TEMPIAS
Persipura, Piala Dunia dan Nasionalisme Kita

SAAT INI, euforia jagat sepakbola akan terfokus di Rusia. Negara kita Indonesia, meski sama sekali tidak terlibat dalam perhelatannya, namun antusiasme menyambut Piala Dunia yang digelar empat tahun sekali itu sangat besar. Di beberapa daerah, bendera negara-negara peserta Piala Dunia yang menjadi favorit mereka, telah berkibar di halaman rumah seperti sedang menyambut bulan Agustusan.
Fanatisme dan militansi dalam sepakbola Indonesia memang begitu tinggi. Tak berlebihan kiranya jika falsafah “mas que un club” (lebih dari sekadar klub), yang diusung oleh El Barca, terlihat jelas ada dalam kelompok suporter klub liga yang memiliki tradisi panjang dalam persepakbolaan Indonesia. Sebutlah Persija Jakarta, Persebaya Surabaya, atau the black pearl Persipura Jayapura.
Untuk klub terakhir yang saya sebut, adalah klub paling pojok di Indonesia yang secara historis telah mengakar menjadi identitas kebangsaan orang asli Papua, etnis Melanesia.
Saya beberapa kali hadir di Stadion Mandala melihat Persipura berlaga.
Pada suatu sore duduk di tribun Liverpool dan pada sebuah malam berikutnya di bulan puasa berada di tribun utara, menyaksikan Persipura melumat Madura United 6 gol tanpa balas. Mata saya kerap tertuju pada beberapa orang asli Papua yang memberikan dukungan sembari memakai atribut gelang dan kaos dengan gambar bendera Bintang Kejora.
Tak jauh dari mereka duduk, polisi dan tentara berdiri menjadi pengaman dalam stadion. Jika di setiap pertandingan El Barca di Camp Nou bendera Catalunya selalu berkibar, di Mandala sudah pasti penjara adalah tempat bagi para pengibar bendera Bintang Kejora.
Kondisi ini serupa yang dikatakan Franklin Foer, lewat karyanya Memahami Dunia Lewat Sepakbola. Foer ketika berada di Camp Nou menggambarkan bagaimana warga Catalunya berteriak dan mencaci maki rezim penguasa dalam bahasa asli mereka yang dilarang. Ia mengutip sebuah kalimat dari novel Barcelona berjudul offside yang ditulis oleh penulis kontemporer Spanyol, Manuel Vazquez Montalban, bahwa Barca adalah: senjata dahsyat dari sebuah bangsa tanpa negara. Kemenangan-kemenangan El Barca ibarat kemenangan warga Athena atas Sparta.
Memang secara kasatmata, militansi pendukung orang asli Papua terhadap Persipura tak tampak dalam layar kaca TV Jakarta atau saat laga home di Stadion Mandala, jika dibandingkan dengan klub besar lainnya di tanah Jawa. Namun secara ideologis, Persipura bagi mereka adalah representasi dalam upaya melawan bayang-bayang pengisapan, penindasan, dan ketidakadilan sentralisme kekuasaan di Indonesia.
Ketegangan-ketegangan politik yang menganeksasi Papua dengan skema Pepera ke dalam Indonesia di tahun 60-an, masih tertanam kuat dalam memori mereka. Sehingga apa yang disebut Montalban sebagai “kemenangan sebuah bangsa tanpa negara”, ada dalam benak orang asli Papua.
Maka tak heran ketika Anda menyaksikan Boas Salossa berlaga untuk Timnas Indonesia, mulut sang kapten akan terkunci saat nasional anthem Indonesia Raya dikumandangkan. Bagi mereka yang termakan oleh dogmatisme NKRI harga mati tentu akan mempertanyakan nasionalisme Kaka Bochi, panggilan akrab Boas Salossa.
Namun justru pada momen ini, Boas sedang menarasikan ekspresi yang lain dalam sepakbola, tentang kegetiran yang terjadi di tanah para leluhurnya.
