OPINI
Paradoks Masa Depan Daerah Penghasil Migas: Politik Fiskal, Data dan DBH
Oleh: Yulfi Alfikri Noer S. IP., M. AP
Akademisi UIN STS Jambi
Provinsi Jambi adalah potret nyata daerah kaya sumber daya yang terjebak dalam paradoks struktural. Minyak dan gas bumi, batu bara, serta crude palm oil (CPO) mengalir deras, menopang energi nasional dan memberi kontribusi besar pada penerimaan negara. Namun, aliran manfaat bagi daerah penghasil tidak sebanding dengan kontribusinya. Dana Bagi Hasil (DBH) migas berfluktuasi, akses terhadap data lifting migas nyaris tertutup, dan formula pembagiannya didesain sepenuhnya di pusat. Ketiganya membentuk simpul persoalan yang bukan sekadar teknis, tetapi juga politis menentukan siapa yang berkuasa atas angka, dan pada akhirnya, siapa yang berkuasa atas fiskal daerah. Kondisi serupa juga dialami oleh daerah penghasil energi terbarukan yang menuntut pembagian pendapatan negara secara lebih adil, sebagaimana diberitakan (https://kompas.id/).
Untuk keluar dari jebakan ini, Jambi membutuhkan terobosan yang menggabungkan transparansi, keadilan, dan kolaborasi. Dialog konstruktif antara pemerintah daerah, legislatif, dan pemerintah pusat menjadi kunci, bukan hanya untuk membuka akses data lifting migas dan meninjau ulang formula DBH, tetapi juga untuk memastikan bahwa kontribusi besar Jambi pada energi nasional berbanding lurus dengan kemajuan dan kemakmuran masyarakatnya. Momentum terpilihnya Gubernur Jambi, Al Haris, sebagai Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) periode 2025–2030 memberi ruang strategis untuk mengangkat isu ini dari sekadar keluhan daerah menjadi agenda nasional yang berpihak pada daerah penghasil.
Faktor Eksternal, Ketidakpastian Fiskal, dan Tantangan Jambi sebagai Daerah Penghasil Migas.
Perekonomian Jambi sangat bergantung pada sektor ekstraktif dan perkebunan. Fluktuasi harga CPO, batu bara, dan migas di pasar global langsung mempengaruhi pendapatan daerah melalui skema DBH. Ketika harga komoditas tersebut menurun, DBH yang ditransfer pemerintah pusat ikut tergerus, membatasi kemampuan fiskal daerah untuk membiayai program prioritas. Khusus sektor migas, tantangan semakin kompleks karena Jambi selama ini hanya menerima royalti tanpa memiliki akses penuh terhadap informasi riil mengenai volume lifting, sehingga proyeksi fiskal daerah kerap berbasis asumsi yang tidak pasti.
Berdasarkan data resmi, Dana Bagi Hasil (DBH) Migas yang diterima Provinsi Jambi menunjukkan fluktuasi yang cukup signifikan dalam periode 2019–2023. Fluktuasi DBH Migas Provinsi Jambi dalam periode 2019–2023 mencerminkan ketergantungan fiskal pada harga komoditas global dan formula pembagian pusat. Pada 2019, total DBH Migas mencapai Rp 1,232 triliun, dengan penerimaan Pemprov sebesar Rp 236,83 miliar ((https://jambiindependent.disway.id)). Tahun 2020 turun menjadi total Rp477,2 miliar, dengan Pemprov menerima Rp95,9 miliar ((https://aksesjambi.com). Tren penurunan berlanjut pada 2021 menjadi total Rp 451,2 miliar dan Pemprov Rp 92 miliar ((https://rri.co.id), membaik pada 2022 menjadi total Rp605 miliar dengan Pemprov Rp 154,2 miliar (https://aksesjambi.com), namun pada 2023 kembali turun menjadi Rp90,5 miliar (https://aksesjambi.com). Fluktuasi ini memperlihatkan rapuhnya ketahanan fiskal Jambi, sejalan dengan defisit APBD tiga tahun berturut-turut.
Fluktuasi ini mencerminkan rapuhnya ketahanan fiskal Jambi yang sangat bergantung pada harga migas global dan formula DBH dari pemerintah pusat yang belum transparan. Kondisi ini sejalan dengan latar belakang masalah defisit APBD Provinsi Jambi yang sudah berlangsung selama tiga tahun berturut-turut, sebagaimana tercermin dalam data keuangan daerah.
Kerangka Hukum Pengelolaan APBD dan Dana Bagi Hasil di Provinsi Jambi.
Pelaksanaan Dana Bagi Hasil (DBH) dan pengelolaan APBD Provinsi Jambi berada dalam koridor hukum yang ketat, berlandaskan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang menekankan akuntabilitas, transparansi, dan efisiensi. Khusus DBH Migas, hak daerah penghasil diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang HKPD, yang menetapkan alokasi lebih proporsional sesuai jenis penerimaan dan kebutuhan fiskal serta memperkuat desentralisasi fiskal. Penerimaan Provinsi Jambi sangat bergantung pada formula pembagian pemerintah pusat dan data lifting migas dari Kementerian ESDM, keterbatasan akses data ini dapat mempengaruhi perencanaan fiskal dan meningkatkan risiko defisit APBD.
Pengelolaan keuangan daerah juga mengacu pada PP Nomor 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan, UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan PP Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, sementara Permendagri Nomor 77 Tahun 2020 dan Permendagri Nomor 84 Tahun 2022 memberikan panduan teknis mulai dari perencanaan hingga pertanggungjawaban keuangan.
Selain DBH Migas, DBH Kelapa Sawit diatur oleh UU No. 1 Tahun 2022, dengan alokasi minimal 4% dari pungutan ekspor: 20% untuk provinsi, 60% kabupaten/kota penghasil, dan 20% kabupaten/kota berbatasan langsung (PP No. 38/2023). Formula alokasi umumnya memadukan 90% berdasarkan realisasi penerimaan dan kebutuhan fiskal serta 10% kinerja daerah (Seknas FITRA, 2024), mendorong pemerataan pembangunan dan penguatan kapasitas fiskal.
Seluruh kerangka hukum ini diperkuat di tingkat daerah melalui Perda APBD Provinsi Jambi dan Pergub Penjabaran APBD, yang mengatur perencanaan, penganggaran, pelaksanaan program, hingga evaluasi dan pengawasan. Dengan demikian, pengelolaan APBD, termasuk DBH Migas dan Kelapa Sawit, memiliki payung hukum lengkap, meski transparansi dan akurasi data lifting tetap menjadi tantangan utama.
Preseden Nasional: Kasus Meranti dan Relevansinya bagi Jambi
Kondisi yang dihadapi Jambi sejatinya bukanlah fenomena tunggal. Pada Desember 2022, Bupati Kepulauan Meranti, Muhammad Adil, menyuarakan protes keras kepada pemerintah pusat karena Dana Bagi Hasil (DBH) migas yang diterima daerahnya tidak sebanding dengan peningkatan produksi minyak. Meski volume lifting meningkat, jumlah DBH yang masuk tetap stagnan. Protes ini dibawa langsung ke Menteri Dalam Negeri dan menjadi sorotan media nasional, menandakan potensi ketegangan fiskal antara daerah penghasil dan pemerintah pusat akibat formula pembagian yang dinilai tidak adil.
Bagi Jambi, kasus Meranti menjadi preseden penting untuk memperjuangkan transparansi data lifting sekaligus mendorong peninjauan ulang formula DBH. Akar persoalan terletak pada sistem hubungan keuangan pusat dan daerah yang belum sepenuhnya berpihak kepada daerah penghasil, khususnya migas dan pertambangan. Pola ini membuat potensi fiskal daerah penghasil menjadi terbatas, meskipun mereka berkontribusi besar terhadap pasokan energi dan pendapatan negara.
Momentum Strategis Kepemimpinan Al Haris di ADPMET
Dalam konteks ketidakpastian penerimaan Dana Bagi Hasil (DBH) migas dan terbatasnya akses daerah terhadap data lifting, terpilihnya Gubernur Jambi, Al Haris, sebagai Ketua Asosiasi Daerah Penghasil Migas dan Energi Terbarukan (ADPMET) periode 2025–2030 merupakan momentum strategis yang sarat potensi. ADPMET yang beranggotakan 89 daerah penghasil migas dibentuk sebagai wadah kolektif untuk memperjuangkan transparansi data lifting, reformasi formula DBH, dan kepentingan fiskal daerah penghasil secara bersama (https://adpmet.or.id/profile/sejarah). Kepemimpinan Al Haris di ADPMET membuka peluang konkret untuk:
1. Memperjuangkan keterbukaan data lifting di Kementerian ESDM, sehingga proyeksi pendapatan daerah lebih akurat dan terukur.
2. Mengusulkan reformasi formula DBH berbasis volume produksi riil, bukan semata-mata asumsi pusat, sehingga pembagian dana lebih adil.
3. Mempercepat implementasi Participating Interest (PI) 10% bagi BUMD Jambi, yang dapat meningkatkan kontribusi langsung migas terhadap PAD.
4. Menggalang solidaritas antar daerah penghasil untuk memperkuat posisi tawar bersama terhadap pemerintah pusat dalam negosiasi kebijakan fiskal.
Dengan memanfaatkan kerangka hukum yang telah ada, posisi ini dapat menjadi instrumen efektif bagi Jambi untuk memperkuat advokasi di tingkat nasional, meningkatkan akurasi proyeksi pendapatan, dan memastikan distribusi DBH yang lebih adil. Lebih jauh, langkah ini berpotensi memperkuat kemandirian fiskal daerah dan mengoptimalkan peran sektor migas sebagai penopang pembangunan berkelanjutan di Provinsi Jambi.
Arah Kebijakan: Menuju Ketahanan Fiskal dan Kemandirian Ekonomi
Reformasi DBH dan transparansi lifting adalah langkah awal. Keberlanjutan fiskal Jambi memerlukan strategi diversifikasi ekonomi, termasuk pengembangan industri hilir dan energi terbarukan. Dengan memanfaatkan jaringan ADPMET, Jambi berpotensi menjadi pelopor transisi energi yang berkeadilan dan mengurangi ketergantungan pada komoditas primer yang rawan fluktuasi harga.
Sejarah telah menunjukkan bahwa ketergantungan pada mekanisme pembagian DBH yang tertutup dan berpusat di pemerintah pusat membuat daerah penghasil migas, termasuk Jambi, selalu berada pada posisi lemah dalam menentukan nasib fiskalnya. Potensi energi yang melimpah tidak otomatis menjelma menjadi kemakmuran jika kendali informasi dan formula pembagian tetap dimonopoli pusat.
Kepemimpinan Al Haris di ADPMET membuka ruang langka untuk mengubah peta kekuatan ini. Dengan dukungan legislatif daerah dan jejaring 89 daerah penghasil migas, Jambi memiliki kesempatan strategis untuk memimpin agenda reformasi tata kelola migas nasional. Jika peluang ini dioptimalkan melalui negosiasi berbasis data, reformasi regulasi, dan solidaritas kolektif, bukan hanya Jambi yang akan merasakan manfaatnya, tetapi seluruh daerah penghasil migas di Indonesia. Hal ini akan memberi dampak besar bagi keakuratan perencanaan, keberlanjutan fiskal, dan kesejahteraan masyarakat. Namun, jika momentum ini terlewat, kita akan kembali pada siklus lama,yaitu daerah kaya sumber daya, tetapi miskin manfaat.
OPINI
Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?
Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*
DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?
Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.
Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.
Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.
Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.
Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.
Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.
Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.
Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.
Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya
*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.
OPINI
Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja: Ekonomi dan Keadilan Konstitusional
Oleh: Okto Simangunsong, S.H*
POLITIK hukum pada hakikatnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah pembentukan dan penegakan hukum suatu negara. Mahfud MD mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku untuk mencapai tujuan negara.
Definisi tersebut menegaskan bahwa hukum tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil interaksi antara nilai, kekuasaan, dan kepentingan sosial-politik.
Dalam konteks Indonesia, politik hukum sering kali menjadi arena tarik-menarik antara tujuan pembangunan ekonomi dan prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. UU Cipta Kerja menjadi contoh konkret bagaimana arah politik hukum dapat bergeser menuju orientasi efisiensi ekonomi dengan mengorbankan partisipasi publik serta kualitas legislasi.
Metode omnibus law yang digunakan dalam pembentukan UU Cipta Kerja memang dimaksudkan untuk merapikan tumpang tindih regulasi dan mempercepat investasi. Namun, cara dan hasilnya menimbulkan kritik luas karena dinilai mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dasar Teoretis dan Kerangka Regulasi
Secara teoretis, politik hukum merupakan wujud nyata dari policy oriented law making, di mana pembentukan hukum diarahkan oleh agenda politik negara. Menurut Padmo Wahyono (1986), politik hukum adalah kebijakan dasar dalam bidang hukum yang menjadi pedoman bagi pembentukan hukum untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Dengan demikian, politik hukum memiliki dua dimensi yakni normatif dan politis.
Dalam kerangka konstitusional, pengawasan terhadap produk politik hukum dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui kewenangan judicial review sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Mekanisme ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap undang-undang selaras dengan prinsip konstitusi, terutama dalam hal keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.
UU Cipta Kerja dan revisinya melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 menjadi ujian nyata bagi kedua aspek tersebut, apakah politik hukum pembentukannya masih berada dalam koridor konstitusi, dan sejauh mana MK berperan menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik dan supremasi hukum.
Analisis Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja
UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa politik hukum Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Pemerintah, dengan dukungan mayoritas politik di DPR, berhasil mendorong lahirnya undang-undang yang mengubah lebih dari 70 undang-undang sektoral sekaligus. Proses legislasi yang cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik memperlihatkan bahwa hukum telah dijadikan instrumen kebijakan pembangunan ekonomi.
Kondisi ini memperlihatkan gejala instrumentalization of law hukum tidak lagi menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan, melainkan alat legitimasi kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks ini, efisiensi prosedural digunakan sebagai alasan untuk mengesampingkan nilai-nilai demokrasi substantif.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat merupakan wujud dari pengawasan konstitusional yang efektif. MK menegaskan bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi asas partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) sebagai bagian dari prinsip negara hukum.
Namun, tindak lanjut pemerintah melalui penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, memperlihatkan kecenderungan resistensi terhadap koreksi yudisial. Alih-alih memperbaiki proses legislasi, pemerintah justru mengulangi pendekatan serupa dengan dalih mendesak kebutuhan ekonomi nasional. Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik hukum di Indonesia masih belum sepenuhnya menghormati prinsip checks and balances.
Secara filosofis, politik hukum seharusnya berorientasi pada rule of law, yakni menempatkan hukum di atas kekuasaan. Namun praktik dalam pembentukan dan perubahan UU Cipta Kerja justru mencerminkan rule by law, yaitu penggunaan hukum sebagai instrumen legitimasi kebijakan politik.
Ketika hukum dikendalikan oleh kekuasaan politik, maka fungsi normatifnya sebagai pelindung keadilan sosial dan lingkungan hidup melemah. Akibatnya, hukum kehilangan legitimasi moral di mata publik.
Politik hukum pembentukan UU Cipta Kerja menunjukkan dua wajah. Di satu sisi, hukum berfungsi sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan investasi. Namun di sisi lain, hukum kehilangan fungsi sosialnya sebagai instrumen keadilan. Keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif menjadi terdistorsi.
Partisipasi publik yang minim dan pengabaian terhadap asas keterbukaan telah menimbulkan defisit legitimasi dalam politik hukum nasional. Ketika hukum tidak lagi dipersepsikan sebagai milik bersama, melainkan sebagai produk elit politik, maka kepercayaan publik terhadap negara hukum pun melemah.
Penutup
UU Cipta Kerja menjadi cermin nyata bagaimana politik hukum dapat bergeser dari orientasi keadilan menuju pragmatisme ekonomi. Dominasi eksekutif, lemahnya partisipasi publik, dan resistensi terhadap pengawasan yudisial menandakan bahwa sistem hukum Indonesia masih rentan terhadap politisasi.
