OPINI
Claim and Blame di Hutan Harapan

JUDUL sangar ditulis besar, ‘PETAKA HUTAN HARAPAN’. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya digambarkan sedang memegang kapak, lalu membentang karpet merah di tengah hamparan hutan. Satwa Gajah dan Harimau divisualisasikan terpaksa menyingkir penuh ketakutan.
Di media non konvensional, narasi disusun dengan kalimat mengentak-entak. Di media konvensional, narasi disusun dengan laporan jenis investigasi news, kasta tertinggi dalam penulisan karya jurnalistik.
Sehingga saat dibaca berulang-ulang, baik dari sisi mana pun, mau dimulai dari halaman mana pun, tokoh antagonis di semua media itu cuma satu nama: Siti Nurbaya!
Visual dan narasi itu terus menyebar. Di-like, di-coment, dan di-share. Ribuan kali. Masuk ke berbagai platform media sosial, hingga ke grup-grup WA. Menjadi bahan cerita di berbagai ruang diskusi para praktisi, akademisi, dan pemerhati.
Pemahaman orang awam hanya sampai sebatas narasi-narasi itu saja. Tidak ada narasi yang menjelaskan bahwa izin yang dikeluarkan Siti Nurbaya atas nama Menteri LHK, bukanlah izin yang bisa dibubuhkan tanda tangannya begitu saja. Seketika. Apalagi asal selera.
Karena izin di Hutan Harapan, sudah melalui proses yang sangat panjang kali lebar. Bertahun-tahun lamanya.
Dimulai dari pengajuan PT Marga Bara Jaya ke Menteri LHK untuk mendapatkan izin membangun jalur logistik (angkutan batu bara) di dalam areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPPHK-RE) PT REKI di Provinsi Jambi.
Dalam konteks ini, Menteri LHK selaku wakil pemerintah, memiliki kewajiban berdiri tegak pada semua kepentingan anak bangsa, sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
Pengajuan itu wajib dipelajari untuk diberi kepastian, apakah izin bisa diberikan, atau ditolak. Maka Menteri memberikan disposisi ke Ditjen PKTL untuk mempelajari pengajuan izin.
Ditjen PKTL lantas meminta pertimbangan teknis mengenai pengajuan izin dari Badan Litbang dan Inovasi (BLI), Ditjen KSDAE, dan Ditjen PHPL KLHK. Semua pihak diminta bekerja untuk memberikan kajian-kajian teknis.
Rekomendasi Badan Litbang dan Inovasi (BLI) KLHK kemudian ‘digoreng’ sedemikian rupa, seolah Menteri mengabaikan kajian ilmiah yang melarang ada aktivitas di Hutan Harapan. Padahal faktanya, kajian tim BLI hanya dasar ilmiah, lengkap dengan saran melakukan studi lapangan, dan itu dikeluarkan jauh sebelum Komisi AMDAL bekerja.
Karena semua kajian yang masuk dari BLI, BKSDA dan Ditjen PHPL, masih harus diolah lagi oleh tim AMDAL, dengan melihat dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Analisis Dampak Lingkungan Hidup, Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL).
Semuanya kemudian diuji publik oleh Komisi AMDAL, yang anggotanya terdiri dari perwakilan multipihak, bukan hanya unsur pemerintah saja, tapi juga dari kalangan independen.
Semua kajian dari para pihak didiskusikan, didebat-debat, dihajar-hajar, dikaji-kaji, diminta pertimbangan dari segala sisi.
Komisi AMDAL lantas memberikan tiga opsi, yakni (1) membuat jalan di luar areal PT REKI, (2) membuat jalan dalam areal PT.REKI, tapi hanya di pinggir kawasan, (3) membangun jalan di dalam kawasan inti.
Pada akhirnya, dipilihlah opsi kedua. Diizinkan membangun jalan di dalam kawasan PT REKI dengan hanya melipir di pinggir kawasan.
Pemilihan opsi ini bukan ujug-ujug, apalagi asal-asal tunjuk. Karena pada prinsipnya opsi kedua inilah yang paling sangat minimal memiliki dampak lingkungan.
Kenapa KLHK tidak memilih di luar kawasan? Karena di luar kawasan justru hutannya masih sangat lebat, sehingga dampak lingkungan akan jauh lebih besar mengancam manusia, satwa dan keanekaragaman hayati lainnya.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
Selain itu ternyata di dalam kawasan hutan produksi, ada lokasi yang kewajiban restorasinya tidak dijalankan dengan baik oleh PT REKI.
Nah, inilah hal terpenting yang tidak dinarasikan di berbagai platform media, bahwa PT REKI mengantongi izin dari negara dengan status kawasan HUTAN PRODUKSI. BUKAN HUTAN KONSERVASI.
Izin ini mengacu pada Peraturan Menteri Kehutanan Nomor SK.159/Menhut-II/2004 tentang Restorasi Ekosistem di kawasan hutan produksi.
Artinya, pengelola Hutan Harapan yang terbentang di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan (dalam hal ini PT REKI), mengantongi izin pengelolaan hutan produksi melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE).
Pemberian izin ini merupakan upaya (baca: niat baik) pemerintah untuk mengembalikan areal hutan produksi yang telah rusak menjadi seimbang keadaan hayatinya.
Aktivitas PT REKI bersama para pihak LSM seperti Burung Indonesia, Royal Society for the Protection of Birds (RSPB) dan Birdlife International, bukanlah berada di dalam kawasan hutan konservasi (yang tidak boleh diganggu sama sekali), melainkan di dalam hutan produksi, dimana berdasarkan aturannya boleh dimanfaatkan maksimal 10 % untuk peruntukan lainnya (termasuk Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan).
Sehingga keluarnya izin untuk PT Marga Bara Jaya, sesungguhnya bukanlah barang yang tabu ataupun haram. Seluruh izin dikeluarkan sesuai prosedur yang berlaku di negara Republik Indonesia. Apalagi izin yang dikeluarkan ternyata tidak sampai 10 % dari kawasan.
Hal ini mengacu bahwa PT REKI berada di dalam hutan produksi, maka tentu saja KLHK mempelajari pemanfaatan kawasan Hutan Harapan dengan skim hutan produksi. Dimana dalam aturannya, PT REKI juga memiliki kewajiban melakukan restorasi di dalam kawasan hutan produksi ini.
Namun ternyata PT REKI menyimpan masalah dengan tidak melakukan kewajiban restorasi di dalam kawasannya. Ada areal-areal restorasi yang tidak dijalankan, bahkan PT REKI tidak mengantongi Rencana Kerja Usaha (RKU) lanjutan.
Hal penting yang perlu dipahami, restorasi yang dijalankan perusahaan pemegang izin, sifatnya adalah kewajiban, bukan berarti akan mengubah status kawasan. Orang awam mungkin berpikir bila selesai direstorasi, seterusnya hanya menjadi hutan saja, padahal tidak demikian dalam aturannya. Karena setelah kewajiban restorasi dilakukan, status kawasan tersebut tetaplah hutan produksi. Bukan hutan konservasi.
Maka selaku pemegang izin, kewajiban perusahaan adalah merestorasi dulu, sampai ke titik normal, baru bisa dimanfaatkan sesuai perijinan yang diberikan.
Dengan kondisi faktual di lapangan, maka KLHK memutuskan mengeluarkan izin untuk PT Marga Bara Jaya di dalam kawasan PT REKI, dengan fokus pada titik-titik kewajiban restorasi yang tidak dilaksanakan oleh PT REKI sebelumnya.
Komisi AMDAL bahkan memprasyaratkan bahwa restorasi nantinya wajib dilakukan oleh PT.REKI selaku pemegang izin kawasan (IUPHHK-RE), dan PT Marga Bara Jaya selaku pemegang IPPKH yang akan membangun jalan untuk aktivitas tambang mereka.
Ini otomatis akan sangat berat, sangat sulit, bahkan mungkin terasa sangat tidak adil bagi PT Marga Bara Jaya, karena mereka harus menanggung ‘kelalaian’ PT.REKI sebelumnya, namun apa pun itu, Menteri LHK tetap berpegang pada rekomendasi Komisi AMDAL. Kalo kamu mau dapatkan izin? Lakukan dulu kewajiban restorasi!
Jadi keluarnya izin di kawasan hutan harapan, justru cara yang dipilih Menteri LHK setelah melalui kajian yang sangat amat panjang, untuk menyelamatkan hutan harapan. Karena dengan kebijakan tersebut, maka kedua perusahaan diwajibkan melakukan restorasi di hutan harapan. Sifatnya WAJIB!
Apakah fakta soal ‘goreng-goreng’ Hutan Harapan hanya sampai di situ? ternyata tidak!
Pada awal Desember 2019, Menteri bidang lingkungan dua negara, Denmark dan Jerman, mengirimi Menteri LHK Siti Nurbaya surat resmi.
Secara singkat isinya meminta Pemerintah Indonesia menghentikan rencana pembangunan jalan di hutan harapan, karena mereka sudah satu dekade mengirimkan dana bantuan restorasi Hutan Harapan ke PT.REKI dan LSM Burung Indonesia. KEJUTAN.
Surat tersebut bahkan dengan sedikit ‘intimidasi’, bahwa jika izin tersebut tidak dibatalkan, maka Negara asing tersebut akan meninjau ulang dukungan dana terhadap proyek restorasi di kawasan hutan harapan. INI KEJUTAN LAGI.
Karena setelah ditelusuri (sementara), kerja sama PT REKI dan LSM Burung Indonesia dengan Negara asing, ternyata tanpa setahu lembaga resmi pemerintah Indonesia. Hingga saat ini masih dilakukan pendalaman, bagaimana sebenarnya mekanisme mitra yang dilakukan tanpa sepengetahuan pemerintah Indonesia itu bisa berjalan.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
Surat ini semacam membuka tabir baru yang tidak terungkap di dalam kawasan Hutan Harapan, yang dijalankan PT REKI, LSM Burung Indonesia, dan mitra kerja lainnya.
Surat ini jelas mempertaruhkan kedaulatan negara, karena dengan dalih dana yang diberikan, ada pihak dari negara lain merasa bisa melakukan intervensi terhadap kebijakan dalam negeri pemerintah Indonesia.
Siti Nurbaya sedang diuji kenegarawanannya sebagai seorang Indonesia. Sementara di dalam negeri pada isu izin Hutan Harapan, ia terlanjur diposisikan sebagai Menteri antagonis dalam narasi dan karikatur yang beredar. Persepsi dan opini kadung terbentuk liar.
Tanpa sadar, kamuflase informasi dalam bentuk claim and blame (mengklaim dan menyalahkan), sedang mengancam kedaulatan Negara kita tercinta. Siti Nurbaya berdiri di situ sendiri. Dihajar sendiri. Menjadi tameng sendiri.
Tameng itulah sosok yang selama ini kokoh melakukan perombakan besar-besaran dalam tata kelola izin dan pemanfaatan sumber daya alam Indonesia, setelah jor-joran keterlanjuran di masa lalu.
Di masanya, seluruh izin di kawasan gambut dan hutan primer dihentikan total. Penegakan hukum lingkungan paling ‘brutal’ dilakukan demi memberi efek jera bagi perusak lingkungan. Hingga pada pemberian izin pada masyarakat, bukan lagi pada korporat.
Di masanya pula, deforestasi Indonesia berada di titik paling terendah dalam sejarah. Semua itu dilakukan bukan untuk ‘menyenangkan’ negara asing, melainkan kewajiban Negara untuk hadir sebagaimana amanat UUD 1945.
Pihak asing harusnya mempelajari lebih jauh, dan tidak melakukan upaya intervensi kebijakan dalam negeri suatu negara merdeka, tanpa memahami substansi. Sudah seharusnya Indonesia dihormati sebagai Negara berdaulat.
Karena dalam semangat restorasi, upaya pemerintah Indonesia harus dilihat dalam satu kesatuan yang utuh dan lengkap. Melalui Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Restorasi Ekosistem (IUPHHK-RE), Indonesia memiliki lebih dari 33.000 desa hutan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi serta ketahanan pangan dan energi dalam negeri.
Pemerintah Indonesia mengalokasikan sekitar 1,79 juta ha kawasan hutan produksi untuk kegiatan Restorasi Ekosistem, dan sekitar 558.185 ribu hektar hutan produksi telah dikelola melalui IUPHHK-RE. Termasuk di dalamnya Hutan Harapan, yang diberikan pada PT.REKI seluas 98.554 ha.
Beredarnya informasi manipulatif di sektor kehutanan dan lingkungan hidup, jelas tak bisa dianggap remeh temeh. Terlebih lagi di masa pandemi Covid-19, dimana pemerintah Indonesia memiliki double beban menjaga sektor-sektor strategis tetap menggeliat dinamis demi menjaga kestabilan ekonomi dalam negeri.
