Connect with us
Advertisement

OPINI

Kaleidoskop Politik Jambi 2019 dan Proyeksi Politik Jambi 2020

DETAIL.ID

Published

on

Politik Jambi

SAYA ingin 5, 10 atau 15 tahun lagi, apabila masyarakat Jambi ingin mengetahui apa-apa saja dinamika politik yang terjadi di tahun 2019, jejak tinta digital ini akan bisa menceritakannya. Saya akan coba memotret kejadian-kejadian menarik ganasnya pertarungan para politisi di tahun politik.

Sudah sepantasnya memang tahun 2019 disebut sebagai tahun politik, karena untuk pertama kalinya penyelenggaraan pemilu dilaksanakan serentak antara pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg), bangsa ini pun dibuat riweuh dengan hiruk pikuk para politisi yang sedang merayu hati rakyat. Lembaran awal tahun 2019, Januari sampai Juni saat itu memasuki tahapan kampanye, pencoblosan dan pasca pemilu.

Jatah waktu kampanye 6 bulan sejak ditetapkannya Daftar Calon Tetap (DCT) pada September 2018 tidak dimanfaatkan sepenuhnya oleh para kontestan pemilu. Baru sebulan terakhir menjelang pencoblosan 17 April 2019 hiruk pikuk kampanye terasa, Alat Peraga Kampanye (APK) bertebaran dan strategi kampanye terbatas lebih diminati dari pada model kampanye akbar.

Pada pemilu serentak 2019 suasana kampanye pilpres lebih dominan dari pada kampanye pileg. Hal ini terjadi karena banyaknya berita hoaks dan politisasi SARA yang menimbulkan polarisasi dukungan “Cebong & Kampret” yang sangat tajam di pilpres, sehingga energi media pun lebih besar mengulas pilpres.

Meskipun tergolong sepi namun suasana kampanye caleg pada pemilu kelima sejak reformasi ini tetap menarik, drama pemeriksaan KPK pada sejumlah anggota DPRD yang terlibat kasus “ketok palu” dan banyaknya caleg petahana yang mengundurkan diri, memberikan angin segar bagi caleg-caleg pendatang baru.

Hasilnya lebih dari separuh anggota DPRD Provinsi tersingkir dan hanya 14 petahana yang mampu mempertahankan kursinya. Berikut jumlah kursi parpol hasil pemilu 2019 DPRD Provinsi Jambi; PDIP 9 kursi, Golkar, Gerindra, Demokrat dan PAN masing-masing 7 kursi, PKS 5 & PKB 5 kursi, PPP 3 kursi, NasDem 2 kursi serta Hanura, Perindo, Berkarya masing-masing 1 kursi. Untuk unsur pimpinan Ketua Edi Purwanto, Wakil Ketua I Rocky Candra, Wakil Ketua 2 Pinto Jaya Abadi dan Wakil Ketua 3 Burhanuddin Mahir.

Untuk perebutan kursi di Senayan (DPR & DPD), puluhan caleg dari 16 partai politik bertarung sengit, hasilnya lima caleg petahana kembali lolos yaitu Sutan Adil Hendra, H Bakri, Zulfikar Ahmad, Ihsan Yunus dan Saniatul Lativa. Sedangkan pendatang baru yang lolos yaitu mantan Gubernur Jambi Hasan Basri Agus yang mendapatkan terbanyak kedua se-Indonesia di Partai Golkar sehingga dianugerahi medali platinum dari DPP Partai Gokar, Hasbi Ansori dari NasDem, dan Sofyan Ali dari PKB.

Sementara itu, 4 orang dari 20 orang calon DPD yang berhasil duduk di Senayan adalah Ria Mayang Sari putri Gubernur Jambi, M Syukur satu-satunya petahana yang bertahan, Elviana senator luar biasa yang jeli mengambil peluang dan bisa duduk 4 kali di Senayan, serta Sum Indra. Sementara dua petahana Daryati Uteng dan Abu Bakar Jamalia harus tersingkir.

Beberapa catatan menarik lainnya dari perhelatan pemilu serentak terumit sedunia ini adalah pertama; timbulnya petaka banyak penyelenggara tewas akibat kelelahan, secara nasional 554 petugas KPU, Bawaslu dan Polri tewas.

Di Jambi tercatat 2 orang KPPS meninggal 89 sakit, dan dari Bawaslu 6 orang sakit 12 pingsan. Kedua, munculnya sengketa proses pemilu yang merupakan kasus yang terjadi pertama kali di Indonesia dimana caleg dari Kabupaten Sarolangun dan Merangin yang pindah parpol tetap masuk dalam DCT dan beberapa orangnya terpilih kembali dan akhirnya dilantik menjadi anggota DPRD.

