TEMPIAS
Kebangkitan Gerakan Anarkis?

KEBANGKITAN Gerakan Anarkis? Sebuah esai dari pengarang India, Pankaj Mishra, berseliweran di laman Facebook saya. Esai ini bicara tentang kebangkitan gerakan anarkis di berbagai belahan dunia saat ini. Dalam sekali entakkan pemikiran, Mishra mengatakan bahwa gerakan-gerakan anarkis ini bangkit dan akan membawa konsekuensi yang jauh lebih dalam daripada gerakan pada akhir 1960-an dan berlanjut pada awal tahun 1970-an.
Untuk mereka yang belajar gerakan sosial, gerakan pada periode ini tidak saja merupakan gerakan politik. Dia adalah sebuah gerakan kultural sekaligus. Mereka yang besar pada jaman ini menyaksikan bagaimana tatanan yang mapan dijungkirbalikkan.
Norma-norma lama dalam hal seksualitas, institusi perkawinan, hingga soal kenikmatan, berusaha ditanggalkan. Institusi perkawinan tidak lagi sakral. Secara khusus orang-orang muda pada zaman itu menolak mengaitkan institusi perkawinan dengan kehendak melakukan hubungan seksual. Konsumsi ganja atau obat-obat penenang lainnya tidak seharusnya dilarang. Mengonsumsinya adalah tanggung jawab pribadi. Bukan urusan negara atau pemerintah.
Di negara-negara industri, institusi-institusi mapan mengalami kelemahan luar biasa. Salah satu korbannya adalah institusi keagamaan. Salah satu hasil gerakan yang dikenal dengan ‘generasi bunga’ tersebut adalah emansipasi. Satu dekade sebelumnya di Amerika, gerakan persamaan hak-hak sipil diakui. Warga kulit hitam tidak lagi dipisahkan dan didiskriminasi. Kekalahan Amerika dalam Perang Vietnam tidak bisa dilepaskan dari generasi ini. Protes dan demonstrasi ada dimana-mana. Sebagian menjadi sangat radikal (Baader Meinhof di Jerman; Red Brigade di Italia; Red Army di Jepang).
Baik gerakan generasi bunga dan gerakan generasi milenial sekarang memiliki persamaan: mereka tidak percaya pada institusi-institusi yang mapan. Yang membedakan adalah bahwa gerakan generasi milenial ini lebih menusuk kepada negara dan segala infrastruktur penindasannya — birokrasi, polisi, militer, para oligarki, kaum elite dengan segala hak-hak istimewanya; dan sebagian juga kaum agamawan yang berkolusi dengan penguasa negara.
Dalam esai super pendeknya itu, Pankaj Mishra meramalkan bahwa gerakan kaum milenial ini adalah gerakan anarkis. Dia mengatakan bahwa ide-ide anarkis menjadi matang di saat sekarang ini. Gerakan-gerakan sengaja meniadakan pimpinan dan struktur organisasi yang ketat. Ini terlihat dimana-mana. Mulai dari Hongkong ke Nairobi hingga ke Santiago.
Kaum anarkis ingin memangkas kekuasaan negara yang sangat mencengkeram. Mereka mempersona-non-grata partai-partai politik. Mereka bahkan tidak percaya pada gerakan-gerakan model lama seperti gerakan buruh. Partai adalah bagian dari panitia pengisapan negara. Gerakan-gerakan sudah dikooptasi oleh negara dan berselingkuh dengan para oligarki. Agama dan agamawan sami mawon. Mereka menjadi pemberi stempel penindasan dan ketidakadilan.
Namun, seperti yang disebutkan Mishra, kaum anarkis tidak menafikan demokrasi. Hanya saja mereka miliki interpretasi lain tentang demokrasi terutama dalam versi yang lebih lokal. Mereka mengidealkan solidaritas di antara sesama yang saling kenal. Lingkaran yang akrab, yang bisa dipercaya, dan maju bersama.
Anarkis bukan komunis. Mereka juga bukan sosialis. Sekalipun ide dasar mereka sama namun anarkis mengutuk kekuatan partai dalam komunisme, yang dianggap tidak lebih sebagai struktur totalitarian. Mereka memandang rendah sosialisme yang bersimbiosis dengan negara. Negara-negara dengan sosialisme, seperti negara kesejahteraan, sama saja dengan negara-negara lain karena menganggap diri superior dan paling tahu apa yang dibutuhkan rakyatnya.
Jika tidak percaya pada apa pun yang mapan, lalu apa yang mereka percayai? Mereka percaya pada kekuatan kerja sama antara warga masyarakat yang berasaskan kesukarelaan dan tanpa paksaan. Mereka percaya pada manusia yang mampu memutuskan apa yang terbaik bagi dirinya sendiri.
Lalu bagaimana mereka mencapai tujuan itu? Di sini kaum anarkis mirip dengan kaum komunis. Mereka mau melakukan revolusi. Tidak ada jalan lain untuk merebut kembali kebebasan kecuali dengan menghancurkan tatanan yang ada. Menghancurkan kemapanan. Menjungkirbalikkan cara berpikir.
Banyak orang mengira bahwa anarkisme dan kaum anarki akan hilang begitu saja karena gerakan mereka yang tidak terorganisasi. Mereka barangkali lupa bagaimana gerakan di Hongkong sangat bandel. Dia mulai tahun 2014. Muncul lagi tahun lalu dan bergerak selama berbulan-bulan. Bahkan hingga sekarang tidak padam-padam.
Dalam hal-hal tertentu kita juga mengalami. Demo-demo di hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia pada September kemarin harus menjadi dering peringatan kritis. Kaum milenial ini tidak akan diam. Dari banyak percakapan saya dengan anak-anak muda, mereka kelihatan apatis. Namun mereka tahu persis apa yang terjadi.
Mereka tidak seperti generasi saya yang harus menghadapi kekuasaan rezim Soeharto – dengan mata yang terfokus pada bagaimana mengganti rezim ini dengan kita sendiri. Kita melihat bahwa mantan-mantan aktivis tahun 1990-an ini sangat nyaman dalam kekuasaan. Lebih buruk lagi, mereka memerintah dengan pola pemikiran seperti Soeharto. Karena itulah satu-satunya cara berkuasa yang mereka tahu.
Penguasa sekarang membuat hype apa yang namanya generasi milenial. Mereka mencoba mengooptasi apa yang mereka imajinasikan sebagai ‘milenial.’ Padahal yang mereka rangkul adalah anak-anak elite yang tumbuh dengan segala macam privilese.
Milenial yang biasa-biasa saja tidak muncul. Mereka hilang di balik kampanye dan propaganda kaum elite dan penguasa negeri ini.
Namun, saya melihat dengan jelas bahwa mereka ada. Mereka gelisah. Mereka sama sekali tidak punya kepercayaan pada penguasa dan negara ini. Seperti pada bulan September yang lalu, hanya sedikit riak di mana mereka merasa mendapatkan kesempatan, mereka akan muncul lagi. Tanpa pemimpin. Tanpa organisasi.
Sekolah dan universitas bisa mengekang mereka. Penguasa boleh mengawasi mereka dengan mengaktifkan struktur RT/RW yang diciptakan penguasa pendudukan Jepang untuk mengontrol dan memobilisasi masyarakat. Namun penguasa dan negara tidak bisa menguasa kepala anak-anak kecil ini.
Jika Anda hanya membaca koran nasional dan mainstream, Anda tidak akan melihat perlawanan-perlawanan lokal yang sudah sangat marak dimana-mana. Sebagian besar penggeraknya adalah anak-muda, ya kaum milenial ini.
Akankah anarkisme menjadi ide yang menyebar ke mana-mana, seperti pada abad 19 seperti yang ditulis oleh Ben Anderson dalam ‘Di Bawah Tiga Bendera” itu? Apakah ramalan Pangkaj Mishra itu benar bahwa ide-ide anarkisme sedang menuju kematangannya pada zaman ini? Kita tunggu saja. Termasuk di Indonesia.
*Seorang jurnalis sekaligus peneliti sosial, politik dan militer
TEMPIAS
Keretaku

SUARA sirine kereta api mengagetkanku. Tiba-tiba kereta berhenti perlahan di Stasiun Prupuk, penumpang dengan barang bawaan turun satu persatu keluar Stasiun Tegal, aku turun sambil mengendong tas sandang berisi pakaian untuk bekal di kampungku beberapa hari, sementara tangan kiriku membawa tas berisi makanan ringan sisa perjalanan dari Jogjakarta pagi tadi.
“Tunggu aku, jalannya pelan saja, kakiku sedikit lelah,” ujar istriku sambil memegang lengan kiriku.
Perjalanan yang memakan waktu hingga empat jam, terasa begitu lama apalagi kami berdua duduk di kursi yang menghadap belakang, sehingga selama dalam perjalanan di dalam kereta kurang nyaman, sebab tidak bisa melihat pemandangan alam di sepanjang perjalanan.
“Cari saja bus atau becak, biar kita lekas sampai rumah nenek,” ujar istriku lagi.
Tubuh letih langsung keluar Stasiun Prupuk, untuk mencari kendaraan, tiba-tiba ponselku berbunyi, nama ponakanku muncul di layar androidku. Langsung kuangkat di sudut telepon terdengar suara ponakanku menanyakan sudah sampai mana.
“Ini baru saja turun dari kereta, masih menunggu kendaraan,” ucapku.
“Biar dijemput saja. Abang tunggu barang sebentar aku sampai membawa mobilku,” terdengar suara adikku di ujung telepon.
Seperempat jam perjalanan dari stasiun menuju rumah kakekku, tak kusangka jika kepulanganku kali ini sudah mereka tunggu, bukan hanya bertanya soal kabar keluarga saja tetapi bertanya kesehatan anak-anakku juga.
Tiba di rumah kakekku, tak banyak yang berubah rumah yang dulu kami tempati bersama ayah dan ibu serta kakakku, masih terlihat dinding rumah tua yang berbahan dasar batu bata masih kokoh, hanya saja beberapa sudut ada semen yang sudah mulai ambrol, menandakan bahwa bangunan itu sudah sangat tua dan lama ditempati.
“Di belakang rumah ini dulu, engkau bersama adikmu pernah bermain air, tapi sayangnya sawah yang luas, yang ada kandang babi milik orang keturunan sudah ditimbun dan dijadikan perumahan,” kata kakek sambil duduk di kursi kayu di belakang rumah di bawah pohon mangga.
“Selokan air yang dulu sering untuk bermain, kini sudah tertutup tanah dan hanya ditumbuhi rerumputan liar, bahkan setiap kali hujan lebat lokasi belakang rumah jadi banjir,” keluhnya.
Tubuh tua itu terlihat sudah sedikit kepayahan untuk bangun dari kursi kayu, dengan gerakan perlahan lelaki tua yang dulu dikenal sangat kekar, hanya menyisakan garis-garis kekarnya saja.
Ku pandangi punggung lelaki tua itu, dengan penuh kenangan, betapa tidak dulu saat aku kecil pundak kekar itu jadi tempat ternyaman untuk sekedar digendong dan diletakkan tubuh mungilku di pundaknya.
Ya sosok lelaki tua itu, sangatlah mirip dengan ayahku yang berperawakan kekar dan sangat tegas terhadap keluarganya, terdengar air dalam sumur seperti tengah ditimba, bergegas aku menghampiri di dapur rumah nenekku, langsung saja kuraih tangan renta itu dan kuganti dengan tangan untuk menimba air sumur.
“Sudahlah, istirahatlah ajak istrimu itu masuk ke dalam rumah, kasihan sangat jauh perjalanan menuju rumah nenek, biarkan kusiapkan air hangat untuk membuat minuman hangat,” ungkap kakek.
Malam berlalu, suara jangkrik di samping kamarku terdengar jelas. Lamat-lamat suara Gending Jawa dari radio tua terdengar dari belakang rumah, ya..kakekku masih suka duduk menyendiri di belakang rumah. Ku Dekati kakek. Sedikit terkejut kakek berpindah posisi duduknya.
“Dulu ayahmu memiliki tujuh saudara, setelah besar mereka berpencar mencari kehidupan agar mereka bisa hidup layak, dari semua cucuku yang ada hanya dirimu yang sering ke rumah kakek, wajahmu mirip sekali dengan wajah almarhum ayahmu, Nak,” ucap kakek sambil membelai kepalaku.
Ada buliran hangat di pelupuk mata jatuh melewati pipiku, ingatanku kembali melayang mengingat almarhum ayah, yang saat itu masih gagah, memenuhi permintaan ibuku yang tengah menyiram adikku, permintaan ibuku sangat aneh menurutku, sebab ibu meminta ayah untuk mencarikan kodok hijau di sawah yang sudah selesai dibajak menunggu ditanami padi.
Untuk menuruti permintaan ibuku, ayah menyiapkan peralatan untuk mencari kodok di belakang rumah kakekku, dengan menggunakan lampu minyak, dengan pelan-pelan ayah mulai mencari kodok, berharap bisa mendapatkan beberapa ekor kodok untuk bisa dibawa pulang untuk memenuhi permintaan ibuku yang tengah hamil adik bungsuku dengan wajah riang ayah pulang membawa enam ekor kodok hijau yang didapatkan di sawah kemudian dibersihkan dan diserahkan ibuku untuk dijadikan lauk makan ibuku.
Sosok ayah yang begitu gagah, berperawakan kekar serta memiliki kumis tebal, ayah terlihat begitu gagah dan berwibawa, kasih sayang ayah dan cara ayah merawat anak-anaknya tinggallah kenangan bagiku, tiba-tiba tangan kakek membuyarkan lamunanku, dan memintaku untuk masuk ke dalam rumah sebab sudah tengah malam, sementara istriku yang kelelahan tengah tertidur pulas sekali.
Aku bersimpuh di depan kakekku, aku berpamitan untuk kembali ke rumahku, lagi-lagi lelaki tua itu membelai kepalaku dengan lembut, entah doa apa yang diucapkan di atas kepalaku, tapi aku yakin bahwa doa terbaik dipanjatkan kakekku.
Kursi kereta yang ku tumpangi terasa bergoyang, saat melintasi relnya, sementara di depanku dua ibu-ibu terdengar asyik ngobrol, sementara istriku yang duduk di sampingku masih menyandarkan kepalanya di pundakku.
“Banyak kenangan masa kecil dan masa bahagia yang di tinggalkan di rumah kakek, semoga saja kita bisa kembali mengunjungi kakek,” ucap istriku pelan.
Kereta melaju hingga stasiun terakhir, sejuta kenangan dan lelahnya istriku kubawa kembali ke rumahku….
Sanggar Imaji Tegal, 2 November 2023
OPINI
Erick Thohir, Politik dan Sepak Bola

PADA AKHIR tahun 2017, George Weah menorehkan sejarah dunia. Weah, mantan pesepakbola pertama di dunia yang berhasil menjadi presiden pertama. Mantan pemain terbaik dunia tahun 1995 itu menjadi Presiden Liberia.
Memang tidak banyak pemain sepakbola yang setelah pensiun berhasil menjadi politisi. Selain Weah ada pula Romario, Kakha Kaladze dan legenda sepakbola dunia, Pele.
Romario, salah satu pemain kunci Brasil pada Piala Dunia 1994, menjadi politisi yang menonjol di negaranya. Pada tahun 2010, Romario terpilih menjadi anggota senat Brasil dengan suara terbanyak yang pernah diterima seorang kandidat yang mewakili Rio de Janeiro.
Lalu Kakha Kaladze, pernah menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri Georgia dan menduduki kursi Menteri Energi. Kini mantan mantan bek Milan itu menjadi Wali Kota Ibu Kota Georgia, Tbilisi.
Lain pula kisah Pele. Setelah sukses membawa skuat Samba merebut tiga kali Piala Dunia, Pele didaulat menjadi Menteri Olahraga Brasil pada 1995 hingga 2001. Kala itu, salah satu fokus utama Pele, melenyapkan praktik-praktik korupsi dalam dunia persepak bolaan di Brasil. Tak heran, sempat pula muncul sebutan “Hukum Pele” dalam dunia olahraga Brasil.
Hari ini, Indonesia juga kembali mencatat sejarah. Menteri BUMN, Erick Thohir terpilih menjadi Ketua Umum PSSI. Ini keempat kalinya seorang Menteri menjabat posisi yang sama. Sebelumnya adalah Maladi pada tahun 1950. Ia dipilih menjadi Ketua Umum PSSI saat masih menjabat Menteri Pemuda dan Olahraga.
Kedua, Azwar Anas pada tahun 1991 saat ia menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Ketiga adalah Agum Gumelar. Ia terpilih menjadi Ketua Umum PSSI, juga saat menjabat Menteri Perhubungan. Keempat adalah Erick Thohir. Bedanya, Erick Thohir berlatar belakang pengusaha, sementara kedua pendahulunya berlatar belakang militer. Sementara Maladi adalah mantan kiper Timnas Indonesia.
Bicara sepakbola dunia, punya fenomena yang luar biasa. Didier Drogba, mantan pemain Chelsea mampu mendamaikan perang saudara di negaranya, Pantai Gading. Usai menahan imbang Mesir 1-1 pada tahun 2005 sehingga Pantai Gading akhirnya lolos ke putaran final Piala Dunia 2006 Drogba langsung berpidato memberikan pernyataan yang sangat luar bisa.
“Masyarakat Pantai Gading. Dari utara, selatan, tengah dan barat, kami membuktikan hari ini bahwa semua warga Pantai Gading dapat hidup berdampingan dan bermain bersama dengan tujuan yang sama, untuk lolos ke Piala Dunia,” kata Drogba.
Pidato Drogba efektif. Dua kubu yang saling berperang akhirnya melakukan gencatan senjata serta berunding hingga akhirnya berdamai. Perang usai.
Semangat Drogba ini perlu kita bawa ke negeri kita. Jutaan warga Indonesia merindukan prestasi PSSI dan Timnas Indonesia. Jutaan warga Indonesia berharap banyak pada kepemimpinan Erick Thohir.
Erick Thohir memang suka bola. Namanya mulai melambung sejak membeli saham Inter Milan pada tahun 2012 dan menjabat Presiden klub hingga 2016. Selain Inter Milan, Erick juga memiliki saham di DC United – salah satu klub sepak bola yang berkiprah di MLS Amerika Serikat.
Tak hanya itu, saat ini ia bersama Anindya Bakrie menjadi pemilik Oxford United. Erick juga menjadi pendiri sekaligus pemilik klub basket Satria Muda. Prestasi Erick menyelenggarakan Asian Games 2018 banyak dipuji sehingga ia ditunjuk sebagai Menteri BUMN pada tahun 2019 hingga kini.
Atas rekam jejak dan popularitasnya itu, tak heran Erick Thohir dinilai mumpuni membenahi sepakbola Indonesia. Ada banyak PR yang sudah menunggu di depan mata. Tragedi Kanjuruhan, melanjutkan kembali Liga 2 dan Liga 3 serta menerapkan kembali sistem degradasi di Liga 1.
Sebelum terpilih, Erick Thohir berjanji lima hal. Pertama, melanjutkan Liga 2 dan Liga 3 yang saat ini dihentikan Exco lama PSSI. Kedua, menerapkan VAR di Liga 1 musim 2023/2024. Ketiga membenahi kualitas wasit. Keempat, membangun Training Center untuk Timnas Indonesia. Kelima, mengejar ketertinggalan dari negara lain.
Tampaknya Erick meniru Pele. Hendak bersih-bersih di tubuh PSSI.
Sayangnya Erick tak menyinggung soal pembinaan sepak bola usia dini. Hal yang tak kalah penting di tengah maraknya Sekolah Sepak Bola (SSB) di seluruh penjuru nusantara meski masih minim kompetisi.
Tengoklah di Liga Anak Nusantara U-11 dan U-13 yang digelar di Yogyakarya pada 25-27 Januari 2023 di Yogyakarta, Jawa Tengah. Minim publikasi dan tidak digelar dengan baik. Alhasil, penyelenggaraan U-13 hanya sebatas delapan besar. Kita ingin punya timnas senior yang berkualitas tetapi belum serius membenahi sepak bola usia dini. Kita ingin prestasi yang instan.
Kursi Ketua Umum PSSI periode 2023-2027 jelas menggiurkan untuk mendongkrak popularitas. Mengingat tahun ini akan digelar Piala Dunia U20 di Indonesia dan Pemilu 2024.
Pengamat politik dari Universitas Al Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai bahwa majunya Erick Thohir menjadi Ketum PSSI tidak terlepas dari kesempatannya menjadi calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu 2024. Sebab, selama ini dalam beberapa survei, elektabilitas Erick sebagai cawapres cukup tinggi.
Survei yang dirilis oleh Poltracking pada Desember 2022 menunjukkan bahwa Erick menjadi sosok cawapres dengan elektabilitas tertinggi di angka 15,5 persen. Ia mengungguli beberapa tokoh lain, seperti Ridwan Kamil, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Sandiaga Uno.
Masalahnya, mungkinkah dalam waktu yang singkat, Erick Thohir bisakah membawa perubahan dalam tubuh PSSI dan memenuhi janji-janjinya?
Posisi Ketua Umum PSSI memang kerap kali diincar para politisi Indonesia. Ada yang menduga, Erick Thohir aji mumpung. Mumpung posisi itu kosong, ia ambil. Jika berhasil memimpin PSSI, setidaknya elektabilitasnya untuk 2024 akan melonjak.
Erick Thohir sepertinya melihat peluang sepakbola untuk mengantarkannya menjadi pemenang Pilpres 2024.
Pertanyaan kemudian, berhasilkah Erick Thohir menjadi pemenang di PIlpres 2024 mendatang? Barangkali Pak Erick Thohir berprinsip, bola itu bundar. Siapa pun bisa jadi pemenang, tergantung situasi di lapangan.
*jurnalis dan tinggal di Jambi
TEMPIAS
Selamat Jalan Kawan

KEMARIN aku masih menangisi kepergianmu kawan. Hari ini, aku mulai kuat. Mulai mengikhlaskan kepergianmu. Bukan apa-apa. Baru dua hari kulihat kau bahagia dilantik menjadi Komisioner Informasi Publik tapi kemarin siang tiba-tiba kabar duka itu datang.
Engkau pergi dalam suasana indah. Hari Jumat, saat khatib berceramah. Kau dikabarkan mendadak roboh, berpakaian favoritmu selama kukenal. Aku tanya istrimu di depan jenazahmu, kau mendapat serangan jantung. Begini caramu pergi. Di hari yang diimpikan semua umat Islam. Saat ibadah Salat Jumat.
Masalahnya, kabar itu benar-benar bikin dadaku sesak. Aku tak percaya, secepat itu kau pergi. Usai menginjakkan kaki pertama kalinya di kantormu yang baru pula. Hanya sehari kau menikmati ruangan barumu.
Aku mengenalmu kalau tak salah pada tahun 2013. Di sebuah acara pelatihan di sebuah hotel. Tiga atau empat tahun kemudian kita mulai akrab. Kita mulai sering nongkrong di Warung Feri di samping GOR Kotabaru, sampai larut malam.
Kita ternyata satu visi dalam mengelola media, bagaimana cara memandang jurnalisme. Mediamu jauh lebih tua ketimbang usia mediaku yang baru seumur jagung. Kau bahkan sering memberiku masukan agar kita bisa menghadapi zaman yang berkejaran dengan kecepatan. Soal itu, kau selalu lebih pintar. Kau mendalaminya. Pokoknya kau jagonya. Aku banyak terinspirasi dengan ide-idemu.
Kita bahkan semakin dekat selama periode tahun 2020 hingga 2021. Kita dalam satu tim, bersama teman kita satu lagi, Ali Monas. Kita bertiga bersama teman-teman lain sering tertawa bersama, saling berdebat, saling belajar. Ah, banyak sekali yang kita bahas setiap hari. Dan satu hal kusuka adalah kita tak pernah berdebat di media sosial. Kita berdebat secara langsung. Kita bahkan saling tahu ketika suasana hati kita sedang tak elok. Kita benar-benar tulus berteman.
Hanya saja, periode itu maafkan aku teman. Sekali lagi maafkan aku yang kadang bicara terlalu keras. Cerewet soal tubuhmu. Aku khawatir melihat tubuhmu yang rentan. Beberapa kali kau jatuh sakit. Kesehatanmu makin menurun. Bahkan, kau pernah dilarikan ke rumah sakit. Aku benar-benar sedih.
Yang terkadang aku bingung adalah soal sikap kepasrahanmu. Melihat sikapmu itu, sering kali aku memilih diam. Terutama akhir-akhir ini. Kita mulai jarang bertemu dan mulai jarang bicara. Kita mulai sibuk dengan kegiatan masing-masing.
Saat kau tiba-tiba datang dan bilang bahwa kau maju di Komisi Informasi Publik, aku sebenarnya senang. Kau bilang mau membahagiakan anak istrimu dan keluarga besarmu. Aku hanya khawatir bila kau gagal. Kami sungguh-sungguh mendukungmu. Mendengar kau terpilih, betapa senangnya aku. Kita sama-sama “rentan” hidup di media ini. Tujuan kita tentu sama. Sama-sama hendak membahagiakan anak istri. Tetapi kenapa secepat ini kau pergi?
Terakhir kita saling bercanda dan tertawa di bulan puasa ini, saat berbuka puasa di Sekretariat KONI Jambi. Aku lihat kau makin tenang. Wajahmu semakin bersih. Aku yakin ibadahmu makin kuat. Aku sungguh senang. Aku juga melihat kesehatanmu makin membaik.
Tetapi ternyata aku salah. Kau pergi begitu cepat. Aku mulai mempertanyakan ini pada Tuhan. Kenapa memanggil temanku secepat ini, Tuhan? Aku mengantarmu sampai ke peristirahatanmu terakhir. Aku buka dan melihat wajahmu dari dekat. Aku melihat kesedihan anak istrimu. Aku tak tahan. Aku langsung ke luar. Inilah yang kukhawatirkan sejak dulu kawan. Aku cerewet padamu soal pola hidup.
Ya sudahlah. Semua sudah digariskan Yang Maha Kuasa. Kau kuat dalam bertarung di kehidupan yang keras. Aku bangga menjadi temanmu. Kau pergi dalam kebahagiaan. Aku yakin anak istrimu juga bangga punya ayah sepertimu. Selamat jalan kawan. Berbahagialah di surga.