Seperti diketahui, dalam sepakbola tidak melulu soal permainan 2×45 menit. Lebih dari itu, sebagaimana ditulis oleh Foer, sepakbola kerap kali dipakai sebagai titik pangkal untuk menjelaskan bagaimana kondisi sosial politik, perekonomian global dan bahkan persoalan agama. Yang terbaru lihatlah bagaimana kondisi Argentina yang dituduh telah melakukan diskriminasi terhadap agama.
Sebelum kick-off Piala Dunia 2018, para pemain Argentina direncanakan menggelar pertandingan pemanasan terakhir melawan Israel sebelum Lionel Messi Cs menuju Rusia. Laga kedua negara tersebut dalam rangka perayaan 70 tahun pendudukan negara Yahudi itu. Namun desakan dan protes dari Kedutaan Besar Palestina di Argentina yang begitu gencar menyebabkan partai tersebut urung digelar.
Akan tetapi Israel tidak tinggal diam. Lewat promotor pertandingan itu, mereka melapor ke FIFA dan meyakinkan agar Argentina dicoret dari pagelaran Piala Dunia 2018 dengan tuduhan diskriminasi agama, tentu saja sembari menyebut kerugian yang mereka alami akibat pembatalan laga tersebut.
Yang menarik adalah respons dari Claudio Tapia, Ketua Asosiasi Sepakbola Argentina (AFA) bahwa, “Football goes beyond religions, sexes, and has nothing to do with violence”, (sepakbola melampaui agama, jenis kelamin, dan tidak dilakukan dengan kekerasan).
Para pemain Argentina pun sepakat dengan pembatalan itu dengan alasan kemanusiaan. Yang oleh Gonzalo Higuain dianggap sebagai keputusan tepat. Sebab akan aneh rasanya ketika mereka menghibur puluhan ribu pasang mata di Yerusalem, namun di saat bersamaan mayat-mayat orang Palestina mati di ujung bedil tentara Israel.
Dalam sepakbola juga kerap menghadirkan hal-hal yang dianggap absurd. Fenomena Mohamed Salah adalah sebuah contoh terkini, di mana fans Liverpool menyatakan ingin masuk Islam setiap Salah mencetak gol.
Di Indonesia, absurditas itu terlihat ketika seratusan orang di Jakarta berencana melakukan aksi bertajuk “Bela Salah”, saat pria asal Mesir itu mengalami cedera dan tak melanjutkan pertandingan pada laga final Liga Champion. Seolah ingin mengulang cerita aksi bela Islam berjilid-jilid tempo hari dengan tuntutan “meng-Ahok-an” Sergio Ramos. Meskipun kita tahu bersama aksi tersebut batal dilaksanakan.
Seperti halnya fenomena Salah, saya menduga Piala Dunia 2018 yang ingar-bingarnya sampai ke pelosok-pelosok kampung, akan menjadi ruang bagi absurditas baru di Indonesia. Terlebih ketika melihat kondisi politik dalam negeri Indonesia saat ini yang terpolarisasi dalam dukungan-dukungan menggunakan tagar: #GantiPresiden2019 vs #DiaSibukKerja.
Saya curiga akan ada berbagai macam taktik dan strategi mengaitkan Piala Dunia 2018 dengan intrik politik kampanye pemilihan Presiden 2019.
Belum lagi bagaimana membayangkan para pengusung politik sektarian di Indonesia dalam mendukung negara peserta Piala Dunia berdasarkan agama mayoritas yang mereka anut. Seperti Salah dengan Mesir-nya, misalkan.
Akan sangat menarik menunggu bagaimana kaum reaksioner itu melakukan aksi bela Islam di Piala Dunia Rusia 2018.
Namun yang lebih menarik adalah melihat bendera-bendera setiap negara peserta Piala Dunia berkibar di ujung tiang-tiang depan halaman rumah atau di pojok tembok. Sebab, barangkali senada dengan apa yang disampaikan Claudio Tapia, ini menunjukkan bahwa sepakbola melampaui rasa nasionalisme.
Jadi, naturalisasilah sebanyak-banyaknya pemain di Timnas Indonesia demi Piala Dunia impian!
Karena indoktrinasi “NKRI Harga Mati” hanyalah nasionalisme semu yang digembar-gemborkan oleh militer dan politisi-politisi chauvinis.
*) jurnalis lingkungan di Mongabay Indonesia. Pencinta Persipura dan Timnas Inggris. Pernah bercita-cita menjadi pemain sepakbola profesional ketika mengikuti Piala Soeratin U-19 semasa SMA dengan membela Persidago Gorontalo namun kandas di tubir jalan.
TEMPIAS
Keretaku

SUARA sirine kereta api mengagetkanku. Tiba-tiba kereta berhenti perlahan di Stasiun Prupuk, penumpang dengan barang bawaan turun satu persatu keluar Stasiun Tegal, aku turun sambil mengendong tas sandang berisi pakaian untuk bekal di kampungku beberapa hari, sementara tangan kiriku membawa tas berisi makanan ringan sisa perjalanan dari Jogjakarta pagi tadi.
“Tunggu aku, jalannya pelan saja, kakiku sedikit lelah,” ujar istriku sambil memegang lengan kiriku.
Perjalanan yang memakan waktu hingga empat jam, terasa begitu lama apalagi kami berdua duduk di kursi yang menghadap belakang, sehingga selama dalam perjalanan di dalam kereta kurang nyaman, sebab tidak bisa melihat pemandangan alam di sepanjang perjalanan.
“Cari saja bus atau becak, biar kita lekas sampai rumah nenek,” ujar istriku lagi.
Tubuh letih langsung keluar Stasiun Prupuk, untuk mencari kendaraan, tiba-tiba ponselku berbunyi, nama ponakanku muncul di layar androidku. Langsung kuangkat di sudut telepon terdengar suara ponakanku menanyakan sudah sampai mana.
“Ini baru saja turun dari kereta, masih menunggu kendaraan,” ucapku.
“Biar dijemput saja. Abang tunggu barang sebentar aku sampai membawa mobilku,” terdengar suara adikku di ujung telepon.
Seperempat jam perjalanan dari stasiun menuju rumah kakekku, tak kusangka jika kepulanganku kali ini sudah mereka tunggu, bukan hanya bertanya soal kabar keluarga saja tetapi bertanya kesehatan anak-anakku juga.
Tiba di rumah kakekku, tak banyak yang berubah rumah yang dulu kami tempati bersama ayah dan ibu serta kakakku, masih terlihat dinding rumah tua yang berbahan dasar batu bata masih kokoh, hanya saja beberapa sudut ada semen yang sudah mulai ambrol, menandakan bahwa bangunan itu sudah sangat tua dan lama ditempati.
“Di belakang rumah ini dulu, engkau bersama adikmu pernah bermain air, tapi sayangnya sawah yang luas, yang ada kandang babi milik orang keturunan sudah ditimbun dan dijadikan perumahan,” kata kakek sambil duduk di kursi kayu di belakang rumah di bawah pohon mangga.
“Selokan air yang dulu sering untuk bermain, kini sudah tertutup tanah dan hanya ditumbuhi rerumputan liar, bahkan setiap kali hujan lebat lokasi belakang rumah jadi banjir,” keluhnya.
Tubuh tua itu terlihat sudah sedikit kepayahan untuk bangun dari kursi kayu, dengan gerakan perlahan lelaki tua yang dulu dikenal sangat kekar, hanya menyisakan garis-garis kekarnya saja.
Ku pandangi punggung lelaki tua itu, dengan penuh kenangan, betapa tidak dulu saat aku kecil pundak kekar itu jadi tempat ternyaman untuk sekedar digendong dan diletakkan tubuh mungilku di pundaknya.
Ya sosok lelaki tua itu, sangatlah mirip dengan ayahku yang berperawakan kekar dan sangat tegas terhadap keluarganya, terdengar air dalam sumur seperti tengah ditimba, bergegas aku menghampiri di dapur rumah nenekku, langsung saja kuraih tangan renta itu dan kuganti dengan tangan untuk menimba air sumur.
“Sudahlah, istirahatlah ajak istrimu itu masuk ke dalam rumah, kasihan sangat jauh perjalanan menuju rumah nenek, biarkan kusiapkan air hangat untuk membuat minuman hangat,” ungkap kakek.
Malam berlalu, suara jangkrik di samping kamarku terdengar jelas. Lamat-lamat suara Gending Jawa dari radio tua terdengar dari belakang rumah, ya..kakekku masih suka duduk menyendiri di belakang rumah. Ku Dekati kakek. Sedikit terkejut kakek berpindah posisi duduknya.
“Dulu ayahmu memiliki tujuh saudara, setelah besar mereka berpencar mencari kehidupan agar mereka bisa hidup layak, dari semua cucuku yang ada hanya dirimu yang sering ke rumah kakek, wajahmu mirip sekali dengan wajah almarhum ayahmu, Nak,” ucap kakek sambil membelai kepalaku.
Ada buliran hangat di pelupuk mata jatuh melewati pipiku, ingatanku kembali melayang mengingat almarhum ayah, yang saat itu masih gagah, memenuhi permintaan ibuku yang tengah menyiram adikku, permintaan ibuku sangat aneh menurutku, sebab ibu meminta ayah untuk mencarikan kodok hijau di sawah yang sudah selesai dibajak menunggu ditanami padi.
Untuk menuruti permintaan ibuku, ayah menyiapkan peralatan untuk mencari kodok di belakang rumah kakekku, dengan menggunakan lampu minyak, dengan pelan-pelan ayah mulai mencari kodok, berharap bisa mendapatkan beberapa ekor kodok untuk bisa dibawa pulang untuk memenuhi permintaan ibuku yang tengah hamil adik bungsuku dengan wajah riang ayah pulang membawa enam ekor kodok hijau yang didapatkan di sawah kemudian dibersihkan dan diserahkan ibuku untuk dijadikan lauk makan ibuku.
Sosok ayah yang begitu gagah, berperawakan kekar serta memiliki kumis tebal, ayah terlihat begitu gagah dan berwibawa, kasih sayang ayah dan cara ayah merawat anak-anaknya tinggallah kenangan bagiku, tiba-tiba tangan kakek membuyarkan lamunanku, dan memintaku untuk masuk ke dalam rumah sebab sudah tengah malam, sementara istriku yang kelelahan tengah tertidur pulas sekali.
Aku bersimpuh di depan kakekku, aku berpamitan untuk kembali ke rumahku, lagi-lagi lelaki tua itu membelai kepalaku dengan lembut, entah doa apa yang diucapkan di atas kepalaku, tapi aku yakin bahwa doa terbaik dipanjatkan kakekku.
Kursi kereta yang ku tumpangi terasa bergoyang, saat melintasi relnya, sementara di depanku dua ibu-ibu terdengar asyik ngobrol, sementara istriku yang duduk di sampingku masih menyandarkan kepalanya di pundakku.
“Banyak kenangan masa kecil dan masa bahagia yang di tinggalkan di rumah kakek, semoga saja kita bisa kembali mengunjungi kakek,” ucap istriku pelan.
Kereta melaju hingga stasiun terakhir, sejuta kenangan dan lelahnya istriku kubawa kembali ke rumahku….
Sanggar Imaji Tegal, 2 November 2023
OPINI
Erick Thohir, Politik dan Sepak Bola

PADA AKHIR tahun 2017, George Weah menorehkan sejarah dunia. Weah, mantan pesepakbola pertama di dunia yang berhasil menjadi presiden pertama. Mantan pemain terbaik dunia tahun 1995 itu menjadi Presiden Liberia.
