LINGKUNGAN
Ditalangi Pakai APBD, Ini Dia Program BioCF di Provinsi Jambi

Jambi – Provinsi Jambi menjadi satu- satunya daerah di Indonesia yang mendapat dana hibah dari bank dunia melalui program Bio Carbon Fund (BioCF). Menyasar kepada upaya menjaga dan melestarikan lingkungan. Jika berhasil, apalagi mampu menurunkan emisi carbon menjadi 14 juta ton Co2-eq, maka Jambi bakal mendapat bayaran berkali- kali lipat.
Metode yang digunakan adalah on granting. Ditalangi menggunakan APBD sebelum dilakukan reimbursement atau penggantian uang. Namun, proses penggantian uang di tahun pertama yakni 2022 belum 100 persen.
Bagaiman perjalanan BioCF di Provinsi Jambi? Begini penjelasan dari beberapa sumber.
Sejak tahun 2019, Provinsi Jambi telah memulai perencanaan program BioCF yang dikoordinir oleh Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). BioCF ini, merupakan program dalam menjaga dan mempertahankan kawasan hutan agar tidak terjadi degradasi dan deforestasi, serta di luar kawasan hutan seperti lahan perkebunan dan pertanian berkelanjutan.
Tak tanggung- tanggung, Provinsi Jambi memperoleh dana hibah sebesar Rp 82 miliar yang bersumber dari bank dunia. Lama program selama 5 tahun.
Dana tersebut hanya sebagain dari total dana hibah yang diberikan kepada Pemerintah Republik Indonesia yakni sebesar US$ 13,5 juta atau sekitar Rp 180 miliar.
Informasi diterima dari Ketua Sub National Project Management Unit, Sepdinal beberapa waktu lalu. Ia menyampaikan proses perencanaan BioCF telah dimulai sejak tahun 2019 sampai 2020.
Ada 3 tahapan dalam program BioCF ini. Dimulai dari perencanaan, intervensi atau pra investasi dan penilaian kinerja. Dana hibah disalurkan kepada 5 OPD di Provinsi Jambi yakni Bappeda, Dinas Kehutanan, Dinas Perkebunan, Dinas Tanaman Pangan Hortikultura dan Peternakan serta Dinas Lingkungan Hidup.
Sepdinal menyampaikan, pada tahun 2022 BioCF memasuki tahap pra investasi. Dimana, Pemerintah RI menerima bantuan dana hibah dari bank dunia, kemudian diteruskan kepada Pemerintah Provinsi Jambi dengan pola on granting.
“Maksudnya, ditalangi terlebih dahulu pakai APBD, baru ditagih kembali ke Kemenkeu ditahun yang bersangkutan. Setelah kita laksanakan ditahun itu, reimbursement selama 2 kali di tahun yang berjalan,” kata Sepdinal kepada DETAIL.ID, Kamis, 26 Januari 2023.
Setelah proses intervensi berjalan, 5 tahun ke depan bakal dilakukan penilaian kinerja. Provinsi Jambi akan mendapat tambahan duit jika berhasil mengurangi emisi karbon sebanyak 14 juta ton Co2-eq.
Jika target tercapai, maka Provinsi Jambi bakal menerima dana sebesar US$ 70 juta atau Rp 1 triliun lebih.
“Dengan catatan, 1 ton Co2 itu dihitung dengan US$ 5. Diajukan 2 kali dalam 5 tahun kinerja kita, tahun 2023 dan 2025. Kalau kita mampu di tahun pertama akan dapat itu,” ujarnya.
Sepdinal menambahkan, jika target tersebut tidak tercapai, Provinsi Jambi tetap memperoleh dana hibah yang peruntukannya mendukung program, menghijaukan atau mempertahankan kawasan hutan, perkebunan dan pertanian.
“Makanya dikawal betul oleh bank dunia. Baik perencanaan maupun kinerja. Dan peruntukannya jelas, bukan untuk honor atau beli kendaraan mobil,” ujar Sepdinal.
