Pengalaman seorang mantan jurnalis ketika menemani seorang anggota dewan saat mengunjungi daerah pemilihannya
PADA 1925, Namblodse Venotschaaf Handle Verniging Amsterdam membuka perkebunan teh di kawasan Kayu Aro. Di atas tanah andosol gembur, dilimpahi curah hujan 200 hari dalam setahun, serta varietas spesifik daratan tinggi membuat teh Kayu Aro dinilai International Tea Committee sebagai teh hitam terbaik di dunia.
Hamparan kebun teh di kaki Kerinci, Jambi hanya memberi ruang lebar dua meter untuk jalan raya Padang-Sungai Penuh. Meski dua Antimo telah saya telan, tanjakan, turunan, belasan tikungan sepanjang 277 kilometer membuat mual. Apalagi sopir berulang kali menginjak rem karena Kijang hampir menubruk mobil di depannya. Kabut pekat dini hari mungkin menghalangi mata sopir yang ngantuk.
Kami tiba dengan pesawat terakhir yang menuju Padang, Sumatra Barat. Perjalanan menuju Kerinci langsung diteruskan dengan mobil. Saya diajak seorang anggota DPR untuk melihat dinamika politik lokal di daerah pemilihannya. Sekalian dengan syukuran bupati yang terpilih kedua kalinya.
Sang anggota DPR juga mengundang seorang penyanyi dangdut yang sudah biasa tampil di acara-acara partai atau kampanye. Saya dan si mbak-mbak bintang tamu bermalam di rumah anggota DPR, di sebuah rumah paling bagus di antara rumah penduduk yang sederhana.
Kegaduhan suara Pak Guru mengajar, membangunkan pagi pertama saya di Kerinci. Murid-murid berceloteh. Rupanya Pak Guru gagal meraih atensi murid-murid. Bocah-bocah itu terus berisik, bukan belajar. Ternyata rumah yang saya inapi berada di halaman SD. Ups, sekolah yang tadinya berhalaman luas, kini terpotong untuk rumah baru si anggota DPR.
Bahkan hari itu, beberapa ruang kelas penuh dengan perlengkapan memasak. Bau kerbau yang baru disembelih menerobos bulu hidung. Masakan buat syukuran bupati yang digelar di rumah anggota DPR. Anggota DPR dan bupati saling sokong. Mungkin untuk pemilu nanti.
Anggota DPR merogoh Rp25 juta untuk koperasi tukang ojek yang beranggota 3.000 orang. Untuk koperasi perempuan, diberi 25 mesin jahit. Kemudian Rp40 juta tersedia untuk pembangunan Balai Desa. Bagi-bagi uang disaksikan Depati (para tokoh adat Kerinci). Saban pulang ke daerah pemilihan, ada saja bantuan yang diberikan sang anggota DPR.
Sewaktu banjir menenggelamkan Kerinci pada 2002, sang anggota DPR mengajukan dana ke Departemen untuk normalisasi Sungai Batang Merao. Dapat Rp11 miliar akunya. Dana bencana juga dipakai untuk membangun lapangan terbang agar CN 235 bisa mendarat. Perjalanan semalaman menuju Padang bisa ditempuh sejam dengan pesawat.
Kali ini, nelayan di Danau Kerinci menjadi sasaran proyek. Puluhan nelayan telah menanti saat kami tiba, siang itu. Hingga 2003, Festival Danau Kerinci masih berlangsung. Lomba Pacu anjing mengawali acara. Ratusan anjing beradu cepat mengejar anak babi yang berlari berputar putar. Tapi seiring pudarnya keindahan danau, Festival pun tak lagi ada. Pemandangan sekitar danau gundul, tanpa pohon.
Perahu nelayan tersandar, meski hari masih siang. Ikan sakit, lalu mati menghilangkan pemasukan. Kehidupan pun perlahan menyingkir dari danau setelah sumber penghidupan mati. Untuk itulah sang anggota DPR datang. Mengantar seorang tamu dari Medan, bos dari Permodalan Nasional Madani yang bakal menyalurkan pinjaman. Kredit dengan bunga sangat ringan.
Bantuan lunak begitu sang anggota DPR menyebutnya dalam perkenalan dengan nelayan. Sorot mata para nelayan tak antusias. Justru terlihat semakin galau. Guratan-guratan di wajah legam semakin dalam. Tampak nyata dari tempat saya bersila.
Masalah utama sekarang, menurut seorang nelayan yang segera angkat bicara begitu dikasih kesempatan, adalah virus yang mematikan ikan. Tanpa ikan, modal pembeli jaring, kapal dan benih menjadi percuma.
Jika modal dipakai membasmi virus, nelayan akan kembali membutuhkan modal baru untuk memulai kembali usahanya. Bantuan modal tak membantu nelayan. Bos PNM hanya bisa memberi uang bukan cara atau obat pembasmi virus. Nelayan meminta Pemda membasmi virus.
Memang tugas Pemda pikir saya. Malah Pemda pun harusnya menyediakan juga jaring, kapal dan benih. Pertemuan setengah jam di tepi danau berakhir tanpa tepuk tangan. Tarikan napas puluhan nelayan masih berat seiring langkah kaki kami menjauh dari lokasi pertemuan.
Dari tepi danau, saya diajak melintas perkebunan teh. Beberapa petak menjadi kebun bunga yang semarak. Sang anggota DPR menyebutnya sepotong tanah surga. Si istri mengangguk-angguk. Dengan ketinggian 1.600 meter di atas permukaan laut, kawasan ini menjadi kawasan tertinggi kedua di dunia setelah Darjeling di Himalaya.
Pabrik teh yang sekarang dikelola PTPN VI tiap tahun menghasilkan 6 juta kilogram teh hitam terbaik. “Teh Celup Highland Tea Kajoe Aroe” menjadi merek dagang untuk pembeli Eropa dan Timur Tengah. Jika kadar air teh yang dikemas bisa ditekan sekitar 5%, maka teh ini akan awet selama dua tahun meski tanpa pengawet. Selain teh, Kerinci punya cassiavera.
Pohon kayu manis di sini menghasilkan ratusan ribu ton saban tahun. Nilai uang setahun sama komoditas ini mencapai Rp53 miliar. Sebagai bumbu masak, kayu manis jarang digunakan. Mungkin sekarang akan kembali laris di kala kopi ala Italia semakin sering diseruput. Biskuit spekuk atau spekulaas langka ditemui di rak hypermarket, membuat kayu manis tak lagi menjadi primadona. Biskuit dengan pilihan rasa coklat, keju atau strawberry lebih banyak dijual.
Usai dari kebun teh kami makan dendeng batokok. Santapan malam itu sulit ditelan. Saya kehilangan selera setelah menyadari sesungguhnya tak ada yang dilakukan sang anggota DPR saat pulang kampung.
Hanya menebar duit buat tukang ojek, bukan memperbaiki jalan yang rusak. Hanya memberi mesin jahit, tanpa arahan untuk memasarkan hasil jahitan. Malah, para nelayan di Sanggaran Agung tak mendapat apa pun selain sepotong perkenalan dengan bos permodalan. Bos pun tak memberi solusi.
Lebih sial lagi, saya berada di Kerinci atas biaya perjalanan sang anggota DPR. Meski saya datang tidak sebagai wartawan, jengah juga ketika saya tulis soal ini. Saat saya memutuskan untuk ikut, lebih pada keingintahuan apa saja yang dibikin seorang anggota parlemen saat ke dapil.
Meski sang anggota DPR mengaku menggunakan uang pribadinya untuk membayar tiket pesawat, saya masih menyimpan curiga. Semoga saja, bukan jatah uang bangun sekolah yang saya habiskan untuk perjalanan dua hari satu malam di Kerinci.
*)Penulis lepas, tinggal di Jakarta
Discussion about this post