Memang tidak banyak pemain sepakbola yang setelah pensiun berhasil menjadi politisi. Selain Weah ada pula Romario, Kakha Kaladze dan legenda sepakbola dunia, Pele.
Romario, salah satu pemain kunci Brasil pada Piala Dunia 1994, menjadi politisi yang menonjol di negaranya. Pada tahun 2010, Romario terpilih menjadi anggota senat Brasil dengan suara terbanyak yang pernah diterima seorang kandidat yang mewakili Rio de Janeiro.
Lalu Kakha Kaladze, pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Georgia dan menduduki kursi Menteri Energi. Kini mantan mantan bek Milan itu menjadi Wali Kota Ibu Kota Georgia, Tbilisi.
Lain pula kisah Pele. Setelah sukses membawa skuat Samba merebut tiga kali Piala Dunia, Pele didaulat menjadi Menteri Olahraga Brasil pada 1995 hingga 2001. Kala itu, salah satu fokus utama Pele, melenyapkan praktik-praktik korupsi dalam dunia persepak bolaan di Brasil. Tak heran, sempat pula muncul sebutan “Hukum Pele” dalam dunia olahraga Brasil.
Hari ini, Indonesia juga kembali mencatat sejarah. Menteri BUMN, Erick Thohir terpilih menjadi Ketua Umum PSSI. Ini keempat kalinya seorang Menteri menjabat posisi yang sama. Sebelumnya adalah Maladi pada tahun 1950. Ia dipilih menjadi Ketua Umum PSSI saat masih menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga.
Kedua, Azwar Anas pada tahun 1991 saat ia menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Ketiga adalah Agum Gumelar. Ia terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, juga saat menjabat Menteri Perhubungan. Keempat adalah Erick Thohir. Bedanya, Erick Thohir berlatar belakang pengusaha, sementara kedua pendahulunya berlatar belakang militer. Sementara Maladi adalah mantan kiper Timnas Indonesia.
Bicara sepakbola dunia, punya fenomena yang luar biasa. Didier Drogba, mantan pemain Chelsea mampu mendamaikan perang saudara di negaranya, Pantai Gading. Usai menahan imbang Mesir 1-1 pada tahun 2005 sehingga Pantai Gading akhirnya lolos ke putaran final Piala Dunia 2006 Drogba langsung berpidato memberikan pernyataan yang sangat luar bisa.
“Masyarakat Pantai Gading. Dari utara, selatan, tengah dan barat, kami membuktikan hari ini bahwa semua warga Pantai Gading dapat hidup berdampingan dan bermain bersama dengan tujuan yang sama, untuk lolos ke Piala Dunia,” kata Drogba.
Pidato Drogba efektif. Dua kubu yang saling berperang akhirnya melakukan gencatan senjata serta berunding hingga akhirnya berdamai. Perang usai.
Semangat Drogba ini perlu kita bawa ke negeri kita. Jutaan warga Indonesia merindukan prestasi PSSI dan Timnas Indonesia. Jutaan warga Indonesia berharap banyak pada kepemimpinan Erick Thohir.
Erick Thohir memang suka bola. Namanya mulai melambung sejak membeli saham Inter Milan pada tahun 2012 dan menjabat Presiden klub hingga 2016. Selain Inter Milan, Erick juga memiliki saham di DC United – salah satu klub sepak bola yang berkiprah di MLS Amerika Serikat.
Tak hanya itu, saat ini ia bersama Anindya Bakrie menjadi pemilik Oxford United. Erick juga menjadi pendiri sekaligus pemilik klub basket Satria Muda. Prestasi Erick menyelenggarakan Asian Games 2018 banyak dipuji sehingga ia ditunjuk sebagai Menteri BUMN pada tahun 2019 hingga kini.
Atas rekam jejak dan popularitasnya itu, tak heran Erick Thohir dinilai mumpuni membenahi sepakbola Indonesia. Ada banyak PR yang sudah menunggu di depan mata. Tragedi Kanjuruhan, melanjutkan kembali Liga 2 dan Liga 3 serta menerapkan kembali sistem degradasi di Liga 1.
Sebelum terpilih, Erick Thohir berjanji lima hal. Pertama, melanjutkan Liga 2 dan Liga 3 yang saat ini dihentikan Exco lama PSSI. Kedua, menerapkan VAR di Liga 1 musim 2023/2024. Ketiga membenahi kualitas wasit. Keempat, membangun Training Center untuk Timnas Indonesia. Kelima, mengejar ketertinggalan dari negara lain.
Tampaknya Erick meniru Pele. Hendak bersih-bersih di tubuh PSSI.
Sayangnya Erick tak menyinggung soal pembinaan sepak bola usia dini. Hal yang tak kalah penting di tengah maraknya Sekolah Sepak Bola (SSB) di seluruh penjuru nusantara meski masih minim kompetisi.
Tengoklah di Liga Anak Nusantara U-11 dan U-13 yang digelar di Yogyakarya pada 25-27 Januari 2023 di Yogyakarta, Jawa Tengah. Minim publikasi dan tidak digelar dengan baik. Alhasil, penyelenggaraan U-13 hanya sebatas delapan besar. Kita ingin punya timnas senior yang berkualitas tetapi belum serius membenahi sepak bola usia dini. Kita ingin prestasi yang instan.
Kursi Ketua Umum PSSI periode 2023-2027 jelas menggiurkan untuk mendongkrak popularitas. Mengingat tahun ini akan digelar Piala Dunia U20 di Indonesia dan Pemilu 2024.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai bahwa majunya Erick Thohir menjadi Ketum PSSI tidak terlepas dari kesempatannya menjadi calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu 2024. Sebab, selama ini dalam beberapa survei, elektabilitas Erick sebagai cawapres cukup tinggi.
Survei yang dirilis oleh Poltracking pada Desember 2022 menunjukkan bahwa Erick menjadi sosok cawapres dengan elektabilitas tertinggi di angka 15,5 persen. Ia mengungguli beberapa tokoh lain, seperti Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Sandiaga Uno.
Masalahnya, mungkinkah dalam waktu yang singkat, Erick Thohir bisakah membawa perubahan dalam tubuh PSSI dan memenuhi janji-janjinya?
Posisi Ketua Umum PSSI memang kerap kali diincar para politisi Indonesia. Ada yang menduga, Erick Thohir aji mumpung. Mumpung posisi itu kosong, ia ambil. Jika berhasil memimpin PSSI, setidaknya elektabilitasnya untuk 2024 akan melonjak.
Erick Thohir sepertinya melihat peluang sepakbola untuk mengantarkannya menjadi pemenang Pilpres 2024.
Pertanyaan kemudian, berhasilkah Erick Thohir menjadi pemenang di PIlpres 2024 mendatang? Barangkali Pak Erick Thohir berprinsip, bola itu bundar. Siapa pun bisa jadi pemenang, tergantung situasi di lapangan.
*jurnalis dan tinggal di Jambi
TEMPIAS
Selamat Jalan Kawan

KEMARIN aku masih menangisi kepergianmu kawan. Hari ini, aku mulai kuat. Mulai mengikhlaskan kepergianmu. Bukan apa-apa. Baru dua hari kulihat kau bahagia dilantik menjadi Komisioner Informasi Publik tapi kemarin siang tiba-tiba kabar duka itu datang.
Engkau pergi dalam suasana indah. Hari Jumat, saat khatib berceramah. Kau dikabarkan mendadak roboh, berpakaian favoritmu selama kukenal. Aku tanya istrimu di depan jenazahmu, kau mendapat serangan jantung. Begini caramu pergi. Di hari yang diimpikan semua umat Islam. Saat ibadah Salat Jumat.
