DETAIL.ID, Jambi – Masyarakat Desa Pemayungan, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi meminta agar Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencabut Surat Keputusan (SK) Nomor: 7/1/IUPHHK-HA/PMDN/2015 tanggal 24 Juli 2015 yang diberikan kepada PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT).
Gara-gara SK itu, perusahaan yang disebut-sebut milik Yayasan World Wide Fund (WWF) Indonesia dan didanai oleh Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) Jerman ini, telah terus-terusan membikin gaduh di desa mereka, bahkan sejak setahun setelah SK itu nongol.
Macam-macam derita yang dirasakan oleh masyarakat sejak perusahaan yang bermula dari Proyek Restorasi Alam Bukit Tigapuluh bikinan WWF, Frankfurt Zoological Society (FZS), The Orangutan Project dan KFW ini, hadir di Desa Pemayungan.
Mulai dari tiga orang masuk penjara gara-gara dituduh merambah kawasan hutan, seorang warga masuk rumah sakit akibat dihajar sekuriti, hingga ada pula dua orang warga kena ancam senjata laras panjang.
Sepekan belakangan, warga kembali dibikin kesal lantaran perusahaan tiba-tiba saja memboyong batang-batang beton berdiamater 10 sentimeter dan panjang 130 sentimeter ke pekarangan kantor desa. Sebagian malah langsung dibawa ke lahan-lahan warga dan kemudian ditancapkan.
“Cara-cara inilah yang membikin masyarakat resah. Sebab lahan warga telah dipasangi dipatok oleh perusahaan. Yang membikin kami makin kesal, perusahaan memanfaatkan oknum pegawai kehutanan menakut-nakuti warga dengan menyebut bahwa apa yang dilakukan oleh perusahaan adalah atas perintah Presiden Prabowo,” kata Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Desa Pemayungan, Islahamdan, dalam konfrensi pers yang digelar di lantai dua kantor Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Provinsi Jambi, di kawasan jalan Wijaya Kusuma Kota Jambi pada Rabu, 11 Desember 2024.
Lelaki 46 tahun ini ditemani oleh Ketua Lembaga Adat Melayu (LAM) Desa Pemayungan, Abdul Murod, perwakilan masyarakat, Hasan dan Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Abdullah.
Pj Kepala Desa Pemayungan Radian, Sekdes Pemayungan Hadinata, Kadus 1 Desa Pemayungan Rahman, bersama sejumlah warga lain, berbaur bersama wartawan yang hadir.
Hasan sendiri tak menampik deretan musabab keresahan masyarakat yang disampaikan oleh Islahamdan tadi. “Kami sendiri pernah diintimidasi oleh aparat. Dibilang kami merambah kawasan hutan. Lalu saya meminta bukti-bukti kawasan hutan itu berdasarkan regulasi yang ada. Tapi sampai sekarang tidak pernah ditunjukkan,” katanya.
Yang membikin masyarakat tidak senang kata Murad, warga telah lebih dulu berada dan mengusai lahan di areal yang diklaim perusahaan tadi, sudah sejak tahun 2007. Sementara perusahaan baru mendapat izin penunjukan dari BKPM pada tahun 2015.
Pada amar kedua SK penunjukan itu disebutkan bahwa Luas dan letak definitif areal kerja perusahaan, ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan setelah melakukan penataan batas di lapangan.
Lalu di amar keempat, perusahaan diminta melakukan penataan batas areal kerja paling lambat setahun sejak SK itu diberikan.
Amar ketujuh, apabila pada areal izin ditemukan lahan yang telah menjadi tanah milik, perkampungan, tegalan, persawahan, dikeluarkan dari areal kerja perusahaan.
“Sampai sekarang proses penataan batas itu tidak pernah dilakukan perusahaan, yang ada justru ngotot mengklaim lahan menjadi milik masyarakat adalah konsesinya,” ujar Murad.
Lelaki 60 tahun ini tegas-tegas menyebut, masyarakat sebetulnya tidak alergi dengan kehadiran perusahaan di kampung mereka sepanjang perusahaan mematuhi aturan hukum yang ada.
“Dan itu sudah pernah kami tuangkan dalam berita acara rapat yang kami lakukan pada 12 Juni 2024 lalu. Inti hasil rapat itu, masyarakat menerima kehadiran perusahaan sepanjang tidak mengganggu hak-hak masyarakat,” ujarnya.
Sebagai desa yang sudah sejak tahun 2011 silam menjadi binaan Walhi Jambi, kata Abdullah, sudah banyak yang sudah mereka lakukan untuk bisa terlepas dari kungkungan perusahaan.
“Tahun 2016, kita sempat ramai-ramai ke KLHK di Jakarta. Di sana kita menyampaikan penolakan terhadap perusahaan. Bahkan kita meminta agar izin perusahaan dicabut. Kita juga sudah pernah menyurati KFW soal kelakuan perusahaan ini. Tapi enggak ada tindak lanjut. Kayak enggak mau tahu saja,” kata Abdullah berkisah.
Lantas, pada tahun 2020, masyarakat telah pula menggelar aksi demo di Kantor Bupati Tebo. “Waktu itu dalam rangka hari tani. Persoalan ini juga sudah kami sampaikan ke wakil rakyat setempat dan wakil bupati. Jawaban yang kami dapatkan cuma omongan; ini kewenangan pusat,” katanya.
Kalau lelaki 38 tahun ini mengingat semua peristiwa yang telah dialami, dia mengaku tak aneh lagi meski berkali-kali areal konsesi perusahaan terbakar dan bahkan sudah sempat disegel, tapi perusahaan tetap saja beroperasi.
“Oleh kejadian yang berulang ini, semestinya izin perusahaan itu telah dicabut, layaknya kasus perusahaan yang terjadi di sejumlah provinsi di Indonesia. Tapi buat perusahaan ini tampaknya pengecualian. Ada apa?” Abdullah bertanya.
Sebelumnya, apa yang menjadi unek-unek masyarakat tadi telah sempat dikonfirmasi oleh wartaekonomi kepada juru bicara PT ABT, Nety Riana, namun konfirmasi yang dikirimkan melalui pesan Whatsapp itu tidak berbalas. (*)