Connect with us
Advertisement

OPINI

Ulama, Umara dan Nahi Mungkar

DETAIL.ID

Published

on

Ulama

PENGHUJUNG ABAD pertama hijriah, dinasti Bani Umayyah mengalami pembusukan internal. Seorang ulama yang telah menguasai seluruh ilmu-ilmu agama dari segenap ulama Madinah, sebagai syarat mutlak untuk menjadi seorang mujtahid, yang menjadi bagian dari dinasti tersebut, tampil sebagai sang penyelamat. Ulama yang namanya terukir abadi karena kesuksesannya memimpin tersebut adalah Umar bin Abdul Aziz.

Setelah Abdul Malik bin Marwan sebagai pemegang kekuasaan Umayyah tutup usia, Umar bin Abdul Aziz terpilih secara aklamasi untuk menduduki jabatan khalifah. Hal tersebut membuat dirinya galau. Ia tak percaya diri untuk memimpin. Walaupun beliau memiliki track record yang baik, namun bagaimanapun dirinya adalah bagian dari keluarga istana yang memiliki perilaku korup, mewah dan boros.

Sesaat setelah dilantik, Umar berkata kepada Az-Zuhri, seorang ulama besar, “Aku benar-benar takut pada neraka.” Ia sadar, tidak mungkin baginya melakukan perbaikan dalam tataran negara kecuali jika ia berani memulai dari dirinya sendiri dan keluarga. Umar benar-benar mengamalkan hadis Nabi, “Ibda binafsik” (mulailah dari dirimu). Reformasi pun bergulir. Tak berapa lama setelah dilantik, Umar memerintahkan mengembalikan seluruh harta pribadinya ke kas negara. Bahkan Umar menolak untuk tinggal di istana dan tetap menempati rumah pribadinya.

Setelah selesai dengan dirinya, proses bersih-bersih berlanjut kepada keluarganya. Ia berikan dua pilihan pada istrinya, “Kembalikan seluruh perhiasan dan harta pribadimu ke kas negara atau kita cerai.” Sang istri, Fatimah binti Abdul Malik memilih taat pada suaminya. Adapun anak-anaknya, Umar menangis dan memberikan dua pilihan kepada anaknya, “Saya sediakan kalian makanan yang enak lagi lezat tapi kalian harus rela menjebloskan ayahmu ke neraka atau kalian bersabar dengan makanan sederhana ini dan kita akan masuk surga bersama.” Anak-anaknya pun memilih yang kedua.

Untuk menjaga keadilan dan kelancaran administrasi negara, Umar bin Abdul Aziz melarang para gubernur dan pejabat berdagang untuk kepentingan pribadi, keluarga maupun familinya. Umar berpendapat bahwa seorang Imam (pemimpin negara) tidak pantas untuk berdagang. Begitu pula tidak halal bagi seorang gubernur untuk berdagang di dalam wilayah kekuasaannya. Karena seorang Amir bila ia berdagang maka ia akan mudah melakukan monopoli dan membenarkan perbuatan yang merusak negara, sekalipun ia berusaha keras untuk tidak berbuat demikian.

Langkah yang diambil Umar bin Abdul Aziz dalam pembersihan diri, keluarga dan istana telah meyakinkan publik untuk melakukan reformasi dalam skala yang lebih luas, khususnya dalam pembersihan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Beliau juga bukan sosok yang suka menebar pencitraan. Sang ulama sekaligus umara itu telah menunjukkan tekadnya dalam memberikan keteladanan yang begitu memukau dalam masa pemerintahan selama dua setengah tahun (717-720 M).

Diskursus tentang ulama menjadi umara kembali bergulir. Suatu dinamika dan proses politik yang terjadi di Indonesia terutama menjelang ajang Pilkada, Pileg, Pilgub sampai dengan Pilpres. Kehadiran ulama dalam bidang politik seharusnya memiliki dampak positif dalam pengertian memberikan sumbangan bagi terciptanya bangunan struktur politik yang bermoral, karena ulama adalah simbol moral.

Namun demikian, tidak bisa dinafikan bahwa dunia politik kita dewasa ini masih sarat dengan berbagai problem multidimensi, mulai dari hulu hingga ke hilir. Dunia politik kita masih disetir oleh birahi kepentingan pragmatis. Sehingga praktik-praktik politik yang jauh dari nilai-nilai idealisme, etika dan kesantunan menjadi fenomena yang tak terhindarkan. Di hilir, dunia politik kita dikangkangi oleh keserakahan dan kepentingan pragmatis sehingga kebijakan-kebijakan yang kemudian dilahirkan tidak kunjung berpihak pada kebaikan dan perbaikan bangsa, agama dan umat.

