OPINI
Menangkal Politik Primordial dalam Potret Demokrasi

POROS PEREALISASIAN pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada bulan Juni mendatang terasa masih jauh terjangkau waktu, tetapi tanda-tanda nuansa politik yang ketat dan memanas sudah mulai tampak. Setelah gong pesta demokrasi didengungkan, politik sontak menjadi tema tunggal yang mendominasi ruang diskursus publik.
Bagi orang yang punya interest politik yang tinggi, ketinggalan berita seputar politik pada umumnya dan pilkada serentak pada khususnya sudah menjadi sebuah persoalan serius. Tidak berlebihan. Sebab, politik bagi masyarakat modern bukan merupakan hal yang misterius dan tabu untuk diwacanakan.
Sebaliknya, politik telah menjadi bagian tak terabaikan dalam eksistensi manusia masa kini. Tanda peradaban. Kita patut mengapresiasi hal tersebut, terlepas dari fakta bahwa kadar pemahaman masing-masing orang tentang politik tentu berbeda. Bahwa “ber-politik” sudah menjadi agenda kehidupan berbangsa dan bernegara, terbukti dengan meningkatnya animo masyarakat terhadapnya.
Akan tetapi, sebuah realitas pelik yang patut didiskusikan, sebagaimana dipentaskan dalam panggung perpolitikan Indonesia, baik pada level nasional maupun lokal ialah buramnya wajah demokrasi sebagai ekses dari fenomena “politik primordialisme” yang tumbuh kian subur. Fenomena ini terstruktur secara sangat rapi mulai dari komponen supra-struktur (elite politik) hingga akar rumputnya (rakyat).
Inilah yang menjadi catatan penting sekaligus tantangan utama bagi perhelatan pilkada serentak dalam tahun politik ini.
Secuil tentang Politik Primordialisme
Makna politik primordialisme berbenturan dengan makna demokrasi. Demokrasi merupakan term yang memiliki makna yang luas. Meskipun demikian, baik logika sederhana kita, maupun titik simpul dari aneka pemahaman para ahli tentang demokrasi sama-sama merujuk pada pemahaman ini: demokrasi adalah “pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat”.
Dalam pengertian ini, independensi rakyat dalam mengatur negara diakui dan dijunjung tinggi. Tidak hanya itu, demokrasi pada galibnya juga menempatkan setiap pribadi tanpa kecuali dalam wadah kesetaraan dan keseimbangan tanpa benturan dan disparitas mayoritas-minoritas. Hal ini diformulasikan dengan jelas dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Demokrasi adalah gagasan atau pandangan hidup yang mengutamakan persamaan hak dan kewajiban serta perlakuan yang sama bagi semua warga negara (bdk. KBBI edisi keempat, hlm. 310). Sedangkan primordialisme ialah pandangan yang memegang teguh hal-hal yang dibawa sejak kecil, baik tradisi, adat-istiadat, kepercayaan, maupun segala sesuatu yang ada di lingkungan pertama (Ibid, hlm. 1102). Indikasi kecacatan primordialisme terletak pada spiritualitas utamanya, kemauan teguh untuk menempatkan diri secara ekstrem dalam bingkai identitas asali.
Primordialisme tentu diawali oleh kemauan teguh untuk mempertahankan hal-hal asali. Ini merupakan gerbang menuju sikap eksklusif dan cinta diri yang eksesif (berlebihan) dan pada akhirnya mencapai ranah fanatisme sehingga yang lain pun tidak diakui eksistensinya.
Dalam ranah politik (khususnya politik praktis), sikap primordialistis ditandai oleh tendensi membentuk golongan politik yang tertutup terhadap orang lain. Di sana terdapat keengganan untuk bergabung dengan kelompok politik lain dan mau menang sendiri. Ini tentu sudah melenceng jauh dari koridor demokrasi.
Potret Demokrasi yang Buram (Fenomena Politik primordialisme) di Indonesia
Pembahasan bagian ini terkesan sedikit ganjil, sebab pelabelan term “buram” (KBBI: tidak bercahaya atau tidak bening) bagi actus democratus ala Indonesia hanya diteropong dari sisi tunggal, praktisasi “politik primordialisme”. Akan tetapi -tanpa mengabaikan faktor-faktor lain yang juga tidak kalah merebak di Indonesia seperti masalah korupsi dan lainnya- merunut pengalaman sejauh ini, masalah yang satu ini sudah amat sering didengungkan di Indonesia.
Dalam hal ini, adalah suatu kewajaran bila kita menduga bahwa politik Indonesia selama ini ditempatkan dalam bingkai yang buram, tidak memancarkan cahaya demokrasi yang sesungguhnya.
Mari kita lihat. Sejak Indonesia merdeka pada tahun 1945 bahkan pada saat-saat sebelum proklamasi, sudah tampak pembedaan antara agama yang satu dengan yang lain. Baik adanya.
Akan tetapi, yang disayangkan adalah bahwa pada saat yang sama, agama yang satu ditempatkan pada posisi yang unggul atas agama lain oleh karena tendensi primitif, mau menang sendiri (bdk. polemik yang alot mengenai sila pertama Pancasila). Ada golongan tertentu yang mengisolasi diri dalam golongannya karena rasa cinta identitas yang melampaui garis batas. Demokrasi kita terkungkung dalam bingkai politik fragmentaris, dalam mana masing-masing pihak membentuk kelompok politik yang eksklusif dan pantang pluralisme sehingga amat sulit untuk dipersatukan.
Konsekuensinya jelas, agregasi kepentingan politik demi kebaikan bersama dikesampingkan oleh kepentingan-kepentingan yang berceceran sana-sini, karena tidak adanya ruang untuk berdeliberasi dan menyatukan agenda politik.
Sejauh ini, kita masih menyaksikan secara amat gamblang dikotomi Islam-Kristen, politik rasial yang membeda-bedakan antara “ras kami” dan “ras mereka”, dominasi budaya tertentu atas budaya yang lain, dan persoalan lainnya. Tidak ada lagi gema politik pengakuan. Yang ada hanya propaganda-propaganda primordial yang mengangkat derajat golongan setinggi-tingginya, serentak merendahkan golongan lain.
Kita bahkan dengan sangat jelas menyaksikan bagaimana pihak-pihak tertentu melegitimasi kekuasaannya yang masif serta menghentikan langkah politik lawan dengan senjata agama. Inilah persoalan mendasar yang membangun tesis Franz Magnis-Suseno dalam artikelnya yang berjudul “Demokrasi Indonesia dalam Keadaan Bahaya”, bahwa sekarang, demokrasi sedang terancam (2014:140).
Masyarakat juga sudah terbius oleh gaya politik primordialisme ini. Bagi mereka, hal terpenting dalam politik (pemilu) adalah bahwa pemimpin yang terpilih adalah orang kami, bukan orang mereka. Masyarakat seakan menutup mata terhadap elektabilitas calon pemimpin yang autentik. Ironis tentunya, tetapi itulah fakta yang terjadi. Lantas, tidak mengherankan bila tanda-tanda kegamangan akan degradasi derajat politik Indonesia ke depannya berseliweran di mana-mana.
Jika tidak segera dihentikan, maka politik primordialisme akan terus menjalarkan akarnya dan pada batas tertentu akan meruntuhkan semboyan dasar Negara kita, “berbeda-beda tetapi tetap satu”.
Pilkada Serentak 2018: Sebuah Momentum Pembenahan
Lalu, pada posisi manakah kita mesti menempatkan pilkada yang akan diperhelatkan pada medio 2018 mendatang? Akankah kita tetap konsisten merawat pengalaman demokrasi lama yang bernilai minus itu? Ataukah kita akan membuka sebuah lembaran politik baru dengan membumikan prinsip demokrasi yang sesungguhnya dan berani mendepak jauh-jauh aib demokrasi lama, fenomena politik primordialisme?
Pilkada serentak pada bulan Juni mendatang akan menjawab semuanya. Akan tetapi, karena signifikansi tulisan ini ialah terciptanya pilkada yang demokratis, penulis merasa perlu untuk mengarahkan keputusan kita untuk menciptakan pilkada yang demokratis, sekurang-kurangnya untuk meminimalisasi tendensi-tendensi politik yang primordial. Poin-poin berikut sekiranya penting untuk dimahfumi dan direalisasikan oleh kita semua.
Pertama, mengkritisi dan menangkal secara serius politik primordialisme. Politik primordialisme menelurkan sikap eksklusif terhadap pihak yang beridentitas lain, egosentrisme (melihat diri sebagai pusat), mengagung-agungkan kebudayaan sendiri (etnosentrisme), anti-pluralisme, dan lain sebagainya. Maka, berhadapan dengan tuntutan pilkada yang demokratis, mau atau tidak mau, politik semacam ini mesti didepak jauh-jauh dari panggung pilkada.
Mengkritisi, berarti bahwa masyarakat melihat segi negatif dari politik bentuk yang satu ini serta menggunakan rasio dalam memfilter aneka pengaruh yang datang dari luar yang memecah belah persatuan dengan sesama dari latar belakang lain. Menangkal berarti, masyarakat berusaha untuk menghentikan aktivitas politik primordialisme dan mendepaknya jauh-jauh sehingga tidak menjadi momok bagi perhelatan pesta demokrasi (pilkada) nantinya.
Kedua, pilkada yang demokratis juga mengandaikan keseragaman dan kesepahaman aneka golongan politik yang berbeda ideologinya.
Keseragaman dan kesepahaman ini tentunya hanya dapat dibaca dalam konteks niat dan tekad yang sama membangun negara, meski dengan cara yang berbeda-beda tetapi toh memperkaya metode politik negara dalam mencapai kebaikan bersama. Oleh karena itu, sangat diperlukan dari rakyat sikap cinta keanekaragaman. Dengan demikian, suasana pilkada yang kondusif, zero contradiction dan damai tanpa konflik dan diskriminasi dapat terwujud.
Ketiga, pilkada serentak tahun ini mesti dijadikan sebagai ajang menanam benih-benih rasa cinta akan perbedaan untuk menggaransi musim demokrasi yang kondusif dalam jangka panjang. Dengan ini, kita menyediakan suatu model demokrasi yang baik bagi perhelatan pesta demokrasi pada waktu-waktu mendatang.
Ketiga langkah alternatif di atas sangat urgen dalam menjawab kemauan rakyat selama ini yaitu terpilihnya pemimpin yang baik, minus primordialisme, mampu membawa perubahan bagi semua bukan untuk golongan sendiri, dan tentunya dapat mengantongi seluruh aspirasi masyarakat. Untuk mendapatkan pemimpin yang anti-primordialisme, maka rakyat mesti menanggalkan sikap primordialistis dalam memilih.
Rujukan utama yang dapat kita pegang dalam menyantuni pilkada serentak 2018 adalah bahwa politik primordialisme mesti dihindari dan dijauhi, sedangkan fitrah dasar demokrasi, kesetaraan setiap pihak yang terlibat di dalamnya mesti dipegang teguh. Pilkada yang demokratis sejatinya mesti dibentang dalam alur yang dapat mengakomodasi hak dan kewajiban politik masyarakat yang seimbang, bukan membelokkannya pada ranah anti pluriformitas.
*)Mahasiswa Muhammadiyah Mataram
OPINI
Pilihan Jalan atau Hanya Berpetualang

USAI sudah Pilgub Jambi 2024. Usai sudah penghitungan. Baik penghitungan lembaga survey, quick count maupun penetapan resmi dari KPU. Baik berjenjang dari KPU Kabupaten maupun penetapan akhir KPU Provinsi Jambi. Hasilnya tidak jauh berubah. Kemenangan telak diraih oleh Al Haris-Sani. Sang incumbent yang mantap dengan peraihan 60%. Jauh dari perkiraan para ahli yang banyak meramalkan hanya mampu meraih 52%-26%.
Namun apapun hasil kemenangan Pilgub, cerita dibalik pilkada yang berlangsung selama setahun terakhir banyak memberikan pelajaran. Sekaligus cerita yang bisa ditorehkan. Sekaligus diceritakan kepada generasi muda.
Pertama. Memilih Gubernur/Wakil Gubernur Jambi tentu saja tidak memilih yang terbaik. Tentu saja banyak putra-putra terbaik di Jambi.
Berbagai teori ilmu politik maupun sebagian aliran pemikiran, memilih pemimpin bak memilih seperti kaum Sofi. Kaum yang memang dilahirkan manusia suci dan mempunyai pemikiran yang sangat bijaksana.
Bahkan banyak sekali aliran agama yang menempatkan Pemimpin politik bak memilih seperti ulama. Lengkap pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan perilaku yang terpuji.
Maqom ini sering digunakan untuk menangkis terhadap calon-calon yang populer. Sekaligus membentengi diri dan melindungi kandidatnya.
Sebagai pemikiran, ajaran ataupun strategi, cara-cara ini sah saja digunakan.
Namun ditengah perkembangan zaman yang begitu pesat, strategi kampanye yang setiap Pilgub yang berbeda-beda, saya memilih dengan ukuran yang paling sederhana.
Memilih pemimpin ketika dia mau mendengarkan. Mau melaksanakan janji-janjinya yang sederhana. Sekaligus dia mau mendengarkan ketika saya mengumpat, memaki bahkan menghardik kinerja.
Dia lebih banyak mendengarkan. Dia sama sekali tidak memberikan klarifikasi ataupun bantahan terhadap apa yang saya sampaikan.
Apakah terlalu sederhana itu ? Ya. Cukup sederhana.
Di dalam berbagai kesempatan, ukuran realistis yang paling mudah dijangkau, apakah dia mau mengurusi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan.
Selama itu bisa dijangkau dengan ukuran obyektif selama itu saya tetap didalam barisan. Termasuk juga kalaupun banyak yang berlarian meninggalkannya, mungkin saya orang terakhir meninggalkannya.
Sebagai manusia, tentu saja kadangkala sering dongkol, kecewa bahkan kesal. Namun ketika seseorang mau mendengarkan gerutukkan saya, lebih banyak diam ketika saya umbarkan kemarahan, itulah kemewahan saya sebagai rakyat.
Dan ketika satu persatu pertimbangan, nasihat ataupun saran kemudian diikuti, bagiku itulah seseorang pemimpin. Menjawab dengan tindakan. Bukan sekadar janji.
Kedua. Di tengah Pilgub Jambi 2024, tentu saja ada sebagian kemudian memilih berbeda barisan. Memilih kemudian berbeda bagiku tidak terlalu mengganggu pemikiran.
Namun yang menarik pemikiran tentu saja alasan kemudian ketika pernah bersama-sama kemudian memilih berbeda barisan.
Selama memilih dengan alasan prinsip dan mendasar, tentu saja respek selalu kuhargai.
Namun ketika alasan memilih bukanlah prinsip dan mendasar dan lebih mengutamakan emosi, baper, tentu saja bagiku itu kekanak-kanakan.
Padahal kutahu sang pengabar mempunyai literatur bacaan yang kuat. Sikap dan prinsip yang selama ini sempat kukagumi. Bahkan cara penyampaian yang begitu tajam tidak salah kemudian kutempatkan sebagai tokoh panutan.
Namun ketika kutahu sang tokoh kemudian meninggalkan barisan dengan alasan (mungkin bagiku konyol) seketika respekku hilang. Berganti dengan nada sentimentil yang mendayu-dayu. Persis kayak anak ABG yang lagi galau. Ketika cuma SMS, telp ataupun WA sama sekali tidak dibalas.
Padahal di ujung telepon, sang pacar malah sibuk dengan pekerjaan rutinitas yang memang memaksa tidak memegang HP.
Yang kadangkala bikin geli, selevel tokoh (kata orang bijak sering “hatinya harus jember”), yang mewarisi sikap keteladanan bersikap kekanak-kanakan justru menjadi hiburan tersendiri. Kalaupun bukan pelajaran pahit yang menjadi perjalanan hidup.
Namun apapun yang terjadi dibalik Pilgub Jambi 2024, seleksi alam begitu kejam. Hanya orang mampu menghadapi perubahan zaman yang akan bertahan.
Selain itu mereka akan tergilas dengan kehadiran generasi milenial bahkan generasi Gen Z yang tidak kenal ampun. Melumat orang-orang cengeng di kancah politik.
Dan saya kemudian memilih. Bergabung dengan generasi milenial dan generasi Gen Z untuk menertawakan “kecengengan” kaum tua yang ketika berbicara selalu menepuk-nepuk dada.
Pilgub Jambi 2024 juga mengajarkan. Kemenangan Pilgub ketika menguasai generasi millenial dan Generasi Z.
Selamat datang, Era baru. Selamat datang generasi baru. (***)
*Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani
OPINI
Kebijakan Pajak 12%: Selektivitas untuk Barang Mewah, Strategi atau Tantangan?

PEMERINTAH Indonesia telah mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menerapkan tarif PPN sebesar 12%. Rencana ini akan dimulai per 1 Januari 2025, sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, telah diputuskan bahwa kebijakan ini hanya akan berlaku untuk barang mewah. Banyak orang melihat kebijakan ini sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan negara dan menghalangi daya beli industri dan masyarakat tertentu.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah mengatur mekanisme pemungutan pajak atas barang-barang yang dikategorikan sebagai barang mewah. Menurut pasal 1 ayat (1) UU tersebut, barang mewah adalah barang yang dalam penggunaannya tidak memberikan manfaat langsung terhadap kelangsungan hidup atau kehidupan manusia, yang menyebabkan pengenaan pajak untuk membatasi kontribusi kelangsungan hidup atau kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengenaan pajak 12% ini dimaksudkan untuk membatasi konsumsi barang tersebut.
Pandangan Pemangku Kebijakan
Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk meminimalisir konsumsi barang mewah yang tidak bersifat esensial bagi masyarakat umum. Ia menegaskan pentingnya melindungi rakyat kecil melalui pengecualian PPN untuk barang kebutuhan pokok.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kebijakan ini sebagai langkah yang menyesuaikan tren global dalam perpajakan dengan pelaksanaan cukup diatur melalui PMK. Ia memastikan bahwa pelaksanaannya dirancang agar tidak merugikan ekonomi rakyat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mencerminkan asas keadilan. “Kami ingin memastikan barang-barang yang memiliki kontribusi lebih besar terhadap pendapatan pajak adalah barang-barang yang memang hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki daya beli tinggi,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada awal November 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)
Namun, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Mukhamad Misbakhun, mengatakan kelompok barang yang akan dikenai PPN 12 persen tersebut masih akan diseleksi. Khususnya untuk objek barang yang selama ini tergolong dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Perspektif Pemerintah: Ini adalah Pendekatan yang Mempertimbangkan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara
Kebijakan ini tentu tidak mengabaikan pandangan beberapa menteri yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan, kebijakan ini merupakan tindakan yang lebih strategis yang bertujuan untuk memastikan keseimbangan dalam pendapatan negara dan pada saat yang sama mengatur konsumsi barang-barang mewah.
Ada kalanya Sri Mulyani menguraikan masalah ini: “Pengenaan cukai dengan tarif 12 persen pada barang-barang mewah bertujuan untuk mencegah konsumsi berlebihan barang-barang mewah dan mengarahkan konsumsi pada barang-barang yang akan produktif bagi ekonomi, selain tentu saja untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk pembangunan.”
Pendapatan yang diperoleh dari pajak barang-barang mewah dimaksudkan untuk digunakan dalam meningkatkan fasilitas publik, kesehatan, dan pendidikan, serta untuk meningkatkan kebijakan fiskal yang lebih luas yang melindungi proses pemulihan pasca-covid.
Tantangan yang Dihadapi
Tetapi kebijakan ini menghadapi beberapa masalah seperti berdampak pada daya beli konsumen. Ekonom bernama Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pengenaan pajak lebih tinggi pada barang tertentu dapat berdampak pada penurunan konsumsi, terutama untuk industri yang bergantung pada penjualan barang premium.
Potensi Kebijakan Tidak Efektif: Beberapa pengamat mengkhawatirkan pengalihan konsumsi masyarakat ke pasar gelap atau pembelian langsung di luar negeri untuk menghindari pajak tinggi.
Kompleksitas Administrasi: Penetapan barang mewah dalam kategori dapat menjadi kontroversial, terutama bagi bisnis yang menganggap kebijakan ini terlalu luas.
Pengaruh terhadap Sektor dan Lingkungan Sosial
Akan tetapi, ada juga dampak negatif dari kebijakan ini, terutama untuk industri yang langsung berhubungan dengan barang-barang mewah. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kebijakan tersebut perlu diikuti oleh kebijakan lain yang lebih memperhatikan industri dalam negeri. Dalam pernyataan tersebut, beliau menekankan: “Kita harus memastikan bahwa dampak dari kebijakan berbasis pajak tidak merugikan industri lokal.” Ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran besar terkait apa yang terjadi pada berbagai sektor, terutama yang paling berisiko tidak bisa bersaing di level global.
Secara khusus pada barang mewah yang dihasilkan di Negara kita Indonesia seperti otomotif, elektronik, atau barang fashion, maka kebijakan pajak akan mengurangi daya beli masyarakat dan juga akan memperlambat laju pertumbuhan industri yang bersangkutan.
Secara keseluruhan, pemerintah menggunakan kebijakan pajak 12% pada barang mewah untuk mengontrol konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara.
Namun, kebijakan ini menghadirkan beberapa kesulitan, baik dari segi bagaimana ia diterapkan di lapangan maupun bagaimana hal itu berdampak pada sektor industri tertentu. Kebijakan ini mungkin memiliki dampak negatif yang lebih besar, terutama dalam jangka panjang, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dan melindungi daya beli masyarakat.
*Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI)
OPINI
Pilgub Jambi 2024: Kemenangan Fakta, Kegagalan Propaganda

DALAM dunia yang semakin terjebak dalam pusaran informasi dan disinformasi, pepatah lama Belanda “All is de leugen nog zo snel, de waarheid achterhaalt haar wel” atau “Seberapa cepat pun kebohongan berlari, kebenaran akan mengejarnya” terasa semakin relevan. Di era digital saat ini, ketika informasi mampu menyebar secara viral dalam hitungan detik, ruang publik sering kali menjadi ajang pertarungan antara kebenaran dan manipulasi. Kebohongan, yang dirancang untuk memengaruhi emosi massa, dapat dengan mudah menciptakan ilusi kebenaran. Namun, meski lambat, kebenaran tetap memiliki daya tahan yang mampu membongkar kebohongan secara sistematis.
Fenomena ini tidak hanya menjadi persoalan global, tetapi juga tercermin dalam dinamika politik lokal, seperti yang terlihat dalam Pilgub Jambi 2024. Pilgub Jambi 2024 menjadi panggung nyata dari pergulatan ini. Dalam kontestasi yang panas, strategi pihak lawan tampak memanfaatkan disinformasi sebagai senjata politik untuk melemahkan kredibilitas petahana, Al Haris. Narasi negatif, fitnah personal, hingga hoaks terstruktur menyasar capaian-capaian Al Haris, seolah-olah keberhasilan yang diraihnya hanyalah mitos belaka. Di era ketika literasi digital masyarakat belum merata, pola semacam ini sering kali efektif dalam membentuk opini publik jangka pendek. Namun, strategi manipulatif ini mengabaikan satu hal mendasar, masyarakat yang telah merasakan dampak nyata dari kebijakan seorang pemimpin tidak mudah dikelabui oleh narasi kosong.
Dalam konteks ini, upaya pihak lawan untuk memanfaatkan kelemahan literasi digital di masyarakat menjadi semakin terlihat. Mereka mencoba menyulut sentimen dengan narasi bombastis, namun gagal mengukur satu hal penting, masyarakat yang telah melihat dan merasakan hasil kerja nyata memiliki dasar penilaian yang lebih konkret dibandingkan janji kosong. Program-program unggulan seperti Dumisake, peningkatan kualitas layanan publik, hingga perbaikan infrastruktur strategis menjadi bukti nyata yang sulit dibantah. Fakta-fakta inilah yang menjadi jawaban atas propaganda negatif yang dilancarkan sepanjang kampanye.
Fakta-fakta keberhasilan ini tidak hanya mampu membantah propaganda negatif, tetapi juga menjadi dasar kuat yang mendukung kemenangan Al Haris, membuktikan bahwa politik yang berlandaskan integritas dan kerja nyata tetap menjadi pilihan masyarakat. Alih-alih terjebak dalam permainan lawan yang mencoba menjatuhkannya dengan fitnah, Al Haris dan timnya tetap fokus pada narasi berbasis fakta. Mereka mengedukasi masyarakat, meluruskan informasi keliru, dan memperkuat narasi keberhasilan program-program pembangunan. Pendekatan ini bukan hanya memperkuat basis dukungan, tetapi juga mengungkap kelemahan mendasar dalam strategi lawan bahwa kebohongan, tanpa landasan fakta, tidak mampu bertahan lama.
Di sisi lain, kemenangan ini menggarisbawahi pentingnya literasi digital sebagai tameng masyarakat dari manipulasi politik. Literasi digital bukan hanya tentang mengenali hoaks, tetapi juga memahami konteks informasi dan mengevaluasi sumbernya secara kritis. Masyarakat Jambi yang semakin sadar dan kritis memberikan pesan kuat bahwa mereka tidak akan lagi menjadi korban propaganda murahan.
Kemenangan ini juga menjadi tamparan bagi politik transaksional dan oportunistik. Al Haris telah menunjukkan bahwa politik yang berakar pada kinerja dan komitmen jangka panjang terhadap rakyat adalah senjata paling ampuh dalam melawan politik hitam. Dengan menjadikan fakta dan transparansi sebagai fondasi utama kampanye, ia tidak hanya berhasil meraih kepercayaan rakyat, tetapi juga memberikan standar baru dalam praktik politik lokal. Pilgub Jambi 2024 mengajarkan bahwa politik harus kembali ke esensinya melayani rakyat, bukan memanipulasi mereka.
Pada akhirnya, kemenangan Al Haris adalah cerminan dari sebuah prinsip abadi, kebenaran mungkin tertunda, tetapi ia tidak pernah kalah. Ini adalah pengingat bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk melihat melampaui kabut propaganda, menuntut integritas dari para pemimpin mereka, dan menolak jebakan politik usang yang menjual kebohongan untuk keuntungan sesaat. Pilgub Jambi 2024 bukan sekadar kemenangan politik, tetapi sebuah kemenangan moral yang mencerminkan kedewasaan masyarakat dalam menilai pemimpin mereka berdasarkan kinerja nyata, bukan retorika palsu. Kemenangan ini menegaskan bahwa era manipulasi tanpa batas telah usang, dan kebenaran, dengan segala kekuatannya, akan selalu menemukan jalannya untuk mengalahkan kebohongan, membawa harapan baru bagi masa depan yang lebih baik.
Selamat atas kemenangan Al Haris dan Abdullah Sani dalam Pilgub Jambi 2024. Kemenangan ini bukan hanya refleksi dari kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan yang telah terbukti, tetapi juga harapan besar akan kelanjutan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan amanat rakyat yang kini berada di pundak, semoga pasangan Haris-Sani dapat terus menjunjung tinggi kepemimpinan yang berlandaskan integritas, transparansi, dan komitmen nyata terhadap pembangunan. Dedikasi mereka dalam melayani masyarakat Jambi diharapkan dapat terus menginspirasi, memperkuat kebersamaan, dan memperkokoh fondasi kemajuan. Semoga kepemimpinan yang baru ini membawa perubahan positif yang nyata, meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, dan menjadikan Jambi semakin mantap di segala bidang. Lanjutkan.
*Akademisi UIN STS Jambi