ERA DEMOKRASI di tengah hiruk-piruk keadaan politik yang tidak etis mulai tampak di permukaan dan menghegemoni cara berpikir masyarakat terhadap demokrasi yang sehat. Konstelasi ini menandakan bahwa muka demokrasi kita hadir secara elegan dan penuh dengan misteri, sulit membedakan mana demokrasi liberal dan demokrasi yang beradab bercita-cita menyejahterakan masyarakat.
Konstelasi sejarah tidak bisa dimunafikan bahwa demokrasi yang diterapkan di Indonesia saat ini, bukan demokrasi hasil dari pada konsensus antara kondisi dan karakter bangsa. Akan tetapi lahir dari peradaban Eropa (liberal) Yudi Latif.
Tidak heran kemudian setiap kebijakan yang diterapkan di negara ini selalu ada responsif publik. Entahlah, tergantung cara pandang masing-masing.
Hemat saya dalam konstelasi pilgub ini kemungkinan besar akan menimbulkan stigma yang beragam dari masyarakat. Stigma itu pun sebagai pertimbangan dalam memilih para calon.
Akhir-akhir ini semenjak tahun 2014-2018 demokrasi mulai tidak sehat untuk dikonsumsi publik bahkan cara menentukan pilihan juga beragam. Ada beberapa variabel yang menjadi bahan pertimbangan masyarakat awam dan kaum intelektual dalam memilih.
Cara pemilih yang berada di lingkungan masyarakat awam ada beberapa pertimbangan dan faktor dalam menentukan pilihan dengan menggunakan cara yang beragam. Misalnya siapa yang banyak memberikan logistik dan nominal yang tinggi dan masyarakat tidak takut lagi tanda tangan di atas nota-kesepakatan (MOU).
Dalam lingkungan masyarakat intelektual juga tidak mau kalah dalam memilih pemimpin. Di lingkaran ini kaum intel mendeklarasikan kredibilitas figur yang ia yakini memberikan ruang ketika ia menang dalam pertarungan politik (konspirasi).
Seorang aktor di balik figur tidak takut dan malu mempublikasikan di media sosial berkaitan dengan latar belakang dan kontribusi yang pernah dibangun di tengah masyarakat untuk menghegemoni cara pandang masyarakat secara luas untuk tertarik pada figur.
Cara yang tidak etis sebenarnya tidak boleh dipertontonkan di publik. Okelah, masyarakat awam bisa saja tertipu dengan hal itu tapi masyarakat cerdas dan analisisnya kuat terkait potensi sekaligus kredibel figur tidak dengan mudah menentukan pilihan.
Kebanyakan kaum intelektual dalam menentukan dukungan politik harus memiliki landasan atau variabel tertentu. Politik bukan hanya bicara kualitas keilmuan figur tapi berbicara juga pengabdian figur sehingga seorang figur besar karna pengabdiannya bukan karna keilmuan atau apa yang Anda jual di media sosial.
Menurut hemat saya, akan ada semacam penambahan saldo setelah sekian lama ketika massa kampanye politik banyak figur yang menggunakan hak kekayaannya untuk mempublikasikan kredibel figur tidak heran kemudian ketikan di amanahkan untuk memimpin akhirnya menyalahgunakan jabatan untuk mengumpulkan kembali kekayaan yang sudah dihabiskan.
Pemilih di NTB sudah masuk zona merah, karna ada beberapa pertimbangan dalam memilih figur dengan menggunakan logika materiil dalam meletakkan hak suasananya.
*)Ketua Komisariat IMM FKIP Universitas Muhammadiyah Mataram