Kehadiran ulama dalam dunia politik, baik secara struktural maupun kultural, tidak dibarengi dengan nilai tawar politik yang cukup kuat. Sehingga pemain-pemain politik (elite politik maupun partai politik) kerap hanya menerima kehadiran ulama sebatas sebagai pelengkap semua unsur dan kepentingan stabilitas politik semata, tanpa ada keseriusan menampung aspirasi keulamaannya. Penulis mengutip pernyataan Benyamin Disraeli, Perdana Menteri Inggris (1868), “Tidak ada sikap dan aksi yang jahat atau khianat yang partai politik tidak mampu lakukan. Karena dalam politik tidak ada kehormatan.”

Hal ini berdampak pada terseretnya ulama pada ranah politik praktis. Ulama tidak lagi memainkan peran di balik layar para aktor politik, tetapi ulama telah menjadi aktor politik praktis itu sendiri, terseret menjadi pemain dalam kompetisi lima tahunan. Ulama akhirnya harus bergelut dengan politik keseharian yang sering kali penuh kritik dan tipu daya. Tak jarang ulama terpaksa ikut menjadi juru bicara pada aktor politik lainnya dan disadari atau tidak, perlahan kehilangan muruahnya di mata umat.

Wahai Umar, apa yang dapat kami pelajari dari cerita tentangmu yang luar biasa itu? Cerita yang tak cuma satu dua, menggambarkan pemimpin yang berjiwa halus, teramat sederhana dan begitu prihatinnya pada nasib keseluruhan rakyat. Saat bersamaan, ia begitu tegas, keras dan tak pandang bulu saat menghadapi musuh agama dan negara atau ketika menerapkan hukuman pada tiap pelanggaran. Kita pun ikut prihatin sedalam-dalamnya saat menyadari betapa kita tidak berhasil menemukan pemimpin formal kita, dari tingkat terendah hingga tingkat tertinggi, yang walau tidak harus berlaku sama dengan khalifah Umar.

Memimpin itu sebuah keprihatinan, bukan sekedar sukses apalagi kegembiraan. Satu kesadaran yang bertentangan dengan setiap “pesta” miliaran-triliunan rupiah semasa pemilihan atau pasca terpilihnya seorang pemimpin. Renungilah dan amatilah petikan daripada kata-kata Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali, “Sesungguhnya rakyat rusak karena pemerintah, dan pemerintah rusak karena ulama. Sementara ulama pula rusak karena tamak akan harta dan pangkat. Maka siapa yang dikuasai oleh kecintaan kepada dunia, dia tidak akan mampu memberi nasihat walaupun kepada orang bawahan, apalagi kepada pemerintah dan pembesar.”

Di mana Nahi Mungkarmu, Yang Mulia?

 

*Akademisi UIN STS Jambi

OPINI

Sibuk Merayakan Maulid, Lupa Meneladani Amanah Rasulullah

Oleh: Naz*

DETAIL.ID

Published

on

SETIAP tahun, suasana Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu dirayakan dengan gegap gempita di berbagai daerah. Namun, ada ironi besar di balik semua itu. Semangat merayakan hari lahir Rasulullah sering kali hanya berhenti pada simbol, tidak menembus ke substansi.

Rasulullah SAW bukanlah figur yang gemar pada kemewahan perayaan. Beliau diutus membawa risalah kebenaran, menegakkan amanah, kejujuran, dan keadilan. Yang beliau wariskan bukanlah seremonial kosong, melainkan teladan akhlak mulia yang seharusnya menjadi pedoman para pemimpin umat, termasuk pemimpin daerah kita.

Padahal, inti dari peringatan Maulid bukanlah sekadar mendengar ceramah atau memajang baliho besar gambar Kepala Daerah di masjid. Inti Maulid adalah meneguhkan kembali teladan Rasulullah:

1. Amanah dalam kepemimpinan;
Rasulullah menunjukkan bahwa jabatan adalah titipan, bukan alat memperkaya diri atau keluarga. Kepala daerah hari ini mestinya meneladani itu, memastikan setiap rupiah APBD digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperbesar rekening pribadi.

