Connect with us

LINGKUNGAN

Hutan Mangrove Dibabat Demi Kebun Sawit? Aktivis Lingkungan Soroti Sejumlah Hal

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Tanjungjabung Timur – Daerah pesisir Provinsi Jambi, tepatnya di Desa Sungai Sayang, Kecamatan Sadu, Kabupaten Tanjungjabung Timur yang konon merupakan hutan mangrove (bakau) kini hampir rata dengan tanah akibat aktivitas pembalakan liar.

Arie Suryanto, Ketua Komunitas Cinta Hijau sekaligus pegiat lingkungan hidup miris melihat kondisi tempat yang dulunya dipenuhi oleh tanaman mangrove itu. Dia mengungkap aksi pembalakan liar telah mengakibatkan perkampungan warga Sungai Sayang kadang dilanda banjir dikala air laut sedang pasang.

“Iya banjir lah. Karna penyangganya itu mangrove sudah ditebangin semua. Jadi perkampungan itu, jalan, infrastruktur yang dibangun pemerintah diterjang air laut. Ini yang kita sayangkan, padahal di UU No 27 tahun 2007 itu jelas soal ketentuan, pemanfaatan sampai sangsi hukumnya apabila merusak kawasan konservasi mangrove,” kata Arie Suryanto, Rabu 31 Agustus 2022.

Arie pun menilai terkait persoalan mangrove di daerahnya perlu ada kerjasama untuk menyelamatkan wilayah pesisir Provinsi Jambi ini, karena menurutnya persoalan ini tak lagi bicara soal Tanjabtim tapi ini merupakan persoalan Provinsi Jambi.

“Kalau ditanya berapa persen hutan mangrove di Tanjabtim yang rusak, saya pikir sudah hampir semua,” ujar dia.

Menurutnya problem mendasar soal pembalakan liar ekosistem mangrove tersebut adalah seakan adanya pembiaran dari pemerintah. Salah satunya ia juga soroti persoalan Rencana Tata Ruang Tata Wilayah (RTRW) dimana terdapat ketentuan jarak minimal untuk segala jenis aktivitas usaha sepanjang 150 Meter dari bibir pantai yang terkesan diabaikan oleh pihak tak bertangungjawab.

Kini ketika air laut sedang pasang, maka banjir menjadi ancaman pasti. Namun hal yang membuat Arie tak habis pikir adalah terdapatnya dugaan jual beli lahan dekat pesisir tersebut padahal statusnya dibawah tanggungjawab pemerintah daerah atau Pemkab Tanjungjabung Timur dan Pemprov Jambi.

“Karnakan wilayah kawasan pesisir ini kewenangan Pemerintah Daerah. Seharusnya kalau sudah terjadi abrasi janganlah diserahkan kepada pihak lain, seharusnya berkoordinasi betul-betul dengan pemerintah. Jangan menjual seenaknya kepada perusahaan. Tanpa mikir dampak kedepannya,” kata dia.

Meskipun enggan untuk menyebut nama perusahaan yang telah membeli lahan-lahan tersebut, namun Arie menyangkutkannya dengan kasus yang menimpa Bos Duta Palma yang ditangkap Kejaksaan, Surya Darmadi. Menurutnya kasus pembalakan di daerahnya sedikit banyak terdapat kemiripan dengan kasus bos Duta Palma tersebut.

“Dengan dibongkarnya kasus Surya Darmadi ini, saya rasa ini akan berdampak ke sini. Siapa sih mereka-mereka ini yang punya perusahaan sawit ini?” ujar dia bertanya-tanya.

Harusnya, kata dia, mau siapapun kalau sudah melanggar UU, Pemerintah juga harus tegas. Karena saya, katanya, juga ada keinginan untuk melaporkan ini apakah ada indikasi gratifikasi atau apa terserah saya tidak tau menaulah.

“Yang jelas kalau perusahaan itu beroperasi disana dan tidak punya izin apa tanggapan Pemda kenapa diam?,” ujarnya.

Sementara itu, Camat Sadu Frans Aprianto ketika dikonfirmasi terkait dugaan pembalakan hutan mangrove tersebut dilandasi oleh munculnya izin usaha perkebunan sawit, Frans membantahnya.

“Untuk saat ini atas perintah pimpinan kami sudah melakukan beberapa hal terkait masalah itu. Sudah melakukan pengecekan di lapangan, melakukan pemetaan lokasi, inventarisasi dan identifikasi lokasi, dan meminta keterangan dari beberapa pejabat wilayah terkait lokasi yang di maksud.
Dan untuk tahapan berikut nya kami masih mencari keterangan dulu dari beberapa orang masyarakat,” katanya.

Dia juga mengatakan jika di lokasi pesisir pantai, Sungai Sayang bekas hutan Mangrove tersebut belum pernah ada terbit izin usaha perusahaan sampai sekarang.

