DETAIL.ID, Jakarta – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meminta Presiden Joko Widodo segera menghentikan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja yang saat ini tengah dibahas oleh Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Permintaan itu disampaikan lewat surat terbuka yang dikirimkan KPA langsung ke Presiden Jokowi.
“Kami meminta Bapak Presiden menghentikan segera pembahasan RUU Cipta Kerja, karena dapat menimbulkan situasi kontraproduktif utamanya di kalangan petani,” demikian bunyi penggalan surat, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (6/5/2020).
Sekretaris Jenderal (Sekjen) KPA, Dewi Kartika menilai bahwa RUU Ciptaker berpotensi menimbulkan sejumlah persoalan, utamanya bagi kalangan petani, buruh, nelayan hingga masyarakat adat.
Dewi menjelaskan bahwa persoalan pertama dalam RUU Ciptaker yakni berpotensi memangkas proses pengadaan tanah untuk kawasan non-pertanian dengan mengubah UU 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Investor yang mendapat keuntungan.
“Alhasil jika RUU ini disahkan, akan dengan mudah menghilangkan tanah-tanah pertanian keluarga,” ujar Dewi.
Selain itu, Dewi menambahkan, RUU Ciptaker juga telah memperluas definisi kepentingan umum dalam alih fungsi lahan. Nantinya, menurut Dewi, alih fungsi lahan tak hanya untuk pembangunan infrastruktur, tetapi juga mencakup kepentingan investor tambang, pariwisata dan kawasan ekonomi khusus (KEK).
“Dengan begitu, RUU ini akan memperparah ketimpangan struktur agraria di Indonesia,” ujar Dewi.
Hal itu dinilai sekaligus dapat memperburuk catatan kepemilikan kekayaan, termasuk lahan di dalamnya. KPA mencatat, saat sebanyak 68% kekayaan termasuk tanah di dalamnya hanya dimiliki 1% penduduk.
“Artinya, kekayaan nasional dikuasai segelintir kelompok saja. RUU hanya akan memperparah ketimpangan ekonomi bagi rakyat kecil,” katanya.
Terkait penarikan klaster Ketenagakerjaan, satu dari sejumlah klaster dalam RUU Ciptaker, Dewi menilai hal itu tak menyelesaikan sejumlah persoalan lain dalam RUU Ciptaker. Terutama terkait masalah agraria yang berpotensi merugikan petani.
Dewi mengatakan ada tiga poin utama dalam RUU Ciptaker yang mestinya juga dipertimbangkan, yakni tanah, modal, dan tenaga kerja. Oleh sebab itu, penarikan klaster ketenagakerjaan tak lekas menghilangkan persoalan dalam RUU ‘Cilaka’ tersebut.
“Perkenankan kami mengingatkan Bapak Presiden, bahwa masalah RUU Cipta Kerja bukan masalah klaster per klaster. Selain merugikan buruh, RUU Cipta Kerja juga merugikan petani,” ujarnya.
Discussion about this post