Connect with us

LINGKUNGAN

Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) Solusi PETI? Kadis ESDM: Ini Bukan Untuk Mengakomodir Tambang Ilegal

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Masyarakat Jambi masih harus menunggu terkait legalitas tambang emas yang dikelola oleh masyarakat atau Wilayah Peryambangan Rakyat (WPR). Hal tersebut disampaikan oleh Kepala Dinas ESDM Provinsi Jambi, Harry Hendria. Saat dikonfirmasi Rabu 5 Oktober 2022.

Awalnya Harry menjelaskan bahwa maksud dan tujuan dari WPR tersebut adalah sebagai salah satu upaya pemerintah untuk menekan praktek penambangan emas secara liar yang marak di wilayah Provinsi Jambi.

“Itu dikeluarkan sebagai keputusan Menteri ESDM. Jadi kan ada banyak PETI. Kita menginisiasilah untuk mengakomodir masyatkat yang secara turun-temurun sudah mendukang emas secara tradisionil, tidak mengunakan alat berat dan wilayahnya juga bukan dikawasan hutan,” kata Kadis ESDM Provinsi Jambi, Harry Hendria, Kamis 6 Oktober 2022.

Harry mengatakan bahwa sejumlah daerah Kabupaten macam Sarolangun, Merangin, dan Tebo sudah mengajukan permohonan untuk WPR kepada Pemerintah Provinsi Jambi, dan Pemprov Jambi, kata Harry, pun sudah menindaklanjuti ke Kementerian ESDM.

“Itu sudah disetujui oleh Menteri sudah dikeluarkan persetujuan Menteri ESDM. Berarti sudah ada kawasan yang memang diperuntukkan untuk wilayah pertambangan rakyat,” ujarnya.

Trus apalag yang mau dikerjakan?, kata Harry, sebelum perizinan dikeluarkan ada 2 hal lagi harus disiapkan. Yakni dokumen pengelolaan WPR oleh kementerian ESDM. Pihaknya mengaku telah mendorong agar dokumen tersebut segera diterbitkan tapi belum ada respon sampai sekarang.

“Jadi ada komimen sendiri nanti dibuat per 100 hektar. Setiap wilayah itu kan beda-beda dia karakternya. Makanya kita buat surat ke pusat untuk mereka merealisasikan dokumen pengelolaan itu. Sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya, nanti kita akan tanyakan lagi,” katanya.

Selain dokumen pengelolaan dari Kementerian ESDM, saat ini masyarakat juga masih harus menunggu dokumen KLHS.

“Setelah 2 dokumen ini jadi baru bisa berproses periznan baru bisa dikeluarkan. Itu sudah di Provinsi nanti kalau proses perizinannya. Izin Pertambangan Rakyat (IPR) namanya,” ujarnya.

Lebih lanjut Harry menjelaskan soal dokumen yang akan diterbitkan oleh KESDM itu akan memuat tata cara menambang yang baik, kemudian menghitung cadangan emasnya bagaimana dan berbagai hal tekhnis lainnya. Untuk masalah sanksi, kata Harry, sudah ada diatur dalam UU No 3 Tahun 2020 tentang Minerba.

“Ini salah satu upaya kita untuk mengurangi praktek PETI. Yang namanya pertambangan tanpa izin itu ranahnya kan penindakan ya. Dan pelakukan juga dominan bukan masyarakat asli situ kalau saya lihat, orang luar malahan. Dan kokasinya juga rata-rata di kawasan hutan,” katanya.

Jadi, lanjutnya, tolong dipisahkan bahwa IPR ini bukan untuk mengakomonir orang-orang itu (Penambang Ilegal) tapi lebih kepada masyarakat yang secara turun temurun sudah ada budayanya mendulang emas.

“Jadi kalau bagi saya, sekarang itu masyarakat itu yang kita akomodir. Kalau memang dia warga asli disana, dialah yang berhak mendapatkan IPR,” katanya.

Baca juga: Selangkah Lagi, DPW APRI Provinsi Jambi Segera Terbentuk

Reporter: Juan  Ambarita

LINGKUNGAN

KPA Soroti Penyimpangan Penertiban Kawasan Hutan, Sebut Ancam Hak Petani

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) bersama Serikat Tani Tebo (STT) dan Persatuan Petani Jambi (PPJ) menilai pelaksanaan kebijakan Penertiban Kawasan Hutan (PKH) menyimpang dari semangat Reforma Agraria dan justru menjadi ancaman baru terhadap hak-hak rakyat atas tanah.

