SECARA HARAFIAH kepemimpinan atau leadership berarti adalah sifat, kapasitas dan kemampuan seseorang dalam memimpin. Arti dari kepemimpinan itu sendiri sangat luas dan bervariasi berdasarkan para ilmuan yang menjelaskannya. Kepemimpinan adalah sifat dan nilai yang dimiliki oleh seorang leader.
Teori kepemimpinan telah berkembang sejak puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu dan sudah banyak referensi dalam bentuk beraneka macam mengenai topik ini yang dihasilkan dari berbagai penelitian. Fungsi kepemimpinan dalam sebuah organisasi atau kelompok sangat penting karena fungsi kepemimpinanlah sebuah organisasi dapat mencapai tujuannya melalui jalan dan cara yang benar.
Memahami dengan baik konsep kepemimpinan sangat membantu seseorang dan organisasi bekerja lebih efektif dan efisien dalam mencapai tujuan dan kondisi yang diinginkan.
Penulis ingin menjelaskan sedikit mengenai pemimpin itu sendiri. Pemimpin adalah orang yang memiliki otoritas, kebijakan, didengar ucapannya, ditiru perbuatannya oleh masyarakatnya. Pemimpin adalah pelayan bagi rakyatnya.
Pemimpin bukanlah seseorang dengan kekuasaan dan kewenangan yang dimilikinya lantas menelantarkan rakyat yang dipimpinnya atau bahkan menjerumuskan umat manusia pada kehancuran. Pemimpin tidak hanya menjadi kepala negara, menteri, gubernur, bupati/wali kota dan kepala desa. Tapi, lebih dari itu, seorang pemimpin harus mampu memimpin dirinya dan keluarganya dengan baik.
Pemimpin yang baik dan berkualitas itu adalah pemimpin yang dalam dirinya itu terpatri nilai-nilai profetic sebagai powerdalam bekerja, berusaha dan beramal untuk menyejahterakan masyarakatnya.
Kata profetic berasal dari bahasa Inggris yaitu prophet yang berarti nabi atau ramalan. Kata tersebut menjadi propheticatau profetik (kata sifat) yang berarti kenabian. Dengan kata lain, sifat yang ada dalam diri seorang nabi yang mempunyai ciri sebagai manusia yang ideal secara spiritual-individual, tetapi juga menjadi pelopor perubahan, pemimpin, membimbing masyarakat ke arah perbaikan dan melakukan perjuangan tanpa henti melawan kebatilan.
Kepemimpinan profetik adalah suatu ilmu dan seni karismatik dalam proses interaksi antara pemimpin yang dipimpin dalam sebuah kelompok atau organisasi yang mana pemimpin mampu menjadi panutan, menginspirasi, mengubah persepsi, struktur situasi, pemikiran dan mampu mewujudkan harapan anggota masyarakatnya sebagaimana kepemimpinan Nabi dan Rasul.
Namun, yang menarik ada suatu konsep di Indonesia yang sebenarnya mampu melahirkan kepemimpinan profetik, yaitu Pancasila. Kelima sila dalam Pancasila ketika dijiwai akan melahirkan pemimpin profetik. Pancasila dan UUD NKRI 1945 sebagai landasan dasar dan konstitusi negara mengandung berbagai muatan sebagai sumber inspirasi bagi para pemimpin.
Dua rumusan tersebut juga mengandung nilai agamis serta filosofis sebagai referensi utama dalam setiap pembuatan kebijakan oleh pemerintah. Namun, aktualisasi sebagai pengobjektifikasian terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila dan UUD NKRI 1945 itulah yang masih sangat kurang.
Jujur kita akui, seluruh pranata, sistem, mekanisme atau proses politik yang ada, berlangsung dan kita selebrasi selama ini, memang tidak memiliki peluang melahirkan pemimpin zuhud karena dalam sistem di Indonesia partailah yang berperan penting. Seperti ucapan Presiden pertama RI, Soekarno, dalam bukunya, ”Mencapai Indonesia Merdeka”, pernah berkata, “Partailah yang memegang obor, partailah yang berjalan di muka, partailah yang menyuluhi jalan yang gelap dan penuh dengan ranjau sehingga menjadi jalan terang.”
Mengacu pada kondisi perpolitikan kini, cita-cita Soekarno itu terasa utopis. Figur profetik tidak hadir di sini. Partai politik yang diharapkan menjadi tempat persemaian intelektual organik yang mampu mengorganisasikan dan mengartikulasikan amanat hati nurani rakyat, berhenti sebagai pusat percaloan kekuasaan.
Civil society yang seharusnya menjadi pusat pembibitan para penjaga keadaban (societas civilis), berhenti sebagai arena perpanjangan dan perebutan proyek. Bahkan komunitas dan para pemimpin keagamaan yang seharusnya menjadi tumpuan terakhir dalam mengawal misi-misi profetik berlomba menghancurkan dirinya sendiri lewat politisasi dan komersialisasi agama.
Kepemimpinan profetik bukanlah suatu teori asing yang tiba-tiba muncul di tengah zaman, namun sudah tertanam dalam diri manusia sejak zaman Nabi Adam dan muncul dalam berbagai wujud. Bahkan Pancasila sendiri merupakan suatu ideologi yang berusaha mempertemukan prinsip Islam dengan perjuangan persatuan Indonesia pada saat perumusannya.
Ketika Pancasila ini telah disepakati sebagai landasan bernegara, maka konsekuensi logisnya, Pancasila harus diamalkan secara objektif dan subjektif. Secara objektif bermakna bahwa Pancasila harus dijadikan dasar, sumber dan jiwa seluruh pembuatan dan perumusan peraturan perundang-undangan dan penyelenggaraan negara.
Adapun pengamalan Pancasila secara objektif merujuk pada pengamalan Pancasila oleh diri tiap pribadi sebagai warga negara Indonesia dalam hidup dan kehidupan baik secara individual maupun sosial kemasyarakatan.
Hari ini, pertanyaan tentang implementasi nilai-nilai luhur Pancasila perlu diajukan kembali mengingat begitu derasnya arus globalisasi merasuki semua sendi kehidupan bernegara.
Penegakan Pancasila hanya bisa dilakukan jika nilai-nilai luhur Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Musyawarah dan Keadilan dibiarkan tumbuh. Lalu, bagaimanakah peran Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan Duta Pancasila, Zaskia Gotik? Salam Pancasila!
*Akademisi UIN STS Jambi
Discussion about this post