“Berdasarkan hasil pemetaan lokasi dan keterangan dari pejabat setempat, wilayah tersebut belum pernah mengajukan Izin atau penerbitan izin apapun,” ujar Frans Aprianto.

Namun, ketika awak media mencoba mengkonfirmasi lebih lanjut kepada pimpinan OPD terkait yakni Kepala Dinas Lingkungan Hidup Tanjabtim, Adil Aritonang. Ia sama sekali tidak ada merespon permintaan konfirmasi terkait masalah ini.

Reporter: Juan Ambarita

LINGKUNGAN

PLTU Milik PT Permata Prima Elektrindo Diduga Cemari Sungai Ale, Sudah Dilaporkan Namun Belum Ada Perubahan

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Sarolangun – PLTU milik PT Permata Prima Elektrindo (PPE) yang berlokasi di Desa Semaran, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, diduga telah mencemari ekosistem Sungai Ale melalui pembuangan limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA). Hal ini terungkap dari hasil investigasi Lembaga Tiga Beradik (LTB) pada Selasa, 3 Juni 2025.

Tim LTB menemukan bahwa limbah FABA diangkut menggunakan kendaraan roda empat dan dibuang ke lahan terbuka seluas sekitar 1,3 hektare hanya berjarak 40 meter dari anak Sungai Ale. Lokasi pembuangan tersebut merupakan area rawa yang rawan banjir dan seharusnya menjadi daerah resapan air tanah.

“Kegiatan ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun, khususnya Pasal 25 ayat 4 huruf b serta Pasal 28 ayat 1 huruf b dan e,” ujar Manager Advokasi LTB, Deri lewat keterangan tertulisnya.

Dampak dari aktivitas ini dirasakan langsung oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada Sungai Ale. Air sungai kini tercemar lumpur hitam limbah FABA, yang jika digunakan bisa membahayakan kesehatan.

Deri menegaskan bahwa jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa penindakan dari pihak berwenang, pencemaran bisa meluas hingga Sungai Tembesi yang menjadi hilir dari Sungai Ale.

“Pada Mei 2024 lalu, luapan Sungai Tembesi mencapai lokasi pembuangan limbah FABA dan membawa lumpur hitam yang menyebabkan kerusakan ekosistem di Sungai Ale,” katanya.

Menurut Deri, laporan sudah disampaikan kepada perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun pada kegiatan Sedekah Bumi tahun 2024 di RT 06, pintu masuk menuju lokasi PLTU. Namun hingga kini belum ada respons atau tindakan konkret.

“Kami menilai bahwa Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun lalai dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap aktivitas PLTU Semaran milik PT Permata Prima Elektrindo. Oleh karena itu, kami menuntut agar perusahaan diberi sanksi tegas oleh pihak terkait,” katanya. (*)

Continue Reading

LINGKUNGAN

Walhi Jambi Laporkan Jamtos, JBC, dan Roma Estate ke Polda Terkait Dugaan Perusakan Sungai

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi melaporkan tiga proyek pembangunan besar di Kota Jambi ke Kepolisian Daerah (Polda) Jambi atas dugaan pelanggaran lingkungan hidup pada Jumat, 30 Mei 2025.

Ketiga proyek tersebut adalah Jambi Town Square (Jamtos), Jambi Business Center (JBC), dan Perumahan Roma Estate. Walhi menilai, pembangunan ketiganya telah mengubah bentang alam sempadan Sungai Kambang dan menyebabkan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Fokus utama laporan tertuju pada pembangunan Jamtos yang diduga menutup aliran Sub Sungai Payo Sigadung atau Sungai Kambang dan menggantinya dengan saluran tertutup (gorong-gorong). Kondisi ini dinilai melanggar tata ruang dan aturan lingkungan serta meningkatkan risiko banjir di kawasan Mayang.

Berdasarkan overlay citra historis Google Earth tahun 2002 hingga 2025, kawasan Jamtos sebelumnya merupakan hutan dan sempadan sungai alami. Kini, jalur sungai tersebut tertutup bangunan beton, menghilangkan fungsi alaminya sebagai saluran limpasan air.

Walhi menilai pembangunan itu melanggar sejumlah peraturan, antara lain Undang-Undang No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, Permen PUPR No 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, serta Perda Kota Jambi No 9 Tahun 2013 dan No 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.

Selain Jamtos, pembangunan JBC dan Roma Estate juga diduga turut mengubah alur sungai dan menutup wilayah resapan air yang penting bagi kestabilan ekologis kota Jambi.

Direktur Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menyatakan bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan aturan lingkungan dan tata ruang merupakan bentuk kelalaian serius.

“Kami meminta dan mendesak Kapolda Jambi melalui Direktorat Kriminal Khusus untuk segera memeriksa pihak pengembang JBC, Jamtos, dan Roma Estate, serta pihak pemerintah yang memberikan izin atas pembangunan tersebut. Kami tidak akan berdamai bagi siapa saja yang merusak alam dan lingkungan yang berpotensi terhadap kerusakan ekologi,” ujar Oscar.