Dalam pernyataan yang dirilis pada Senin, 22 Juli 2025, KPA menyebut kebijakan PKH yang dijalankan Satgas PKH berdasarkan Perpres No 5 Tahun 2023, ibarat pisau bermata dua. Alih-alih menindak korporasi besar pelanggar hukum, pelaksanaan di lapangan justru menyasar petani, masyarakat adat, dan desa-desa yang sudah eksis jauh sebelum klaim kawasan hutan oleh negara.

“Di Jambi, Satgas PKH justru dimanfaatkan oleh PT Wira Karya Sakti (WKS) anak usaha Sinarmas Group untuk menggusur tanah petani di Desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo. Padahal desa itu telah dihuni sejak 1813,” kata Frandody, Koordinator KPA Wilayah Jambi.

Menurut Dodi, lahan seluas 20.660 hektare di desa tersebut sebelumnya telah diusulkan sebagai Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) dan pernah ditinjau langsung oleh pemerintah pusat pada 2021. Namun Satgas PKH kini memasang plang penertiban di lokasi itu.

KPA menilai langkah tersebut menunjukkan penyalahgunaan kewenangan. Apalagi pada Januari 2025, Presiden Prabowo membentuk Satgas PKH setelah Kementerian Kehutanan menerbitkan SK No 36/2025 yang mencakup 436 subjek penertiban dengan total luas 790.474 hektare. Hanya dalam lima bulan, Satgas mengklaim telah menertibkan 2 juta hektare lahan tanpa transparansi lokasi.

KPA juga mengkritik pendekatan militeristik Satgas yang diketuai Menteri Pertahanan, Panglima TNI, dan Kapolri. Mereka dianggap tidak memiliki pemahaman historis, sosiologis, dan yuridis atas konflik agraria.

“Pendekatan represif justru menciptakan ketakutan dan kekerasan. Dalam sepuluh tahun terakhir, sedikitnya 2841 orang dikriminalisasi, 1054 mengalami kekerasan fisik, 88 tertembak, dan 79 tewas akibat keterlibatan aparat dalam konflik agraria,” ujar Roni Septian Maulana, Kepala Departemen Advokasi KPA.

Ia juga menambahkan bahwa Satgas PKH seharusnya terlebih dulu mengoreksi batas kawasan hutan dan mengeluarkan desa-desa atau lahan dari klaim kawasan serta dari konsesi perusahaan, kemudian menertibkan korporasi yang selama ini dibiarkan beroperasi menggarap kawasan.

Ketua STT, Sadli juga menyoroti proses penetapan kawasan hutan di Jambi, khususnya di Tebo, yang baru mulai dilakukan pada 2021. Menurutnya, penetapan kawasan harus memenuhi lima tahapan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No 35/2012 yakni penunjukan, penataan batas, pemetaan, penetapan, dan pengukuhan.

“Kemudian harus ditandatangani masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan. Tapi saya dengar, tidak ada tanda tangan dari warga. Kalau begitu, penetapan kawasan hutan itu patut dipertanyakan,” ujarnya.

Berdasarkan segala ketentuan regulasi tersebut, negara lewat Perpres No 5/2023 seharusnya tidak semerta-merta untuk mengeksekusi lahan-lahan garapan masyarakat atas klaim kawasan hutan.

KPA dan organisasi petani pun menyampaikan enam tuntutan kepada Presiden Prabowo;

  1. Mengevaluasi pelaksanaan PKH secara nasional, terutama di Jambi.
  2. Mengembalikan tanah rakyat yang diklaim sebagai kawasan hutan.
  3. Menjamin transparansi dan partisipasi masyarakat dalam penentuan objek penertiban.
  4. Menyesuaikan kebijakan PKH agar selaras dengan Reforma Agraria.
  5. Membentuk Badan Otorita Reforma Agraria (BORA) langsung di bawah Presiden.
  6. Mengoreksi batas klaim kawasan hutan negara dan izin kehutanan.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

LINGKUNGAN

PLTU Milik PT Permata Prima Elektrindo Diduga Cemari Sungai Ale, Sudah Dilaporkan Namun Belum Ada Perubahan

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Sarolangun – PLTU milik PT Permata Prima Elektrindo (PPE) yang berlokasi di Desa Semaran, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, diduga telah mencemari ekosistem Sungai Ale melalui pembuangan limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA). Hal ini terungkap dari hasil investigasi Lembaga Tiga Beradik (LTB) pada Selasa, 3 Juni 2025.