Hampir semua daerah di Provinsi Jambi menjadi lokasi program ini, minus Kota Jambi. Namun daerah yang menjadi wilayah intervensi program menggunakan APBD Provinsi Jambi terdapat di 4 KPH, yakni Merangin, Bungo, Sarolangun Hilir, Tanjungjabung Barat.
Sementara di tempat terpisah, Kepala Bappeda Provinsi Jambi, Agus Sunaryo menyampaikan hal senada dengan Sepdinal.
Agus mengatakan, BioCF merupakan program KLHK yang dibiayai oleh hibah bank dunia. Oleh sebab itu, semua jenis kegiatan dalam program ini diawali atas persetujuan dan verifikasi oleh KLHK.
“Dalam situasi anggaran Pemprov Jambi yang terbatas, kita sangat apresiasi bank dunia yang diinisasi oleh KLHK telah memilih Jambi sebagai salah satu pilot project dan satu-satunya daerah yang dapat program BioCF,” kata Agus Sunaryo kepada DETAIL.ID saat ditemui di ruangannya pada Kamis, 26 Januari 2023.
Agus menyampaikan, program ini sudah mulai sejak tahun 2019. Namun, hingga 2021 masih dikelola oleh KLHK.
Kemudian pada tahun 2022, pola on granting mulai dilakukan. Program dikerjakan menggunakan APBD Provinsi Jambi, kemudian dilakukan reimbursement atau penggantian uang sesuai dengan kinerja yang dilakukan.
Rencana penerimaan dana hibah BioCF pada tahun 2022 sebesar Rp 32 miliar, namun yang terealisasi hanya sebesar Rp 25 miliar. Hingga Oktober 2022, Agus menyampaikan pengeluaran Provinsi Jambi mencapai Rp 20 miliar.
Proses reimbursement dilakukan sebanyak 2 kali yakni Juni dan Oktober 2022. Pada Juni, Pemprov Jambi mengajukan penggantian uang sebanyak Rp 9 miliar. Namun setelah proses verifikasi, dana yang didapat Pemprov Jambi tak sampai Rp 9 miliar dikarenakan terdapat kinerja tidak sesuai dengan output yang telah ditentukan. Hal dan nominal yang sama terjadi pada bulan Oktober 2022.
Agus menjelaskan, dari rencana penerimaan Rp 34 miliar, sekitar Rp 14 miliar telah masuk ke kas daerah Provinsi Jambi.
Tak lupa, Agus menyampaikan rasa syukur. Katanya, Provinsu Jambi saat ini telah beriringan dengan pemerintah pusat dalam hal pembanguan yang berkelanjutan, yang mengedepankan 3 aspek, yakni sosial, ekonomi dan lingkungan.
“Harapan kita, dengan program yang diberikan KLHK, dapat kita ikuti sebagai acuan memperhatikan lingkungan. Secara global anggaran- anggaran terkait pembangunan berkelanjutan sangat terbuka untuk diperoleh. Ayo, sama-sama mencari anggaran ke luar, ke kementerian dengan menjual lingkungan kita,” ucapnya.
Sementara, Kabid Ekonomi Bappeda Provinsi Jambi, Ahmad Subhan menyebut tidak ada kerugian Pemprov Jambi sepanjang tahun 2022 dalam program tersebut, walaupun APBD yang dipakai tidak sesuai dengan penggantian uang.
Ia menjelaskan, tanpa adanya BioCF pun program- program dalam mencegah degradasi kawasan hutan dan pemanfaatan lahan yang tidak ramah lingkungan juga telah ada di masing- masing OPD terkait. Jadi, sebenarnya BioCF memberikan tambahan pendapatan bagi Provinsi Jambi.
“Sama sekali tidak ada kerugian. Bahwa sebenarnya proyek ini bukan memberikan sesuatu yang sebelumnya tidak ada. Sebelum ada BioCF, program- program itu sudah kita lakukan. Justru, program ini menambah pendapatan kita,” katanya.
Terkait reimbursement pada Juni dan Oktober 2022 yang tidak sesuai dengan anggaran yang dipakai, Ahmad Subhan punya jawaban. Ia mengatakan, sisa anggaran itu tetap akan dikembalikan.
“Tetap dikembalikan sisanya. Bahasanya tunda reimbursement, bukan gagal. Karena ada indikator belum sesuai output. Diberikan kesempatan untuk memperbaiki sesuai output yang ditentukan,” ujarnya.
Di lain kesempatan, Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Pendapatan Daerah (BPKPD) Provinsi Jambi, Agus Pirngadi membenarkan jika reimbursement pada tahun 2022 belum 100 persen.
Kendati demikian, ia menjelaskan proses yang belum selesai tersebut, masih bisa dilanjutkan pada tahun 2023 ini.
“Karena ada beberapa pekerjaan yang memang tidak bisa di-reimburs karena beda peruntukannya. Terkait kegiatan-kegiatan yang tidak bisa diperbaiki usulannya di tahun 2023 ini.
Terkait adanya selisih antara uang yang diajukan dan yang digantikan, Agus Pirngadi menyebut tak ada kerugian.
“Atas masuknya dana hibah yang sudah bisa di reimbursement itu notabene bukan uang APBD murni, tapi uang hibah. Kalau rugi enggak, tapi pendapatan kita yang bersumber dari dana hibah itu tertunda,” ucap Agus Pirngadi.
Reporter: Frangki Pasaribu
LINGKUNGAN
PLTU Milik PT Permata Prima Elektrindo Diduga Cemari Sungai Ale, Sudah Dilaporkan Namun Belum Ada Perubahan

DETAIL.ID, Sarolangun – PLTU milik PT Permata Prima Elektrindo (PPE) yang berlokasi di Desa Semaran, Kecamatan Pauh, Kabupaten Sarolangun, diduga telah mencemari ekosistem Sungai Ale melalui pembuangan limbah Fly Ash dan Bottom Ash (FABA). Hal ini terungkap dari hasil investigasi Lembaga Tiga Beradik (LTB) pada Selasa, 3 Juni 2025.
Tim LTB menemukan bahwa limbah FABA diangkut menggunakan kendaraan roda empat dan dibuang ke lahan terbuka seluas sekitar 1,3 hektare hanya berjarak 40 meter dari anak Sungai Ale. Lokasi pembuangan tersebut merupakan area rawa yang rawan banjir dan seharusnya menjadi daerah resapan air tanah.
“Kegiatan ini bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 19 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengelolaan Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun, khususnya Pasal 25 ayat 4 huruf b serta Pasal 28 ayat 1 huruf b dan e,” ujar Manager Advokasi LTB, Deri lewat keterangan tertulisnya.
Dampak dari aktivitas ini dirasakan langsung oleh masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada Sungai Ale. Air sungai kini tercemar lumpur hitam limbah FABA, yang jika digunakan bisa membahayakan kesehatan.
Deri menegaskan bahwa jika kondisi ini terus dibiarkan tanpa penindakan dari pihak berwenang, pencemaran bisa meluas hingga Sungai Tembesi yang menjadi hilir dari Sungai Ale.
“Pada Mei 2024 lalu, luapan Sungai Tembesi mencapai lokasi pembuangan limbah FABA dan membawa lumpur hitam yang menyebabkan kerusakan ekosistem di Sungai Ale,” katanya.
Menurut Deri, laporan sudah disampaikan kepada perwakilan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun pada kegiatan Sedekah Bumi tahun 2024 di RT 06, pintu masuk menuju lokasi PLTU. Namun hingga kini belum ada respons atau tindakan konkret.
“Kami menilai bahwa Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sarolangun lalai dalam menjalankan tugas pengawasan terhadap aktivitas PLTU Semaran milik PT Permata Prima Elektrindo. Oleh karena itu, kami menuntut agar perusahaan diberi sanksi tegas oleh pihak terkait,” katanya. (*)
LINGKUNGAN
Walhi Jambi Laporkan Jamtos, JBC, dan Roma Estate ke Polda Terkait Dugaan Perusakan Sungai

DETAIL.ID, Jambi – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi melaporkan tiga proyek pembangunan besar di Kota Jambi ke Kepolisian Daerah (Polda) Jambi atas dugaan pelanggaran lingkungan hidup pada Jumat, 30 Mei 2025.
Ketiga proyek tersebut adalah Jambi Town Square (Jamtos), Jambi Business Center (JBC), dan Perumahan Roma Estate. Walhi menilai, pembangunan ketiganya telah mengubah bentang alam sempadan Sungai Kambang dan menyebabkan kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS).
Fokus utama laporan tertuju pada pembangunan Jamtos yang diduga menutup aliran Sub Sungai Payo Sigadung atau Sungai Kambang dan menggantinya dengan saluran tertutup (gorong-gorong). Kondisi ini dinilai melanggar tata ruang dan aturan lingkungan serta meningkatkan risiko banjir di kawasan Mayang.
Berdasarkan overlay citra historis Google Earth tahun 2002 hingga 2025, kawasan Jamtos sebelumnya merupakan hutan dan sempadan sungai alami. Kini, jalur sungai tersebut tertutup bangunan beton, menghilangkan fungsi alaminya sebagai saluran limpasan air.
Walhi menilai pembangunan itu melanggar sejumlah peraturan, antara lain Undang-Undang No 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, PP No 38 Tahun 2011 tentang Sungai, Permen PUPR No 28 Tahun 2015 tentang Penetapan Garis Sempadan Sungai, serta Perda Kota Jambi No 9 Tahun 2013 dan No 5 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah.
Selain Jamtos, pembangunan JBC dan Roma Estate juga diduga turut mengubah alur sungai dan menutup wilayah resapan air yang penting bagi kestabilan ekologis kota Jambi.
Direktur Walhi Jambi, Oscar Anugrah, menyatakan bahwa pembangunan yang tidak memperhatikan aturan lingkungan dan tata ruang merupakan bentuk kelalaian serius.
“Kami meminta dan mendesak Kapolda Jambi melalui Direktorat Kriminal Khusus untuk segera memeriksa pihak pengembang JBC, Jamtos, dan Roma Estate, serta pihak pemerintah yang memberikan izin atas pembangunan tersebut. Kami tidak akan berdamai bagi siapa saja yang merusak alam dan lingkungan yang berpotensi terhadap kerusakan ekologi,” ujar Oscar.
Hingga berita ini ditulis, belum diperoleh tanggapan resmi dari pihak pengembang maupun instansi terkait laporan tersebut. (*)
LINGKUNGAN
Perkumpulan Hijau Bakal Laporkan Tambang Batu Bara PT GAL di Tebo Atas Pencemaran Lingkungan

DETAIL.ID, Jambi – Setelah PT Bumi Bara Makmur Mandiri (BBMM) yang sampai saat ini masih dalam proses penyelidikan Polda Jambi, Perkumpulan Hijau (PH) kembali menemukan indikasi kejahatan lingkungan akibat aktivitas industri ekstraktif batu bara yaitu PT Globalindo Alam Lestari (GAL).
Perusahaan tambang batu bara yang berada di kawasan Desa Suo Suo, Kecamatan Sumay, Kabupaten Tebo tersebut menjadi ancaman serius untuk lingkungan dan masyarakat, akibat aktivitas tambang batu bara yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari permukiman warga.
Direktur Perkumpulan Hijau, Feri Irawan menyoroti dampak yang ditimbulkan dari tambang batu bara yang sangat dekat permukiman warga tersebut, mulai dari ketimpangan sosial hingga ancaman terhadap lingkungan dan ketahanan pangan.
“Risiko hadirnya tambang batu bara pasti akan mengintimidasi ruang hidup masyarakat karena di mana ada tambang, pasti ada kesengsaraan,” ujar Feri dalam pernyataannya.
Ia menegaskan bahwa situasi di Desa Suo Suo mencerminkan bagaimana masyarakat dikorbankan atas nama eksploitasi sumber daya alam. Menurut Feri, ketidakpatuhan perusahaan tambang terhadap aturan jarak minimal dari permukiman merupakan bentuk kejahatan pertambangan yang nyata.
“Ketidakpatuhan perusahaan pada aturan tentang jarak minimal pun menjadi salah satu tolak ukur kejahatan pertambangan,” katanya.
Selain ancaman terhadap lingkungan dan pertanian, aktivitas tambang yang begitu dekat juga meningkatkan risiko kesehatan bagi warga sekitar. Polusi udara dari debu tambang, pencemaran air, serta potensi longsor akibat pengerukan tanah menjadi kekhawatiran utama yang dihadapi masyarakat.
Bukan hanya itu, Perkumpulan Hijau melihat PT Globalindo Alam Lestari (GAL) dituding telah menyebabkan pencemaran dan membunuh sejumlah ekosistem sungai di sekitar konsesinya.
Hasil investigasi Perkumpulan Hijau menemukan pembuangan atau pengeringan air dari bekas tambang baru yang sedang beroperasi melalui selang mengarah dan mengalir ke Sungai Batanghari, air bekas tambang yang seharusnya dialiri ke settling pond untuk mengurai zat atau bahan kimia bekas tambang yang terkandung dari air bekas tambang baru.
Dalam hal ini jelas ungkap Feri, sanksi pelanggaran UU Lingkungan terkait settling pond, dapat berupa sanksi pidana maupun sanksi administratif, tergantung pada jenis pelanggaran dan tingkat keparahannya. Sanksi pidana meliputi penjara dan denda, sedangkan sanksi administratif meliputi teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin.
Feri menambahkan, dalam izin PT GAL ini terlihat jelas lobang bekas galian tambang yang menganga luas, tidak ada bentuk tanggung jawab terhadap dampak akibat dari ekploitasi tambang yang dilakukan secara masif.
“Berdasarkan analisis Tim GIS ‘Perkumpulan Hijau mencatat luasan lobang tambang yang tidak direklamasi oleh PT Globalindo Alam Lestari (GAL) ialah luas lobang tambang 7,64 hektare dan luas lahan yang terbuka 10,97 hektare.
Feri menegaskan, jika tindakan kejahatan lingkungan ini tidak segera dihentikan, maka kehancuran dan bencana tinggal menunggu waktu. Perkumpulan Hijau mendesak pemerintah, Polda Jambi, Mabes Polri, khususnya inspektorat tambang, menteri lingkungan hidup untuk segera mengevaluasi praktik tambang yang berlangsung di Desa Suo Suo. Feri menekankan bahwa pemerintah memiliki kewajiban untuk melindungi warga dari dampak buruk pertambangan dan memastikan keselamatan mereka.
“Perkumpulan Hijau juga mendesak pemerintah selaku pemberi izin, untuk mengevaluasi praktik tambang yang ada dan membebaskan area masyarakat dari wilayah tambang agar dapat memberikan jaminan pada keselamatan masyarakat sekitar,” katanya.
Terkait kemungkinan sanksi, Feri menyebut bahwa pencabutan izin merupakan bentuk hukuman tertinggi yang bisa diberikan terhadap perusahaan yang melanggar aturan. Namun, hingga saat ini, belum ada pencabutan izin yang terjadi di wilayah tersebut.
Dalam hal ini, Perkumpulan Hijau akan segera melaporkan temuan di lokasi PT GAL ini ke Polda Jambi untuk dilakukan tindakan.
“Kami akan laporkan PT GAL ini atas tindakan kejahatan pencemaran lingkungan,” katanya. (*)