Setelah hiruk pikuk pemilu selesai, semester kedua 2019 dimulai dengan drama sengitnya pengisian kekosongan posisi wakil Gubernur Jambi yang tak kunjung selesai, bahkan sampai tulisan ini dibuat pun (2020) partai koalisi pengusung belum mufakat siapa nama 2 orang yang akan diserahkan ke DPRD untuk diparipurnakan mendampingi Fachrori. Melihat alotnya kompromi partai koalisi, dipastikan Fachrori akan sendirian sampai akhir masa jabatan.

Menjelang akhir tahun 2019 kondisi politik Jambi mulai hangat kembali, kasak-kusuk Pilgub mulai menyeruak, orang-orang mulai membicarakan siapa bakal calon yang akan bertarung di Pilgub 2020 nanti? Beberapa nama mulai digadang-gadang maju. Ada yang terang-terangan menyatakan diri ada yang masih malu-malu. Namun akhirnya para pendekar politik mulai menampakkan keseriusannya dengan mendaftar di penjaringan yang dibuka oleh parpol.

Beberapa tokoh yang siap bertarung, didominasi kepala daerah dua periode, hal ini dikarenakan secara aturan mereka cukup cuti dan tidak perlu mundur dari jabatannya sehingga aturannya ini menguntungkan mereka, sebaliknya ASN dan anggota dewan yang maju wajib mundur.

Beberapa bakal calon yang serius dan telah mendaftar ke parpol adalah Wali Kota Jambi Syarif Fasha, Wali Kota Sungai Penuh AJB, Bupati Sarolangun Cek Endra, Bupati Merangi AL Haris, Bupati Tanjung Jabung Barat Safrial, Gubernur Petahana Fachrori Umar, Usman Ermulan Mantan Bupati Tanjung Jabung Barat, Ketua HKK Ramli Taha dan H. Bakri Anggota DPR RI dari PAN.

Beberapa nama lain juga didorong masyarakat untuk maju namun menyatakan tidak bersedia yaitu Hasan Basri Agus (HBA) dan Kapolda Jambi yang juga putra daerah dari Kabupaten Batanghari Irjen Pol Muchlis A.S. Dengan tidak majunya HBA diprediksi pertarungan sangat berimbang dan terbuka lebar bisa sampai tiga pasangan calon.

Hasil survei terakhir yang dirilis oleh Charta Politica menempatkan elektabilitas Syarif Fasha di posisi teratas 16 persen, Fachrori Umar 10,4 persen, Cek Endra 9,4 persen, Al Haris 8,6 persen, AJB 5,3 persen, Safrial 4,8 persen dan H Bakri 3,1 persen. Tentunya hasil survei ini mendapatkan tanggapan pro dan kontra dari masing-masing kandidat.

Akhir tahun 2019 ditutup dengan berbagai manuver politik para bakal calon gubernur, masing-masing kandidat rajin blusukan ke 11 kabupaten kota untuk membuat jaringan dan mendekati para tokoh-tokoh politik, tokoh agama dan tokoh masyarakat. Perang baliho pun juga semakin sengit, para balon dengan slogan masing-masing coba mencitrakan dirinya untuk menaikkan popularitas dan elektabilitas, karena faktor utama partai memberikan restu adalah bagi balon yang memiliki elektabilitas paling tinggi.

Proyeksi Politik Jambi 2020

Berdasarkan PKPU 16/2019 pendaftaran paslon tanggal 16-18 Juni, 8 Juli penetapan calon dan 23 September 2020 hari pencoblosan. Masih ada waktu 6 lagi bagi para kandidat untuk meracik strategi dan menentukan pasangan, enam bulan ke depan para kandidat akan sibuk dengan beberapa hal; pertama terus menaikkan popularitas dan elektabilitas dengan semakin masif memasang baliho dan mendekati tokoh-tokoh didaerah, mencari celah untuk mendapatkan “perahu” partai politik dan melakukan lobi-lobi untuk mendapatkan pasangan calon wakil gubernur yang satu chemistry.

Menarik untuk disimak apakah Jambi nanti akan menjadi semakin Mantap/Berkah/Maju/Bangkit/Unggul/Juara?

 

*Ketua Komunitas Peduli Pemilu dan Demokrasi (KOPIPEDE) Provinsi Jambi dan Akademisi Universitas Jambi

OPINI

Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?

Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*

DETAIL.ID

Published

on

DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?

Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.

Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.

Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.

Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.

Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.

Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.

Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.

Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.

Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya

*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

Continue Reading

OPINI

Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja: Ekonomi dan Keadilan Konstitusional

Oleh: Okto Simangunsong, S.H*

DETAIL.ID

Published

on

POLITIK hukum pada hakikatnya merupakan kebijakan dasar yang menentukan arah pembentukan dan penegakan hukum suatu negara. Mahfud MD mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang, dan telah berlaku untuk mencapai tujuan negara.

Definisi tersebut menegaskan bahwa hukum tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan merupakan hasil interaksi antara nilai, kekuasaan, dan kepentingan sosial-politik.

Dalam konteks Indonesia, politik hukum sering kali menjadi arena tarik-menarik antara tujuan pembangunan ekonomi dan prinsip keadilan sosial sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. UU Cipta Kerja menjadi contoh konkret bagaimana arah politik hukum dapat bergeser menuju orientasi efisiensi ekonomi dengan mengorbankan partisipasi publik serta kualitas legislasi.

Metode omnibus law yang digunakan dalam pembentukan UU Cipta Kerja memang dimaksudkan untuk merapikan tumpang tindih regulasi dan mempercepat investasi. Namun, cara dan hasilnya menimbulkan kritik luas karena dinilai mengabaikan asas keterbukaan dan partisipasi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Dasar Teoretis dan Kerangka Regulasi

Secara teoretis, politik hukum merupakan wujud nyata dari policy oriented law making, di mana pembentukan hukum diarahkan oleh agenda politik negara. Menurut Padmo Wahyono (1986), politik hukum adalah kebijakan dasar dalam bidang hukum yang menjadi pedoman bagi pembentukan hukum untuk mewujudkan cita-cita bangsa. Dengan demikian, politik hukum memiliki dua dimensi yakni normatif dan politis.

Dalam kerangka konstitusional, pengawasan terhadap produk politik hukum dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui kewenangan judicial review sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Mekanisme ini dimaksudkan untuk memastikan bahwa setiap undang-undang selaras dengan prinsip konstitusi, terutama dalam hal keadilan, keterbukaan, dan penghormatan terhadap hak-hak warga negara.

UU Cipta Kerja dan revisinya melalui UU Nomor 6 Tahun 2023 menjadi ujian nyata bagi kedua aspek tersebut, apakah politik hukum pembentukannya masih berada dalam koridor konstitusi, dan sejauh mana MK berperan menjaga keseimbangan antara kekuasaan politik dan supremasi hukum.

Analisis Politik Hukum dalam UU Cipta Kerja

UU Cipta Kerja menunjukkan bahwa politik hukum Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh kekuasaan eksekutif. Pemerintah, dengan dukungan mayoritas politik di DPR, berhasil mendorong lahirnya undang-undang yang mengubah lebih dari 70 undang-undang sektoral sekaligus. Proses legislasi yang cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik memperlihatkan bahwa hukum telah dijadikan instrumen kebijakan pembangunan ekonomi.

Kondisi ini memperlihatkan gejala instrumentalization of law  hukum tidak lagi menjadi alat kontrol terhadap kekuasaan, melainkan alat legitimasi kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks ini, efisiensi prosedural digunakan sebagai alasan untuk mengesampingkan nilai-nilai demokrasi substantif.

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat merupakan wujud dari pengawasan konstitusional yang efektif. MK menegaskan bahwa pembentukan undang-undang harus memenuhi asas partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation) sebagai bagian dari prinsip negara hukum.

Namun, tindak lanjut pemerintah melalui penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 yang kemudian disahkan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2023, memperlihatkan kecenderungan resistensi terhadap koreksi yudisial. Alih-alih memperbaiki proses legislasi, pemerintah justru mengulangi pendekatan serupa dengan dalih mendesak kebutuhan ekonomi nasional. Fenomena ini memperlihatkan bahwa politik hukum di Indonesia masih belum sepenuhnya menghormati prinsip checks and balances.

Secara filosofis, politik hukum seharusnya berorientasi pada rule of law, yakni menempatkan hukum di atas kekuasaan. Namun praktik dalam pembentukan dan perubahan UU Cipta Kerja justru mencerminkan rule by law, yaitu penggunaan hukum sebagai instrumen legitimasi kebijakan politik.
Ketika hukum dikendalikan oleh kekuasaan politik, maka fungsi normatifnya sebagai pelindung keadilan sosial dan lingkungan hidup melemah. Akibatnya, hukum kehilangan legitimasi moral di mata publik.

Politik hukum pembentukan UU Cipta Kerja menunjukkan dua wajah. Di satu sisi, hukum berfungsi sebagai sarana untuk mempercepat pembangunan ekonomi dan investasi. Namun di sisi lain, hukum kehilangan fungsi sosialnya sebagai instrumen keadilan. Keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif menjadi terdistorsi.

Partisipasi publik yang minim dan pengabaian terhadap asas keterbukaan telah menimbulkan defisit legitimasi dalam politik hukum nasional. Ketika hukum tidak lagi dipersepsikan sebagai milik bersama, melainkan sebagai produk elit politik, maka kepercayaan publik terhadap negara hukum pun melemah.

Penutup

UU Cipta Kerja menjadi cermin nyata bagaimana politik hukum dapat bergeser dari orientasi keadilan menuju pragmatisme ekonomi. Dominasi eksekutif, lemahnya partisipasi publik, dan resistensi terhadap pengawasan yudisial menandakan bahwa sistem hukum Indonesia masih rentan terhadap politisasi.

Untuk membangun politik hukum yang konstitusional, dibutuhkan komitmen pada tiga hal pokok; (1). Menegakkan asas partisipasi publik yang bermakna dalam setiap proses legislasi. (2). Menghormati putusan Mahkamah Konstitusi sebagai bentuk kontrol konstitusional, bukan sekadar formalitas hukum. (3). Menempatkan hukum sebagai sarana keadilan sosial, bukan alat legitimasi kebijakan ekonomi.

Hukum yang baik bukanlah hukum yang paling efisien, tetapi hukum yang paling adil. Politik hukum yang berorientasi pada keadilan konstitusional akan memastikan bahwa pembangunan ekonomi tidak mengorbankan hak rakyat dan prinsip negara hukum.

*Penulis merupakan Advokad dan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

Continue Reading

OPINI

Pesan Tegas Prabowo dan Cermin Buram Penegakan Hukum Kita

Oleh: Nazli*

DETAIL.ID

Published

on

PERNYATAAN Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini layak diapresiasi tinggi oleh rakyat. Dalam arahannya, Presiden menegaskan agar aparat penegak hukum tidak berbuat dzalim terhadap rakyat kecil dan tidak menjadikan hukum sebagai alat penindasan.

“Saya ingatkan terus kejaksaan, kepolisian, jangan kriminalisasi sesuatu yang tidak ada. Hukum jangan tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ujar Prabowo di kantor Kejaksaan Agung usai menyaksikan penyerahan uang pengganti kerugian kasus CPO di Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2025.

Pernyataan tersebut bukanlah basa-basi politik, melainkan tamparan moral bagi institusi penegak hukum yang selama ini dinilai gagal menjaga rasa keadilan publik. Kalimat Prabowo menyentuh inti luka sosial bangsa dan “ketimpangan penegakan hukum”.

Kita tidak menutup mata: hukum di Indonesia masih sering berpihak pada mereka yang memiliki kekuasaan dan kekayaan. Rakyat kecil bisa dijerat karena perkara sepele, ada seorang ibu rumah tangga ditahan karena mencuri kayu bakar, seorang petani dipenjara karena bersengketa dengan perusahaan besar, seorang anak sekolah diseret ke pengadilan karena mencuri ayam.

Namun di sisi lain, pelanggaran besar oleh korporasi perusak lingkungan, pengemplang pajak, atau pelaku korupsi kerap “diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan”.
Inilah wajah hukum yang menakutkan bagi yang lemah, tapi lembek terhadap yang kuat.
Hukum yang tidak lagi menjadi pelindung keadilan, melainkan alat kekuasaan.

Kriminalisasi rakyat kecil bukan hanya masalah hukum, tetapi juga masalah kemanusiaan. Banyak kasus bukan lahir dari niat jahat, tetapi dari kemiskinan yang sistemik. Petani yang menggarap tanah turun-temurun dianggap menyerobot lahan perusahaan; nelayan kecil yang mencari ikan dianggap melanggar izin laut; warga miskin kota yang berdagang di trotoar ditertibkan tanpa solusi.

Inilah bentuk nyata kriminalisasi kemiskinan, ketika hidup sederhana dianggap pelanggaran, dan perjuangan bertahan hidup dianggap kejahatan.

Pesan Presiden Prabowo seharusnya membuka mata para penegak hukum bahwa keadilan tidak bisa diukur dari seberapa banyak orang ditangkap, tetapi diukur seberapa adil hukum ditegakkan.

Kini saatnya aparat hukum membuktikan diri: apakah pesan Presiden hanya akan menjadi hiasan berita, atau benar-benar dijalankan di lapangan. Polisi, jaksa, dan hakim harus mulai bekerja dengan nurani. Karena hukum tanpa empati adalah kezaliman yang dilegalkan.

Bila rakyat kecil bisa diproses cepat, maka pelaku besar juga harus diproses lebih cepat. Bila rakyat miskin bisa diseret ke pengadilan, maka pengusaha dan pejabat yang korup juga harus diseret, tanpa pandang bulu.

Rakyat kecil kini menaruh harapan baru pada Presiden Prabowo. Namun harapan itu hanya akan hidup bila aparat hukum menindaklanjuti pesan beliau dengan tindakan nyata. Karena rakyat sudah terlalu sering mendengar janji keadilan, tapi jarang merasakannya.

Bila hukum masih tajam ke bawah dan tumpul ke atas, maka rakyat akan terus kehilangan kepercayaan. Dan bila kepercayaan rakyat telah hilang, maka hukum kehilangan wibawa, dan negara kehilangan jiwanya.

*Humas DPD Gerindra Jambi

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs