Connect with us

PERKARA

Nazli Tantang Adam Azis di Pengadilan

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – “Kalau kasus saya diangkat, saya akan bongkar semua kasus yang lain.”  Ucapan inilah yang sering disampaikan Sutoyo kepada karyawan PT REKI lainnya dalam menyikapi masalah penyalahgunaan kewenangan dan pencurian barang bukti ilegal logging yang menjeratnya.

Kasus Sutoyo yang sampai saat ini masih diselidiki pihak berwajib adalah peristiwa penangkapan kayu pada 9 April 2016 lalu. Tim Pengamanan REKI di bawah pimpinan Senior Supervisor PT Restorasi Ekosistem Indonesia (REKI), Sutoyo berlagak bak penyidik, menangkap dua unit truk yang membawa kayu ilegal jenis bulian di areal IUPHHK PT Agronusa Alam Sejahtera (AAS) – perusahaan pemilik konsesi Hutan Tanaman Industri di Sarolangun.

Bukan hanya itu dari anggota pengamanan Hutan PT REKI yang tidak mau disebutkan namanya, mengatakan bahwa Sutoyo sempat bernegosiasi dengan sopir dan pemilik kayu. Tak diketahui pasti apa yang dibicarakan karena saksi tidak diizinkan mendengar. Setelah mereka berdialog, maka muatan kayu yang ada di dua truk itu dibongkar dan truk dilepas, jelas satpam PT REKI yang lain kebingungan sebab tindakan ini tidak sesuai SOP (Standard Operational Procedure). Sebab selama ini setiap ditemukan kegiatan kejahatan kehutanan apalagi yang menggunakan truk maka truk dan kayu ilegal akan diamankan dan diserahkan ke pihak berwajib.

Keesokan harinya, 10 April 2016 kayu bongkaran telah berkurang jumlahnya  hingga tersisa hanya 278 batang.

Kemudian Sutoyo memindahkan 278 batang kayu itu dengan dua unit dump truk. Salah satunya milik ipar Sutoyo. Ia pindahkan ke barak karyawan PT REKI lagi-lagi kegiatan ini tidak dilaporkan ke pihak berwajib sebagai instansi yang berwenang melakukan penyitaan sesuai hukum yang berlaku.

Beberapa bulan kemudian, Sutoyo memerintahkan anak buahnya, Gibsi Sitorus itu memindahkan lagi kayu tersebut menggunakan mobil damkar jenis single cabin milik PT REKI. Setelah sebelumnya Sutoyo mengeluarkan kayu-kayu tersebut lewat jendela ke bawah pohon jengkol di belakang barak berdasarkan keterangan Ade Rusmana (karyawan PT REKI) yang baraknya bersebelahan dengan aula tempat kayu-kayu bulian itu disimpan.

Dari bawah pohon jengkol Sutoyo memerintahkan Gibsy Sitorus untuk membuat ke mobil sebanyak 54 batang dan mengangkutnya dengan mobil damkar ke rumah Sutoyo pada tengah malam dan melalui jalan perkebunan PT BSU ke arah Sungai Bahar unit 15, untuk menghindari pos PAM PT REKI dan PT BSU.

Hal ini diterangkan oleh Gibsy Sitorus pada Ahmad (Ketua Serikat Pekerja PT REKI) dan Sugianto (Senior SATPAM PT REKI) dan dialog itu direkam. Gibsy mengakui perbuatannya itu atas perintah Sutoyo, namun belakangan di hadapan pihak kepolisian dia mengingkari perbuatannya.

Berdasarkan keterangan Gibsy kepada Nazli saat ditanya kenapa keterangannya berbeda, Gibsy mengatakan bahwa dia diarahkan Pimpinan untuk memberikan keterangan seperti itu. Karena terus dihantui perasaan khawatir dan diintimidasi akhirnya Gibsi mengundurkan diri dari PT REKI.

Pada 28 Mei 2017 selaku Manajer PT REKI, Nazli melaporkan lenyapnya 54 batang itu ke Polsek Bajubang. Belakangan, kayu 54 batang yang sempat hilang itu tiba-tiba muncul dan dihadirkan kembali oleh Sutoyo sehingga barang tangkapan itu kembali utuh sebanyak 278 batang.

Nazli melaporkan kasus ini ke pihak kepolisian pada 31 Mei 2017. Ia menyatakan bahwa penangkapan Truk dan pembongkaran kayu yang kemudian truknya dilepas tanpa melibatkan aparat hukum adalah pelanggaran hukum dan pelanggaran kode etik PT REKI apalagi kejadian itu jauh di luar konsesi PT REKI tepatnya di kawasan PT AAS. Menyimpan 278 batang kayu bulian di gudang PT REKI itu adalah bentuk pelanggaran hukum terhadap UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Perusakan Hutan.

Menurut Nazli sesuai dengan pasal 40 dalam UU Nomor 18 bahwa yang berhak melakukan penyitaan adalah penyidik. “PT REKI tidak berhak menyita apalagi menguasainya tanpa izin dari pihak terkait, di Republik ini yang berhak melakukan penyitaan adalah pihak berwajib dalam hal ini Penyidik Kepolisian ataupun PPNS dari Kehutanan,” ujar Nazli.

Gara-gara melaporkan kasus ini kepada pihak kepolisian, sejak JUNI 2017 gajinya tidak dibayar dan kemudian pada akhir Desember 2017, ia dibebas tugaskan tanpa alasan apa pun. Nazli sendiri telah mengabdi di PT REKI selama 11 tahun  sejak Agustus 2007.

Anehnya, pada Maret 2018 lalu, Nazli sempat ditawari PT REKI sebesar uang  Rp100 juta. “Saya geli saja ditawari uang segitu. Itu uang apa? Kalau pesangon, PHK dulu saya baru kita bicara pesangon. Ini status saya saja tak jelas,” keluhnya.

Kini, Nazli siap menantang Direktur Operasional PT REKI, Lisman Soemarjani berperkara di Pengadilan Hubungan Industrial. “Saya tantang Lisman di pengadilan. Ayo kita buka-bukaan semuanya. Siapa yang salah dan siapa yang benar,” ujar Nazli. Secara resmi, Nazli telah mendaftarkan gugatannya di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Jambi pada April 2018 lalu.

Peristiwa penangkapan 278 batang kayu bulian itu kabarnya berujung pada gelar perkara di Polres Batanghari pada 6 September 2016. Hal itu terungkap dalam obrolan lewat email antara Damanik, Manajer Satpam dan Didik, staf departemen satpam. Pada 3 September 2016, Damanik sempat meminta Didik agar menyiapkan dana sebesar Rp 10 juta agar diantarkan langsung pada Kapolres Batanghari pada 6 September 2016.

Didik lantas menjawab bahwa itu tidak bisa diantar. “Karena tenaga keuangan kita hanya satu orang. Mohon petunjuk,” tulisnya pada 4 September 2016 membalas email dari Damanik. Email itu ditembuskan kepada Adam Azis.

Nazli semakin bingung soal gelar perkara itu. “Gelar perkara? Pakai biaya? Saya 7 tahun bermitra dengan kepolisian, enggak pernah ada pihak kepolisian minta biaya gelar perkara,” katanya. “Ini ada yang aneh, janganlah menggunakan nama institusi kepolisian untuk mengambil duit dari perusahaan, itu merusak institusi kepolisian kita,” ucap Nazli.

Serikat Pekerja PT REKI sebenarnya pernah melaporkan kebobrokan perusahaan kepada Presiden Direktur, Toni Soehartono pada 26 September 2017. Surat yang diteken Ahmad dan Helmi Saputra itu menyampaikan bahwa manajemen PT REKI justru membeli kayu-kayu ilegal untuk membangun basecamp karyawan.

Padahal Standard Operational Procedure (SOP) PT REKI sudah jelas menyatakan tidak membenarkan pembelian kayu ilegal. Tindakan itu merupakan preseden buruk bagi sikap perusahaan yang berkomitmen memberantas kejahatan kehutanan.

PT REKI juga terkesan melakukan pembiaran terhadap kasus-kasus pencurian barang-barang inventaris perusahaan seperti hilangnya panel solar cell dalam kurun waktu seminggu berturut-turut serta kehilangan barang-barang lainnya.

Sayangnya surat itu tak digubris sama sekali.

Ketua DPP Lembaga Pemantau Penyelamat Lingkungan Hidup (LP2LH), Tri Joko Purwanto menilai bahwa tindakan manajemen PT REKI jelas-jelas telah melanggar pasal 109 ayat (1) dan (2) serta pasal 116 UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Perusakan Hutan.

Joko mencontohkan pasal 109 ayat (1) yang berbunyi: “Dalam hal perbuatan pembalakan, pemanenan, pemungutan, penguasaan, pengangkutan, dan peredaran kayu hasil tebangan liar dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan/atau penjatuhan pidana dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.”

Joko menambahkan bahwa pasal 83 ayat (4) secara khusus mengatur soal pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi. Pada pasal tersebut disebutkan bahwa pasal 83 ayat (4) melarang korporasi yang memuat, membongkar, mengeluarkan, mengangkut, menguasai, dan/atau memiliki hasil penebangan di kawasan hutan tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf d;

Tidak hanya dapat dipidana, kata Joko, manajemen PT REKI juga bisa didenda hingga Rp15 miliar atas pelanggarannya terhadap UU Nomor 18 tahun 2013 tersebut seperti yang disebutkan dalam pasal 83 ayat (4) poin c.

Bunyinya bagi korporasi memanfaatkan hasil hutan kayu yang diduga berasal dari hasil pembalakan liar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 huruf h

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun serta pidana denda paling sedikit Rp 5 miliar dan paling banyak Rp15 miliar.

Padahal PT REKI adalah sebuah lembaga donor yang berkomitmen untuk merestorasi kawasan hutan yang hancur agar ekosistemnya kembali dapat direhabilitasi. Mereka mengelola dana lebih dari Rp150 miliar dari lembaga Internasional sekelas KfW Development Bank – sebuah bank pembangunan di Jerman dan DANIDA (Danish International Development Agency) – lembaga donor dari Denmark.

Joko menambahkan sebagai penerima dana hibah dari Eropa PT REKI juga berkomitmen untuk melakukan penegakan hukum dan melakukan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). “Namun kenyataannya, mereka justru melanggar hal itu. Ironis sekali, bukan?” kata Joko kepada detail, Jumat (20/4/2018).

“Kalau REKI sampai melakukan ini, siapa lagi yang bisa kita percaya. Ini bukti mereka hanya berkedok restorasi yang ternyata justru melakukan pembiaran perambahan kawasan hutan. PT REKI dapat dipidana atas perbuatannya,” ujar Joko.

Joko meminta agar pemerintah segera mencabut izin restorasi yang dikantongi PT REKI. “Mereka bukan hanya gagal merestorasi dan menghentikan perambahan hutan akan tetapi juga terlibat dalam perambahan hutan,” ujarnya.

Pihak PT REKI enggan berkomentar panjang lebar. Head of Stakeholder Patnership PT REKI, Adam Azis mengatakan bahwa kasus itu sudah ditangani pihak kepolisian dan tidak ditemukan bukti untuk dilanjutkan ke proses hukum selanjutnya. (DE 01/DE 02)

PERKARA

PT LAJ Diduga Kembali Lakukan Kriminalisasi, Masyarakat Bakal Mengadu ke Jakarta

DETAIL.ID

Published

on

IHCS Jambi bersama petani Sungai Salak Desa Balai Rajo. (ist)

DETAIL.ID, Tebo – Anak usaha PT Royal Lestari Utama yakni PT Lestari Agro Jaya diduga kembali melakukan upaya kriminalisasi terhadap masyarakat yang sudah lama menggarap areal yang diklaim masuk ke dalam konsesi Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI).

Ketua Indonesia Human Right Committe For Social Justice (IHCS) Provinsi Jambi, Ahmad Azhari menyampaikan setidaknya terdapat 3 panggilan kepada petani di Sungai Salak Desa Balai Rajo dari Polres Tebo pada akhir tahun 2024.

Salah satunya, Ketua Forum Tani Sungai Salak yaitu James Barus. IHCS Jambi menilai upaya kriminalisasi ini dilatarbelakangi karena James Barus tidak mau menyerahkan lahan yang sudah digarap keluarganya selama belasan tahun untuk dijadikan areal perumahan karyawan PT LAJ.

Dalam Laporan Polisi: LI/64/XI/RES.5./2024/Reskrim tertanggal 08 November 2024, dan Panggilan Polisi Nomor: B/168 /II/RES.5/2025 /Reskrim, mereka didalilkan melanggar UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

“Hal ini menjadi dasar agar para petani tersebut dipanggil, ditekan, diancam, pidana kemudian menyerahkan tanah garapannya kepada PT LAJ,” kata Azhari, dalam keterangan tertulis pada Kamis, 20 Februari 2025.

Wiranto Manalu selaku Sekretaris IHCS Provinsi Jambi pun menilai seharusnya PT LAJ tidak lagi menggunakan cara-cara lama dalam menakut-nakuti rakyat dengan upaya kriminalisasi. Sebab hal tersebut menunjukkan bahwa kehadiran PT LAJ hanya menimbulkan traumatik bagi masyarakat di sekitar PT LAJ.

Dengan segala riwayat konflik PT LAJ dengan masyarakat sekitar, menurut Wiranto pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan harusnya segera melakukan evaluasi dan adendum terhadap Izin PT LAJ. Lantaran dari jumlah Izin HTI seluas 61.459 hektare, hanya sekitar 15.000 hektare lebih yang bisa dikuasai oleh PT LAJ.

Dia menilai hal itu disebabkan oleh sudah adanya kedudukan petani penggarap sebelum izin PT LAJ diberikan oleh Kementerian Kehutanan serta tidak adanya sinkronisasi luasan izin dengan lahan yang sudah terlebih dahulu diduduki masyarakat.

IHCS Jambi pun mendorong Kementerian Kehutanan untuk memberikan kepastian kepemilikan lahan terhadap masyarakat yang terlebih dahulu tinggal di areal yang diklaim PT LAJ.

“Kementerian Kehutanan harus segera dapat mendorong penyelesaian konflik ini dengan menggunakan berbagai skema termasuk Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH). Harus dilakukan identifikasi dan verifikasi agar ada kejelasan bagi masyarakat,” katanya.

Karena pada prinsipnya, menurut Wiranto, masyarakat yang tinggal di dalam Kawasan hutan yang diklaim areal PT LAJ tersebut siap dibina oleh skema pemerintah yang nantinya.

“Apakah pasca dikeluarkan dari Izin LAJ para petani akan diwajibkan membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) itu tidak menjadi masalah, selain itu juga dapat mengurangi beban PT LAJ dalam membayar Pajak PBPH nya apalagi PT LAJ tidak menguasai lahan tersebut,” katanya.

Dengan berbagai persoalan yang timbul saat ini, IHCS Jambi bakal mendampingi Forum Tani Sungai Salak dan akan mendatangi beberapa institusi negara untuk melaporkan dugaan kriminalisasi dan resolusi konflik bagi masyarakat yang tinggal di areal klaim izin PT LAJ.

Petani disebut bakal akan jalan kaki dari Merak menuju Kementerian Kehutanan, Kementerian Polkam, Kementerian Hukum, Mabes Polri serta Komnas HAM, hal ini disebabkan oleh keyakinan para petani bahwa negara masih belum hadir untuk melindungi dan memberikan solusi terhadap nasib para petani.

Adapun yang menjadi Tuntutan Forum Tani Sungai Salak yakni;

  1. Hentikan kriminalisasi yang dilakukan PT LAJ terhadap petani Sungai Salak Desa Balai Rajo, Kecamatan VII Koto Ilir, Kabupaten Tebo.
  2. Meminta Kementerian Kehutanan melakukan Evaluasi dan Adendum Izin PT LAJ yang sudah terlebih dahulu diduduki oleh para petani.
  3. Meminta Kementerian Kehutanan melakukan langkah penyelesaian konflik agraria terhadap penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang sudah diduduki terlebih dahulu oleh masyarakat sebelum izin PT LAJ.
  4. Meminta Komnas HAM memberikan perlindungan kepada petani Forum Tani Sungai Salak terhadap kriminalisasi yang dilakukan PT LAJ.
  5. Meminta Mabes Polri untuk memerintahkan Polres Tebo menghentikan upaya kriminalisasi petani yang dilakukan PT LAJ.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

PERKARA

Kejati Sita Rp 1,7 Miliar dari Kasus Korupsi MTN PT SNP pada Bank Jambi 2017-2019

DETAIL.ID

Published

on

Tim penyidik Tindak Pidana Korupsi Kejati Jambi. (ist)

DETAIL.ID, Jambi – Tim penyidik tindak pidana korupsi gagal bayar MTN PT SNP pada Bank Jambi tahun 2017-2019, menyita uang senilai Rp 1,7 miliar dari salah satu tersangka atas nama Arif alias AE pada Rabu, 19 Februari 2025.

Dalam keterangan tertulis, Kasipenkum Kejati Jambi, Noly Wijaya menyampaikan penyitaan tersebut melengkapi barang bukti dalam perkara korupsi gagal bayar MTN PT SNP pada Bank Jambi 2017-2019.

Uang senilai Rp 1,7 miliar tersebut pun kini telah dititipkan sementara di pekening penitipan Kejati Jambi pada Bank BRI Cabang Jambi.

Adapun AE disangka melanggar ketentuan primair Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) KUHPidana.

Subsidair, Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2021 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHPidana.

“Perkara ini melibatkan tersangka AE yang diduga melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dengan beberapa pihak,” kata Kasipenkum Kejati Jambi, Noly Wijaya.

Di antaranya yakni, Yunsak El Halcon bin H. Zaihifni Sihak (alm) – telah dijatuhi pidana penjara selama 13 tahun, Dadang Suryanto Bin Supandi, telah dijatuhi pidana penjara selama 9 tahun. Andri Irvandi Bin Djohan dijatuhi pidana penjara selama 13 tahun.

Leo Darwin diputuskan pidana penjara 16 tahun, yang saat ini terdakwa dan JPU Kejari Jambi sedang proses pengajuan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Jambi.

Sebagaimana diketahui tindak pidana korupsi perkara gagal bayar dalam pembelian MTN PT Sunprima Nusantara Pembiayaan (SNP) periode tahun 2017-2018, berdampak signifikan pada kerugian keuangan negara sebesar Rp 310 miliar lebih.

Dalam rilisnya, Kejati Jambi pun menegaskan komitmen untuk menyelesaikan perkara ini secara profesional, transparan, dan akuntabel demi penegakan hukum yang adil dan kepastian hukum dan dalam penanganannya tidak hanya berorientasi pada penghukuman namun juga pada pemulihan/penyelamatan keuangan negara.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

PERKARA

Polres Merangin Tangkap Tiga Pelaku Spesialis Pencurian Hewan Ternak

DETAIL.ID

Published

on

Tiga pelaku spesialis pencurian ternak usai ditangkap bersama barang bukti ternak yang dicurinya. (ist)

DETAIL.ID, Merangin – Satuan Reserse Kriminal (Satreskrim) Polres Merangin berhasil menangkap tiga pelaku spesialis pencurian hewan ternak yang terjadi di Desa Kampung Baru, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin pada Kamis, 13 Februari 2025.

Tiga tersangka yakni, SH (43), warga Perumahan Khalifa Desa Tanjung Rambai, Kecamatan Sarolangun, IM (36) warga Desa Sungai Abang, Kecamatan Sarolangun dan DS (45) warga Bedeng Pelawan Kecamatan Pelawan, Kabupaten Sarolangun.

Penangkapan para pelaku bermula pada hari Kamis tanggal 13 Februari 2025 sekira pukul 03:30 WIB, dimana pada saat itu Tim opsnal Sat Reskrim Polres Merangin mendapatkan informasi bahwa telah terjadi pencurian hewan ternak berupa dua ekor kerbau yang terjadi di Desa Kampung Baru Kecamatan Tabir, kemudian Tim mendapatkan informasi bahwa para pelaku sudah membawa 2 ekor kerbau tersebut menggunakan mobil R4 pickup carry mengarah ke Kota Bangko.

Mendapat informasi tersebut, Tim langsung melakukan hunting di sekitaran jalan lintas Sumatera menuju arah Kota Bangko, setelah teridentifikasi selanjutnya Tim membututi para pelaku dan langsung melakukan penghadangan terhadap mobil yang bermuatan 2 ekor kerbau tersebut di depan Mako Polres Merangin.

“Saat hendak diamankan, tersangka sempat ada perlawanan, namun berhasil kita amankan,” kata Kapolres Merangin, AKBP Roni Syahendra melalui Kasubsi Penmas Aiptu Ruly pada Senin, 17 Februari 2025.

Ruly menjelaskan, ketiga pelaku saat ini sudah diamankan di Polres Merangin dan selain pelaku, polisi juga berhasil mengamankan barang bukti berupa 2 ekor kerbau betina, ⁠1 unit mobil Carry Pickup warna hitam, 4 ikat tali tambang, 1/4 bungkus garam dan ⁠3 buah putas.

“Untuk saat ini Penyidik sedang mendalami keterangan dari ketiga tersangka, karena tidak tertutup kemungkinan ada pihak lain yang membantu pencurian hewan ternak tersebut. Mengingat ketiga tersangka berdomisili di Sarolangun semua,” ujarnya.

Sementara itu, guna mempertanggungjawabkan perbuatannya para pelaku disangkakan melanggar Pasal 363 KUHP dengan ancaman diatas 7 tahun penjara.

Ia juga mengingatkan masyarakat untuk terus waspada terhadap hal – hal kecil yang mencurigakan di lingkungan tempat tinggal masing – masing demi terciptanya keamanan bersama.

“Tetap waspada apabila ada hal yang mencurigakan, segera melaporkan ke pihak Kepolisian terdekat,” tutur Ruly.

Reporter: Daryanto

Continue Reading
Advertisement