OPINI
Kebakaran Gambut Berulang, Izin Mesti Dievaluasi
JAMBI ternyata belum terbebas dari ancaman karhutla. Hampir setiap tahun di musim kemarau terus terjadi kebakaran, dan wilayah gambut menjadi daerah yang paling rawan. Pemerintah seharusnya sadar bahwa kerusakan gambut telah memunculkan daerah-daerah rawan karhutla.
Pada 2020, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jambi telah memetakan setidaknya 258 desa masuk dalam daftar rawan karhutla. Lebih dari 100 desa berada di daerah gambut yang tersebar di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi. Umumnya desa-desa ini berada di sekitar konsesi perusahaan dan perkebunan kelapa sawit.
Kami melihat pembukaan perkebunan sawit dan izin HTI banyak menyebabkan gambut menjadi kering dan rusak. Karakter tanaman kelapa sawit yang rakus air dan tak bisa produktif dalam kondisi basah, tidak cocok dikembangkan di kawasan gambut.
Pemerintah sebagai pemegang kuasa semestinya ikut melindungi gambut dengan mengeluarkan regulasi yang mendukung perlindungan gambut, misal pemegang izin konsesi hanya boleh menanam tanaman yang ramah dengan gambut atau endemik gambut. Bukan malah menghancurkannya demi kepentingan investasi.
Mengacu pada data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jambi, sekitar 70 persen dari total 751 ribu hektar lahan gambut di Jambi telah dibebani izin konsesi perkebunan kelapa sawit dan HTI. Ratusan kanal dibuat perusahaan untuk mengeringkan gambut. Hasilnya, tak sedikit kubah gambut rusak dan kini rawan terbakar.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
Awal 2016, pemerintah sebetulnya telah memulai langkah yang benar dengan membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) untuk memulihkan kondisi gambut yang rusak. Sayangnya pemerintah masih bertindak setengah hati. Faktanya BRG tak bisa mengintervensi penuh di kawasan izin konsesi perusahaan. Jadi jangan heran jika kerusakan gambut terus terjadi sampai hari ini.
Catatan KKI Warsi — sebuah NGO lingkungan di Jambi — juga menunjukkan buruknya perlindungan gambut. Setidaknya lebih dari 20 konsesi perusahaan mengalami kebakaran berulang pada tahun 2019. Pemegang izin di kawasan gambut mendominasi. Ini seharunya menjadi catatan penting bagi pemerintah untuk berani melakukan tindakan tegas.
Selama ini, pemerintah daerah selalu melempem kala berhadapan dengan perusahaan besar yang terlibat kasus karhutla. Pemerintah Daerah tak pernah berani melakukan tindakan tegas untuk memberikan efek jera. Mereka justru selalu mengandalkan pemerintah pusat. Praktis penanganan kasus karhutla berjalan sangat lamban.
Lihat saja, kasus kebakaran tahun 2015 yang melibatkan perusahaan belum juga tuntas hingga 2020. Harus diakui jika sikap lemah pemerintah daerah juga ikut mendorong kebakaran di Jambi terus berulang.
Tidak ada jalan lain. Pemerintah harus segera mengevaluasi semua izin yang telah diberikan di kawasan gambut jika mau serius menangani karhutla. Perusahaan yang terbukti lalai harus ditindak tegas. Sanksi pencabutan izin perlu dilakukan untuk memberi efek jera. Tentu langkah ini akan berdampak pada investasi, tetapi apa boleh buat pemerintah seyogyanya lebih memprioritaskan warganya dibandingkan masalah ekonomi.
Ancaman Karhutla 2020
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) di Jambi telah mengingatkan puncak kemarau akan terjadi Agustus ini. Meski potensi El Nino normal tahun ini, bukan berarti kebakaran tidak akan terjadi. Pemerintah tidak boleh lengah.
Upaya pencegahan dengan melakukan sosialisasi agar masyarakat tidak membuka lahan dengan cara membakar, nyatanya belum menunjukkan tanda-tanda keberhasilan.
Terbukti, lima tahun terakhir di Jambi selalu terjadi kebakaran. Bahkan kebakaran 2019 seperti mengulang kejadian buruk di tahun 2015. Lebih 154 ribu hektar lahan terbakar dan 60 persennya merupakan kawasan gambut. Kebakaran di Jambi pada 2019 diperkirakan telah membuat negara merugi hingga Rp12 triliun.
Sampai saat ini kita belum melihat pemerintah daerah punya solusi taktis untuk mencegah karhutla terus berulang. Meski, saat ini Pemerintah Provinsi Jambi telah menyiapkan lebih dari 5.000 personel untuk operasi penanganan karhutla. Terkesan hanya buang-buang energi.
Langkah ini justru memperlihatkan jika pemerintah daerah lebih mengandalkan penanganan ketimbang pencegahan. Di masa pandemi seperti saat ini, langkah penanganan karhutla akan sulit dilakukan maksimal. Pengetatan protokol kesehatan praktis akan mengganggu kerja petugas di lapangan.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
Belum lagi, masalah anggaran yang dipangkas dan dialihkan untuk penanganan COVID-19 dan dampaknya yang kian meluas. Bukan tidak mungkin, dana operasi penanganan karhutla tahun ini akan membengkak akibat penerapan protokol kesehatan.
Pemerintah daerah semestinya fokus pencegahan di daerah gambut yang rawan terbakar dengan melakukan pembebasan menyeluruh. Pemerintah daerah harus mampu menekan semua pemegang izin untuk menjamin lahan gambut di wilayah konsesinya tetap basah. Sebab, sekali muncul api di kawasan gambut akan sulit dipadamkan dan berpotensi meluas. Dampaknya bukan hanya kerusakan, tapi juga bencana kabut asap.
Belajar dari Korban Karhutla
Kita masih ingat saat langit memerah di Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi pada September 2019 lalu. Ribuan hektar lahan gambut terbakar hingga sulit dikendalikan. Berbulan-bulan Jambi diselimuti kabut asap tebal. Bahkan kualitas udara di Kota Jambi beberapa hari dalam kondisi berbahaya.
Puncaknya pada 16 Oktober 2019, pukul 08.00 WIB, Data Air Quality Monitoring System (AQMS) Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi menunjukkan konsentrasi PM 2,5 mencapai 1.618 dalam kondisi berbahaya. Udara di Muaro Jambi, kawasan gambut terbesar di Jambi juga sama bahayanya.
Sebanyak 63 ribu lebih warga Jambi dilaporkan terserang ISPA akibat kabut asap. Kota Jambi menjadi wilayah dengan jumlah kasus ISPA tertinggi. Data Dinas Kesehatan Kota Jambi sejak Agustus hingga minggu kedua Oktober 2019 tercatat lebih 24 ribu kasus, 60 persen di antaranya anak-anak. Puluhan ibu hamil juga ikut menderita akibat kabut asap.
Buruknya kualitas udara memaksa Pemerintah Kota Jambi untuk meliburkan semua siswa sekolah. Langkah ini juga dilakukan hampir semua pemerintah kabupaten di Jambi. Dampak karhutla nyatanya tak berhenti di situ. Jika diingat-ingat, kematian empat warga Jambi juga terkait dengan karhutla 2019.
Agustus 2019, Asmara, salah satu anggota Manggala Agni Daops Muara Bulian, Kabupaten Batanghari meninggal tertimpa pohon saat mencari sumber air untuk memadamkan api di kawasan Tahura di kilometer 13, Desa Senami.
Belum genap sebulan berselang, Suparmi, warga RT 08 Desa Matagual, Kecamatan Batin XXIV, Kabupaten Batanghari juga mengalami hal serupa. Ibu berusia 40 tahun itu tertimpa pohon saat berusaha memadamkan api saat kebun karetnya terbakar.
Lalu Ahmad Tang, lelaki 55 tahun warga Desa Sei Jambat, Kecamatan Sadu yang memiliki riwayat asma akut juga meninggal akibat buruknya kualitas udara saat karhutla terjadi. Bahkan empat hari sebelumnya, warga Suku Anak Dalam Pangkalan Ranjau, Kecamatan Bahar Selatan, Kabupaten Muaro Jambi juga meninggal akibat asmanya kambuh saat bencana kabut asap terjadi.
Di tengah kasus COVID-19 yang terus meningkat, kita khawatirkan karhutla akan menimbulkan dampak yang jauh lebih buruk dari yang terjadi sebelumnya. Mengingat anak-anak, lansia, dan warga yang memiliki penyakit pernapasan sangat rentan.
Di tengah situasi serba sulit, pemerintah harus bekerja keras untuk memastikan kebakaran tidak lagi terjadi. Sudah cukuplah korban jiwa berjatuhan, jangan sampai korban kembali bertambah!
*Direktur Perkumpulan Hijau dan Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Jambi.
OPINI
Penegakan Hukum Lingkungan di Tengah Bencana Ekologis Sumatera: Analisis Dampak terhadap Hak Keberlanjutan
Oleh: Noly Wijaya*
BENCANA ekologis yang melanda Pulau Sumatera sepanjang akhir 2025, khususnya di Aceh, Sumatera Utara (Sumut), dan Sumatera Barat (Sumbar), bukan hanya menuntut respons darurat, tetapi juga evaluasi mendalam terhadap penegakan hukum lingkungan.
Curah hujan ekstrem yang dipicu Siklon Tropis Senyar pada 24–30 November 2025 telah memicu banjir bandang dan tanah longsor yang menewaskan 969 jiwa—391 di Aceh, 340 di Sumut, dan 238 di Sumbar—serta menyebabkan 212 orang hilang hingga 11 Desember, menurut data terbaru Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Tragedi ini, yang menjadi korban terbesar sejak tsunami Palu 2018, merupakan akibat langsung dari deforestasi seluas 1,4 juta hektare antara 2016–2025 akibat pertambangan ilegal dan illegal logging, yang melanggar Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Dampaknya tidak hanya ekologis, tetapi juga menggerus hak keberlanjutan generasi mendatang, sebagaimana dijamin Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945.
Kegagalan Penegakan Hukum sebagai Pemicu Bencana Ekologis
Penegakan hukum lingkungan di Sumatera masih terhambat oleh lemahnya pengawasan dan prioritas ekonomi di atas kelestarian alam. Aktivitas pertambangan emas ilegal dan pembukaan lahan sawit tanpa izin lingkungan sah telah merusak hulu Daerah Aliran Sungai (DAS), mempercepat erosi tanah dan banjir. Pasal 98 UUPPLH secara eksplisit mengatur sanksi pidana hingga 10 tahun penjara bagi pelaku perusakan lingkungan yang mengakibatkan kerugian ekologis, sementara Pasal 50 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan mengancam pidana bagi illegal logging.
Namun, realitasnya, praktik ini berlangsung tanpa penindakan tegas, seperti yang terlihat dari penyegelan 11 subjek hukum oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) baru-baru ini atas dugaan perusakan hutan di Sumatera. Respons seperti pengumpulan bahan keterangan oleh Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kehutanan terhadap 12 entitas di Tapanuli terasa reaktif, bukan preventif, dan sering kali terhambat oleh indikasi korupsi dalam pemberian izin usaha pertambangan (IUP).
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyebut fenomena ini sebagai “legalisasi bencana ekologis,” di mana negara membiarkan deforestasi dan tambang ilegal sebagai bentuk kelalaian struktural. Kejaksaan Agung telah menerjunkan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) untuk mengusut pembukaan lahan tambang ilegal di Sumatera, tetapi kritik muncul karena kurangnya audit independen dan moratorium izin baru. Kasus serupa pada 2023 di Sihotang dan Simangulampe, yang menewaskan puluhan jiwa, menunjukkan pola berulang tanpa pembelajaran hukum yang signifikan.
Referensi Kasus Internasional: Pembelajaran dari Pengadilan Regional dan Global
Pengalaman internasional menunjukkan bahwa penegakan hukum lingkungan yang tegas dapat menjadi alat efektif untuk melindungi hak keberlanjutan. Di tingkat regional, European Court of Human Rights (ECtHR) dalam kasus Verein KlimaSeniorinnen Schweiz and Others v. Switzerland (2024) memutuskan bahwa kelalaian negara dalam mitigasi perubahan iklim melanggar hak atas kehidupan pribadi dan keluarga (Pasal 8 ECHR), karena dampak iklim seperti gelombang panas mengancam kesehatan dan kesejahteraan.
Putusan ini menetapkan kewajiban positif negara untuk mengadopsi langkah mitigasi ambisius, mirip dengan tuntutan citizen lawsuit di Sumbar terhadap kelalaian pencegahan bencana.
Sementara itu, Inter-American Court of Human Rights (IACtHR) dalam kasus Lhaka Honhat Indigenous Communities v. Argentina (2020) untuk pertama kalinya mengakui hak atas lingkungan sehat secara otonom berdasarkan Pasal 26 American Convention on Human Rights, terkait deforestasi yang melanggar hak masyarakat adat atas makanan, air, dan identitas budaya.
Pengadilan memerintahkan restorasi hutan dan akses sumber daya, menekankan interdependensi hak lingkungan dengan hak adat—relevan dengan kerusakan tanah ulayat di Sumatera akibat tambang ilegal.
Di tingkat global, International Court of Justice (ICJ) dalam Advisory Opinion on Obligations of States in respect of Climate Change (2025) menegaskan bahwa negara memiliki kewajiban hukum untuk mencegah kerusakan lingkungan signifikan, termasuk dari emisi antropogenik, dan bahwa kegagalan ini dapat melanggar hak asasi manusia generasi mendatang.
Prinsip strict liability juga terlihat dalam kasus historis seperti Trail Smelter Arbitration (1938–1941), di mana Kanada bertanggung jawab mutlak atas kerusakan transboundary akibat polusi smelter, tanpa perlu bukti kesalahan.
Kasus-kasus ini memperkuat argumen bahwa bencana Sumatera merupakan pelanggaran HAM struktural, sebagaimana ditegaskan Yayasan TIFA. Korban tidak hanya kehilangan nyawa dan harta, tetapi juga hak atas remedy komprehensif—ekonomi, sosial, dan budaya—sebagaimana diatur Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Dampak terhadap Hak Keberlanjutan: Pelanggaran HAM Struktural dan Ancaman Generasi Mendatang
Bencana ini bukan sekadar force majeure, melainkan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) struktural atas lingkungan sehat dan keberlanjutan. Di Sumbar, misalnya, warga telah mengajukan Gugatan Warga Negara (Citizen Lawsuit) terhadap Presiden Prabowo Subianto dan 11 pejabat pusat-daerah atas kelalaian pencegahan bencana, dengan dasar Pasal 90 UUPPLH yang mewajibkan restorasi lingkungan rusak. Gugatan ini menyoroti bagaimana kerusakan ekologis akibat illegal mining dan logging mengancam hak konsumen atas lingkungan aman, sebagaimana dianalisis Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Dampak keberlanjutan semakin parah: degradasi hutan primer melepaskan karbon masif, memperburuk perubahan iklim global dan mengancam biodiversitas seperti habitat harimau Sumatera. Secara ekonomi, kerugian mencapai triliunan rupiah dari rusaknya infrastruktur dan hilangnya produktivitas pertanian, sementara sosialnya, masyarakat adat kehilangan tanah ulayat, memicu konflik dan migrasi paksa. Pendekatan green victimology memandang korban sebagai korban viktimisasi ekologis akibat kapitalisme ekstraktif, yang menuntut reformasi hukum untuk melindungi hak generasi mendatang atas sumber daya alam berkelanjutan.
Menuju Reformasi: Moratorium, Nature-Based Solutions, dan Taubat Ekologis
Untuk mengatasi ini, diperlukan moratorium evaluasi seluruh IUP tambang di kawasan rentan, sebagaimana didesak kelompok masyarakat sipil. Nature-based solutions berbasis hak adat, seperti restorasi hutan oleh komunitas lokal, harus menjadi prioritas untuk menyelamatkan “jantung ekologis” Asia Tenggara. Reformasi Undang-Undang Kehutanan diperlukan untuk mengintegrasikan prinsip strict liability dan penguatan peran masyarakat sipil dalam pengawasan.
Pemerintah harus menetapkan status darurat nasional untuk membuka akses kompensasi bagi korban, termasuk ganti rugi dan identifikasi kerugian ekologis.
Bencana Sumatera 2025 adalah panggilan untuk taubat ekologis kolektif: merefleksikan ulang politik hukum yang mengorbankan alam demi pertumbuhan. Tanpa penegakan hukum yang transformatif, hak keberlanjutan akan terus dirampas, meninggalkan warisan kehancuran bagi anak cucu kita. Saatnya bertindak, sebelum tragedi berulang.
*Mahasiswa Program Doktoral Fakultas Ilmu Hukum, Universitas Jambi
OPINI
Krisis Ekologis di Aceh, Sumut, dan Sumbar: Bencana yang Kita Ciptakan Sendiri
Oleh: Nazli (Budak Dusun)
BANJIR bandang, longsor, dan meluapnya sungai di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat kembali memperlihatkan kenyataan yang selama ini dihindari: sebagian besar bencana hidrometeorologis di negeri ini bukanlah peristiwa alamiah yang datang tiba-tiba, melainkan buah dari kerusakan ekologis yang dibiarkan berlangsung selama puluhan tahun. Ketika hulu dieksploitasi, DAS dirusak, dan kawasan lindung diubah menjadi area produksi, maka bencana hanyalah konsekuensi logis.
Selama ini, kita terlalu nyaman berlindung di balik narasi “cuaca ekstrem” atau “ini musibah”. Padahal penyebab strukturalnya sudah jelas: deforestasi masif, tata ruang yang longgar, serta lemahnya pengawasan dan penegakan hukum. Bencana ini bukan sekadar fenomena alam, tetapi refleksi dari tata kelola lingkungan yang gagal.
Tutupan Hutan yang Menyusut dan Fungsi Lindung yang Hilang
Aceh, Sumut, dan Sumbar merupakan kawasan dengan topografi sensitif yang sangat bergantung pada stabilitas hutan alam. Namun dalam 5 – 10 tahun terakhir, tutupan hutan di tiga provinsi itu menurun drastis akibat ekspansi perkebunan dan kegiatan pertambangan. Hilangnya vegetasi penahan air memperbesar limpasan permukaan, mempercepat sedimentasi sungai, dan membuat lereng semakin rentan longsor.
Ketika fungsi lindung menghilang, tanah kehilangan kemampuan menahan air. Sungai kehilangan ruang alirnya. Pada akhirnya masyarakat di hilir menjadi korban keputusan yang tidak mereka buat.
Tumpang Tindih Perizinan dan Pengawasan yang Terlambat
Salah satu sumber masalah terbesar adalah tumpang tindihnya izin lahan. Banyak konsesi diberikan tanpa pertimbangan matang terhadap bentang alam dan kapasitas ekosistem. Lebih parah lagi, mekanisme pengawasan pada banyak kasus tidak berjalan efektif. Pemerintah sering kali baru hadir setelah rumah-rumah hanyut atau korban berjatuhan.
Pendekatan reaktif semacam ini tidak lagi relevan. Dengan frekuensi bencana yang semakin meningkat, negara harus bergerak sebagai pengelola risiko, bukan sekadar responsor darurat.
Ketika Kepentingan Ekonomi Mengalahkan Kepentingan Ekologis
Dalam sejumlah kasus, kebijakan tata ruang dan perlindungan lingkungan tergerus oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Hubungan yang terlalu dekat antara pengambil kebijakan dan pemilik modal membuat banyak keputusan strategis kehilangan perspektif ekologis. Akibatnya, kawasan rawan tetap dieksploitasi dan risiko bencana terus meningkat.
Selama kebijakan lingkungan dapat dinegosiasikan, selama itu pula masyarakat akan tetap berada dalam ancaman bencana yang sebenarnya bisa dicegah.
Apa yang Harus Dilakukan?
1. Moratorium Izin di Kawasan Rawan
Pemerintah perlu memberlakukan moratorium total terhadap izin baru di hulu DAS, lereng curam, dan kawasan rawan bencana. Moratorium harus diikuti audit menyeluruh terhadap konsesi yang sudah berjalan.
2. Audit Lingkungan yang Transparan dan Dapat Diakses Publik
Semua hasil audit harus dipublikasikan, termasuk siapa yang melanggar, apa pelanggarannya, dan bagaimana tindak lanjut penegakannya. Transparansi adalah fondasi akuntabilitas.
3. Penegakan Hukum Tanpa Kompromi
Pelanggaran lingkungan harus diperlakukan sebagai kejahatan serius. Penegakan hukum yang konsisten dan tidak tebang pilih adalah langkah penting untuk menghentikan budaya pembiaran.
4. Rehabilitasi DAS dan Reforestasi Berbasis Sains
Restorasi lingkungan harus dilakukan secara terukur, bukan sekadar seremonial. Prioritasnya meliputi stabilisasi lereng, pemulihan resapan, penguatan bantaran sungai, dan peningkatan tutupan vegetasi.
5. Penataan Ulang Tata Ruang
Tata ruang di ketiga provinsi itu perlu dikaji ulang secara ilmiah dengan mempertimbangkan faktor geologi, hidrologi, dan proyeksi risiko bencana. Kebijakan tata ruang tidak boleh lagi tunduk pada tekanan ekonomi jangka pendek.
Penutup
Bencana di Aceh, Sumut, dan Sumbar bukanlah kejadian yang tak terelakkan. Ia adalah akumulasi dari kebijakan yang mengabaikan keseimbangan ekologis. Setiap musim hujan kini menjadi pengingat bahwa kita sedang membayar mahal keputusan yang keliru.
Sudah saatnya negara mengembalikan keberpihakan pada keselamatan warganya dan keberlanjutan lingkungan hidup. Jika tidak, tragedi yang kita saksikan hari ini akan terus berulang dan sejarah akan mencatat bahwa bencana itu sebenarnya bisa dicegah.
OPINI
Politik Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang: Meneguhkan Prinsip Negara Hukum atau Menegaskan Dominasi Kekuasaan?
Oleh: Juwika Pasaribu (P2B125067)*
DALAM idealitas konstitusi, hukum berada di atas kekuasaan. Namun dalam praktik politik hukum Indonesia, garis itu kerap kabur. Legislasi yang seharusnya menjadi wujud kehendak rakyat justru sering berubah menjadi instrumen politik kekuasaan. Pertanyaan mendasarnya pun muncul: apakah politik hukum Indonesia hari ini meneguhkan prinsip negara hukum atau justru menegaskan dominasi kekuasaan?
Secara konseptual, politik hukum adalah arah kebijakan hukum nasional yang menentukan bagaimana hukum dibentuk, diterapkan, dan ditegakkan dalam suatu negara. Mahfud MD (2009) mendefinisikannya sebagai kebijakan hukum yang akan atau telah dilaksanakan untuk mencapai citacita bangsa. Dengan kata lain, politik hukum adalah kompas yang seharusnya menuntun pembentukan undang-undang agar selaras dengan nilai-nilai konstitusi, bukan sekadar kepentingan penguasa.
Namun, praktik politik hukum Indonesia belakangan menunjukkan kecenderungan sebaliknya. Contoh konkretnya dalam Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), pengesahan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Cipta Kerja hingga pembentukan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara memperlihatkan kecenderungan kuat bahwa politik hukum lebih banyak diarahkan untuk memperkuat struktur kekuasaan ketimbang mewujudkan keadilan sosial dan aspirasi masyarakat.
Revisi Undang-Undang KPK pada penerapannya dinilai akan melemahkan independensi lembaga antikorupsi, Undang-Undang Cipta Kerja disahkan secara tergesa tanpa partisipasi publik yang memadai dan bahkan dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi, sementara UU IKN dinilai terburu-buru dan lebih mencerminkan kehendak politik pemerintah pusat daripada aspirasi rakyat.
Asas keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5 huruf g UU Nomor 12 Tahun 2011 hanya dijalankan sebatas formalitas administratif tanpa makna substantif. Publik memang diundang dalam forum konsultasi, tetapi ruang partisipasinya terbatas dan tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil akhir. Proses legislasi seperti ini menggeser makna hukum dari instrumen keadilan menjadi alat legitimasi kebijakan yang pada akhirnya rakyat hanya menjadi penonton dalam drama hukum yang disutradarai oleh kekuasaan.
Kondisi ini mengikis prinsip dasar negara hukum sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945. Negara hukum mensyaratkan supremasi hukum atas kekuasaan, perlindungan hak asasi, serta adanya partisipasi publik dalam proses legislasi. Ketika proses pembentukan undangundang lebih menonjolkan kepentingan politik jangka pendek, maka prinsip negara hukum terdegradasi menjadi sekadar slogan konstitusional. Pemerintah dan DPR kerap berdalih bahwa percepatan legislasi dibutuhkan untuk kepastian hukum dan efisiensi kebijakan.
Namun, kepastian hukum yang tidak dilandasi legitimasi publik justru menimbulkan ketidakpastian sosial. Kepastian hukum yang dibangun di atas dominasi politik adalah kepastian semu, stabil di permukaan tetapi rapuh di dasar. Padahal, menurut Satjipto Rahardjo, hukum seharusnya mengandung dimensi moral dan sosial yang berpihak pada keadilan, bukan sekadar mengabdi pada logika kekuasaan formal.
Dalam pandangan teori responsive law yang dikemukakan oleh Philip Nonet dan Philip Selznick, hukum ideal adalah hukum yang peka terhadap nilai-nilai masyarakat dan mampu beradaptasi terhadap tuntutan keadilan sosial. Artinya, pembentukan hukum harus partisipatif dan terbuka agar produk hukum tidak hanya sah secara formal, tetapi juga sah secara moral dan sosial. Karena itu, tantangan politik hukum Indonesia ke depan bukan hanya soal memperbanyak produk legislasi, tetapi menata kembali orientasinya. Hukum harus kembali menjadi instrumen moral untuk menegakkan keadilan, bukan alat taktis kekuasaan. Pemerintah dan DPR perlu mengembalikan fungsi legislasi sebagai ruang deliberatif yang mengutamakan dialog, transparansi, dan akuntabilitas.
Partisipasi publik harus dihidupkan kembali secara bermakna, bukan sekadar diundang dalam dengar pendapat, tetapi benar-benar dilibatkan dalam penyusunan kebijakan sejak tahap perencanaan hingga evaluasi. Asas keterbukaan tidak boleh berhenti di meja administratif, melainkan menjadi ukuran kualitas demokrasi hukum. Tanpa pembenahan arah politik hukum, Indonesia berisiko terus melahirkan undang-undang yang sah secara formal namun kehilangan legitimasi sosial.
Ketika legitimasi publik hilang, hukum tidak lagi menjadi pemandu kehidupan bernegara, melainkan hanya pelengkap formal dari kehendak kekuasaan. Pada akhirnya, ukuran kemajuan negara hukum bukan terletak pada banyaknya undang-undang yang dihasilkan, melainkan pada sejauh mana hukum benarbenar menjadi penuntun bagi kekuasaan, bukan pelayannya
*Penulis merupakan mahasiswa program Magister Ilmu Hukum Universitas Jambi.