Di pundak Siti saat ini, ada beban yang tidak mudah, di antaranya untuk memastikan bahwa ancaman kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) tidak bertemu di masa pandemi Corona, memastikan sektor kehutanan terus produktif dengan pelibatan masyarakat dalam program padat karya, dan banyak kerja besar lainnya.
Kebijakan pemerintah Republik Indonesia dalam mengelola sumber daya alamnya, sudah seharusnya dilihat oleh semua pihak secara komprehensif, dan tidak sepotong-potong.
Sehingga narasi-narasi dangkal, visualisasi tendensius, tidak diproduksi hanya untuk mengakomodir kepentingan segelintir pihak, dengan mempertaruhkan kepentingan sebagai Bangsa yang besar dan merdeka.
Karena kalau semuanya boleh ngasal menyampaikan informasi, maka informasi berikut ini juga bisa ngasal tulis saja, yaitu:
- PT REKI mungkin merasa terganggu ada aktivitas lain di dalam kawasan mereka. Sementara mereka punya kepentingan untuk menjaga kawasan restorasi demi menjaga komitmen dengan negara asing yang menjadi donor. Di satu sisi, mekanisme kerja sama dengan donor asing ini tidak masuk dalam laporan resmi ke pemerintah.
- Isu liar pun bergulir, memosisikan Menteri LHK sedang ‘kongkalikong’ mengeluarkan izin hanya demi kepentingan pribadi. Padahal yang dilakukan Menteri LHK adalah menyelamatkan Hutan Harapan, karena ada kawasan kewajiban restorasi yang tidak dijalankan dengan baik oleh PT.REKI dan mitra kerjanya.
- Menteri LHK divisualisasikan sedang membabat Hutan Harapan, padahal Menteri LHK sedang melakukan penyelamatan kawasan, sekaligus memberikan kepastian berusaha bagi pihak swasta, dengan kewajiban restorasi di dalamnya. Sehingga alam tetap lestari dan kepastian berusaha tetap terjaga di masa pandemi.
Tentu semua itu perlu diklarifikasi kembali. Karena kebenaran hakiki hanya ada di hati para pihak terkait. Kebenaran seharusnya tidak pernah mendua.
Pelajaran terpenting dari kasus ini adalah kita harus berhati-hati dalam menyerap informasi, membaca narasi, menerjemahkan visualisasi yang beredar di berbagai platform media.
Jangan sampai cepat menghakimi, jangan cepat puas melakukan investigasi, jangan sampai jatuh menjadi pengikut konsep argentum ad Nausem ala Bapak propaganda Nazi, Paul Joseph Goebbels, yang mengatakan bahwa “Kebohongan yang dikampanyekan secara terus-menerus dan sistematis akan berubah menjadi (seolah-olah) kenyataan! Sedangkan kebohongan sempurna, adalah kebenaran yang dipelintir sedikit saja.”
Sebagai anak Bangsa Indonesia, Bangsa yang Besar dan Merdeka, kita semua harus sensitif untuk menjaga Merah Putih. Agar Indonesia Maju bisa benar-benar terbukti, bukan hanya berhenti jadi narasi mimpi.
Salam Restorasi yang jujur!
*Dosen Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Lancang Kuning (FIA Unilak), mantan Wartawan Istana Kepresidenan, Tenaga Ahli Menteri LHK
OPINI
Pilihan Jalan atau Hanya Berpetualang

USAI sudah Pilgub Jambi 2024. Usai sudah penghitungan. Baik penghitungan lembaga survey, quick count maupun penetapan resmi dari KPU. Baik berjenjang dari KPU Kabupaten maupun penetapan akhir KPU Provinsi Jambi. Hasilnya tidak jauh berubah. Kemenangan telak diraih oleh Al Haris-Sani. Sang incumbent yang mantap dengan peraihan 60%. Jauh dari perkiraan para ahli yang banyak meramalkan hanya mampu meraih 52%-26%.
Namun apapun hasil kemenangan Pilgub, cerita dibalik pilkada yang berlangsung selama setahun terakhir banyak memberikan pelajaran. Sekaligus cerita yang bisa ditorehkan. Sekaligus diceritakan kepada generasi muda.
Pertama. Memilih Gubernur/Wakil Gubernur Jambi tentu saja tidak memilih yang terbaik. Tentu saja banyak putra-putra terbaik di Jambi.
Berbagai teori ilmu politik maupun sebagian aliran pemikiran, memilih pemimpin bak memilih seperti kaum Sofi. Kaum yang memang dilahirkan manusia suci dan mempunyai pemikiran yang sangat bijaksana.
Bahkan banyak sekali aliran agama yang menempatkan Pemimpin politik bak memilih seperti ulama. Lengkap pengetahuan dunia, pengetahuan agama dan perilaku yang terpuji.
Maqom ini sering digunakan untuk menangkis terhadap calon-calon yang populer. Sekaligus membentengi diri dan melindungi kandidatnya.
Sebagai pemikiran, ajaran ataupun strategi, cara-cara ini sah saja digunakan.
Namun ditengah perkembangan zaman yang begitu pesat, strategi kampanye yang setiap Pilgub yang berbeda-beda, saya memilih dengan ukuran yang paling sederhana.
Memilih pemimpin ketika dia mau mendengarkan. Mau melaksanakan janji-janjinya yang sederhana. Sekaligus dia mau mendengarkan ketika saya mengumpat, memaki bahkan menghardik kinerja.
Dia lebih banyak mendengarkan. Dia sama sekali tidak memberikan klarifikasi ataupun bantahan terhadap apa yang saya sampaikan.
Apakah terlalu sederhana itu ? Ya. Cukup sederhana.
Di dalam berbagai kesempatan, ukuran realistis yang paling mudah dijangkau, apakah dia mau mengurusi pendidikan, kesehatan dan infrastruktur jalan.
Selama itu bisa dijangkau dengan ukuran obyektif selama itu saya tetap didalam barisan. Termasuk juga kalaupun banyak yang berlarian meninggalkannya, mungkin saya orang terakhir meninggalkannya.
Sebagai manusia, tentu saja kadangkala sering dongkol, kecewa bahkan kesal. Namun ketika seseorang mau mendengarkan gerutukkan saya, lebih banyak diam ketika saya umbarkan kemarahan, itulah kemewahan saya sebagai rakyat.
Dan ketika satu persatu pertimbangan, nasihat ataupun saran kemudian diikuti, bagiku itulah seseorang pemimpin. Menjawab dengan tindakan. Bukan sekadar janji.
Kedua. Di tengah Pilgub Jambi 2024, tentu saja ada sebagian kemudian memilih berbeda barisan. Memilih kemudian berbeda bagiku tidak terlalu mengganggu pemikiran.
Namun yang menarik pemikiran tentu saja alasan kemudian ketika pernah bersama-sama kemudian memilih berbeda barisan.
Selama memilih dengan alasan prinsip dan mendasar, tentu saja respek selalu kuhargai.
Namun ketika alasan memilih bukanlah prinsip dan mendasar dan lebih mengutamakan emosi, baper, tentu saja bagiku itu kekanak-kanakan.
Padahal kutahu sang pengabar mempunyai literatur bacaan yang kuat. Sikap dan prinsip yang selama ini sempat kukagumi. Bahkan cara penyampaian yang begitu tajam tidak salah kemudian kutempatkan sebagai tokoh panutan.
Namun ketika kutahu sang tokoh kemudian meninggalkan barisan dengan alasan (mungkin bagiku konyol) seketika respekku hilang. Berganti dengan nada sentimentil yang mendayu-dayu. Persis kayak anak ABG yang lagi galau. Ketika cuma SMS, telp ataupun WA sama sekali tidak dibalas.
Padahal di ujung telepon, sang pacar malah sibuk dengan pekerjaan rutinitas yang memang memaksa tidak memegang HP.
Yang kadangkala bikin geli, selevel tokoh (kata orang bijak sering “hatinya harus jember”), yang mewarisi sikap keteladanan bersikap kekanak-kanakan justru menjadi hiburan tersendiri. Kalaupun bukan pelajaran pahit yang menjadi perjalanan hidup.
Namun apapun yang terjadi dibalik Pilgub Jambi 2024, seleksi alam begitu kejam. Hanya orang mampu menghadapi perubahan zaman yang akan bertahan.
Selain itu mereka akan tergilas dengan kehadiran generasi milenial bahkan generasi Gen Z yang tidak kenal ampun. Melumat orang-orang cengeng di kancah politik.
Dan saya kemudian memilih. Bergabung dengan generasi milenial dan generasi Gen Z untuk menertawakan “kecengengan” kaum tua yang ketika berbicara selalu menepuk-nepuk dada.
Pilgub Jambi 2024 juga mengajarkan. Kemenangan Pilgub ketika menguasai generasi millenial dan Generasi Z.
Selamat datang, Era baru. Selamat datang generasi baru. (***)
*Direktur Media Publikasi Tim Pemenangan Al Haris-Sani
OPINI
Kebijakan Pajak 12%: Selektivitas untuk Barang Mewah, Strategi atau Tantangan?

PEMERINTAH Indonesia telah mengumumkan bahwa mereka berencana untuk menerapkan tarif PPN sebesar 12%. Rencana ini akan dimulai per 1 Januari 2025, sesuai dengan mandat yang tercantum dalam Pasal 7 ayat (1) huruf b UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Namun, telah diputuskan bahwa kebijakan ini hanya akan berlaku untuk barang mewah. Banyak orang melihat kebijakan ini sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan negara dan menghalangi daya beli industri dan masyarakat tertentu.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai dan Barang Mewah mengatur mekanisme pemungutan pajak atas barang-barang yang dikategorikan sebagai barang mewah. Menurut pasal 1 ayat (1) UU tersebut, barang mewah adalah barang yang dalam penggunaannya tidak memberikan manfaat langsung terhadap kelangsungan hidup atau kehidupan manusia, yang menyebabkan pengenaan pajak untuk membatasi kontribusi kelangsungan hidup atau kehidupan manusia. Oleh karena itu, pengenaan pajak 12% ini dimaksudkan untuk membatasi konsumsi barang tersebut.
Pandangan Pemangku Kebijakan
Presiden Prabowo Subianto menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk meminimalisir konsumsi barang mewah yang tidak bersifat esensial bagi masyarakat umum. Ia menegaskan pentingnya melindungi rakyat kecil melalui pengecualian PPN untuk barang kebutuhan pokok.
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menilai kebijakan ini sebagai langkah yang menyesuaikan tren global dalam perpajakan dengan pelaksanaan cukup diatur melalui PMK. Ia memastikan bahwa pelaksanaannya dirancang agar tidak merugikan ekonomi rakyat.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan bahwa kebijakan ini dirancang untuk mencerminkan asas keadilan. “Kami ingin memastikan barang-barang yang memiliki kontribusi lebih besar terhadap pendapatan pajak adalah barang-barang yang memang hanya dikonsumsi oleh kelompok masyarakat tertentu yang memiliki daya beli tinggi,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers pada awal November 2024.

Menteri Keuangan Sri Mulyani. (Foto: Suara Surabaya)
Namun, Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat, Mukhamad Misbakhun, mengatakan kelompok barang yang akan dikenai PPN 12 persen tersebut masih akan diseleksi. Khususnya untuk objek barang yang selama ini tergolong dalam kategori Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM).
Perspektif Pemerintah: Ini adalah Pendekatan yang Mempertimbangkan untuk Meningkatkan Pendapatan Negara
Kebijakan ini tentu tidak mengabaikan pandangan beberapa menteri yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan. Seperti yang dijelaskan oleh Sri Mulyani, Menteri Keuangan, kebijakan ini merupakan tindakan yang lebih strategis yang bertujuan untuk memastikan keseimbangan dalam pendapatan negara dan pada saat yang sama mengatur konsumsi barang-barang mewah.
Ada kalanya Sri Mulyani menguraikan masalah ini: “Pengenaan cukai dengan tarif 12 persen pada barang-barang mewah bertujuan untuk mencegah konsumsi berlebihan barang-barang mewah dan mengarahkan konsumsi pada barang-barang yang akan produktif bagi ekonomi, selain tentu saja untuk meningkatkan pendapatan negara yang akan digunakan untuk pembangunan.”
Pendapatan yang diperoleh dari pajak barang-barang mewah dimaksudkan untuk digunakan dalam meningkatkan fasilitas publik, kesehatan, dan pendidikan, serta untuk meningkatkan kebijakan fiskal yang lebih luas yang melindungi proses pemulihan pasca-covid.
Tantangan yang Dihadapi
Tetapi kebijakan ini menghadapi beberapa masalah seperti berdampak pada daya beli konsumen. Ekonom bernama Bhima Yudhistira mengatakan bahwa pengenaan pajak lebih tinggi pada barang tertentu dapat berdampak pada penurunan konsumsi, terutama untuk industri yang bergantung pada penjualan barang premium.
Potensi Kebijakan Tidak Efektif: Beberapa pengamat mengkhawatirkan pengalihan konsumsi masyarakat ke pasar gelap atau pembelian langsung di luar negeri untuk menghindari pajak tinggi.
Kompleksitas Administrasi: Penetapan barang mewah dalam kategori dapat menjadi kontroversial, terutama bagi bisnis yang menganggap kebijakan ini terlalu luas.
Pengaruh terhadap Sektor dan Lingkungan Sosial
Akan tetapi, ada juga dampak negatif dari kebijakan ini, terutama untuk industri yang langsung berhubungan dengan barang-barang mewah. Menurut Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, kebijakan tersebut perlu diikuti oleh kebijakan lain yang lebih memperhatikan industri dalam negeri. Dalam pernyataan tersebut, beliau menekankan: “Kita harus memastikan bahwa dampak dari kebijakan berbasis pajak tidak merugikan industri lokal.” Ini menunjukkan bahwa ada kekhawatiran besar terkait apa yang terjadi pada berbagai sektor, terutama yang paling berisiko tidak bisa bersaing di level global.
Secara khusus pada barang mewah yang dihasilkan di Negara kita Indonesia seperti otomotif, elektronik, atau barang fashion, maka kebijakan pajak akan mengurangi daya beli masyarakat dan juga akan memperlambat laju pertumbuhan industri yang bersangkutan.
Secara keseluruhan, pemerintah menggunakan kebijakan pajak 12% pada barang mewah untuk mengontrol konsumsi barang mewah sekaligus meningkatkan pendapatan negara.
Namun, kebijakan ini menghadirkan beberapa kesulitan, baik dari segi bagaimana ia diterapkan di lapangan maupun bagaimana hal itu berdampak pada sektor industri tertentu. Kebijakan ini mungkin memiliki dampak negatif yang lebih besar, terutama dalam jangka panjang, jika tidak diimbangi dengan kebijakan yang mendukung industri dalam negeri dan melindungi daya beli masyarakat.
*Mahasiswa Fakultas Ilmu Administrasi Fiskal Universitas Indonesia (UI)
OPINI
Pilgub Jambi 2024: Kemenangan Fakta, Kegagalan Propaganda

DALAM dunia yang semakin terjebak dalam pusaran informasi dan disinformasi, pepatah lama Belanda “All is de leugen nog zo snel, de waarheid achterhaalt haar wel” atau “Seberapa cepat pun kebohongan berlari, kebenaran akan mengejarnya” terasa semakin relevan. Di era digital saat ini, ketika informasi mampu menyebar secara viral dalam hitungan detik, ruang publik sering kali menjadi ajang pertarungan antara kebenaran dan manipulasi. Kebohongan, yang dirancang untuk memengaruhi emosi massa, dapat dengan mudah menciptakan ilusi kebenaran. Namun, meski lambat, kebenaran tetap memiliki daya tahan yang mampu membongkar kebohongan secara sistematis.
Fenomena ini tidak hanya menjadi persoalan global, tetapi juga tercermin dalam dinamika politik lokal, seperti yang terlihat dalam Pilgub Jambi 2024. Pilgub Jambi 2024 menjadi panggung nyata dari pergulatan ini. Dalam kontestasi yang panas, strategi pihak lawan tampak memanfaatkan disinformasi sebagai senjata politik untuk melemahkan kredibilitas petahana, Al Haris. Narasi negatif, fitnah personal, hingga hoaks terstruktur menyasar capaian-capaian Al Haris, seolah-olah keberhasilan yang diraihnya hanyalah mitos belaka. Di era ketika literasi digital masyarakat belum merata, pola semacam ini sering kali efektif dalam membentuk opini publik jangka pendek. Namun, strategi manipulatif ini mengabaikan satu hal mendasar, masyarakat yang telah merasakan dampak nyata dari kebijakan seorang pemimpin tidak mudah dikelabui oleh narasi kosong.
Dalam konteks ini, upaya pihak lawan untuk memanfaatkan kelemahan literasi digital di masyarakat menjadi semakin terlihat. Mereka mencoba menyulut sentimen dengan narasi bombastis, namun gagal mengukur satu hal penting, masyarakat yang telah melihat dan merasakan hasil kerja nyata memiliki dasar penilaian yang lebih konkret dibandingkan janji kosong. Program-program unggulan seperti Dumisake, peningkatan kualitas layanan publik, hingga perbaikan infrastruktur strategis menjadi bukti nyata yang sulit dibantah. Fakta-fakta inilah yang menjadi jawaban atas propaganda negatif yang dilancarkan sepanjang kampanye.
Fakta-fakta keberhasilan ini tidak hanya mampu membantah propaganda negatif, tetapi juga menjadi dasar kuat yang mendukung kemenangan Al Haris, membuktikan bahwa politik yang berlandaskan integritas dan kerja nyata tetap menjadi pilihan masyarakat. Alih-alih terjebak dalam permainan lawan yang mencoba menjatuhkannya dengan fitnah, Al Haris dan timnya tetap fokus pada narasi berbasis fakta. Mereka mengedukasi masyarakat, meluruskan informasi keliru, dan memperkuat narasi keberhasilan program-program pembangunan. Pendekatan ini bukan hanya memperkuat basis dukungan, tetapi juga mengungkap kelemahan mendasar dalam strategi lawan bahwa kebohongan, tanpa landasan fakta, tidak mampu bertahan lama.
Di sisi lain, kemenangan ini menggarisbawahi pentingnya literasi digital sebagai tameng masyarakat dari manipulasi politik. Literasi digital bukan hanya tentang mengenali hoaks, tetapi juga memahami konteks informasi dan mengevaluasi sumbernya secara kritis. Masyarakat Jambi yang semakin sadar dan kritis memberikan pesan kuat bahwa mereka tidak akan lagi menjadi korban propaganda murahan.
Kemenangan ini juga menjadi tamparan bagi politik transaksional dan oportunistik. Al Haris telah menunjukkan bahwa politik yang berakar pada kinerja dan komitmen jangka panjang terhadap rakyat adalah senjata paling ampuh dalam melawan politik hitam. Dengan menjadikan fakta dan transparansi sebagai fondasi utama kampanye, ia tidak hanya berhasil meraih kepercayaan rakyat, tetapi juga memberikan standar baru dalam praktik politik lokal. Pilgub Jambi 2024 mengajarkan bahwa politik harus kembali ke esensinya melayani rakyat, bukan memanipulasi mereka.
Pada akhirnya, kemenangan Al Haris adalah cerminan dari sebuah prinsip abadi, kebenaran mungkin tertunda, tetapi ia tidak pernah kalah. Ini adalah pengingat bahwa masyarakat memiliki kemampuan untuk melihat melampaui kabut propaganda, menuntut integritas dari para pemimpin mereka, dan menolak jebakan politik usang yang menjual kebohongan untuk keuntungan sesaat. Pilgub Jambi 2024 bukan sekadar kemenangan politik, tetapi sebuah kemenangan moral yang mencerminkan kedewasaan masyarakat dalam menilai pemimpin mereka berdasarkan kinerja nyata, bukan retorika palsu. Kemenangan ini menegaskan bahwa era manipulasi tanpa batas telah usang, dan kebenaran, dengan segala kekuatannya, akan selalu menemukan jalannya untuk mengalahkan kebohongan, membawa harapan baru bagi masa depan yang lebih baik.
Selamat atas kemenangan Al Haris dan Abdullah Sani dalam Pilgub Jambi 2024. Kemenangan ini bukan hanya refleksi dari kepercayaan masyarakat terhadap kepemimpinan yang telah terbukti, tetapi juga harapan besar akan kelanjutan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan amanat rakyat yang kini berada di pundak, semoga pasangan Haris-Sani dapat terus menjunjung tinggi kepemimpinan yang berlandaskan integritas, transparansi, dan komitmen nyata terhadap pembangunan. Dedikasi mereka dalam melayani masyarakat Jambi diharapkan dapat terus menginspirasi, memperkuat kebersamaan, dan memperkokoh fondasi kemajuan. Semoga kepemimpinan yang baru ini membawa perubahan positif yang nyata, meningkatkan kesejahteraan seluruh lapisan masyarakat, dan menjadikan Jambi semakin mantap di segala bidang. Lanjutkan.
*Akademisi UIN STS Jambi