Untuk membangun politik hukum yang konstitusional, dibutuhkan komitmen pada tiga hal pokok; (1). Menegakkan asas partisipasi publik yang bermakna dalam setiap proses legislasi. (2). Menghormati putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kontrol konstitusional, bukan sekadar formalitas hukum. (3). Menempatkan hukum sebagai sarana keadilan sosial, bukan alat legitimasi kebijakan ekonomi.
Hukum yang baik bukanlah hukum yang paling efisien, tetapi hukum yang paling adil. Politik hukum yang berorientasi pada keadilan konstitusional akan memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak rakyat dan prinsip negara hukum.
*Penulis merupakan Advokad dan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.
PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini layak diapresiasi tinggi oleh rakyat. Dalam arahannya, Presiden menegaskan agar aparat penegak hukum tidak berbuat dzalim terhadap rakyat kecil dan tidak menjadikan hukum sebagai alat penindasan.
“Saya ingatkan terus kejaksaan, kepolisian, jangan kriminalisasi sesuatu yang tidak ada. Hukum jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ujar Prabowo di kantor Kejaksaan Agung usai menyaksikan penyerahan uang pengganti kerugian kasus CPO di Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2025.
Pernyataan tersebut bukanlah basa-basi politik, melainkan tamparan moral bagi institusi penegak hukum yang selama ini dinilai gagal menjaga rasa keadilan publik. Kalimat Prabowo menyentuh inti luka sosial bangsa dan “ketimpangan penegakan hukum”.
Kita tidak menutup mata: hukum di Indonesia masih sering berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Rakyat kecil bisa dijerat karena perkara sepele, ada seorang ibu rumah tangga ditahan karena mencuri kayu bakar, seorang petani dipenjara karena bersengketa dengan perusahaan besar, seorang anak sekolah diseret ke pengadilan karena mencuri ayam.
Namun di sisi lain, pelanggaran besar oleh korporasi perusak lingkungan, pengemplang pajak, atau pelaku korupsi kerap “diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan”.
Inilah wajah hukum yang menakutkan bagi yang lemah, tapi lembek terhadap yang kuat.
Hukum yang tidak lagi menjadi pelindung keadilan, melainkan alat kekuasaan.
Kriminalisasi rakyat kecil bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah kemanusiaan. Banyak kasus bukan lahir dari niat jahat, tetapi dari kemiskinan yang sistemik. Petani yang menggarap tanah turun-temurun dianggap menyerobot lahan perusahaan; nelayan kecil yang mencari ikan dianggap melanggar izin laut; warga miskin kota yang berdagang di trotoar ditertibkan tanpa solusi.
Inilah bentuk nyata kriminalisasi kemiskinan, ketika hidup sederhana dianggap pelanggaran, dan perjuangan bertahan hidup dianggap kejahatan.
Pesan Presiden Prabowo seharusnya membuka mata para penegak hukum bahwa keadilan tidak bisa diukur dari seberapa banyak orang ditangkap, tetapi diukur seberapa adil hukum ditegakkan.
Kini saatnya aparat hukum membuktikan diri: apakah pesan Presiden hanya akan menjadi hiasan berita, atau benar-benar dijalankan di lapangan. Polisi, jaksa, dan hakim harus mulai bekerja dengan nurani. Karena hukum tanpa empati adalah kezaliman yang dilegalkan.
Bila rakyat kecil bisa diproses cepat, maka pelaku besar juga harus diproses lebih cepat. Bila rakyat miskin bisa diseret ke pengadilan, maka pengusaha dan pejabat yang korup juga harus diseret, tanpa pandang bulu.
Rakyat kecil kini menaruh harapan baru pada Presiden Prabowo. Namun harapan itu hanya akan hidup bila aparat hukum menindaklanjuti pesan beliau dengan tindakan nyata. Karena rakyat sudah terlalu sering mendengar janji keadilan, tapi jarang merasakannya.
Bila hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka rakyat akan terus kehilangan kepercayaan. Dan bila kepercayaan rakyat telah hilang, maka hukum kehilangan wibawa, dan negara kehilangan jiwanya.
*Humas DPD Gerindra Jambi

