Connect with us

OPINI

Menimbang Cawapres 2019

DETAIL.ID

Published

on

DARI SEKIAN nama yang muncul ke publik, ada empat nama yang potensial jadi calon presiden 2019; Jokowi, Prabowo, Anies Baswedan dan Gatot Nurmantyo. Hanya Prabowo yang sudah deklarasi. Itu pun belum final. Lah kok?

Pertama, belum cukup dukungan. Gerindra hanya punya 73 kursi di DPR. Kurang 39 kursi. PKS? Belum menyatakan dukungan. Kecuali jika syarat cawapres diterima. Prabowo dan Gerindra belum mengiyakan. Masih hitung-hitung. Katanya, terlalu prematur. Cari alasan! Apakah ini berarti koalisi akan pecah? Jangan buru-buru menyimpulkan. Dalam politik, komunikasi antar partai sangat dinamis. Tidak hitam putih. Tidak juga mutlak-mutlakkan. Bisa cair di kedai kopi sambil makan pisang goreng.

Kedua, tetap akan dievaluasi elektabilitasnya. Bisa naik dan cukup suara untuk melawan Jokowi, Prabowo akan terus maju. Itu yang diharapkan dan sedang diikhtiarkan oleh Gerindra. Enggak cukup suara, partai akan bersikap rasional. Mundur dan mengganti calon. Semuanya masih terbuka.

Prabowo juga tak ingin bersikap konyol. Tidakkah jika Prabowo tetap maju akan mengangkat suara Gerindra? Seratus persen betul. Tapi, apakah itu satu-satunya cara? Apalagi jika Prabowo harus dijadikan martir di usia senjanya. Pengorbanan terlalu besar.

Masih ada alternatif lain. Misal, cari calon potensial dan jadikan calon itu sebagai kader Gerindra. Anies Baswedan misalnya. Toh yang maju tetap kader Gerindra. Dan Prabowo tetap terjaga marwahnya sebagai King Maker, sebagaimana banyak pakar politik menyarankan.

Tidak hanya Prabowo, Jokowi juga belum final. Tidakkah sudah ada deklarasi PDIP, Golkar, NasDem, Hanura dan PPP untuk mengusung Jokowi? Betul sekali. Apakah tidak mungkin ada perubahan? Sangat mungkin. Terutama jika PDIP dan Golkar tak ketemu kesepakatan negosiasinya dengan Jokowi.

Kabarnya, PDIP minta cawapres. Setidaknya PDIP diberi hak menentukan cawapres Jokowi. Jika tak dipenuhi, boleh jadi PDIP akan usung calon lain. PDIP bisa memasangkan Gatot dengan Budi Gunawan, misalnya. TNI-Polri. Sangat ideal.

Tidakkah dua tokoh ini berseberangan? Kepentingan politik bisa mempersatukan dua tokoh yang berseberangan. Tapi, SBY dan Megawati adalah dua politisi yang susah bersua? Tunggu momentum politik untuk menyatukan.

Jika PDIP cabut dukungan terhadap Jokowi, maka Golkar berpeluang sangat leluasa menekan dan menyandera Jokowi. Emang berani? Sekarang tidak. Karena, masih banyak yang harus diamankan. Situasi akan berbeda saat menjelang pilpres. Hukum “suplai dan kebutuhan” berlaku. Siapa yang kuat, dia yang bisa menekan. Golkar dikenal lincah, licin dan berpengalaman soal ini.

Lalu, siapa tokoh yang potensial jadi cawapres? Otak langsung tertuju pada Muhaimin Iskandar. Ketua PKB yang sejak awal “branding” dirinya secara masif sebagai cawapres.

Siapa pun capresnya, asal kalkulasi, nego dan harganya cocok, Muhaimin bisa jadi cawapresnya. 47 kursi di DPR dan basis kaum Nahdliyin bisa jadi modal cukup untuk jadi cawapres. Kabarnya, sudah main ancam. Kalau enggak diambil Jokowi, akan keluar dari koalisi. Ternyata, mulai punya nyali. Atau, hanya sebagai strategi mengintai kekuatan politik di luar Jokowi.

PKS juga menyiapkan sembilan calon. Di antaranya ada Ahmad Heryawan. Gubernur dua periode di Jawa Barat. Wilayah dengan jumlah pemilih terbesar di Indonesia. Dapat 265 penghargaan. Ada juga Anis Matta, tokoh muda yang brilian, lincah dan luas jaringannya. Mantan presiden PKS ini masih punya pengaruh kuat di kalangan kader-kader muda PKS. Selain dua nama itu, ada Mardani Ali Sera. Seorang doktor muda jebolan UI ini tegas dan berani menyuarakan prinsip-prinsip politiknya.

Mereka siap diwakafkan PKS untuk menjadi cawapres. Cawapresnya Jokowi? Sepertinya Jokowi gagal merayu PKS. Hastag #2019 Ganti Presiden yang digaungkan oleh Mardani Ali Sera adalah bukti PKS tidak mau bergabung dengan Jokowi. Setidaknya hingga hari ini.

Selain tokoh PKB dan PKS, ada Zulkifli Hasan dari PAN. 49 kursi bisa jadi modal untuk mendorong lahirnya koalisi baru. Meski tetap terbuka tangan untuk bergabung dengan Jokowi. Ada juga AHY, putra mahkota SBY yang sedang di-branding untuk menjadi tokoh masa depan. 61 kursi di DPR memberi peluang SBY untuk menginisiasi lahirnya poros ketiga bersama PAN dan PKB yang sedang sibuk mencari pasangan koalisi.

Jika formasi Jawa-Luar Jawa diberlakukan, sebagaimana pilpres sebelumnya, ada nama Jusuf Kalla. Politisi spesialis Wapres ini direkomendasikan CSIS untuk mendampingi Jokowi. Asal Sulawesi, pengusaha, dan tokoh yang merepresentasikan Islam kelas menengah. Kabarnya, JK, panggilan akrab Jusuf Kalla, menolak. Ingin pensiun dari dunia politik.

Selain JK, ada Tuan Guru Bajang (TGB). Namanya sempat mencuat. Dua kali menjadi gubernur NTB. Penghafal Alquran ini berhasil menarik perhatian publik. Hanya saja, TGB kader Demokrat. Ada bayang-bayang AHY, putra mahkota yang sedang naik daun. Apakah TGB  akan nyeberang ke Jokowi? Tak ada yang mustahil dalam politik.

Di luar JK dan TGB ada Adhyaksa Dault. Mantan ketua KNPI dan menteri olahraga ini punya basis massa yang layak diperhitungkan. Putra Sulawesi ini sekarang menjabat sebagai ketua Kwarnas. Jumlah anggota Pramuka saat ini lebih dari 21 juta. Umumnya anak usia muda. Generasi milenial. Adhyaksa bisa jadi salah satu alternatif untuk cawapres jika formasinya Jawa-Non Jawa.

Semua bakal calon presiden 2019 sedang melakukan; pertama, penjajakan dan komunikasi dengan para tokoh yang potensial menjadi cawapres. Kedua, mengalkulasi suara berbasis survei. Siapa tokoh yang jika dipasangkan akan mampu menaikkan suara, maka akan jadi prioritas. Tentu, tidak akan mengabaikan deal-deal pragmatis partai koalisi dan pertimbangan logistik.

Siapa pun tokoh yang paling potensial dan berpeluang mendampingi para capres, hampir pasti diputuskan injury time. Kenapa? Untuk memastikan tiket partai dan potensi kemenangan. Masih cukup waktu bagi para tokoh tersebut melayakkan elektabilitasnya, agar layak dipinang jadi cawapres.

 

*)Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa

OPINI

Gen Z, Stop Overthinking Soal Jurusan Kuliah

DETAIL.ID

Published

on

Tidak sedikit dari kita, para Gen Z, yang masih bingung soal masa depan. Mikirin jurusan kuliah, kerja nanti mau jadi apa, atau jalan hidup mana yang paling tepat. Aku pun pernah ada di posisi itu, dan jujur aja, penuh drama.

Dulu aku pengen banget jadi arsitek. Bayangin deh, bikin desain bangunan keren, terus bisa lihat hasil karyaku berdiri megah di tengah kota. Keren banget, kan?

Tapi ternyata hidup punya arah lain. Pas kuliah, aku malah masuk jurusan Mass Communication. Awalnya agak kecewa juga sih, tapi ternyata ini justru salah satu keputusan terbaik yang pernah aku ambil.

Kalau dipikir-pikir, mungkin aku bakal stres berat kalau beneran masuk arsitektur. Ngerjain struktur bangunan, mikirin faktor keamanan, dan tanggung jawab gede? Bisa-bisa tiap malam nggak bisa tidur. Ternyata Mass Comm jauh lebih cocok buat aku.

Dari Hobi Doang, Jadi Serius

Aku dari kecil udah suka banget sama yang namanya bikin konten. Dulu pernah iseng bikin konten gaming di YouTube, vlog santai dan edit video-video, waktu itu sih nggak kepikiran bisa jadi kerjaan beneran. Tapi sejak masuk kuliah, aku baru sadar dunia komunikasi itu luas banget. Ada broadcasting, PR, digital media, advertising, dan banyak lagi. Dan sekarang, bikin konten udah jadi profesi yang nyata banget.

Apalagi pas lihat temen-temen mulai bikin proyek sendiri, mulai dari short movie, vlog, sampai podcast mahasiswa. Itu bikin aku makin semangat. Aku mulai ikutan bikin juga, walaupun masih kecil-kecilan. Tapi rasanya seru, dan di situ aku mulai ngerasa, “Kayaknya ini deh passion ku.”

Saat Merasa Ketinggalan

Tapi namanya juga manusia, kadang overthinking itu datang lagi. Scroll TikTok, lihat temen-temen views-nya ratusan ribu. Buka YouTube, nemu kreator baru yang udah punya jutaan subscriber. IG story temen? Isinya endorse-an semua.

Terus aku mikir, “Kok aku masih gini-gini aja ya?” Padahal aku juga udah coba bikin konten, belajar editing, ngerjain proyek. Tapi tetap aja ngerasa belum cukup. Ditambah lagi kadang ada yang nanya, “Nanti lulus mau jadi wartawan ya?”

Seakan-akan lulusan Mass Comm cuma bisa kerja di media konvensional, padahal sekarang pilihan kariernya banyak banget.

Timeline Tiap Orang Beda-Beda

Sampai akhirnya aku sadar juga, kenapa sih harus selalu ngebandingin diriku sama orang lain? Ada yang sukses di umur 18, ada yang baru nemu jalannya di umur 25.

Yang penting itu bukan siapa yang paling cepat, tapi siapa yang konsisten terus belajar dan berkembang. Sejak itu, aku mulai fokus ke proses. Setiap tugas kampus, vlog, atau video promosi yang aku kerjain, aku anggap latihan. Aku belajar hal baru, coba gaya baru, dan ngembangin skill-ku pelan-pelan.

Dan yang paling penting: aku mulai menikmati prosesnya. Aku berhenti mikir kapan bakal sukses, dan lebih fokus nikmatin tiap langkahnya.

Passion vs Prospek? Kenapa Nggak Dua-Duanya

Dulu aku mikir harus pilih salah satu: passion atau prospek. Ternyata, nggak harus gitu. Kuliah di Mass Comm ngasih aku banyak bekal. Aku ngerti gimana komunikasi yang efektif, gimana cara bangun hubungan sama audiens, dan gimana strategi media itu jalan. Itu semua kepake banget buat dunia konten sekarang.

Aku bisa kerja di digital agency, sambil tetap bangun personal brand-ku sendiri atau jadi freelance videographer, sambil bikin konten yang aku suka. Bahkan bisa mulai dari content writer, sambil belajar podcast-an pas weekend. Intinya? Aku bisa punya “kerjaan aman” dan tetap ngejar mimpi.

Mulai dari Sekarang, Bukan Nanti

Buat kamu yang masih galau, jangan tunggu semuanya sempurna dulu. Mulai aja dari yang kamu punya. Punya HP? Bikin konten.Punya laptop? Belajar editing. Punya ide? Tulis, rekam, dan bagikan.

Yang penting itu konsisten, bukan sempurna. Dan terakhir, jangan bandingin hidupmu sama orang lain. Setiap orang punya timing masing-masing, dan kamu juga pasti bakal nemu jalurmu sendiri.

Aku nggak nyangka, dari yang awalnya pengin jadi arsitek, aku malah nemu passion sejati di dunia konten. Hidup emang penuh kejutan. Tapi selama kita siap, terbuka, dan mau jalanin prosesnya, semuanya bakal jadi cerita yang keren.

Karier itu bukan tentang siapa yang paling cepat sampai, tapi siapa yang paling tahan jalanin proses. Jadi daripada sibuk ngebandingin diri sama orang lain, mending fokus aja sama versi terbaik dari dirimu sendiri. Karena mungkin, jurusan yang awalnya kamu anggap “jalan kedua” justru jadi pintu utama menuju hidup yang kamu impikan.

Penulis: Puteri Nazwa Layla, Mass of Communication Student, BINUS UNIVERSITY

Continue Reading

OPINI

Pilihan Jalan atau Hanya Berpetualang

DETAIL.ID

Published

on

USAI sudah Pilgub Jambi 2024. Usai sudah penghitungan. Baik penghitungan lembaga survey, quick count maupun penetapan resmi dari KPU. Baik berjenjang dari KPU Kabupaten maupun penetapan akhir KPU Provinsi Jambi. Hasilnya tidak jauh berubah. Kemenangan telak diraih oleh Al Haris-Sani. Sang incumbent yang mantap dengan peraihan 60%. Jauh dari perkiraan para ahli yang banyak meramalkan hanya mampu meraih 52%-26%.

Namun apapun hasil kemenangan Pilgub, cerita dibalik pilkada yang berlangsung selama setahun terakhir banyak memberikan pelajaran. Sekaligus cerita yang bisa ditorehkan. Sekaligus diceritakan kepada generasi muda.

Pertama. Memilih Gubernur/Wakil Gubernur Jambi tentu saja tidak memilih yang terbaik. Tentu saja banyak putra-putra terbaik di Jambi.

Berbagai teori ilmu politik maupun sebagian aliran pemikiran, memilih pemimpin bak memilih seperti kaum Sofi. Kaum yang memang dilahirkan manusia suci dan mempunyai pemikiran yang sangat bijaksana.

Bahkan banyak sekali aliran agama yang menempatkan Pemimpin politik bak memilih seperti ulama. Lengkap pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan perilaku yang terpuji.

Maqom ini sering digunakan untuk menangkis terhadap calon-calon yang populer. Sekaligus membentengi diri dan melindungi kandidatnya.

Sebagai pemikiran, ajaran ataupun strategi, cara-cara ini sah saja digunakan.

Namun ditengah perkembangan zaman yang begitu pesat, strategi kampanye yang setiap Pilgub yang berbeda-beda, saya memilih dengan ukuran yang paling sederhana.

Memilih pemimpin ketika dia mau mendengarkan. Mau melaksanakan janji-janjinya yang sederhana. Sekaligus dia mau mendengarkan ketika saya mengumpat, memaki bahkan menghardik kinerja.

Dia lebih banyak mendengarkan. Dia sama sekali tidak memberikan klarifikasi ataupun bantahan terhadap apa yang saya sampaikan.

Apakah terlalu sederhana itu ? Ya. Cukup sederhana.

Di dalam berbagai kesempatan, ukuran realistis yang paling mudah dijangkau, apakah dia mau mengurusi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan.

Selama itu bisa dijangkau dengan ukuran obyektif selama itu saya tetap didalam barisan. Termasuk juga kalaupun banyak yang berlarian meninggalkannya, mungkin saya orang terakhir meninggalkannya.

Sebagai manusia, tentu saja kadangkala sering dongkol, kecewa bahkan kesal. Namun ketika seseorang mau mendengarkan gerutukkan saya, lebih banyak diam ketika saya umbarkan kemarahan, itulah kemewahan saya sebagai rakyat.

Dan ketika satu persatu pertimbangan, nasihat ataupun saran kemudian diikuti, bagiku itulah seseorang pemimpin. Menjawab dengan tindakan. Bukan sekadar janji.

Kedua. Di tengah Pilgub Jambi 2024, tentu saja ada sebagian kemudian memilih berbeda barisan. Memilih kemudian berbeda bagiku tidak terlalu mengganggu pemikiran.

Namun yang menarik pemikiran tentu saja alasan kemudian ketika pernah bersama-sama kemudian memilih berbeda barisan.

Selama memilih dengan alasan prinsip dan mendasar, tentu saja respek selalu kuhargai.

Namun ketika alasan memilih bukanlah prinsip dan mendasar dan lebih mengutamakan emosi, baper, tentu saja bagiku itu kekanak-kanakan.

Padahal kutahu sang pengabar mempunyai literatur bacaan yang kuat. Sikap dan prinsip yang selama ini sempat kukagumi. Bahkan cara penyampaian yang begitu tajam tidak salah kemudian kutempatkan sebagai tokoh panutan.

Namun ketika kutahu sang tokoh kemudian meninggalkan barisan dengan alasan (mungkin bagiku konyol) seketika respekku hilang. Berganti dengan nada sentimentil yang mendayu-dayu. Persis kayak anak ABG yang lagi galau. Ketika cuma SMS, telp ataupun WA sama sekali tidak dibalas.

Padahal di ujung telepon, sang pacar malah sibuk dengan pekerjaan rutinitas yang memang memaksa tidak memegang HP.

Yang kadangkala bikin geli, selevel tokoh (kata orang bijak sering “hatinya harus jember”), yang mewarisi sikap keteladanan bersikap kekanak-kanakan justru menjadi hiburan tersendiri. Kalaupun bukan pelajaran pahit yang menjadi perjalanan hidup.

Namun apapun yang terjadi dibalik Pilgub Jambi 2024, seleksi alam begitu kejam. Hanya orang mampu menghadapi perubahan zaman yang akan bertahan.

Selain itu mereka akan tergilas dengan kehadiran generasi milenial bahkan generasi Gen Z yang tidak kenal ampun. Melumat orang-orang cengeng di kancah politik.

Dan saya kemudian memilih. Bergabung dengan generasi milenial dan generasi Gen Z untuk menertawakan “kecengengan” kaum tua yang ketika berbicara selalu menepuk-nepuk dada.

Pilgub Jambi 2024 juga mengajarkan. Kemenangan Pilgub ketika menguasai generasi millenial dan Generasi Z.

Selamat datang, Era baru. Selamat datang generasi baru. (***)

*Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani

Continue Reading

OPINI

Kebijakan Pajak 12%: Selektivitas untuk Barang Mewah, Strategi atau Tantangan?

DETAIL.ID

Published

on

PEMERINTAH Indonesia telah mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menerapkan tarif PPN sebesar 12%. Rencana ini akan dimulai per 1 Januari 2025, sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, telah diputuskan bahwa kebijakan ini hanya akan berlaku untuk barang mewah. Banyak orang melihat kebijakan ini sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan negara dan menghalangi daya beli industri dan masyarakat tertentu.

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah mengatur mekanisme pemungutan pajak atas barang-barang yang dikategorikan sebagai barang mewah. Menurut pasal 1 ayat (1) UU tersebut, barang mewah adalah barang yang dalam penggunaannya tidak memberikan manfaat langsung terhadap kelangsungan hidup atau kehidupan manusia, yang menyebabkan pengenaan pajak untuk membatasi kontribusi kelangsungan hidup atau kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengenaan pajak 12% ini dimaksudkan untuk membatasi konsumsi barang tersebut.

Pandangan Pemangku Kebijakan

Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk meminimalisir konsumsi barang mewah yang tidak bersifat esensial bagi masyarakat umum. Ia menegaskan pentingnya melindungi rakyat kecil melalui pengecualian PPN untuk barang kebutuhan pokok.

Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kebijakan ini sebagai langkah yang menyesuaikan tren global dalam perpajakan dengan pelaksanaan cukup diatur melalui PMK. Ia memastikan bahwa pelaksanaannya dirancang agar tidak merugikan ekonomi rakyat.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mencerminkan asas keadilan. “Kami ingin memastikan barang-barang yang memiliki kontribusi lebih besar terhadap pendapatan pajak adalah barang-barang yang memang hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki daya beli tinggi,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada awal November 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)

Namun, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Mukhamad Misbakhun, mengatakan kelompok barang yang akan dikenai PPN 12 persen tersebut masih akan diseleksi. Khususnya untuk objek barang yang selama ini tergolong dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).

Perspektif Pemerintah: Ini adalah Pendekatan yang Mempertimbangkan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara

Kebijakan ini tentu tidak mengabaikan pandangan beberapa menteri yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan, kebijakan ini merupakan tindakan yang lebih strategis yang bertujuan untuk memastikan keseimbangan dalam pendapatan negara dan pada saat yang sama mengatur konsumsi barang-barang mewah.

Ada kalanya Sri Mulyani menguraikan masalah ini: “Pengenaan cukai dengan tarif 12 persen pada barang-barang mewah bertujuan untuk mencegah konsumsi berlebihan barang-barang mewah dan mengarahkan konsumsi pada barang-barang yang akan produktif bagi ekonomi, selain tentu saja untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk pembangunan.”

Pendapatan yang diperoleh dari pajak barang-barang mewah dimaksudkan untuk digunakan dalam meningkatkan fasilitas publik, kesehatan, dan pendidikan, serta untuk meningkatkan kebijakan fiskal yang lebih luas yang melindungi proses pemulihan pasca-covid.

Tantangan yang Dihadapi

Tetapi kebijakan ini menghadapi beberapa masalah seperti berdampak pada daya beli konsumen. Ekonom bernama Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pengenaan pajak lebih tinggi pada barang tertentu dapat berdampak pada penurunan konsumsi, terutama untuk industri yang bergantung pada penjualan barang premium.

Potensi Kebijakan Tidak Efektif: Beberapa pengamat mengkhawatirkan pengalihan konsumsi masyarakat ke pasar gelap atau pembelian langsung di luar negeri untuk menghindari pajak tinggi.

Kompleksitas Administrasi: Penetapan barang mewah dalam kategori dapat menjadi kontroversial, terutama bagi bisnis yang menganggap kebijakan ini terlalu luas.

Pengaruh terhadap Sektor dan Lingkungan Sosial

Akan tetapi, ada juga dampak negatif dari kebijakan ini, terutama untuk industri yang langsung berhubungan dengan barang-barang mewah. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kebijakan tersebut perlu diikuti oleh kebijakan lain yang lebih memperhatikan industri dalam negeri. Dalam pernyataan tersebut, beliau menekankan: “Kita harus memastikan bahwa dampak dari kebijakan berbasis pajak tidak merugikan industri lokal.” Ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran besar terkait apa yang terjadi pada berbagai sektor, terutama yang paling berisiko tidak bisa bersaing di level global.

Secara khusus pada barang mewah yang dihasilkan di Negara kita Indonesia seperti otomotif, elektronik, atau barang fashion, maka kebijakan pajak akan mengurangi daya beli masyarakat dan juga akan memperlambat laju pertumbuhan industri yang bersangkutan.

Secara keseluruhan, pemerintah menggunakan kebijakan pajak 12% pada barang mewah untuk mengontrol konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara.

Namun, kebijakan ini menghadirkan beberapa kesulitan, baik dari segi bagaimana ia diterapkan di lapangan maupun bagaimana hal itu berdampak pada sektor industri tertentu. Kebijakan ini mungkin memiliki dampak negatif yang lebih besar, terutama dalam jangka panjang, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dan melindungi daya beli masyarakat.

*Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI)

Continue Reading
Advertisement ads ads
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs