DETAIL.ID, Merangin – Sebelum pabrik sawit PT Sumber Guna Nabati (SGN) berdiri, kehidupan keluarga Sawal berjalan normal dan bahagia. Istri Sawal sempat berjualan es di dalam lokasi pabrik.
Keluarga Sawal mulai terusik setelah pabrik beroperasi. Masalahnya, kolam limbah dibangun bersebelahan dengan dinding rumah Sawal. Hanya berjarak 5 meter.
“Semenjak pabrik beroperasi, Itulah awal derita keluarga saya, setiap hari keluarga saya menghirup aroma limbah dari kolam limbah sebelah rumah,” kata Sawal pada Jumat, 6 Desember 2024.
Masalah kedua yang mendera keluarga Sawal adalah sumur, yang menjadi sumber air utama keluarga mereka. Air sumur berubah seperti berkarat. Saat dipakai mandi, air sabun tak berbusa.
Masalah ketika saat hujan tiba. Sawal dan keluarga harus mengungsi ke tempat lain karena tak kuat dengan aroma limbah yang membikin sesak nafas.
“Apalagi saat musim hujan, sudah pasti kami harus tidur ngungsi ke rumah keluarga saya di trans. Kalau tidak, sesak terhadap bau dari limbah,” ujarnya.
Sebaliknya pada musim kemarau, beda pula masalahnya. Selain aroma limbah, debu jalan masuk ke dalam rumah Sawal. Ditambah seng atap rumahnya yang tiba-tiba keropos, memperburuk keadaan.
“Kalau musim kemarau, Selain bau, debu masuk ke dalam rumah, saya juga heran seng rumah banyak keropos,” ujarnya mengeluh.
Ternaknya pun menjadi korban. Beberapa ekor kambing dan sapinya mati masuk ke dalam kolam limbah. Itu pun tidak pernah diganti oleh perusahaan. Padahal, pagar limbah banyak yang rusak dan tidak diperbaiki membuat ternaknya seperti sapi dan kambing mati dalam kolam.
“Kalau sapi pernah ada yang mati, itu pun kalau saya tidak marah-marah di kantor tidak diganti, apalagi kambing saya yang mati tidak sama sekali dapat ganti rugi,” ucap Sawal.
Keluarga Sawal tak pernah mendapatkan bantuan dari PT SGN meski pun Sawal sering melihat orang di sekelilingnya mendapatkan sembako dan bantuan lain.
“Kadang saya sedih lihat orang dapat bantuan sembako, saya cuma menonton, Ada kelompok SAD dapat bantuan sumur bor meskipun jarak dengan pabrik tinggal mereka jauh. Sementara saya, jangankan bantuan sumur, listrik saja yang kabelnya dekat rumah saya tidak disalurkan ke rumah saya, mereka seperti sengaja membunuh saya secara pelan-pelan,” kata Sawal.
Puncaknya, kata Sawal, anaknya mengidap penyakit paru-paru. Alhasil, Sawal pindah rumah ke kawasan transmigrasi. “Meskipun di sini tak layak huni, demi Kesehatan keluarga saya, kami terpaksa pindah,” ujarnya.
Kini, Sawal hanya berharap, perusahaan bisa membantu memperbaiki rumahnya yang rusak agar layak huni. Baginya, itu sudah cukup membantu keluarganya.
Reporter Daryanto