DETAIL.ID, Jakarta – Selandia Baru kembali memperketat aturan terkait senjata api setelah insiden pembantaian yang terjadi di masjid Christchurch setahun silam dengan mengesahkan undang-undang kepemilikan senjata.
Parlemen Selandia Baru meloloskan undang-undang yang mengharuskan registrasi dan melacak senjata api yang beredar di sana. Selain itu pemberian lisensi kepemilikan senjata api juga dipastikan hanya bagi ‘orang yang tepat dan pantas’.
Kebijakan ini mengikuti larangan kepemilikan senjata semi-otomatis gaya militer dan kepemilikan kembali senjata yang diberlakukan tak lama setelah insiden tersebut.
Menteri Kepolisian Stuart Nash mengatakan UU itu merupakan langkah penting untuk menjadikan Selandia Baru tempat yang lebih aman setelah insiden penembakan masal terburuk dalam sejarah modern negara itu.
“(Insiden) itu tidak mendefinisikan kita, apa yang mendefinisikan kita adalah tindakan yang kita ambil untuk menghentikan serangan teror seperti itu terjadi lagi,” kata Nash seperti mengutip AFP.
Asosiasi Kepolisian Selandia Baru mengatakan undang-undang ini sudah lama tertunda.
Nash mengatakan pendaftar akan memberikan data kepada polisi mengenai berapa banyak senjata api yang dimiliki secara legal. Sementara uji kelayakan dan kepatutan dilakukan untuk memastikan pemilik sebagai pihak yang cukup bertanggung jawab dalam kepemilikan senjata api.
Kebijakan lainnya mencakup hukuman tegas bagi kepemilikan senjata ilegal dan menutup celah yang memungkinkan orang asing seperti kasus yang dilakukan Brenton Tarrant yang bisa secara legal membeli gudang senjata sebelum melakukan aksi pembantaian di masjid Christchurch.
Seorang pria warga negara Australia sekaligus penganut supremasi kulit putih, Brenton Tarrant membunuh 51 jemaah Muslim secara membabi buta pada Maret 2019 lalu.
Tarrant ditahan di penjara dengan sistem keamanan tinggi setelah mengaku bersalah atas 51 tuduhan pembunuhan, 40 percobaan pembunuhan, dan satu aksi terorisme. Proses hukumnya terlambat karena pandemi virus corona.
Discussion about this post