Tim LTB menemukan bahwa limbah FABA diangkut menggunakan kendaraan roda empat dan dibuang ke lahan terbuka seluas sekitar 1,3 hektare hanya berjarak 40 meter dari anak Sungai Ale. Lokasi pembuangan tersebut merupakan area rawa yang rawan banjir dan seharusnya menjadi daerah resapan air tanah.

“Kegiatan ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun, khususnya Pasal 25 ayat 4 huruf b serta Pasal 28 ayat 1 huruf b dan e,” ujar Manager Advokasi LTB, Deri lewat keterangan tertulisnya.

Dampak dari aktivitas ini dirasakan langsung oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada Sungai Ale. Air sungai kini tercemar lumpur hitam limbah FABA, yang jika digunakan bisa membahayakan kesehatan.

Deri menegaskan bahwa jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa penindakan dari pihak berwenang, pencemaran bisa meluas hingga Sungai Tembesi yang menjadi hilir dari Sungai Ale.

“Pada Mei 2024 lalu, luapan Sungai Tembesi mencapai lokasi pembuangan limbah FABA dan membawa lumpur hitam yang menyebabkan kerusakan ekosistem di Sungai Ale,” katanya.

Menurut Deri, laporan sudah disampaikan kepada perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun pada kegiatan Sedekah Bumi tahun 2024 di RT 06, pintu masuk menuju lokasi PLTU. Namun hingga kini belum ada respons atau tindakan konkret.

“Kami menilai bahwa Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun lalai dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap aktivitas PLTU Semaran milik PT Permata Prima Elektrindo. Oleh karena itu, kami menuntut agar perusahaan diberi sanksi tegas oleh pihak terkait,” katanya. (*)

Continue Reading

LINGKUNGAN

Walhi Jambi Laporkan Jamtos, JBC, dan Roma Estate ke Polda Terkait Dugaan Perusakan Sungai

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi melaporkan tiga proyek pembangunan besar di Kota Jambi ke Kepolisian Daerah (Polda) Jambi atas dugaan pelanggaran lingkungan hidup pada Jumat, 30 Mei 2025.

Ketiga proyek tersebut adalah Jambi Town Square (Jamtos), Jambi Business Center (JBC), dan Perumahan Roma Estate. Walhi menilai, pembangunan ketiganya telah mengubah bentang alam sempadan Sungai Kambang dan menyebabkan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).

Fokus utama laporan tertuju pada pembangunan Jamtos yang diduga menutup aliran Sub Sungai Payo Sigadung atau Sungai Kambang dan menggantinya dengan saluran tertutup (gorong-gorong). Kondisi ini dinilai melanggar tata ruang dan aturan lingkungan serta meningkatkan risiko banjir di kawasan Mayang.

Berdasarkan overlay citra historis Google Earth tahun 2002 hingga 2025, kawasan Jamtos sebelumnya merupakan hutan dan sempadan sungai alami. Kini, jalur sungai tersebut tertutup bangunan beton, menghilangkan fungsi alaminya sebagai saluran limpasan air.

Walhi menilai pembangunan itu melanggar sejumlah peraturan, antara lain Undang-Undang No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, Permen PUPR No 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, serta Perda Kota Jambi No 9 Tahun 2013 dan No 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.

Selain Jamtos, pembangunan JBC dan Roma Estate juga diduga turut mengubah alur sungai dan menutup wilayah resapan air yang penting bagi kestabilan ekologis kota Jambi.

Direktur Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menyatakan bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan aturan lingkungan dan tata ruang merupakan bentuk kelalaian serius.

“Kami meminta dan mendesak Kapolda Jambi melalui Direktorat Kriminal Khusus untuk segera memeriksa pihak pengembang JBC, Jamtos, dan Roma Estate, serta pihak pemerintah yang memberikan izin atas pembangunan tersebut. Kami tidak akan berdamai bagi siapa saja yang merusak alam dan lingkungan yang berpotensi terhadap kerusakan ekologi,” ujar Oscar.

Hingga berita ini ditulis, belum diperoleh tanggapan resmi dari pihak pengembang maupun instansi terkait laporan tersebut. (*)

Continue Reading
Advertisement ads ads
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs