran yang bersifat sistematis dan masif.
Dampak dari pelanggaran kode etik karena sangat luas dan bukan sporadis. Salah satu contoh pelanggaran kode etik adalah membuka dan menyampaikan data pada pihak yang tidak berkepentingan. Menurut Undang Undang (UU) jika seseorang membuka atau menyampaikan data yang dikecualikan, maka akan ada sanksi pidananya.
Bentuk lainnya adalah peran KPU, jika KPU tidak netral dapat menjadi sumber bencana dan dapat merusak pelaksanaan Pemilu/Pemilukada serta dapat melahirkan konflik di daerah. serta dapat mengakibatkan banyaknya PSU dan bertambahnya jumlah Golput di masa Pemilu/Pemilukada yang akan datang. KPU Netral, KPU Mantap.
*Akademisi UIN STS Jambi
OPINI
Pilihan Jalan atau Hanya Berpetualang

USAI sudah Pilgub Jambi 2024. Usai sudah penghitungan. Baik penghitungan lembaga survey, quick count maupun penetapan resmi dari KPU. Baik berjenjang dari KPU Kabupaten maupun penetapan akhir KPU Provinsi Jambi. Hasilnya tidak jauh berubah. Kemenangan telak diraih oleh Al Haris-Sani. Sang incumbent yang mantap dengan peraihan 60%. Jauh dari perkiraan para ahli yang banyak meramalkan hanya mampu meraih 52%-26%.
Namun apapun hasil kemenangan Pilgub, cerita dibalik pilkada yang berlangsung selama setahun terakhir banyak memberikan pelajaran. Sekaligus cerita yang bisa ditorehkan. Sekaligus diceritakan kepada generasi muda.
Pertama. Memilih Gubernur/Wakil Gubernur Jambi tentu saja tidak memilih yang terbaik. Tentu saja banyak putra-putra terbaik di Jambi.
Berbagai teori ilmu politik maupun sebagian aliran pemikiran, memilih pemimpin bak memilih seperti kaum Sofi. Kaum yang memang dilahirkan manusia suci dan mempunyai pemikiran yang sangat bijaksana.
Bahkan banyak sekali aliran agama yang menempatkan Pemimpin politik bak memilih seperti ulama. Lengkap pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan perilaku yang terpuji.
Maqom ini sering digunakan untuk menangkis terhadap calon-calon yang populer. Sekaligus membentengi diri dan melindungi kandidatnya.
Sebagai pemikiran, ajaran ataupun strategi, cara-cara ini sah saja digunakan.
Namun ditengah perkembangan zaman yang begitu pesat, strategi kampanye yang setiap Pilgub yang berbeda-beda, saya memilih dengan ukuran yang paling sederhana.
Memilih pemimpin ketika dia mau mendengarkan. Mau melaksanakan janji-janjinya yang sederhana. Sekaligus dia mau mendengarkan ketika saya mengumpat, memaki bahkan menghardik kinerja.
Dia lebih banyak mendengarkan. Dia sama sekali tidak memberikan klarifikasi ataupun bantahan terhadap apa yang saya sampaikan.
Apakah terlalu sederhana itu ? Ya. Cukup sederhana.
Di dalam berbagai kesempatan, ukuran realistis yang paling mudah dijangkau, apakah dia mau mengurusi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan.
Selama itu bisa dijangkau dengan ukuran obyektif selama itu saya tetap didalam barisan. Termasuk juga kalaupun banyak yang berlarian meninggalkannya, mungkin saya orang terakhir meninggalkannya.
Sebagai manusia, tentu saja kadangkala sering dongkol, kecewa bahkan kesal. Namun ketika seseorang mau mendengarkan gerutukkan saya, lebih banyak diam ketika saya umbarkan kemarahan, itulah kemewahan saya sebagai rakyat.
Dan ketika satu persatu pertimbangan, nasihat ataupun saran kemudian diikuti, bagiku itulah seseorang pemimpin. Menjawab dengan tindakan. Bukan sekadar janji.
Kedua. Di tengah Pilgub Jambi 2024, tentu saja ada sebagian kemudian memilih berbeda barisan. Memilih kemudian berbeda bagiku tidak terlalu mengganggu pemikiran.
Namun yang menarik pemikiran tentu saja alasan kemudian ketika pernah bersama-sama kemudian memilih berbeda barisan.
Selama memilih dengan alasan prinsip dan mendasar, tentu saja respek selalu kuhargai.
Namun ketika alasan memilih bukanlah prinsip dan mendasar dan lebih mengutamakan emosi, baper, tentu saja bagiku itu kekanak-kanakan.
Padahal kutahu sang pengabar mempunyai literatur bacaan yang kuat. Sikap dan prinsip yang selama ini sempat kukagumi. Bahkan cara penyampaian yang begitu tajam tidak salah kemudian kutempatkan sebagai tokoh panutan.
Namun ketika kutahu sang tokoh kemudian meninggalkan barisan dengan alasan (mungkin bagiku konyol) seketika respekku hilang. Berganti dengan nada sentimentil yang mendayu-dayu. Persis kayak anak ABG yang lagi galau. Ketika cuma SMS, telp ataupun WA sama sekali tidak dibalas.
Padahal di ujung telepon, sang pacar malah sibuk dengan pekerjaan rutinitas yang memang memaksa tidak memegang HP.
Yang kadangkala bikin geli, selevel tokoh (kata orang bijak sering “hatinya harus jember”), yang mewarisi sikap keteladanan bersikap kekanak-kanakan justru menjadi hiburan tersendiri. Kalaupun bukan pelajaran pahit yang menjadi perjalanan hidup.
Namun apapun yang terjadi dibalik Pilgub Jambi 2024, seleksi alam begitu kejam. Hanya orang mampu menghadapi perubahan zaman yang akan bertahan.
Selain itu mereka akan tergilas dengan kehadiran generasi milenial bahkan generasi Gen Z yang tidak kenal ampun. Melumat orang-orang cengeng di kancah politik.
Dan saya kemudian memilih. Bergabung dengan generasi milenial dan generasi Gen Z untuk menertawakan “kecengengan” kaum tua yang ketika berbicara selalu menepuk-nepuk dada.
Pilgub Jambi 2024 juga mengajarkan. Kemenangan Pilgub ketika menguasai generasi millenial dan Generasi Z.
Selamat datang, Era baru. Selamat datang generasi baru. (***)
*Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani
OPINI
Kebijakan Pajak 12%: Selektivitas untuk Barang Mewah, Strategi atau Tantangan?

PEMERINTAH Indonesia telah mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menerapkan tarif PPN sebesar 12%. Rencana ini akan dimulai per 1 Januari 2025, sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, telah diputuskan bahwa kebijakan ini hanya akan berlaku untuk barang mewah. Banyak orang melihat kebijakan ini sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan negara dan menghalangi daya beli industri dan masyarakat tertentu.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah mengatur mekanisme pemungutan pajak atas barang-barang yang dikategorikan sebagai barang mewah. Menurut pasal 1 ayat (1) UU tersebut, barang mewah adalah barang yang dalam penggunaannya tidak memberikan manfaat langsung terhadap kelangsungan hidup atau kehidupan manusia, yang menyebabkan pengenaan pajak untuk membatasi kontribusi kelangsungan hidup atau kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengenaan pajak 12% ini dimaksudkan untuk membatasi konsumsi barang tersebut.
Pandangan Pemangku Kebijakan
Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk meminimalisir konsumsi barang mewah yang tidak bersifat esensial bagi masyarakat umum. Ia menegaskan pentingnya melindungi rakyat kecil melalui pengecualian PPN untuk barang kebutuhan pokok.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kebijakan ini sebagai langkah yang menyesuaikan tren global dalam perpajakan dengan pelaksanaan cukup diatur melalui PMK. Ia memastikan bahwa pelaksanaannya dirancang agar tidak merugikan ekonomi rakyat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mencerminkan asas keadilan. “Kami ingin memastikan barang-barang yang memiliki kontribusi lebih besar terhadap pendapatan pajak adalah barang-barang yang memang hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki daya beli tinggi,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada awal November 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)
Namun, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Mukhamad Misbakhun, mengatakan kelompok barang yang akan dikenai PPN 12 persen tersebut masih akan diseleksi. Khususnya untuk objek barang yang selama ini tergolong dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Perspektif Pemerintah: Ini adalah Pendekatan yang Mempertimbangkan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara
Kebijakan ini tentu tidak mengabaikan pandangan beberapa menteri yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan, kebijakan ini merupakan tindakan yang lebih strategis yang bertujuan untuk memastikan keseimbangan dalam pendapatan negara dan pada saat yang sama mengatur konsumsi barang-barang mewah.
Ada kalanya Sri Mulyani menguraikan masalah ini: “Pengenaan cukai dengan tarif 12 persen pada barang-barang mewah bertujuan untuk mencegah konsumsi berlebihan barang-barang mewah dan mengarahkan konsumsi pada barang-barang yang akan produktif bagi ekonomi, selain tentu saja untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk pembangunan.”
Pendapatan yang diperoleh dari pajak barang-barang mewah dimaksudkan untuk digunakan dalam meningkatkan fasilitas publik, kesehatan, dan pendidikan, serta untuk meningkatkan kebijakan fiskal yang lebih luas yang melindungi proses pemulihan pasca-covid.
Tantangan yang Dihadapi
Tetapi kebijakan ini menghadapi beberapa masalah seperti berdampak pada daya beli konsumen. Ekonom bernama Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pengenaan pajak lebih tinggi pada barang tertentu dapat berdampak pada penurunan konsumsi, terutama untuk industri yang bergantung pada penjualan barang premium.
Potensi Kebijakan Tidak Efektif: Beberapa pengamat mengkhawatirkan pengalihan konsumsi masyarakat ke pasar gelap atau pembelian langsung di luar negeri untuk menghindari pajak tinggi.
Kompleksitas Administrasi: Penetapan barang mewah dalam kategori dapat menjadi kontroversial, terutama bagi bisnis yang menganggap kebijakan ini terlalu luas.
Pengaruh terhadap Sektor dan Lingkungan Sosial
Akan tetapi, ada juga dampak negatif dari kebijakan ini, terutama untuk industri yang langsung berhubungan dengan barang-barang mewah. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kebijakan tersebut perlu diikuti oleh kebijakan lain yang lebih memperhatikan industri dalam negeri. Dalam pernyataan tersebut, beliau menekankan: “Kita harus memastikan bahwa dampak dari kebijakan berbasis pajak tidak merugikan industri lokal.” Ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran besar terkait apa yang terjadi pada berbagai sektor, terutama yang paling berisiko tidak bisa bersaing di level global.
Secara khusus pada barang mewah yang dihasilkan di Negara kita Indonesia seperti otomotif, elektronik, atau barang fashion, maka kebijakan pajak akan mengurangi daya beli masyarakat dan juga akan memperlambat laju pertumbuhan industri yang bersangkutan.
Secara keseluruhan, pemerintah menggunakan kebijakan pajak 12% pada barang mewah untuk mengontrol konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara.
Namun, kebijakan ini menghadirkan beberapa kesulitan, baik dari segi bagaimana ia diterapkan di lapangan maupun bagaimana hal itu berdampak pada sektor industri tertentu. Kebijakan ini mungkin memiliki dampak negatif yang lebih besar, terutama dalam jangka panjang, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dan melindungi daya beli masyarakat.
*Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI)
OPINI
Pilgub Jambi 2024: Kemenangan Fakta, Kegagalan Propaganda

DALAM dunia yang semakin terjebak dalam pusaran informasi dan disinformasi, pepatah lama Belanda “All is de leugen nog zo snel, de waarheid achterhaalt haar wel” atau “Seberapa cepat pun kebohongan berlari, kebenaran akan mengejarnya” terasa semakin relevan. Di era digital saat ini, ketika informasi mampu menyebar secara viral dalam hitungan detik, ruang publik sering kali menjadi ajang pertarungan antara kebenaran dan manipulasi. Kebohongan, yang dirancang untuk memengaruhi emosi massa, dapat dengan mudah menciptakan ilusi kebenaran. Namun, meski lambat, kebenaran tetap memiliki daya tahan yang mampu membongkar kebohongan secara sistematis.
Fenomena ini tidak hanya menjadi persoalan global, tetapi juga tercermin dalam dinamika politik lokal, seperti yang terlihat dalam Pilgub Jambi 2024. Pilgub Jambi 2024 menjadi panggung nyata dari pergulatan ini. Dalam kontestasi yang panas, strategi pihak lawan tampak memanfaatkan disinformasi sebagai senjata politik untuk melemahkan kredibilitas petahana, Al Haris. Narasi negatif, fitnah personal, hingga hoaks terstruktur menyasar capaian-capaian Al Haris, seolah-olah keberhasilan yang diraihnya hanyalah mitos belaka. Di era ketika literasi digital masyarakat belum merata, pola semacam ini sering kali efektif dalam membentuk opini publik jangka pendek. Namun, strategi manipulatif ini mengabaikan satu hal mendasar, masyarakat yang telah merasakan dampak nyata dari kebijakan seorang pemimpin tidak mudah dikelabui oleh narasi kosong.
Dalam konteks ini, upaya pihak lawan untuk memanfaatkan kelemahan literasi digital di masyarakat menjadi semakin terlihat. Mereka mencoba menyulut sentimen dengan narasi bombastis, namun gagal mengukur satu hal penting, masyarakat yang telah melihat dan merasakan hasil kerja nyata memiliki dasar penilaian yang lebih konkret dibandingkan janji kosong. Program-program unggulan seperti Dumisake, peningkatan kualitas layanan publik, hingga perbaikan infrastruktur strategis menjadi bukti nyata yang sulit dibantah. Fakta-fakta inilah yang menjadi jawaban atas propaganda negatif yang dilancarkan sepanjang kampanye.
Fakta-fakta keberhasilan ini tidak hanya mampu membantah propaganda negatif, tetapi juga menjadi dasar kuat yang mendukung kemenangan Al Haris, membuktikan bahwa politik yang berlandaskan integritas dan kerja nyata tetap menjadi pilihan masyarakat. Alih-alih terjebak dalam permainan lawan yang mencoba menjatuhkannya dengan fitnah, Al Haris dan timnya tetap fokus pada narasi berbasis fakta. Mereka mengedukasi masyarakat, meluruskan informasi keliru, dan memperkuat narasi keberhasilan program-program pembangunan. Pendekatan ini bukan hanya memperkuat basis dukungan, tetapi juga mengungkap kelemahan mendasar dalam strategi lawan bahwa kebohongan, tanpa landasan fakta, tidak mampu bertahan lama.
Di sisi lain, kemenangan ini menggarisbawahi pentingnya literasi digital sebagai tameng masyarakat dari manipulasi politik. Literasi digital bukan hanya tentang mengenali hoaks, tetapi juga memahami konteks informasi dan mengevaluasi sumbernya secara kritis. Masyarakat Jambi yang semakin sadar dan kritis memberikan pesan kuat bahwa mereka tidak akan lagi menjadi korban propaganda murahan.
Kemenangan ini juga menjadi tamparan bagi politik transaksional dan oportunistik. Al Haris telah menunjukkan bahwa politik yang berakar pada kinerja dan komitmen jangka panjang terhadap rakyat adalah senjata paling ampuh dalam melawan politik hitam. Dengan menjadikan fakta dan transparansi sebagai fondasi utama kampanye, ia tidak hanya berhasil meraih kepercayaan rakyat, tetapi juga memberikan standar baru dalam praktik politik lokal. Pilgub Jambi 2024 mengajarkan bahwa politik harus kembali ke esensinya melayani rakyat, bukan memanipulasi mereka.
Pada akhirnya, kemenangan Al Haris adalah cerminan dari sebuah prinsip abadi, kebenaran mungkin tertunda, tetapi ia tidak pernah kalah. Ini adalah pengingat bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk melihat melampaui kabut propaganda, menuntut integritas dari para pemimpin mereka, dan menolak jebakan politik usang yang menjual kebohongan untuk keuntungan sesaat. Pilgub Jambi 2024 bukan sekadar kemenangan politik, tetapi sebuah kemenangan moral yang mencerminkan kedewasaan masyarakat dalam menilai pemimpin mereka berdasarkan kinerja nyata, bukan retorika palsu. Kemenangan ini menegaskan bahwa era manipulasi tanpa batas telah usang, dan kebenaran, dengan segala kekuatannya, akan selalu menemukan jalannya untuk mengalahkan kebohongan, membawa harapan baru bagi masa depan yang lebih baik.
Selamat atas kemenangan Al Haris dan Abdullah Sani dalam Pilgub Jambi 2024. Kemenangan ini bukan hanya refleksi dari kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan yang telah terbukti, tetapi juga harapan besar akan kelanjutan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan amanat rakyat yang kini berada di pundak, semoga pasangan Haris-Sani dapat terus menjunjung tinggi kepemimpinan yang berlandaskan integritas, transparansi, dan komitmen nyata terhadap pembangunan. Dedikasi mereka dalam melayani masyarakat Jambi diharapkan dapat terus menginspirasi, memperkuat kebersamaan, dan memperkokoh fondasi kemajuan. Semoga kepemimpinan yang baru ini membawa perubahan positif yang nyata, meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, dan menjadikan Jambi semakin mantap di segala bidang. Lanjutkan.
*Akademisi UIN STS Jambi