POLITISASI BIROKRAKSI menjadi fenomena yang kerap ditemui di hampir semua negara di dunia. Menurut Argyriades (1996) penempatan dan penugasan PNS/ASN dalam suatu jabatan publik menjadi sumber yang potensial bagi intervensi politik. Lebih jauh, Dror menganalogikan hubungan antara pegawai negeri dan politisi seperti “roti dan tikus” (roti menggambarkan birokrat dan tikus menggambarkan politisi).
Aroma roti yang wangi membuat tikus melakukan aktivitasnya dengan kasak-kusuk untuk dapat menikmati roti tersebut. Politisasi birokrat sering kali menimbulkan kurangnya integritas, responsif dan kompetensi dari para birokrat kita. Menarik untuk dicermati bahwasanya saat ini intervensi politik terhadap birokrasi sudah sangat akut, tidak lagi dilakukan oleh top leader di birokrasi yang diisi oleh politisi, namun juga dilakukan oleh lembaga politik (partai) yang dapat mengintervensi hingga pada pengisian jabatan di pemerintahan.
Persoalan klasik yang melanda dunia birokrasi kita sepertinya masih saja sulit untuk dituntaskan. Selama ini, jabatan dalam birokrasi pemerintahan masih merupakan sesuatu yang sangat menarik dan bahkan menjadi primadona bagi sebagian kalangan birokrat.
Baca Juga: Selayang Pandang Memahami Studi Pemerintahan Sebagai Ilmu dan Seni di UIN STS Jambi
Oleh karena itu, biasanya berbagai cara dan upaya juga pasti akan dilakukan dalam rangka mendapatkan suatu jabatan, termasuk dengan melakukan suap menyuap. Jabatan sering dijadikan sebagai bisnis yang menggiurkan oleh para kepala daerah. Sementara para birokrat menganggap hal demikian sebagai sesuatu yang tidak asing lagi. Kondisi inilah yang membuat birokrat busuk menemukan ruang untuk menjalankan praktik kotor.
Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus yang menjerat kepala daerah, 1) Bupati Klaten, Jateng, Sri Hartini yang terjaring operasi tangkap tangan KPK di rumah dinasnya bersama sejumlah orang dan juga disita barang bukti berupa uang Rp5 miliar yang diduga uang suap mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Klaten; 2) Bupati Nganjuk, Taufiqurrahman, menerima uang suap jual beli jabatan sebesar Rp298 juta. Suap terhadap Taufiq diduga terkait pengisian sejumlah posisi seperti kepala sekolah SD, SMP dan SMA; 3) Bupati Jombang, Nyono Suharli Wihandoko yang terjaring dalam operasi tangkap tangan KPK terkait perizinan penempatan jabatan di Pemkab Jombang. Total uang suap yang diberikan kepada Nyono sebesar Rp275 juta; dan 4) Bupati Cirebon, Sunjaya Purwadisastra, terjaring dalam operasi tangkap tangan KPK, Sunjaya diduga mematok setoran dalam mutasi jabatan di lingkungan Pemkab Cirebon. Patokan setoran untuk beragam mutasi jabatan, seperti lurah, camat hingga kepala dinas. Mulai dari puluhan juta hingga ratusan juta.
Kenyataan ini membuktikan praktik makelar jabatan masih terjadi di birokrasi kita. Bahkan, pucuk pimpinan di daerah menjadi aktor utama jual beli jabatan. Dengan kewenangan untuk menata organisasi yang dipimpinnya, kepala daerah tak canggung melacurkan diri untuk memberi posisi atau jabatan kepada birokrat di daerah yang berambisi menduduki jabatan tertentu. Praktik makelar jabatan yang terbongkar di beberapa daerah adalah fenomena gunung es.
Baca Juga: Putra Daerah, Bentuk Identitas Musiman Jelang Pilkada
Praktik semacam ini diyakini juga terjadi di banyak daerah. Dengan 34 provinsi, 416 kabupaten dan 98 kota, tentu berdampak pada luasnya rentang kendali dan pengawasan. Sudah seharusnya, kepala daerah harus membuat kebijakan secara bijak dan transparan. Karena, keputusan terkait penunjukan pejabat akan rentan dengan penyelewengan.
Untuk itu, seorang kepala daerah harus memperhatikan asas tata kelola dengan baik, sehingga nantinya pejabat yang ditunjuk untuk menduduki jabatan, benar-benar sesuai dengan kompetensinya sehingga tidak menimbulkan pergesekan tidak sehat di jajaran pejabat.
Cucuk cabut yang terjadi berkali-kali sebenarnya dapat menjadi bukti “kegagalan” seorang kepala daerah dalam memilih dan menyusun kelompok kerjanya. Akan tetapi, ia tetap menjadi political game yang menjadi penting karena di situ terjadi jual beli dan negosiasi di antara mereka yang belum mendapat ransum jatah kekuasaan. Kepala daerah sebagai pejabat politik yang dipilih dari kontestasi pemilu, juga mempunyai tuntutan dari partisan untuk dapat memberikan posisi di pemerintahan. Bukan lagi negosiasi dalam intensi mulia untuk memperbaiki kinerja atau mengimprovisasi nasib masyarakat.
Cucuk cabut yang lebih dari sekali ini selalu diinisiasi oleh isu yang berasal dari satu-dua kelompok kepentingan yang kemudian bermetamorfosis menjadi tuntutan. Kebijakan reshuffle oleh kepala daerah di akhir masa jabatannya mendapat sorotan dari berbagai kalangan elite politik, birokrat maupun masyarakat awam. Kebijakan tersebut sangat tidak populis dan terkesan sangat memaksakan kehendak serta melawan dari ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah cucuk cabut itu sudah memindahkan kegelisahan dan kebutuhan masyarakat ke kepala birokrat terlantik? Atau hanya sekadar memindahkan para pejabat itu dari kursi lama ke kursi yang baru? Dengan kata lain, Cucuk cabut tidak hanya sebatas restrukturisasi jabatan tetapi juga re-instal pikiran melalui program pembenahan kualitas birokrasi.
Seharusnya kepala daerah tersebut lebih memfokuskan untuk menuntaskan hutang piutang kecil kepada rakyat, karena program-program besar atau janji-janji yang belum “TUNTAS” selama kepemimpinannya cukup menjadi monumen kegagalan.
Banyaknya penghargaan yang diterima oleh kepala daerah bukan indikator keberhasilannya dalam memimpin daerah. Penghargaan ini dan itu yang diberikan mulai dari tingkatan presiden, menteri dan lembaga-lembaga lainnya hanya bersifat insidental dan sarat dengan nuansa demonstratif daripada substantif.
Jika pun ada penghargaan yang betul-betul validitas penilaiannya dapat dipertanggungjawabkan, itu pun hanya terbatas pada kegiatan yang parsial belum bisa mempresentasikan bahwa daerah yang mendapat penghargaan tersebut berhasil dalam pelaksanaan otonomi daerah secara utuh.
Kadang anehnya, banyak penghargaan yang diterima tersebut berbanding terbalik dengan apresiasi yang diberikan masyarakat daerah itu sendiri, karena masyarakat yang merasakan, melihat dan yang seharusnya menilai dan memberi penghargaan itu secara hakiki belum merasakan kelayakan atas penghargaan yang diterima oleh kepala daerah itu.
Jadi, sudahlah, TUNTAS kan saja political game ini.
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post