Connect with us
Advertisement

OPINI

Kemenangan Haris-Sani: Elektabilitas, Kampanye Akbar dan Dukungan Tokoh Politik di Pilgub Jambi

DETAIL.ID

Published

on

KAMPANYE akbar pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jambi nomor urut 2, Al Haris dan Abdullah Sani (Haris-Sani), dimulai dengan semangat luar biasa pada Rabu, 6 November 2024, melalui Tabligh Akbar yang digelar di Sebapo, Kecamatan Mestong, Kabupaten Muaro Jambi. Acara yang berlangsung di lapangan Garuda KM 22 Desa Sebapo ini dihadiri oleh ribuan warga yang penuh antusiasme mendukung pasangan ini.

Tabligh Akbar yang dihadiri oleh Ustaz Das’ad Latif menjadi momen penting, tidak hanya mencerminkan kedekatan Haris-Sani dengan masyarakat, tetapi juga menegaskan komitmen pasangan ini terhadap nilai-nilai keagamaan yang sangat dihargai oleh masyarakat Jambi. Kehadiran Ustaz Das’ad Latif semakin memperkuat citra pasangan ini sebagai pemimpin yang peduli, dekat dengan rakyat, dan memiliki visi yang sejalan dengan aspirasi masyarakat Jambi dalam menjaga keharmonisan antara pembangunan dan spiritualitas.

Kesuksesan Tabligh Akbar di Sebapo menjadi momentum penting yang semakin memperkuat posisi Haris-Sani di mata masyarakat. Kampanye ini tidak hanya berfokus pada politik praktis, tetapi juga melibatkan unsur spiritual yang sangat dihargai oleh warga Jambi. Antusiasme ribuan massa menunjukkan bahwa pasangan Haris-Sani mampu menyentuh berbagai kalangan, baik yang mengutamakan pembangunan fisik maupun yang mengedepankan aspek spiritual.

Pada Kamis, 7 November 2024, kampanye Haris-Sani berlanjut dengan kampanye akbar di lapangan Eks Arena MTQ Bungo. Kampanye ini dihadiri oleh ribuan simpatisan dan didukung oleh tokoh-tokoh besar dari berbagai kalangan. Di antaranya, mantan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus, mantan Gubernur Jambi Zumi Zola, mantan Gubernur Jambi Fachrori Umar, dan Antoni Zaira Abidin (AZA), mantan Wakil Gubernur Jambi. Kehadiran tokoh-tokoh besar ini semakin menguatkan pesan bahwa Haris-Sani adalah pasangan yang mendapat restu dari pemimpin-pemimpin Jambi yang telah terbukti dalam memimpin provinsi ini.

Selain itu, kampanye ini juga mendapat dukungan dari petinggi partai politik, seperti A Bakrie, Edi Purwanto, Mashuri Bupati Bungo, dan Heru Kustanto Ketua PKS Provinsi Jambi. Kehadiran mereka menunjukkan soliditas dan kekuatan aliansi politik yang mendukung Haris-Sani, serta memperlihatkan bahwa Haris-Sani siap melanjutkan pembangunan di Jambi dengan prioritas pada keberlanjutan pembangunan dan kemajuan yang lebih baik di periode 2024-2029.

Pada Senin, 11 November 2024, kampanye pasangan ini semakin menunjukkan kekuatannya dengan dilakukannya kampanye di lapangan TKD, Kecamatan Tebing Tinggi. Ribuan warga hadir dengan semangat yang luar biasa, memberikan dukungan penuh untuk pasangan Haris-Sani.

Dukungan masyarakat yang melimpah ini semakin menegaskan bahwa Haris-Sani telah berhasil menyentuh berbagai lapisan masyarakat dengan program-program yang relevan dan berdampak nyata bagi kehidupan mereka. Calon Gubernur Jambi nomor urut 2, Al Haris, mengungkapkan bahwa antusiasme warga sangat mengesankan dan memotivasi tim kampanye untuk terus bekerja keras dalam menyampaikan visi dan misi mereka.

Tak hanya di Tebing Tinggi, pasangan Haris-Sani juga melanjutkan perjalanan kampanye mereka di berbagai daerah di Jambi. Al Haris, bersama Abdullah Sani dan tim koalisi pemenangan, melakukan kampanye politik di berbagai kabupaten, termasuk Kota Sungai Penuh, Kabupaten Kerinci, Merangin, Kabupaten Bungo, Kabupaten Tebo, dan Kabupaten Sarolangun. Kampanye ini semakin mengukuhkan posisi mereka di Jambi bagian Barat.

Setelah itu, kampanye politik dilanjutkan ke Jambi bagian Tengah, dengan fokus di Kabupaten Batang Hari. Kampanye ini menekankan pentingnya pembangunan yang berkelanjutan serta perhatian terhadap kebutuhan masyarakat, baik di bidang infrastruktur, UMKM, hingga dukungan bagi rumah ibadah dan pondok pesantren. Selain itu, pasangan ini juga memberikan perhatian serius terhadap peningkatan kesejahteraan sosial melalui berbagai program yang langsung dirasakan oleh masyarakat.

Pada Kamis, 21 November 2024, kampanye Haris-Sani mencapai puncaknya dengan acara kampanye akbar di lapangan Eks MTQ, Kota Jambi. Kampanye ini dihadiri oleh ribuan masyarakat serta kader partai koalisi. Bahkan, tujuh dari delapan anggota DPR RI Dapil Jambi turut hadir mendukung pasangan ini. Ketua DPD Gerindra Jambi, Sutan Adil Hendra (SAH), menyampaikan salam dari Presiden RI, Prabowo Subianto, yang memuji kecerdasan masyarakat Jambi. Dalam orasinya, SAH menegaskan, “Tidak ada pilihan terbaik pada 27 November 2024, kecuali Al Haris dan Abdullah Sani.

Survei terbaru dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) juga menunjukkan hasil positif bagi pasangan Haris-Sani. Elektabilitas mereka unggul signifikan dibandingkan pasangan Romi-Sudirman, dengan dukungan besar yang datang dari berbagai segmen pemilih di Jambi, terutama di wilayah perkotaan dan daerah-daerah yang sudah merasakan manfaat dari program-program pembangunan yang dilaksanakan Al Haris selama masa jabatannya sebagai gubernur. Dukungan ini semakin diperkuat dengan rekam jejak positif Al Haris dalam pembangunan infrastruktur dan sektor-sektor penting lainnya di Jambi.

Kampanye Haris-Sani pada 21 November 2024 semakin mempertegas citra mereka sebagai pasangan yang telah terbukti dalam melaksanakan pembangunan, baik di sektor fisik maupun sosial. Kehadiran ribuan masyarakat yang memadati lapangan Eks MTQ menunjukkan bahwa pasangan ini diterima dengan baik oleh berbagai kalangan, dan siap untuk membawa Jambi ke masa depan yang lebih baik.

Dengan dukungan luas dari masyarakat dan tokoh-tokoh besar di Jambi, pasangan Haris-Sani kini semakin sulit dibendung. Mereka telah menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar pasangan yang berjanji, tetapi juga pasangan yang memiliki rekam jejak yang solid dan terbukti dalam membangun Jambi. Saatnya bagi masyarakat untuk memilih pemimpin yang teruji, berpengalaman, dan dekat dengan rakyat. Pilih Haris-Sani untuk Jambi yang maju, sejahtera, dan Bersinar (Bersih dari Narkoba)! (***)

*Akademisi UIN STS Jambi

Advertisement Advertisement

OPINI

Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?

Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*

DETAIL.ID

Published

on

DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?

Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.

Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.

Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.

Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.

Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.

Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.

Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.

Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.

Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya

*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

Continue Reading

OPINI

Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja: Ekonomi dan Keadilan Konstitusional

Oleh: Okto Simangunsong, S.H*

DETAIL.ID

Published

on

POLITIK hukum pada hakikatnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah pembentukan dan penegakan hukum suatu negara. Mahfud MD mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku untuk mencapai tujuan negara.

Definisi tersebut menegaskan bahwa hukum tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil interaksi antara nilai, kekuasaan, dan kepentingan sosial-politik.

Dalam konteks Indonesia, politik hukum sering kali menjadi arena tarik-menarik antara tujuan pembangunan ekonomi dan prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. UU Cipta Kerja menjadi contoh konkret bagaimana arah politik hukum dapat bergeser menuju orientasi efisiensi ekonomi dengan mengorbankan partisipasi publik serta kualitas legislasi.

Metode omnibus law yang digunakan dalam pembentukan UU Cipta Kerja memang dimaksudkan untuk merapikan tumpang tindih regulasi dan mempercepat investasi. Namun, cara dan hasilnya menimbulkan kritik luas karena dinilai mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dasar Teoretis dan Kerangka Regulasi

Secara teoretis, politik hukum merupakan wujud nyata dari policy oriented law making, di mana pembentukan hukum diarahkan oleh agenda politik negara. Menurut Padmo Wahyono (1986), politik hukum adalah kebijakan dasar dalam bidang hukum yang menjadi pedoman bagi pembentukan hukum untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Dengan demikian, politik hukum memiliki dua dimensi yakni normatif dan politis.

Dalam kerangka konstitusional, pengawasan terhadap produk politik hukum dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui kewenangan judicial review sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Mekanisme ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap undang-undang selaras dengan prinsip konstitusi, terutama dalam hal keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.

UU Cipta Kerja dan revisinya melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 menjadi ujian nyata bagi kedua aspek tersebut, apakah politik hukum pembentukannya masih berada dalam koridor konstitusi, dan sejauh mana MK berperan menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik dan supremasi hukum.

Analisis Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa politik hukum Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Pemerintah, dengan dukungan mayoritas politik di DPR, berhasil mendorong lahirnya undang-undang yang mengubah lebih dari 70 undang-undang sektoral sekaligus. Proses legislasi yang cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik memperlihatkan bahwa hukum telah dijadikan instrumen kebijakan pembangunan ekonomi.

Kondisi ini memperlihatkan gejala instrumentalization of law  hukum tidak lagi menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan, melainkan alat legitimasi kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks ini, efisiensi prosedural digunakan sebagai alasan untuk mengesampingkan nilai-nilai demokrasi substantif.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat merupakan wujud dari pengawasan konstitusional yang efektif. MK menegaskan bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi asas partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) sebagai bagian dari prinsip negara hukum.

Namun, tindak lanjut pemerintah melalui penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, memperlihatkan kecenderungan resistensi terhadap koreksi yudisial. Alih-alih memperbaiki proses legislasi, pemerintah justru mengulangi pendekatan serupa dengan dalih mendesak kebutuhan ekonomi nasional. Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik hukum di Indonesia masih belum sepenuhnya menghormati prinsip checks and balances.

Secara filosofis, politik hukum seharusnya berorientasi pada rule of law, yakni menempatkan hukum di atas kekuasaan. Namun praktik dalam pembentukan dan perubahan UU Cipta Kerja justru mencerminkan rule by law, yaitu penggunaan hukum sebagai instrumen legitimasi kebijakan politik.
Ketika hukum dikendalikan oleh kekuasaan politik, maka fungsi normatifnya sebagai pelindung keadilan sosial dan lingkungan hidup melemah. Akibatnya, hukum kehilangan legitimasi moral di mata publik.

Politik hukum pembentukan UU Cipta Kerja menunjukkan dua wajah. Di satu sisi, hukum berfungsi sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan investasi. Namun di sisi lain, hukum kehilangan fungsi sosialnya sebagai instrumen keadilan. Keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif menjadi terdistorsi.

Partisipasi publik yang minim dan pengabaian terhadap asas keterbukaan telah menimbulkan defisit legitimasi dalam politik hukum nasional. Ketika hukum tidak lagi dipersepsikan sebagai milik bersama, melainkan sebagai produk elit politik, maka kepercayaan publik terhadap negara hukum pun melemah.

Penutup

UU Cipta Kerja menjadi cermin nyata bagaimana politik hukum dapat bergeser dari orientasi keadilan menuju pragmatisme ekonomi. Dominasi eksekutif, lemahnya partisipasi publik, dan resistensi terhadap pengawasan yudisial menandakan bahwa sistem hukum Indonesia masih rentan terhadap politisasi.

Untuk membangun politik hukum yang konstitusional, dibutuhkan komitmen pada tiga hal pokok; (1). Menegakkan asas partisipasi publik yang bermakna dalam setiap proses legislasi. (2). Menghormati putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kontrol konstitusional, bukan sekadar formalitas hukum. (3). Menempatkan hukum sebagai sarana keadilan sosial, bukan alat legitimasi kebijakan ekonomi.

Hukum yang baik bukanlah hukum yang paling efisien, tetapi hukum yang paling adil. Politik hukum yang berorientasi pada keadilan konstitusional akan memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak rakyat dan prinsip negara hukum.

*Penulis merupakan Advokad dan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

Continue Reading

OPINI

Pesan Tegas Prabowo dan Cermin Buram Penegakan Hukum Kita

Oleh: Nazli*

DETAIL.ID

Published

on

PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini layak diapresiasi tinggi oleh rakyat. Dalam arahannya, Presiden menegaskan agar aparat penegak hukum tidak berbuat dzalim terhadap rakyat kecil dan tidak menjadikan hukum sebagai alat penindasan.

“Saya ingatkan terus kejaksaan, kepolisian, jangan kriminalisasi sesuatu yang tidak ada. Hukum jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ujar Prabowo di kantor Kejaksaan Agung usai menyaksikan penyerahan uang pengganti kerugian kasus CPO di Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2025.

Pernyataan tersebut bukanlah basa-basi politik, melainkan tamparan moral bagi institusi penegak hukum yang selama ini dinilai gagal menjaga rasa keadilan publik. Kalimat Prabowo menyentuh inti luka sosial bangsa dan “ketimpangan penegakan hukum”.

Kita tidak menutup mata: hukum di Indonesia masih sering berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Rakyat kecil bisa dijerat karena perkara sepele, ada seorang ibu rumah tangga ditahan karena mencuri kayu bakar, seorang petani dipenjara karena bersengketa dengan perusahaan besar, seorang anak sekolah diseret ke pengadilan karena mencuri ayam.

Namun di sisi lain, pelanggaran besar oleh korporasi perusak lingkungan, pengemplang pajak, atau pelaku korupsi kerap “diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan”.
Inilah wajah hukum yang menakutkan bagi yang lemah, tapi lembek terhadap yang kuat.
Hukum yang tidak lagi menjadi pelindung keadilan, melainkan alat kekuasaan.

Kriminalisasi rakyat kecil bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah kemanusiaan. Banyak kasus bukan lahir dari niat jahat, tetapi dari kemiskinan yang sistemik. Petani yang menggarap tanah turun-temurun dianggap menyerobot lahan perusahaan; nelayan kecil yang mencari ikan dianggap melanggar izin laut; warga miskin kota yang berdagang di trotoar ditertibkan tanpa solusi.

Inilah bentuk nyata kriminalisasi kemiskinan, ketika hidup sederhana dianggap pelanggaran, dan perjuangan bertahan hidup dianggap kejahatan.

Pesan Presiden Prabowo seharusnya membuka mata para penegak hukum bahwa keadilan tidak bisa diukur dari seberapa banyak orang ditangkap, tetapi diukur seberapa adil hukum ditegakkan.

Kini saatnya aparat hukum membuktikan diri: apakah pesan Presiden hanya akan menjadi hiasan berita, atau benar-benar dijalankan di lapangan. Polisi, jaksa, dan hakim harus mulai bekerja dengan nurani. Karena hukum tanpa empati adalah kezaliman yang dilegalkan.

Bila rakyat kecil bisa diproses cepat, maka pelaku besar juga harus diproses lebih cepat. Bila rakyat miskin bisa diseret ke pengadilan, maka pengusaha dan pejabat yang korup juga harus diseret, tanpa pandang bulu.

Rakyat kecil kini menaruh harapan baru pada Presiden Prabowo. Namun harapan itu hanya akan hidup bila aparat hukum menindaklanjuti pesan beliau dengan tindakan nyata. Karena rakyat sudah terlalu sering mendengar janji keadilan, tapi jarang merasakannya.

Bila hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka rakyat akan terus kehilangan kepercayaan. Dan bila kepercayaan rakyat telah hilang, maka hukum kehilangan wibawa, dan negara kehilangan jiwanya.

*Humas DPD Gerindra Jambi

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs