OPINI  

Kuasa Legislatif di Kampus

Ara Permana Putra

TIGA MACAM kekuasaan di dalam Negara yang harus diserahkan kepada badan yang masing-masing dan berdiri sendiri: yaitu kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan federative.

Sedangkan, Indonesia menggunakan Trias Politica yang kedudukannya sejajar dan terdiri dari Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Lalu apa hubungannya dengan kehidupan kampus?

Lembaga legislatif di Indonesia lebih dikenal dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Anggota DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. DPR berkedudukan di tingkat pusat, sedangkan yang berada di tingkat provinsi disebut DPRD Provinsi dan yang berada di kabupaten/kota disebut DPRD Kabupaten/Kota.

Memiliki fungsi:

  1. Fungsi legislasi, sebagai lembaga pembuat undang-undang.
  2. Fungsi anggaran, sebagai lembaga yang berhak untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
  3. Fungsi pengawasan, sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang menjalankan undang-undang.

Memiliki hak-hak, antara lain:

  1. Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
  2. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
  3. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam negeri disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Untuk memudahkan tugas anggota DPR maka dibentuk komisi-komisi yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai mitra kerja.

Nyatanya, di kampus yang bisa dibilang adalah miniatur negara, oleh mahasiswa/mahasiswi tiga kekuasaan; legislatif, eksekutif dan yudikatif sudah diterapkan secara langsung di kehidupan kampus.

Saat ini, di kehidupan legislatif kampus, tentu kalah pamornya, kalah bergengsi, walau secara hierarki lembaga ini diposisikan berada ditingkat lebih tinggi daripada lembaga eksekutif oleh banyak universitas ternama.

Awalnya seorang Mahasiswa Baru (Maba) pastinya tertarik dengan yang namanya Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), termasuk kepada saya, anak BEM itu terlihat sangat famous. Saat Ospek di pengenalan kehidupan kampus serta pengenalan organisasi, anggota BEM terlihat sangat dominan, mempunyai kuasa untuk mengatur acara secara seluruh. Peran lembaga legislatif hampir tidak terlihat dalam setiap ajang kemahasiswaan. Namun, setelah saya ulik-ulik, memberanikan diri bertanya kepada senior (kakak tingkat), saya mendapati bahwa kuasanya seorang legislator itu lebih mutlak, bukan soal gegayaan ingin dilihat keren atau dipandang istimewa oleh banyak mahasiswa.

Kuasa (privilege) seorang legislator itu lebih ke membuat dan mengatur semua tatanan keorganisasian. Berarti kuasa ini lebih keren ketimbang aksi sok gegayaan ala anak eksekutif. Saya yang pada saat itu sudah kepalang terjun ke dunia organisasi sebagai anggota himpunan mulai serius ingin menjadi seorang legislator.

Lembaga mahasiswa berlabel legislatif mahasiswa di kampus mana pun, diakui atau tidak mempunyai kesan minim fungsi. Bahkan cenderung hanya dijadikan formalitas pelengkap keberadaan lembaga kemahasiswaan.

Nama lembaga legislatif mahasiswa memang cenderung tenggelam oleh glamour lembaga eksekutif mahasiswa. Sangat dimaklumi mengingat peran-peran eksekutif mahasiswa terkesan lebih menyentuh langsung kepada mahasiswa, sedangkan peran legislatif mahasiswa terkesan menjalankan peran legislasif yang berkutat hanya pada pembuatan regulasi.

Lebih memprihatinkan lagi, ada kesan bahwa fungsi lembaga legislatif mahasiswa hanya berperan temporal ketika membuat regulasi ketika Ospek, Pemilu Mahasiswa, dan kongres mahasiswa di akhir kepengurusan eksekutif mahasiswa.

Hal tersebut ternyata tidak hanya menjangkit di tataran kampus, namun juga terakumulasi secara nasional bahwa lembaga legislatif mahasiswa miskin fungsi, dan tak terdengar kiprah dan gaungnya dibandingkan dengan lembaga eksekutif mahasiswa di tataran nasional seperti BEM se-Indonesia, maupun BEM nusantara sebagai forum perkumpulan lembaga-lembaga eksekutif nasional baik dari perguruan tinggi negeri maupun swasta. Walau kita pun sebenarnya memiliki Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia (FL2MI).

Menilik sejarahnya, gerakan mahasiswa intra kampus memang mengalami pasang surut. Dari mulai adanya Senat Mahasiswa di era Orde Lama, Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK) di era Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Dewan Mahasiswa masa Orde Baru, hingga era reformasi dengan keberadaan lembaga kemahasiswaan yang lebih fleksibel dan representatif dan demokratis. Dalam era-era tersebut pun, semuanya memiliki tipe maupun fluktuasi gerakan masing-masing, sebagaimana hukum sejarah bahwa tiap masa membawa kisahnya masing-masing.

Arif Rahman Hakim, maupun Soe Hok Gie pada zamannya telah menorehkan tinta emas sebagai penumbang rezim Orde Lama dengan Senat Mahasiswanya pada tahun 1965. Dewan Mahasiswa mencuat ketika Hariman Siregar dan Kawan-kawan memimpin gerakan radikal yang berujung pada peristiwa Malari pada tahun 1974.

Sehingga, selanjutnya pemerintahan Orde Baru menerapkan Normalisasi Kehidupan Kampus dengan membentuk Badan Koordinasi Kemahasiswaan untuk mewadahi aktivitas kemahasiswaan yang cenderung diperlakukan secara represif. Tak aneh jika pada masa sesudah Malari, gerakan mahasiswa intra kampus terkesan tiarap bahkan mati suri. Pada masa-masa akhir rezim orde baru, Senat Mahasiswa dari berbagai kampus kembali menggeliat seiring kondisi bangsa yang telah akut, dan pada akhirnya memuncak titik ekskalasinya pada tahun 1998 dengan menumbangkan rezim Orde Baru.

Sesudahnya, reformasi nasional berimbas pula pada reformasi kelembagaan kemahasiswaan, dengan konsep student government yang cenderung bebas dari cengkeraman kekuasaan pemerintah seiring era demokratisasi, dan sepertinya representatif sekali bagi pembelajaran politik bagi mahasiswa. Namun hal tersebut ironisnya justru cenderung menjadikan keberadaan lembaga-lembaga kemahasiswaan mengalami kontra produksi dan menjadi semacam pelengkap saja keberadaannya di sebuah kampus.

Lembaga legislatif yang seharusnya menjalankan fungsi check and balance terhadap lembaga eksekutif mahasiswa, terkesan miskin fungsi. Hal ini semakin terpuruk dengan minimnya minat mahasiswa untuk berkiprah di lembaga legislatif mahasiswa.

Padahal, jika merunut pada fungsinya, signifikansi lembaga legislatif mahasiswa sebenarnya sangat tinggi, terutama dalam menjaga ritme pergerakan mahasiswa, terlebih di saat seperti sekarang yang tengah menggejala kelesuan gerakan mahasiswa intra kampus.

Lembaga legislatif mahasiswa memegang kunci regulasi tatanan kemahasiswaan, sehingga seharusnya dinamisasi mahasiswa yang nantinya direpresentasikan dalam gerakan eksekutif mahasiswa tetap terjaga. Tidak seharusnya kelesuan dan kemandulan eksekutif mahasiswa dalam memperlihatkan taringnya entah di hadapan birokrat kampus maupun pemerintahan negara terjadi. Lembaga legislatif seharusnya bisa mencarikan treatment-nya, yaitu dengan melakukan pressure (tekanan) sebagai representasi aspirasi suara mahasiswa akar rumput, dan merekomendasikannya kepada eksekutif mahasiswa sebagai eksekutornya.

Peran sebagai watch dog dan sparing partner bagi eksekutif mahasiswa inilah yang sepertinya jarang dilakukan oleh lembaga legislatif mahasiswa. Hal ini semakin diperparah dengan minimnya mereka menyerap aspirasi dari konstituen mahasiswa yang diwakilinya di tataran bawah.

Saat ini yang terjadi kebanyakan dari kedua lembaga itu terkesan sama saja, miskin fungsi. Terlebih ketika dihadapkan pada realitas bahwa kedua lembaga tersebut tak jarang dikuasai oleh elemen pergerakan mahasiswa yang sama ideologi dan garis politiknya, maka makin matilah dinamisasi kelembagaan mahasiswa utamanya lembaga legislatifnya. Karena, ada kecenderungan ewuh pakewuh dalam melakukan fungsi check and balance.

Pada akhirnya memang sangat perlu penjagaan ritme dan dinamisasi pergerakan mahasiswa, mengingat ruh dan kekuatan mahasiswa yang begitu dinantikan bangsa hanya akan terlihat ketika ada dinamisasi dan pergerakan. Tanpa itu semua, tentunya mahasiswa hanya akan berkutat pada wacana tanpa aksi nyata. Dan peran strategis tersebut harus segera dimainkan oleh setiap lembaga legislatif mahasiswa yang ada.

Awal mula saya memasuki lembaga legislatif, ketika dipilih menjadi Ketua Umum Badan Legislatif Mahasiswa (BLM) Keluarga Besar Mahasiswa (KBM) di Universitas Pakuan. Saya dipilih oleh mayoritas delegasi perwakilan fakultas yang diselenggarakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Universitas yang saat itu tengah menyelenggarakan Pemilihan Raya (Pemira). Berbekal pengalaman berorganisasi sebagai Deputi Kemendakam Bidang Advokasi yang kemudian menjadi salah satu fungsi di lembaga legislatif kampus saat itu. Saya sangat diuntungkan, karena menjadi yang paling berpengalaman di antara banyak delegasi fakultas lainnya.

Momentum keterpilihannya saya, menjadi titik balik awal semangat baru menjadi seorang legislator. Saya mulai tekun memburu ilmu kelegislatifan kepada para pengurus sebelumnya. Bermodal kertas selembar dan pulpen pinjaman, diawal-awal kepemimpinan saya disibukkan oleh kegiatan safari ria.

Barulah di tengah waktu kepengurusan saya, setelah menjalankan Rapat Kerja Gabungan (Rakergab) bersama BEM. Saya mulai menerapkan konsep yang telah saya pelajari.

BLM KBM Unpak memiliki lima fungsi pokok, tiga dicontoh dari fungsi DPR; budgeting, controlling, legislation, dan dua, merupakan fungsi tambahan; aspirasi dan advokasi, mengingat terdesaknya fungsi tersebut yang sebelumnya tidak becus dijalankan oleh BEM.

Dalam perjalanan kepengurusan saya dengan lima fungsi tadi, dengan berbagai penyesuaian dengan BEM serta lembaga di fakultas, sangat sulit menjalankan kelima fungsi sekaligus di tengah kalah pamornya legislator ketimbang seorang Presiden Mahasiswa (Presma).

Jargon “Viva Legislativa” yang sering kali dipekikkan ternyata saya baru mengetahui artinya setelah saya memasuki legislatif berarti, “Hidup Legislatif”. Dua kata tersebut selalu menyejukkan karena ada huruf “V” di sana, entahlah mungkin itu terdengar konyol, tapi huruf “V” menggambarkan kehebatan, kenapa tidak? Jarang sekali huruf tersebut digunakan, sehingga membuatnya istimewa dimata saya. Alasan yang konyol memang, namun entah apa yang menggerakkan hati saya untuk ikut turut aktif dalam ranah legislatif.

Jika dilihat dari ketidakeksisannya memang kurang menarik, apa fungsinya saja seorang mahasiswa tidak tahu, bahkan keberadaannya dianggap gaib. Itu pun saya tahu legislatif dari kakak-kakak universitas lain yang secara tidak langsung mengenalkan setiap organisasi didunia kampus mereka masing-masing.

Kembali ke paragraf atas tentang Legislatif yang dikenal dengan DPR, kami pun demikian bekerja layaknya seorang DPR, karena semua peraturan yang dibuat di kampus pun berlandaskan DPR, mulai dari fungsi, peraturan, alat kelengkapan, hak dan kewajiban dll.

Berbincang tentang legislatif, tidak hanya di kampus yang tidak terkenal dimata mahasiswa, begitu pun dengan DPR yang tidak semua masyarakat tahu ketua DPR sekarang. DPR yang berkedudukan ditingkat pusat sedangkan yang ditingkat daerah adalah DPRD, begitu pun dengan dunia kampus. DPR bisa dimisalkan dengan MTM (Majelis Tinggi Mahasiswa) tingkat Universitas, sedangkan DPRD tingkat provinsi dimisalkan dengan BPM (Badan Perwakilan Mahasiswa) tingkat fakultas, dan sedangkan DPRD tingkat kota/kabupaten dimisalkan dengan LLMJ/BLMJ (Lembaga Legislatif Mahasiswa Jurusan/Badan Legislatif Mahasiswa Jurusan) tingkat jurusan. Tidak jauh beda dengan kehidupan di negara demokrasi ini?

Yang saya tahu sampai saat ini tetap eksekutif lebih eksis di mata teman mahasiswa dan masyarakat, apalagi adanya BEM-SI, bayangkan saja ada Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia, luar biasa hebatnya mereka terdiri atas para aktivis hebat yang siap mengguncang dunia. Namun legislatif, tidak ada Seluruh Indonesia, di kampus saja masih terpisah belum menyatu seutuhnya.

Saya mulai mencari tahu tentang Legislatif seluruh Indonesia, dan ternyata ada FL2MI (Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa). Luar biasa sekali saya terkagum dengan kemunculan legislatif ke atas permukaan yang siap menghantam ketidakpatuhan. Dan saya semakin tidak meragukan bahwa pilihan saya untuk bergabung di legislatif atas ketentuan Tuhan dengan menggerakkan hati saya tidaklah salah.

 

*Kabid PPSDM PP FL2MI 2016/2017. Ditulis dari pengalaman pribadi serta beberapa sumber lain.

Exit mobile version