Bangun Dari Tekanan Ekonomi Balasan Pandemi di Tengah Ancaman Resesi

DETAIL.ID, Jakarta – Tahun ini menjadi waktu kebangkitan bagi ekonomi Indonesia setelah terpuruk mahir akhir pandemi covid-19 yang melanda dunia dan Indonesia sejak awal 2020 kemudian.

Maklum, saat pandemi melanda, ekonomi Indonesia yang pada kuartal IV 2019 masih nangkring di level 4,97 persen, tiba-tiba ambles ke level 2,97 persen pada kuartal I 2020.

Setelahnya, ekonomi Indonesia jatuh ke minus 5,32 persen pada kuartal II 2020, minus 3,45 kuartal III 2020, dan minus 2,19 persen di kuartal IV 2020.

Beranjak ke kuartal I 2021, ekonomi Indonesia masih 0,74 persen. Bersyukur setelahnya, ekonomi Indonesia perlahan mulai bangun.

Pada kuartal II, ekonomi sukses melesat 7,07 persen. Pertumbuhan kuartal III 2021 meraih 3,51 persen, kuartal IV 2021 5,02 persen

Setelah itu, kemajuan ekonomi Indonesia berhasil mantap kembali di level 5 persen sejak awal 2022.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), perekonomian Indonesia berhasil tumbuh 5,02 persen pada kuartal I-2022. Lalu, pada kuartal II juga sukses tumbuh 5,45 persen, dan pada kuartal III berkembang sungguh impresif 5,72 persen.

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5,72 persen, sedikit di atas angka proyeksi Kementerian Keuangan yang sebesar 5,7 persen. Pencapaian ini mencerminkan terus menguatnya pemulihan ekonomi nasional di tengah peningkatan ketidakpastian prospek ekonomi global,” ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Rabu, 9 November 2022 lalu.

Bendahara negara ini meyakini kinerja nyata tersebut akan terus berlanjut hingga akhir tahun, sehingga secara keseluruhan perkembangan ekonomi biasa meraih target target pemerintah ialah 5-5,3 persen di 2022.

Tak cuma itu, inflasi yang menjadi momok nyaris semua negara, Indonesia berhasil menanganinya dengan baik. Meski ada kenaikan inflasi, namun tak setinggi negara maju yang meraih 10-12 persen.

Inflasi Indonesia pada November tercatat sebesar 5,42 persen, turun dibandingkan September 5,95 persen dan Oktober 5,71 persen. Realisasi ini cukup terjaga dengan baik dari inflasi dalam negeri biasanya di kisaran 3-4 persen.

Sedangkan, negara maju seperti AS dan Inggris inflasinya melambung tajam. AS, misalnya, inflasinya tercatat melonjak sejak tahun lalu dan ketika ini masih berada di atas 7 persen, padahal lazimnya cuma 2 persenan.

Begitu juga dengan Inggris yang inflasinya melambung semenjak tahun kemudian. Pada simpulan November masih tinggi sebesar 10,7 persen, namun lebih baik dari Oktober yang sebesar 11,1 persen.

Lonjakan inflasi disebabkan oleh kenaikan harga pangan dan energi akibat terganggunya rantai pasok imbas perang Rusia-Ukraina.

“Kenaikan yang sangat tinggi itu menyebabkan inflasi di aneka macam negara maju bahkan ini dianggap 40 tahun terburuk, selama 40 tahun terakhir,” kata Sri Mulyani.

Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dan inflasi lebih rendah dari negara maju tentu menjadi capaian fantastis bagi perekonomian Indonesia dan juga langka.

Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menganggap perekonomian Indonesia yang tangguh pada tahun ini ditopang oleh kinerja ekspor Sumber Daya Alam (SDA). Sehingga, meski terputus dari rantai pasok global, Indonesia tetap untung.

“Indonesia masih bisa mencatat kinerja aktual meski ada bahaya resesi sebab terputus dari rantai pasok global alasannya adalah porsi manufaktur Indonesia berorientasi ekspor relatif kecil, sementara ekspor yang didorong ialah komoditas olahan primer,” ujar Bhima pada CNNIndonesia.com.

“Ini ibarat blessing in disguise, di mancanegara batuk-batuk Indonesia masih aman,” tuturnya.

Bhima mencontohkan, misalnya, pada dikala terjadi krisis watu bara di Eropa, Indonesia diuntungkan karena sumber daya tersebut berlimpah di dalam negeri. Harganya yang tinggi bahkan berhasil menciptakan APBN surplus 10 bulan berturut-turut.

Namun, dia menilai laba ini tak akan berjalan lama. Sebab, harga komoditas diperkirakan akan turun di tahun depan.

“Kita lihat kemarin, Februari-April ada krisis minyak goreng alasannya adalah ekspor CPO naik, hingga pemerintah larang ekspor CPO. Tapi ketika ini harga CPO melandai. Hanya rentang delapan bulan keadaan pasar komoditas langsung berbalik arah. Menggantungkan pada ekspor komoditas di 2023 yaitu kebijakan konyol,” ucapnya.

Karenanya, dia berharap pemerintah mencari cara lain untuk bisa tetap melanjutkan kinerja perekonomian yang konkret dan tangguh. Tak bisa lagi mengandalkan komoditas yang naik dan turun harganya bersifat sementara.

Exit mobile version