Masalahnya, kabar itu benar-benar bikin dadaku sesak. Aku tak percaya, secepat itu kau pergi. Usai menginjakkan kaki pertama kalinya di kantormu yang baru pula. Hanya sehari kau menikmati ruangan barumu.
Aku mengenalmu kalau tak salah pada tahun 2013. Di sebuah acara pelatihan di sebuah hotel. Tiga atau empat tahun kemudian kita mulai akrab. Kita mulai sering nongkrong di Warung Feri di samping GOR Kotabaru, sampai larut malam.
Kita ternyata satu visi dalam mengelola media, bagaimana cara memandang jurnalisme. Mediamu jauh lebih tua ketimbang usia mediaku yang baru seumur jagung. Kau bahkan sering memberiku masukan agar kita bisa menghadapi zaman yang berkejaran dengan kecepatan. Soal itu, kau selalu lebih pintar. Kau mendalaminya. Pokoknya kau jagonya. Aku banyak terinspirasi dengan ide-idemu.
Kita bahkan semakin dekat selama periode tahun 2020 hingga 2021. Kita dalam satu tim, bersama teman kita satu lagi, Ali Monas. Kita bertiga bersama teman-teman lain sering tertawa bersama, saling berdebat, saling belajar. Ah, banyak sekali yang kita bahas setiap hari. Dan satu hal kusuka adalah kita tak pernah berdebat di media sosial. Kita berdebat secara langsung. Kita bahkan saling tahu ketika suasana hati kita sedang tak elok. Kita benar-benar tulus berteman.
Hanya saja, periode itu maafkan aku teman. Sekali lagi maafkan aku yang kadang bicara terlalu keras. Cerewet soal tubuhmu. Aku khawatir melihat tubuhmu yang rentan. Beberapa kali kau jatuh sakit. Kesehatanmu makin menurun. Bahkan, kau pernah dilarikan ke rumah sakit. Aku benar-benar sedih.
Yang terkadang aku bingung adalah soal sikap kepasrahanmu. Melihat sikapmu itu, sering kali aku memilih diam. Terutama akhir-akhir ini. Kita mulai jarang bertemu dan mulai jarang bicara. Kita mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Saat kau tiba-tiba datang dan bilang bahwa kau maju di Komisi Informasi Publik, aku sebenarnya senang. Kau bilang mau membahagiakan anak istrimu dan keluarga besarmu. Aku hanya khawatir bila kau gagal. Kami sungguh-sungguh mendukungmu. Mendengar kau terpilih, betapa senangnya aku. Kita sama-sama “rentan” hidup di media ini. Tujuan kita tentu sama. Sama-sama hendak membahagiakan anak istri. Tetapi kenapa secepat ini kau pergi?
Terakhir kita saling bercanda dan tertawa di bulan puasa ini, saat berbuka puasa di Sekretariat KONI Jambi. Aku lihat kau makin tenang. Wajahmu semakin bersih. Aku yakin ibadahmu makin kuat. Aku sungguh senang. Aku juga melihat kesehatanmu makin membaik.
Tetapi ternyata aku salah. Kau pergi begitu cepat. Aku mulai mempertanyakan ini pada Tuhan. Kenapa memanggil temanku secepat ini, Tuhan? Aku mengantarmu sampai ke peristirahatanmu terakhir. Aku buka dan melihat wajahmu dari dekat. Aku melihat kesedihan anak istrimu. Aku tak tahan. Aku langsung ke luar. Inilah yang kukhawatirkan sejak dulu kawan. Aku cerewet padamu soal pola hidup.
Ya sudahlah. Semua sudah digariskan Yang Maha Kuasa. Kau kuat dalam bertarung di kehidupan yang keras. Aku bangga menjadi temanmu. Kau pergi dalam kebahagiaan. Aku yakin anak istrimu juga bangga punya ayah sepertimu. Selamat jalan kawan. Berbahagialah di surga.