DETAIL.ID, Jakarta – Abraham Samad mengajak segenap lapisan masyarakat untuk memelototi postur APBN 2018, terutama di sektor belanja negara untuk pengadaan barang dan jasa.
Soalnya, menurut Ketua KPK 2011-2015, sebagian besar kasus korupsi yang ditangani KPK berasal dari pengadaan barang dan jasa. Laporan KPK per 31 Desember 2017, terdapat 171 kasus korupsi pengadaan barang dan jasa.
Untuk APBN 2018, belanja negara nilainya amat fantastis, yakni sebesar Rp2.220,7 triliun. “Ini bisa menjadi sumber kebocoran jika tidak dikelola dengan benar dan transparan,” kata Abraham.
Dia mencontohkan kasus korupsi Hambalang yang merugikan negara sebesar Rp703 miliar. “Apalagi kasus mega korupsi KTP elektronik. Negara dirugikan sebesar Rp2,3 triliun. Itu nilai korupsi yang amat luar biasa!” ujar Abraham.
Karena itu, Abraham mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk ikut mengawasi penggunaan uang negara yang sebagian besar sumbernya berasal dari pajak.
“Tetapi sayangnya berkaca dari pengalaman di sektor pengelolaan perpajakan selama ini, masih banyak sekali kelemahan termasuk di dalamnya tata kelola perpajakan yang masih amburadul yang bisa menimbulkan fraud dan korupsi,” kata Abraham saat mengungkapkan salah satu butir pemikiran yang akan disampaikannya di dua tempat di Padang, Sumatra Barat.
Dua tempat itu, Abraham akan menyampaikan pemikirannya secara lengkap dan menyeluruh itu adalah Auditorium Universitas Negeri Padang, Sumatra Barat dan Gedung Serba Guna UIN Imam Bonjol Padang, Sumatra Barat pada Kamis (22/3/2018).
Menurut Abraham, dalam postur APBN 2018 pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp1.894,7 triliun. Jumlah ini berasal dari penerimaan perpajakan sebesar Rp1.618,1 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak sebesar Rp275,4 triliun dan Hibah sebesar Rp1,2 triliun.
Untuk belanja negara dalam APBN 2018 pemerintah dan DPR RI menyepakati sebesar Rp2.220,7 triliun. Nilai ini menurut Abraham sangat fantastis, meliputi belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.454,5 triliun, serta transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp766,2 triliun. Sedangkan anggaran Infrastruktur Rp410,7 triliun.
Melihat postur APBN 2018, kata Abraham, pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp1.894,7 triliun dan sebagian besarnya diharapkan diperoleh dari penerimaan pajak Rp1.618,2 triliun.
“Dalam postur APBN 2018 juga terlihat di mana hampir sebagian besar pengeluaran dan belanja negara itu tersedot habis dalam pengadaan barang dan jasa, termasuk di dalam pembangunan infrastruktur yang didominasi pengadaan barang dan jasa. Inilah celah paling besar terjadinya korupsi,” kata Abraham.
Titik Paling Rawan
Abraham juga mengungkapkan hampir sebagian besar kasus korupsi yang ditangani oleh KPK berasal dari Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ). Merujuk Laporan Tahunan KPK 2016 dan 2017, sektor PBJ merupakan titik rawan tindak pidana korupsi di samping sektor perencanaan dan pengelolaan Anggaran Pemerintah dan Belanja Daerah serta pelayanan perizinan.
Menurut Abraham, kasus korupsi KTP Elektronik merupakan salah satu contoh kasus korupsi di sektor PBJ di Indonesia di mana kerugian negara akibat korupsi KTP Elektronik itu mencapai Rp 2,3 triliun dari total dana proyek yang dianggarkan sebesar Rp 5,9 triliun.
“Artinya hampir 50 persen dana proyek KTP Elektronik ini dikorupsi,” kata Abraham.
Selain korupsi KTP elektronik yang melibatkan sejumlah anggota Dewan, Ketua DPR dan pengusaha, Abraham mengambil contoh lain kasus korupsi PBJ, yakni kasus korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sarana Olah Raga Nasional (P3SON) di Hambalang atau dikenal dengan kasus Hambalang yang mencuat ke permukaan beberapa tahun lalu. Kerugian negara akibat kasus ini menurut dia, sebesar Rp706 miliar.
Merujuk pada hasil kajian KPK terhadap upaya pencegahan korupsi pada PBJ pemerintah ditemukan bahwa korupsi PBJ paling banyak terjadi pada lima tahapan atau proses, yaitu (1) tahap perencanaan anggaran; (2) tahap perencanaan-persiapan PBJ Pemerintah; (3) tahap pelaksanaan PBJ Pemerintah; (4) tahap serah terima dan pembayaran; dan (5) tahap pengawasan dan pertanggungjawaban.
“Korupsi di sektor PBJ Pemerintah ini setidaknya akan mengakibatkan tiga hal, yaitu rendahnya kualitas barang dan jasa pemerintah, kerugian keuangan negara, dan rendahnya nilai manfaat yang didapatkan,” ucap Abraham. (rilis)
Discussion about this post