2. Kejujuran dalam setiap kebijakan;
Rasulullah tidak pernah berbohong meski dalam perkara kecil. Pemimpin seharusnya berani berkata jujur pada rakyat: tentang kondisi keuangan daerah, tentang keterbatasan, bahkan tentang kegagalan. Bukan malah menutup-nutupi dengan angka manipulatif demi pencitraan.

3. Kesederhanaan hidup;
Rasulullah hidup sederhana, bahkan ketika memiliki peluang untuk kaya raya. Sedangkan para kepala daerah kita sering kali larut dalam gaya hidup mewah: mobil dinas berderet, perjalanan dinas berulang, pesta perayaan digelar besar-besaran, sementara rakyat kecil masih kesulitan biaya pendidikan dan kesehatan.

Jika para kepala daerah benar-benar ingin menjadikan Maulid sebagai momen penting, seharusnya mereka tidak hanya sibuk di atas panggung, tapi juga menjadikan amanah dan kejujuran sebagai kompas kepemimpinan sehari-hari. Tidak ada artinya mengeluarkan kata-kata manis tentang Rasulullah jika kebijakan yang diambil justru menyengsarakan rakyat.

Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik-baik pemimpin adalah yang paling dicintai rakyat karena keadilannya, dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang dibenci rakyat karena kezalimannya.

Pertanyaannya: apakah kepala daerah hari ini sudah berada di jalan yang benar? Ataukah mereka hanya menumpang nama Rasulullah untuk memperindah citra di depan rakyat?
Maulid seharusnya menjadi alarm moral: jangan sibuk dengan perayaan tapi lalai dari keteladanan.

Jadikanlah Rasulullah sebagai teladan dalam kejujuran, jadilah pemimpin yang Al-Amin bukan yang Al-Korup. Sebab, yang paling dibutuhkan rakyat bukanlah panggung megah dan sambutan panjang, melainkan pemimpin yang benar-benar meneladani sifat Al-Amin, Amanah, Jujur, dan Adil.

*Pengamat sosial dan politik, tinggal di Jambi

Continue Reading

OPINI

PETI Dicaci, PETI Pemberi Rezeki: Siapa yang Ditumbalkan?

Oleh: Daryanto*

DETAIL.ID

Published

on

FENOMENA Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti), bukanlah terjadi baru-baru ini saja. Sejak transmigrasi masuk, sudah banyak bekas galian PETI di sepanjang lokasi yang dijadikan perkebunan. Seperti yang terjadi di Kecamatan Renah Pamenang, Pamenang Selatan misalnya, bekas galian para warga yang mencari butiran emas bisa disaksikan secara kasat mata. Hanya saja cara mereka awalnya hanya mengunakan dulang atau alat tradisional yang digunakan untuk memisahkan butiran pasir dan buliran emas, cara mereka menggalinya pun mengunakan alat sederhana seperti linggis.

Namun memasuki tahun 2010, aktivitas PETI berubah total, dari yang awalnya tradisional, berubah mengunakan mesin dan merambah mengunakan alat berat sampai sekarang.

Tapi diakui atau tidak, di Provinsi Jambi, aktivitas peti khususnya di Jambi Wilayah Barat, seperti Tebo, Muara Bungo, Merangin, dan Sarolangun aktivitas PETI terus terjadi, namun pola-pola yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan emas dilakukan dengan tiga cara, seperti dompeng darat, lanting, dan menggunakan box

Dompeng darat, biasanya oknum masyarakat mencari emas menggunakan alat berat dengan cara mengali tanah dengan kedalam tertentu, dibantu dua mesin penyedot air dan mesin penyedot batu dan mampu menampung sampai delapan tenaga kerja, dengan kelebihannya setelah ditambang bisa direklamasi ulang dan bisa ditanami kembali.

Berbeda dengan dompeng lanting, biasanya masyarakat mengunakan rakit buatan yang dilakukan di dalam sungai, dengan cara menyedot batu dan pasir di dalam sungai dengan dua mesin yang biasanya dilakukan oleh tiga tenaga kerja, Terkadang pasir yang disedot dimasukan kembali ke sungai sehingga membuat aliran sungai menjadi dangkal.

Lain halnya PETI menggunakan alat berat yang bekerja, mengambil pasir dan batu menggunakan baket alat berat kemudian dimasukan dalam alat box, dan biasanya ada dua sampai tiga pekerja yang melakukan pekerjaan secara terus menerus di bantaran aliran sungai sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup parah dan susah untuk direklamasi ulang.

Tentu ada hal yang menarik dari tiga katagori PETI yang sering dilakukan oleh warga, Bagaimana pengunaan merkuri atau logam berat. Dari pantauan penulis, masyarakat yang beraktivitas PETI rata-rata mengunakan logam berat untuk memisahkan emas dari pasir hitam dengan cara memasukan ke dalam ember, kemudian diaduk di satu tempat agar logam berat tidak terbuang lalu di peras mengunakan kain tipis untuk memisahkan emas dan logam berat, atau bagi masyarakat pendompeng mengenalnya dengan istilah “ngepok”, setelah terpisah air tak tadi dimasukan ke dalam botol untuk bisa dipergunakan lagi.

Lalu kemana para pemain petugas menjual hasilnya? Banyak di sejumlah tempat yang biasa menampung hasil PETI, ada pemilik modal yang bekerja sama dengan cara main “DO”, dengan sistem pembelian yang berbeda dengan harga toko emas, dan ada juga yang langsung menjual lepas ke penadah emas dengan harga yang lebih tinggi di banding pemilik “DO”. Tak perlu harus menelisik toko emas mana yang menjadi langganan pelaku PETI menjual hasilnya dan “aman dari pengamatan petugas” dan sudah jadi pengetahuan umum masyarakat Merangin.

Dari sisi ekonomi, bagi sebagian masyarakat, kerja di Penambangan Emas Tanpa Izin tentu sangat menjanjikan, sebab banyak masyarakat yang tertolong dari pinjaman pinjol, tagihan angsuran bank, angsuran kredit motor dan biaya anak sekolah, belum lagi bagi oknum NGO, oknum organisasi profesi, institusi tertentu, yang sering mendapatkan rezeki dari para pemilik mesin dompeng, walaupun hanya sekedar berbasa-basi dengan pemilik PETI.

Lalu bagaimana PETI yang sudah terjadi puluhan tahun tetap berlangsung sampai saat ini? Meskipun sudah banyak pekerja PETI yang tertangkap dan dipenjara, apakah ada efek jera?

Bagi sebagian kecil pekerja pasti dapat efek jera, sebab hanya pekerja saja yang jadi tumbal dan jarang pemilik dan pemodal PETI yang tertangkap. Namun fakta di lapangan bisa dilihat hari ini dirazia aparat keamanan berhenti bekerja, besok pasti sudah bekerja lagi demi tuntutan kebutuhan perut.

Terkadang ada juga faktor x yang berpengaruh, agar saat razia terkesan ada hasil, di lokasi tertentu para pemilik alat berat dan dompeng bisa berkoordinasi dengan baik dengan para oknum, maka sudah pasti akan selamat, tetapi jika di satu wilayah para pemain alat berat dan pemilik dompeng di anggap “pelit”, dan sering masuk pemberitaan bisa dipastikan bakal ada yang kena, dan ini fakta yang terus menerus terjadi.

Mari kita lihat bagaimana peran penting PETI yang dicaci tetapi membawa rezeki. PETI tidaklah akan berjalan sampai hari ini jika bahan bakar distop dari hulunya, tetapi ada fakta lainnya yang tidak bisa dipisahkan, ibarat PETI adalah gula manis, tentu banyak jenis semut yang mendekati untuk mendapatkan rasa manisnya.

Siapa yang berani menjual bahan bakar PETI seperti solar subsidi dalam jumlah besar jika bukan ada oknum aparat keamanan yang bermain? Pemandangan antrian solar subsidi pasti mengular di sejumlah SPBU di Merangin yang menyediakan bio solar, banyak cara dilakukan dengan mengisi berkali kali dengan nomor barcode yang berbeda beda, lalu hasil antrian solar sudah pasti sudah ada pembeli yang dijual ke lokasi PETI. Lalu kenapa PETI bisa sebagian aman saat dirazia dan sudah bocor duluan saat didatangi ke lokasi, sudah bisa diduga ada oknum aparat keamanan yang pasti ikut mendapatkan bagian dari kegiatan ilegal tersebut, dan bahasa sederhananya adalah mendapatkan “bulanan” per alat berat di setiap wilayah di Merangin pasti berbeda beda nominalnya.

Lalu ada peran Pemerintah Daerah yang tidak mau kehilangan cara, dengan menerbitkan surat edaran Kepala Daerah yang ditujukan kepada perangkat pemerintahan kecamatan hingga level desa untuk tidak terlibat PETI, apalagi Kades merupakan pemangku adat di desanya.

Situasi ini tentunya mudah disampaikan tapi sulit dikerjakan. sebagian besar masyarakat di Merangin sudah puluhan tahun banyak yang bekerja dan menggantungkan hidup di sektor “per-PETI-an” , dan saat pemerintah menghimbau tidak melakukan aktivitas PETI tetapi sayangnya edaran tersebut tidak disertai solusi konkrit yang bisa dikerjakan masyarakat agar bisa beralih ke pekerjaan lainnya selain kerja PETI.

Jikalau mau dan serius dalam memberantas PETI, Pemerintah Daerah wajib membentuk Tim Terpadu untuk melakukan kerja sama dan secara serius mencarikan solusi agar masyarakat bisa mendapatkan pilihan pekerjaan selain PETI, dan berani tegas untuk menindak semua oknum aparat keamanan yang berani menjual BBM kepada para pelaku PETI, tidak menerima uang bulanan, dan sama-sama mengawal kebijakan soal wilayah pertambangan rakyat, bagaimana izin pertambangan rakyat bisa didapatkan, sehingga tidak ada lagi cara-cara ilegal untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidup masyarakat banyak.

Seperti kaga pepatah, jika air keruh di hilir tengoklah dari hulunya.

Salam santun.

*Penulis adalah wartawan DETAIL.ID yang tinggal di Kabupaten Merangin.

Continue Reading

OPINI

Pembangunan Stockpile Batu Bara dan Penolakan Warga: Ujian Serius Bagi Pemerintah

Oleh: Eko Saputra S. Lumban Gaol, SH*

DETAIL.ID

Published

on

PEMBANGUNAN stockpile batu bara di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, telah memicu gelombang penolakan besar. Warga menilai proyek ini bukan sekadar persoalan teknis perizinan, tetapi ancaman langsung terhadap keselamatan, kesehatan, dan hak hidup mereka.

Provinsi Jambi selama ini menjadi salah satu lumbung batu bara nasional. Namun, di balik sumbangan devisa, masyarakat justru menanggung dampak: jalan rusak akibat truk over tonase, kemacetan kronis, polusi udara yang memicu penyakit, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas yang berujung korban jiwa. Terakhir, pembangunan stockpile batu bara di tengah pemukiman padat semakin memperparah beban masyarakat.

Pemerintah Harus Memihak Rakyat

PT Sinar Anugerah Sukses (SAS), pemilik IUP ±1.273 hektare di Sarolangun, mengklaim memiliki izin sah untuk membangun stockpile sekaligus pelabuhan pengangkutan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan minimnya keterbukaan:

  • Tidak ada sosialisasi yang layak bagi warga terdampak.
  • Lokasi di jantung pemukiman yang rawan banjir, macet, dan polusi.
  • Dugaan pelanggaran tata ruang dan peruntukan lahan.

Penolakan pun meluas, para aktivis lingkungan, mahasiswa, pemuda, hingga warga sekitar menegaskan ketidaksetujuan mereka. Bagi masyarakat, proyek ini bukan peluang ekonomi, melainkan ancaman hidup.

Klaim PT SAS soal kepatuhan izin tak bisa menjadi tameng. Pemerintah dari pusat hingga kota dituntut berhenti bersikap pasif. Jika izin memang diberikan, prosesnya perlu diaudit terbuka. Bila memang menyalahi RTRW atau mengancam keselamatan warga, pencabutan izin atau relokasi harus menjadi langkah tegas.

Just Transition Bukan Sekadar Konsep

Transisi energi yang adil (Just Transition) adalah pendekatan yang menekankan perlunya transisi energi yang adil, inklusif dan adil untuk semua pihak. Di Aur Kenali, Just Transition menjadi satu hal yang prinsip, tidak ada pembangunan yang mengorbankan kesehatan, keselamatan, dan ruang hidup warga yang mengatasnamakan investasi dan keuntungan segelintir perusahaan.

Penolakan warga Aur Kenali adalah peringatan keras bahwa investasi tak boleh menindas hak masyarakat, tapi seyogyanya mendorong transisi energi dan ekonomi yang adil, dengan memastikan tidak ada yang tertinggal.

Pemerintah wajib hadir sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar pemberi izin. Tanpa keberpihakan tegas, pembangunan stockpile batu bara hanya akan meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam.

*Warga RT 014/002 Desa Mendalo Darat, mahasiswa Pascasarjana Universitas Jambi dan Ketua DPC FSB NIKEUBA Muarojambi

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs