Connect with us

OPINI

Vonis Richard Eliezer Tidak Mencerminkan Keadilan

DETAIL.ID

Published

on

Raya Januar Sinaga. (DETAIL/ Ist)

SUDAH beberapa bulan ini masyarakat kita dihebohkan dengan kasus penembakan seorang polisi yang dilakukan sesama polisi. Dalam kasus ini pun banyak anggota kepolisian yang terlibat, seolah kasus ini sudah terencana secara terstruktur dan sistematis. Namun motifnya masih menimbulkan tanda tanya masyarakat.

Isu yang berhembus adalah kasus pelecehan seksual oleh mendiang Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat dengan istri atasannya, Putri Candrawathi. Di mana, Putri adalah istri Ferdy Sambo, seorang jendral bintang dua eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Saat ini, para terdakwa sudah divonis oleh majelis hakim. Ferdy Sambo tuntutan jaksa seumur hidup divonis hukuman mati, Putri Chandrawathi tuntutan jaksa 8 tahun divonis 20 tahun penjara, Ricky Rizal tuntutan jaksa 8 tahun vonis hakim 13 tahun penjara, Kuat Ma’ruf (sopir pribadi) tuntutan jaksa 8 tahun vonis hakim yakni 15 tahun penjara. Sementara, Richard Eliezer tuntutan jaksa 12 tahun penjara, divonis hakim 1 tahun 6 bulan penjara.

Dalam kasus ini Richard Eliezer adalah orang yang diperintahkan untuk mengeksekusi Brigadir J. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan tentang dasar pertimbangan hakim menjatuhkan vonis Richard Eliezer jauh lebih rendah dari tuntutan jaksa, sedangkan terhadap terdakwa lain, hakim menjatuhkan vonis lebih berat.

Sesungguhnya dalam beberapa hal putusan hakim sudah tepat, yakni menghukum Ferdy Sambo dan Putri Chandrawathi masing-masing dengan hukuman mati dan pidana 20 tahun penjara karena mereka merupakan dalang intelektual. Namun apakah putusan hakim yang menghukum Ricky Rizal dan Kuat Maruf masing-masing pidana 13 tahun dan 15 tahun penjara sudah tepat?

Jika dibandingkan dengan Ricky Rizal dan Kuat Maruf, Richard Eliezer jauh lebih berkontribusi dalam hilangnya nyawa Brigadir Josua. Dalam putusannya hakim menyatakan bahwa latar belakang hakim menjatuhkan vonis kepada Richard Eliezer 1,5 tahun karena majelis mengapresiasi kejujuran dan keteguhan terdakwa selama menjalani proses persidangan.

Menurut hakim, Richard Eliezer layak ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama alias justice collaborator. Majelis hakim sadar bahwa apa yang dilakukan Richard Eliezer menyimpan berbagai risiko besar. Namun terdakwa Richard Eliezer tetap teguh mengungkapkan kebenarannya.

“Sehingga layak terdakwa ditetapkan sebagai saksi pelaku yang bekerja sama, justice collaborator. Berhak mendapatkan penghargaan sebagaimana ditentukan pasal 10 a UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan UU Nomor 13 tahun 2006. Terdakwa Richard Eliezer dianggap telah menyadari perbuatan jahatnya. Pun turut menyesali atas apa yang telah ia perbuat kepada Brigadir Josua. Dengan meminta maaf dengan tulus kepada keluarga korban.

Lalu selanjutnya berbalik 180 derajat secara nyata melangkah maju memperbaiki kesalahannya dalam proses persidangan. Meskipun harus melewati jalan terjal dan berisiko demi kebenaran. Hal itu ditunjukkan terdakwa Richard Eliezer sebagai bentuk pertobatan. Menurut hemat majelis adalah adil apabila pidana dijatuhkan kepada terdakwa ditentukan sebagaimana dalam amar putusan,”

Dalam membuat suatu keputusan hakim, harus dapat menengahi rasa keadilan bagi terdakwa, korban dan masyarakat. Namun dalam tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama, hakim juga wajib menengahi rasa keadilan di antara para terdakwa dengan memberikan putusan yang adil sesuai peran masing-masing dalam terjadinya suatu tindak pidana.

Richard Eliezer merupakan orang yang melakukan eksekusi terhadap Brigadir J atas perintah Ferdy Sambo. Adapun alasan Richard Eliezer tidak menolak karena takut dengan Ferdy Sambo. Meski demikian, kita juga harus menduga adanya motif lain, mens rea (niat batin), mental elements of crime (niat jahat) dari Richard Eliezer.

Hakim juga patut menduga bahwa Richard Eliezer memiliki kepentingan pribadi (individual interest) sehingga mau melakukan eksekusi kepada Brigadir Josua.

Manusia pada umumnya tentu tidak akan mau menghilangkan nyawa orang lain. Hal ini dapat kita lihat bahwa Riky Rizal melakukan penolakan ketika diminta oleh Sambo untuk mengeksekusi Brigadir J. Anehnya, Richard Eliezer mau melakukan hal tersebut.

Jika dikatakan bahwa adanya relasi kuasa yang jauh antara Ferdy Sambo dengan Richard Eliezer, sesungguhnya antara Riki Rizal dan Ferdy Sambo juga terjadi hal demikian.

Dalam fakta persidangan terungkap bahwa antara Richard Eliezer dengan Brigadir Josua memiliki kedekatan emosional yang cukup dekat. Mereka sering tidur dalam satu kamar yang sama, namun dengan teganya melakukan eksekusi kepada sahabatnya sendiri. Sedangkan dalam kepolisian setiap anggota harus memiliki jiwa korsa rela mati demi teman.

Jika melihat dengan sudut pandang yang berbeda adapun alasan Richard Eliezer mengatakan bahwa ia takut dengan Ferdy Sambo karena relasi kuasa sehingga mau mengeksekusi Brigadir Josua.

Bagaimana jika ternyata bahwa Richard Eliezer memiliki, mens rea (niat batin) yang tidak baik dan mental elements of crime (niat jahat) serta kepentingan pribadi (individual interest) yang menginsyafi bahwa Ferdy Sambo merupakan orang yang berkuasa di institusi Polri tempat ia bekerja. Sehingga apabila ia mengikuti keinginan Ferdy Sambo, maka akan menjadi ajudan kesayangan dan dianak emaskan oleh Ferdy Sambo.

Tentunya hal ini akan mempengaruhi dan berharap kariernya akan lebih gemilang dengan mendapatkan promosi dari Ferdy Sambo.

Berdasarkan dakwaan bahwa Richard Eliezer, Riki Rizal, Kuat Maruf masing-masing diberikan IPhone 13 Pro Max tidak ada penolakan dari ketiga terdakwa. Perlu diperhatikan khususnya Richard Eliezer, jika hanya karena takut akan Ferdy Sambo tentunya tanpa adanya kepentingan pribadi (individual interest) bukan sesuatu yang sulit jika Richard Eliezer menolak pemberian hadiah, yang terpenting ia telah melaksanakan kehendak Ferdy Sambo untuk mengeksekusi Brigadir Josua.

Ferdy Sambo sempat akan memberikan hadiah untuk Riky Rizal dan Kuat Maruf masing-masing Rp 500 juta dan Richard Eliezer sebesar Rp 1 miliar, namun karena situasi dirasa belum aman uang itu dijanjikan akan diberikan pada bulan Agustus. Dapat dilihat bahwa dalam dakwaan juga tidak ada pernyataan dari Richard Eliezer untuk menolak.

Walau pun Richard Eliezer sudah menjadi Justice Collaborator dalam kasus ini sehingga kasus ini menjadi terang, namun hakim tidak dapat mengesampingkan peran penting Richard Eliezer dalam menghilangkan nyawa Brigadir J dan faktor Richard Eliezer patut diduga memiliki mens rea (niat batin) yang tidak baik dan mental elements of crime (niat jahat) serta kepentingan pribadi (individual interest) sehingga alasan bahwa adanya relasi kuasa tidak dapat sepenuhnya diterima.

Hakim dapat menjadikan peran Richard Eliezer menjadi Justice Collaborator untuk meringankan hukumannya, namun tidak menghukum Riki Rizal dan Kuat Maruf jauh lebih berat, sementara peran mereka jauh lebih sedikit.

Hal ini dapat mencederai rasa keadilan bagi para terdakwa lainnya. Jika hakim menyatakan bahwa vonis atas Richard Eliezer 1,5 tahun adil dengan dasar bahwa Richard Eliezer adalah seorang yang berani mengungkap kebenaran, maka perlu juga hakim mempertimbangkan bahwa patut diduga Richard Eliezer memiliki mens rea, elements of crime dan individual interest jauh lebih besar dibandingkan dengan Riki Rizal yang berani menolak.

Jika dibandingkan dengan Kuat Ma’ruf patut diduga juga bahwa Richard Eliezer memiliki mens rea (niat batin) yang tidak baik dan mental elements of crime (niat jahat), dan kepentingan pribadi (individual interest) jauh lebih besar. Kuat Ma’ruf hanyalah seorang sopir. Sekali pun ia ikut terlibat dalam kasus ini, keuntungan yang ia dapatkan tidak sebesar terdakwa lain yang bekerja sebagai seorang polisi sehingga mens rea (niat batin) yang tidak baik, mental elements of crime (niat jahat), dan kepentingan pribadi (individual interest) tidak cukup besar.

Adapun salah satu faktor yang memberatkan hukuman terdakwa adalah peran sertanya dalam suatu tindak pidana dan juga seberapa besar mens rea (niat batin) yang tidak baik, dan mental elements of crime (niat jahat). Jika diperbolehkan memilih, Riki Rizal dan Kuat Maruf tidak ingin terlibat. Mereka juga seorang ayah dari anak-anaknya yang turut menjadi korban atas kejahatan yang didalangi oleh Ferdy Sambo dan Putri Chandrawathi.

Apabila hakim menyatakan bahwa 1,5 tahun adalah vonis yang adil, maka vonis untuk Riki Rizal dan Kuat Maruf harusnya tidak jauh berbeda atau justru di balik vonis Richard Eliezer yang tidak jauh berbeda dengan Riki Rizal dan Kuat Maruf sehingga menciptakan rasa keadilan bagi terdakwa lainnya.

Selain tentang rasa keadilan, putusan hakim ini juga dapat menimbulkan gejolak dalam politik hukum di Indonesia di masa yang akan datang. Pelaku tindak pidana akan berlomba-lomba menjadi Justice Collaborator agar mendapatkan hukuman yang tidak masuk akal dengan pasal yang didakwakan. Seperti Richard Eliezer yang didakwa Pasal 340 KUHP juncto pasal 55 ayat ke-1 KUHP hanya dihukum 1,5 tahun.

Harus diingat, putusan hakim merupakan yurisprudensi dan negara ini mengakui bahwa yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum selain undang-undang dan dapat dijadikan hakim di masa yang akan datang sebagai rujukan dalam penanganan suatu kasus.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Jambi

OPINI

Pilihan Jalan atau Hanya Berpetualang

DETAIL.ID

Published

on

USAI sudah Pilgub Jambi 2024. Usai sudah penghitungan. Baik penghitungan lembaga survey, quick count maupun penetapan resmi dari KPU. Baik berjenjang dari KPU Kabupaten maupun penetapan akhir KPU Provinsi Jambi. Hasilnya tidak jauh berubah. Kemenangan telak diraih oleh Al Haris-Sani. Sang incumbent yang mantap dengan peraihan 60%. Jauh dari perkiraan para ahli yang banyak meramalkan hanya mampu meraih 52%-26%.

Namun apapun hasil kemenangan Pilgub, cerita dibalik pilkada yang berlangsung selama setahun terakhir banyak memberikan pelajaran. Sekaligus cerita yang bisa ditorehkan. Sekaligus diceritakan kepada generasi muda.

Pertama. Memilih Gubernur/Wakil Gubernur Jambi tentu saja tidak memilih yang terbaik. Tentu saja banyak putra-putra terbaik di Jambi.

Berbagai teori ilmu politik maupun sebagian aliran pemikiran, memilih pemimpin bak memilih seperti kaum Sofi. Kaum yang memang dilahirkan manusia suci dan mempunyai pemikiran yang sangat bijaksana.

Bahkan banyak sekali aliran agama yang menempatkan Pemimpin politik bak memilih seperti ulama. Lengkap pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan perilaku yang terpuji.

Maqom ini sering digunakan untuk menangkis terhadap calon-calon yang populer. Sekaligus membentengi diri dan melindungi kandidatnya.

Sebagai pemikiran, ajaran ataupun strategi, cara-cara ini sah saja digunakan.

Namun ditengah perkembangan zaman yang begitu pesat, strategi kampanye yang setiap Pilgub yang berbeda-beda, saya memilih dengan ukuran yang paling sederhana.

Memilih pemimpin ketika dia mau mendengarkan. Mau melaksanakan janji-janjinya yang sederhana. Sekaligus dia mau mendengarkan ketika saya mengumpat, memaki bahkan menghardik kinerja.

Dia lebih banyak mendengarkan. Dia sama sekali tidak memberikan klarifikasi ataupun bantahan terhadap apa yang saya sampaikan.

Apakah terlalu sederhana itu ? Ya. Cukup sederhana.

Di dalam berbagai kesempatan, ukuran realistis yang paling mudah dijangkau, apakah dia mau mengurusi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan.

Selama itu bisa dijangkau dengan ukuran obyektif selama itu saya tetap didalam barisan. Termasuk juga kalaupun banyak yang berlarian meninggalkannya, mungkin saya orang terakhir meninggalkannya.

Sebagai manusia, tentu saja kadangkala sering dongkol, kecewa bahkan kesal. Namun ketika seseorang mau mendengarkan gerutukkan saya, lebih banyak diam ketika saya umbarkan kemarahan, itulah kemewahan saya sebagai rakyat.

Dan ketika satu persatu pertimbangan, nasihat ataupun saran kemudian diikuti, bagiku itulah seseorang pemimpin. Menjawab dengan tindakan. Bukan sekadar janji.

Kedua. Di tengah Pilgub Jambi 2024, tentu saja ada sebagian kemudian memilih berbeda barisan. Memilih kemudian berbeda bagiku tidak terlalu mengganggu pemikiran.

Namun yang menarik pemikiran tentu saja alasan kemudian ketika pernah bersama-sama kemudian memilih berbeda barisan.

Selama memilih dengan alasan prinsip dan mendasar, tentu saja respek selalu kuhargai.

Namun ketika alasan memilih bukanlah prinsip dan mendasar dan lebih mengutamakan emosi, baper, tentu saja bagiku itu kekanak-kanakan.

Padahal kutahu sang pengabar mempunyai literatur bacaan yang kuat. Sikap dan prinsip yang selama ini sempat kukagumi. Bahkan cara penyampaian yang begitu tajam tidak salah kemudian kutempatkan sebagai tokoh panutan.

Namun ketika kutahu sang tokoh kemudian meninggalkan barisan dengan alasan (mungkin bagiku konyol) seketika respekku hilang. Berganti dengan nada sentimentil yang mendayu-dayu. Persis kayak anak ABG yang lagi galau. Ketika cuma SMS, telp ataupun WA sama sekali tidak dibalas.

Padahal di ujung telepon, sang pacar malah sibuk dengan pekerjaan rutinitas yang memang memaksa tidak memegang HP.

Yang kadangkala bikin geli, selevel tokoh (kata orang bijak sering “hatinya harus jember”), yang mewarisi sikap keteladanan bersikap kekanak-kanakan justru menjadi hiburan tersendiri. Kalaupun bukan pelajaran pahit yang menjadi perjalanan hidup.

Namun apapun yang terjadi dibalik Pilgub Jambi 2024, seleksi alam begitu kejam. Hanya orang mampu menghadapi perubahan zaman yang akan bertahan.

Selain itu mereka akan tergilas dengan kehadiran generasi milenial bahkan generasi Gen Z yang tidak kenal ampun. Melumat orang-orang cengeng di kancah politik.

Dan saya kemudian memilih. Bergabung dengan generasi milenial dan generasi Gen Z untuk menertawakan “kecengengan” kaum tua yang ketika berbicara selalu menepuk-nepuk dada.

Pilgub Jambi 2024 juga mengajarkan. Kemenangan Pilgub ketika menguasai generasi millenial dan Generasi Z.

Selamat datang, Era baru. Selamat datang generasi baru. (***)

*Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani

Continue Reading

OPINI

Kebijakan Pajak 12%: Selektivitas untuk Barang Mewah, Strategi atau Tantangan?

DETAIL.ID

Published

on

PEMERINTAH Indonesia telah mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menerapkan tarif PPN sebesar 12%. Rencana ini akan dimulai per 1 Januari 2025, sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, telah diputuskan bahwa kebijakan ini hanya akan berlaku untuk barang mewah. Banyak orang melihat kebijakan ini sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan negara dan menghalangi daya beli industri dan masyarakat tertentu.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah mengatur mekanisme pemungutan pajak atas barang-barang yang dikategorikan sebagai barang mewah. Menurut pasal 1 ayat (1) UU tersebut, barang mewah adalah barang yang dalam penggunaannya tidak memberikan manfaat langsung terhadap kelangsungan hidup atau kehidupan manusia, yang menyebabkan pengenaan pajak untuk membatasi kontribusi kelangsungan hidup atau kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengenaan pajak 12% ini dimaksudkan untuk membatasi konsumsi barang tersebut.

Pandangan Pemangku Kebijakan

Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk meminimalisir konsumsi barang mewah yang tidak bersifat esensial bagi masyarakat umum. Ia menegaskan pentingnya melindungi rakyat kecil melalui pengecualian PPN untuk barang kebutuhan pokok.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kebijakan ini sebagai langkah yang menyesuaikan tren global dalam perpajakan dengan pelaksanaan cukup diatur melalui PMK. Ia memastikan bahwa pelaksanaannya dirancang agar tidak merugikan ekonomi rakyat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mencerminkan asas keadilan. “Kami ingin memastikan barang-barang yang memiliki kontribusi lebih besar terhadap pendapatan pajak adalah barang-barang yang memang hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki daya beli tinggi,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada awal November 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)

Namun, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Mukhamad Misbakhun, mengatakan kelompok barang yang akan dikenai PPN 12 persen tersebut masih akan diseleksi. Khususnya untuk objek barang yang selama ini tergolong dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Perspektif Pemerintah: Ini adalah Pendekatan yang Mempertimbangkan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara

Kebijakan ini tentu tidak mengabaikan pandangan beberapa menteri yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan, kebijakan ini merupakan tindakan yang lebih strategis yang bertujuan untuk memastikan keseimbangan dalam pendapatan negara dan pada saat yang sama mengatur konsumsi barang-barang mewah.

Ada kalanya Sri Mulyani menguraikan masalah ini: “Pengenaan cukai dengan tarif 12 persen pada barang-barang mewah bertujuan untuk mencegah konsumsi berlebihan barang-barang mewah dan mengarahkan konsumsi pada barang-barang yang akan produktif bagi ekonomi, selain tentu saja untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk pembangunan.”

Pendapatan yang diperoleh dari pajak barang-barang mewah dimaksudkan untuk digunakan dalam meningkatkan fasilitas publik, kesehatan, dan pendidikan, serta untuk meningkatkan kebijakan fiskal yang lebih luas yang melindungi proses pemulihan pasca-covid.

Tantangan yang Dihadapi

Tetapi kebijakan ini menghadapi beberapa masalah seperti berdampak pada daya beli konsumen. Ekonom bernama Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pengenaan pajak lebih tinggi pada barang tertentu dapat berdampak pada penurunan konsumsi, terutama untuk industri yang bergantung pada penjualan barang premium.

Potensi Kebijakan Tidak Efektif: Beberapa pengamat mengkhawatirkan pengalihan konsumsi masyarakat ke pasar gelap atau pembelian langsung di luar negeri untuk menghindari pajak tinggi.

Kompleksitas Administrasi: Penetapan barang mewah dalam kategori dapat menjadi kontroversial, terutama bagi bisnis yang menganggap kebijakan ini terlalu luas.

Pengaruh terhadap Sektor dan Lingkungan Sosial

Akan tetapi, ada juga dampak negatif dari kebijakan ini, terutama untuk industri yang langsung berhubungan dengan barang-barang mewah. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kebijakan tersebut perlu diikuti oleh kebijakan lain yang lebih memperhatikan industri dalam negeri. Dalam pernyataan tersebut, beliau menekankan: “Kita harus memastikan bahwa dampak dari kebijakan berbasis pajak tidak merugikan industri lokal.” Ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran besar terkait apa yang terjadi pada berbagai sektor, terutama yang paling berisiko tidak bisa bersaing di level global.

Secara khusus pada barang mewah yang dihasilkan di Negara kita Indonesia seperti otomotif, elektronik, atau barang fashion, maka kebijakan pajak akan mengurangi daya beli masyarakat dan juga akan memperlambat laju pertumbuhan industri yang bersangkutan.

Secara keseluruhan, pemerintah menggunakan kebijakan pajak 12% pada barang mewah untuk mengontrol konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara.

Namun, kebijakan ini menghadirkan beberapa kesulitan, baik dari segi bagaimana ia diterapkan di lapangan maupun bagaimana hal itu berdampak pada sektor industri tertentu. Kebijakan ini mungkin memiliki dampak negatif yang lebih besar, terutama dalam jangka panjang, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dan melindungi daya beli masyarakat.

*Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI)

Continue Reading

OPINI

Pilgub Jambi 2024: Kemenangan Fakta, Kegagalan Propaganda

DETAIL.ID

Published

on

DALAM dunia yang semakin terjebak dalam pusaran informasi dan disinformasi, pepatah lama Belanda “All is de leugen nog zo snel, de waarheid achterhaalt haar wel” atau “Seberapa cepat pun kebohongan berlari, kebenaran akan mengejarnya” terasa semakin relevan. Di era digital saat ini, ketika informasi mampu menyebar secara viral dalam hitungan detik, ruang publik sering kali menjadi ajang pertarungan antara kebenaran dan manipulasi. Kebohongan, yang dirancang untuk memengaruhi emosi massa, dapat dengan mudah menciptakan ilusi kebenaran. Namun, meski lambat, kebenaran tetap memiliki daya tahan yang mampu membongkar kebohongan secara sistematis.

Fenomena ini tidak hanya menjadi persoalan global, tetapi juga tercermin dalam dinamika politik lokal, seperti yang terlihat dalam Pilgub Jambi 2024. Pilgub Jambi 2024 menjadi panggung nyata dari pergulatan ini. Dalam kontestasi yang panas, strategi pihak lawan tampak memanfaatkan disinformasi sebagai senjata politik untuk melemahkan kredibilitas petahana, Al Haris. Narasi negatif, fitnah personal, hingga hoaks terstruktur menyasar capaian-capaian Al Haris, seolah-olah keberhasilan yang diraihnya hanyalah mitos belaka. Di era ketika literasi digital masyarakat belum merata, pola semacam ini sering kali efektif dalam membentuk opini publik jangka pendek. Namun, strategi manipulatif ini mengabaikan satu hal mendasar, masyarakat yang telah merasakan dampak nyata dari kebijakan seorang pemimpin tidak mudah dikelabui oleh narasi kosong.

Dalam konteks ini, upaya pihak lawan untuk memanfaatkan kelemahan literasi digital di masyarakat menjadi semakin terlihat. Mereka mencoba menyulut sentimen dengan narasi bombastis, namun gagal mengukur satu hal penting, masyarakat yang telah melihat dan merasakan hasil kerja nyata memiliki dasar penilaian yang lebih konkret dibandingkan janji kosong. Program-program unggulan seperti Dumisake, peningkatan kualitas layanan publik, hingga perbaikan infrastruktur strategis menjadi bukti nyata yang sulit dibantah. Fakta-fakta inilah yang menjadi jawaban atas propaganda negatif yang dilancarkan sepanjang kampanye.

Fakta-fakta keberhasilan ini tidak hanya mampu membantah propaganda negatif, tetapi juga menjadi dasar kuat yang mendukung kemenangan Al Haris, membuktikan bahwa politik yang berlandaskan integritas dan kerja nyata tetap menjadi pilihan masyarakat. Alih-alih terjebak dalam permainan lawan yang mencoba menjatuhkannya dengan fitnah, Al Haris dan timnya tetap fokus pada narasi berbasis fakta. Mereka mengedukasi masyarakat, meluruskan informasi keliru, dan memperkuat narasi keberhasilan program-program pembangunan. Pendekatan ini bukan hanya memperkuat basis dukungan, tetapi juga mengungkap kelemahan mendasar dalam strategi lawan bahwa kebohongan, tanpa landasan fakta, tidak mampu bertahan lama.

Di sisi lain, kemenangan ini menggarisbawahi pentingnya literasi digital sebagai tameng masyarakat dari manipulasi politik. Literasi digital bukan hanya tentang mengenali hoaks, tetapi juga memahami konteks informasi dan mengevaluasi sumbernya secara kritis. Masyarakat Jambi yang semakin sadar dan kritis memberikan pesan kuat bahwa mereka tidak akan lagi menjadi korban propaganda murahan.

Kemenangan ini juga menjadi tamparan bagi politik transaksional dan oportunistik. Al Haris telah menunjukkan bahwa politik yang berakar pada kinerja dan komitmen jangka panjang terhadap rakyat adalah senjata paling ampuh dalam melawan politik hitam. Dengan menjadikan fakta dan transparansi sebagai fondasi utama kampanye, ia tidak hanya berhasil meraih kepercayaan rakyat, tetapi juga memberikan standar baru dalam praktik politik lokal. Pilgub Jambi 2024 mengajarkan bahwa politik harus kembali ke esensinya melayani rakyat, bukan memanipulasi mereka.

Pada akhirnya, kemenangan Al Haris adalah cerminan dari sebuah prinsip abadi, kebenaran mungkin tertunda, tetapi ia tidak pernah kalah. Ini adalah pengingat bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk melihat melampaui kabut propaganda, menuntut integritas dari para pemimpin mereka, dan menolak jebakan politik usang yang menjual kebohongan untuk keuntungan sesaat. Pilgub Jambi 2024 bukan sekadar kemenangan politik, tetapi sebuah kemenangan moral yang mencerminkan kedewasaan masyarakat dalam menilai pemimpin mereka berdasarkan kinerja nyata, bukan retorika palsu. Kemenangan ini menegaskan bahwa era manipulasi tanpa batas telah usang, dan kebenaran, dengan segala kekuatannya, akan selalu menemukan jalannya untuk mengalahkan kebohongan, membawa harapan baru bagi masa depan yang lebih baik.

Selamat atas kemenangan Al Haris dan Abdullah Sani dalam Pilgub Jambi 2024. Kemenangan ini bukan hanya refleksi dari kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan yang telah terbukti, tetapi juga harapan besar akan kelanjutan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan amanat rakyat yang kini berada di pundak, semoga pasangan Haris-Sani dapat terus menjunjung tinggi kepemimpinan yang berlandaskan integritas, transparansi, dan komitmen nyata terhadap pembangunan. Dedikasi mereka dalam melayani masyarakat Jambi diharapkan dapat terus menginspirasi, memperkuat kebersamaan, dan memperkokoh fondasi kemajuan. Semoga kepemimpinan yang baru ini membawa perubahan positif yang nyata, meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, dan menjadikan Jambi semakin mantap di segala bidang. Lanjutkan.

*Akademisi UIN STS Jambi

Continue Reading
Advertisement