Hingga berita ini ditulis, belum diperoleh tanggapan resmi dari pihak pengembang maupun instansi terkait laporan tersebut. (*)

Continue Reading

LINGKUNGAN

Perkumpulan Hijau Bakal Laporkan Tambang Batu Bara PT GAL di Tebo Atas Pencemaran Lingkungan

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Setelah PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM) yang sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan Polda Jambi, Perkumpulan Hijau (PH) kembali menemukan indikasi kejahatan lingkungan akibat aktivitas industri ekstraktif batu bara yaitu PT Globalindo Alam Lestari (GAL).

Perusahaan tambang batu bara yang berada di kawasan Desa Suo Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo tersebut menjadi ancaman serius untuk lingkungan dan masyarakat, akibat aktivitas tambang batu bara yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari permukiman warga.

Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan menyoroti dampak yang ditimbulkan dari tambang batu bara yang sangat dekat permukiman warga tersebut, mulai dari ketimpangan sosial hingga ancaman terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.

“Risiko hadirnya tambang batu bara pasti akan mengintimidasi ruang hidup masyarakat karena di mana ada tambang, pasti ada kesengsaraan,” ujar Feri dalam pernyataannya.

Ia menegaskan bahwa situasi di Desa Suo Suo mencerminkan bagaimana masyarakat dikorbankan atas nama eksploitasi sumber daya alam. Menurut Feri, ketidakpatuhan perusahaan tambang terhadap aturan jarak minimal dari permukiman merupakan bentuk kejahatan pertambangan yang nyata.

“Ketidakpatuhan perusahaan pada aturan tentang jarak minimal pun menjadi salah satu tolak ukur kejahatan pertambangan,” katanya.

Selain ancaman terhadap lingkungan dan pertanian, aktivitas tambang yang begitu dekat juga meningkatkan risiko kesehatan bagi warga sekitar. Polusi udara dari debu tambang, pencemaran air, serta potensi longsor akibat pengerukan tanah menjadi kekhawatiran utama yang dihadapi masyarakat.

Bukan hanya itu, Perkumpulan Hijau melihat PT Globalindo Alam Lestari (GAL) dituding telah menyebabkan pencemaran dan membunuh sejumlah ekosistem sungai di sekitar konsesinya.

Hasil investigasi Perkumpulan Hijau menemukan pembuangan atau pengeringan air dari bekas tambang baru yang sedang beroperasi melalui selang mengarah dan mengalir ke Sungai Batanghari, air bekas tambang yang seharusnya dialiri ke settling pond untuk mengurai zat atau bahan kimia bekas tambang yang terkandung dari air bekas tambang baru.

Dalam hal ini jelas ungkap Feri, sanksi pelanggaran UU Lingkungan terkait settling pond, dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi administratif, tergantung pada jenis pelanggaran dan tingkat keparahannya. Sanksi pidana meliputi penjara dan denda, sedangkan sanksi administratif meliputi teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin.

Feri menambahkan, dalam izin PT GAL ini terlihat jelas lobang bekas galian tambang yang menganga luas, tidak ada bentuk tanggung jawab terhadap dampak akibat dari ekploitasi tambang yang dilakukan secara masif.

“Berdasarkan analisis Tim GIS ‘Perkumpulan Hijau mencatat luasan lobang tambang yang tidak direklamasi oleh PT Globalindo Alam Lestari (GAL) ialah luas lobang tambang 7,64 hektare dan luas lahan yang terbuka 10,97 hektare.

Feri menegaskan, jika tindakan kejahatan lingkungan ini tidak segera dihentikan, maka kehancuran dan bencana tinggal menunggu waktu. Perkumpulan Hijau mendesak pemerintah, Polda Jambi, Mabes Polri, khususnya inspektorat tambang, menteri lingkungan hidup untuk segera mengevaluasi praktik tambang yang berlangsung di Desa Suo Suo. Feri menekankan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga dari dampak buruk pertambangan dan memastikan keselamatan mereka.

“Perkumpulan Hijau juga mendesak pemerintah selaku pemberi izin, untuk mengevaluasi praktik tambang yang ada dan membebaskan area masyarakat dari wilayah tambang agar dapat memberikan jaminan pada keselamatan masyarakat sekitar,” katanya.

Terkait kemungkinan sanksi, Feri menyebut bahwa pencabutan izin merupakan bentuk hukuman tertinggi yang bisa diberikan terhadap perusahaan yang melanggar aturan. Namun, hingga saat ini, belum ada pencabutan izin yang terjadi di wilayah tersebut.

Dalam hal ini, Perkumpulan Hijau akan segera melaporkan temuan di lokasi PT GAL ini ke Polda Jambi untuk dilakukan tindakan.

“Kami akan laporkan PT GAL ini atas tindakan kejahatan pencemaran lingkungan,” katanya. (*)

Continue Reading
Advertisement ads ads
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs