Seorang jurnalis yang bertahan dari kepungan kabut asap di Jambi, mencari tahu kenapa pemerintah langsam menangani bencana ini.
PADA AWALNYA, kuping saya masa bodoh terhadap kabar berita dari istri saya, Riana (33) pada sebuah sore, Juli 2015. Dia cerita bahwa badai El Nino, mulai akhir Juli sampai Desember 2015, siap mengancam Sumatra, terutama Jambi dan Bengkulu. Bahasa sederhananya, kemarau panjang.
Nada suara Riana datar. Dia ngomong sambil berselonjor kaki di pojok ruang tengah rumah kami di pinggiran Kota Jambi. Perutnya mulai bertian dua bulan, mengandung calon anak kami yang ketiga. Dokter kandungan langganan kami selalu mengingatkan agar Riana menaikkan bobot badan.
Saya kira kemarau paling banter hanya sebulan.
Kami baru dua bulan menempati rumah baru setelah berpindah rumah 15 kali sejak saya lahir. Saya berharap rumah ke-16 ini benar-benar menetap. Dua kali bikin sumur gali. Sumur pertama tak ketemu mata air, lantas dijadikan septic tank. Sumur kedua sedalam 12 meter, ternyata, ya, begitu, ini sudah mulai kering. Hanya cukup buat mandi, tok.
Seminggu sekali, sejak awal Juli, kami mulai rutin membeli air 1.000 liter seharga Rp90 ribu. Pesan hari ini, besok baru tiba. Pakaian kami terpaksa diantar ke binatu dan mesti membayar Rp4 ribu per kilogram.
Mau bikin sumur bor, duit tak punya. Sekali bikin sumur bor Rp8–12 juta, tanpa ada jaminan ketemu sumber air. Kolega saya sudah menawarkan harga murah: Rp6 juta, dua kali bayar. Toh, saya tak punya duit segede itu. Tabungan kami sudah ludes membangun rumah selama lima bulan. Tinggal tersisa ratusan ribu.
Sampai akhirnya bencana itu benar-benar menjadi kenyataan. KKI Warsi, sebuah lembaga NGO konservasi di Jambi, melansir data bahwa total hotspot di bulan Juli 2015, berdasarkan level konvident 80% ke atas, diperkirakan lebih dari 300 titik.
Pada Agustus 2015, jumlah titik melejit hingga 932 hotspot. Sampai di minggu kedua September, drastis mencapai 1.662 hotspot. Klimaksnya, pada 12 September 2015, Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) mencapai angka tertinggi hingga di level 409. Artinya, kategori sangat berbahaya. Kalau di Singapura, Pemerintah sudah meliburkan semua aktivitas masyarakat ketika ISPU di atas 150.
Kabut asap sudah mulai menggila di Sumatra dan Kalimantan, termasuk Jambi. Pantauan Citra Satelit pada 20 Agustus 2015 memperlihatkan gambut yang terbakar ‘baru’ 9.149 hektar di dua kabupaten: Tanjung Jabung Timur dan Muaro Jambi.
KKI Warsi menghitung kerugian telah mencapai Rp2,6 triliun akibat kebakaran lahan dan kebakaran hutan di Indonesia. Dihitung dari pencemaran udara, kerugian ekologi, kerugian ekonomi, kerusakan tidak ternilai, dan biaya pemulihan kondisi lingkungan.
Pemerintah Provinsi Jambi benar-benar lelet. Alih-alih memadamkan api, Penjabat Gubernur Jambi, Irman, justru mengklaim titik api di Jambi sudah lenyap alias nol.
“Sebelumnya, titik api sebanyak 11 titik. Tapi, tanggal 5 kemarin sudah 5 titik, kini malah sudah nol. Tim sudah berhasil padamkan api,” Irman bicara kepada jambisatu.com, pada 7 September 2015.
Gara-gara ini, Presiden Joko Widodo yang melihat kebakaran lahan di Sumatra Selatan batal berkunjung ke Jambi. Jokowi sampai empat kali gagal datang. Padahal, kenyataannya, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika malah mendeteksi bertambahnya titik api jadi 234 titik.
Pemerintah baru menetapkan Jambi berstatus siaga bencana pada 27 Agustus, ketika lahan yang terbakar sudah mencapai 15.000 hektar. Mustahil api bisa dipadamkan.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, menelepon Irman pada 27 Agustus 2015, larut malam.
“Pak Gubernur, tolong segera tetapkan siaga darurat besok pagi, ya!”
“Begini Bu, menurut staf saya, dinas-dinas terkait bilang kalau (kondisi) ini belum masuk posisi darurat.”
“Eh, Pak Gubernur, ini kondisinya sudah darurat.”
Akhirnya, malam itu juga, Irman rapat mendadak dengan jajarannya jam setengah 12 malam. Besoknya, Siti Nurbaya mendapat dokumen keputusan gubernur yang menyatakan status siaga darurat.
Baru pada 12 September, status dinaikkan menjadi darurat bencana, ketika ISPU sudah mencapai angka tertinggi di level 409.
“Pemerintah Provinsi Jambi terlambat bertindak. Seharusnya pada pertengahan Juli atau selambat-lambatnya pada 19 Agustus sudah ditetapkan siaga darurat. Lantas pada 27 Agustus ditetapkan darurat bencana,” kata juru bicara KKI Warsi, Rudi Syaf kepada saya, 21 September 2015.
Situasi semakin tak terkendali. ISPU terus merangkak naik. Bahkan sempat menyentuh angka 730. Titik api sudah terlanjur banyak dan sulit dipadamkan.
Sejak 1 September 2015, kota ini benar-benar lumpuh. Bandara Sultan Thaha Jambi bergeming karena tak punya Instrument Landing System (ILS). Jarak pandang mesti 2.000 meter baru bisa mendaratkan pesawat. Kalau sudah punya ILS, jarak pandang 1.000 meter saja, pesawat bisa mendarat.
Seluruh penerbangan dialihkan lewat Palembang, Sumatra Selatan. Sekolah diliburkan lebih dari sebulan. Perekonomian benar-benar mangkrak.
Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, sudah 19 warga meninggal akibat terpapar kabut asap. Lima korban berasal dari Kalimantan Tengah, lima dari Sumatra Selatan, lima dari Riau, satu Jambi, dan tiga lainnya dari Kalimantan Selatan. Semua terjadi di bulan September.
Tujuh di antaranya merupakan anak di bawah usia lima tahun.
Saya baru tahu, ternyata badai El Nino semakin memperburuk bencana kabut asap. Curah hujan berkurang. Kekeringan pun datang. Air sungai semakin surut, sedangkan pepohonan mulai meranggas. Para petani mengalami gagal panen. Kondisi ini juga memicu kebakaran hutan.
Di sisi lain, karena debit air turun drastis, pembangkit listrik yang masih mengandalkan pasokan air, kerap kali melakukan pemadaman secara bergilir. Sehari bisa tiga kali listrik padam.
Sejak 1950, setidaknya sudah terjadi 22 kali El Nino di dunia. Dampak El Nino paling besar terjadi pada 1982-1983 dan 1997-1998. Saat itu, El Nino membuat sebagian belahan bumi kekeringan panjang, dan sebagian yang lain justru mengalami musim hujan yang panjang. Indonesia juga mendapat dampaknya.
Dampak ekonomi akibat kebakaran hutan dan lahan di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari Rp200 triliun, melebihi kerugian pada tahun 1997, padahal jumlah lahan yang terbakar jauh lebih sedikit.
Peneliti untuk Center for International Forestry Research (CIFOR), Herry Purnomo, melaporkan bahwa estimasi kerugian ekonomi akibat bencana asap mencapai Rp200 triliun, termasuk kerugian yang diderita Malaysia dan Singapura. Angka itu jauh lebih tinggi ketimbang bencana asap yang terjadi pada 1997 yang hanya setengahnya.
Ironisnya, kedua kandidat calon gubernur Jambi seakan tak peduli. Mereka terus berkampanye buat meraup suara pada pemilihan yang bakal dihelat 9 Desember lalu (2015). Mereka tetap menggelar jalan santai sambil memakai masker.
Ada juga politisi yang memanfaatkan situasi ini dengan pamer kepedulian dengan bagi-bagi masker. Misalnya, hanya membagikan dua kotak masker, tapi bawa-bawa wartawan televisi segala.
Dua anak saya, Rein dan Ola, sempat batuk pilek selama seminggu. Saya khawatir, terutama pada Ola. Tiga bulan berturut-turut sejak akhir 2013 sampai awal 2014, Ola langganan opname di rumah sakit karena sesak napas. Dokter menyatakan dia menderita ISPA dan gejala asma.
Tantenya Riana dari Galang, Sumatra Utara sempat menelepon, ”Bagaimana kalian di sana? Tidak mengungsi?”
”Mau ngungsi pakai apa? Kami tak punya uang. Lagi pula, Rein kadang masuk kadang libur,” Riana menjawab.
Riana bilang kepada saya, “Biarlah kita bertahan saja di sini, apa pun yang terjadi.”
Saya hanya bisa gigit jari melihat dan mendengar satu-satu teman-teman mengungsi atau sekadar mengungsikan anaknya ke tempat yang bisa menghirup udara segar. Ada yang pergi ke Lampung, Sumatra Utara, bahkan Jakarta. Saya keki!
Tiada cara lain, sepulang sekolah atau les, Rein dan Ola saya “paksa” bermain di dalam rumah. Seluruh ventilasi kami tutup. Kadang-kadang, kami pakai masker di dalam rumah. Asap dan debu bekas pembakaran lahan tetap masuk ke rumah dari sela-sela ventilasi. Kami cuma mengandalkan kipas angin. Setiap minggu pula, kami mengelap lantai rumah dengan air karena debu berserakan.
Saya beli masker bedah beberapa kotak. Setiap dua hari sekali, saya sulih yang baru. Lewat informasi dari teman di Facebook, hanya satu apotek, yaitu apotek K24, yang menjual masker standar: masker N95. Harganya Rp15 ribu per buah.
Kenapa hanya apotek itu yang menjual masker N95? Masker N95 distandarisasi oleh NIOSH (The National Institute for Occupational Safety and Health) — Institut Nasional untuk Keselamatan dan Kesehatan Kerja di Amerika. Sementara, Standar Eropa mengenal masker EN-149. Klasifikasi untuk masker EN-149 tergantung kemampuan memisahkan partikel-partikel di udara.
Kabut asap bisa mengandung partikel halus yang berukuran 2,5 mikron atau lebih kecil.
Standar N95 untuk respirator sendiri dikeluarkan oleh NIOSH melalui suatu pengujian laboratorium terhadap kemampuan masker menahan partikel Sodium chloride ukuran kecil (0,3 mikron) dengan flow rate 85 liter per menit. Masker itu disebut N95 karena mampu menyaring hingga 95% dari keseluruhan partikel yang berada di udara, bahkan hingga partikel halus berukuran 0,1-0,3 mikron.
Bentuknya biasanya setengah bulat dan berwarna putih, terbuat dari bahan solid dan tidak mudah rusak. Pemakaiannya juga harus benar-benar rapat, sehingga tidak ada celah bagi udara luar masuk.
Masker N95 biasanya dipergunakan oleh tenaga kesehatan di bagian infeksi dan menular, juga dipergunakan oleh petugas peternakan ketika terjadi wabah flu burung.
Hanya saja, masker N95 ini memiliki kekurangan. Antara lain, bagi yang tidak terbiasa, pengguna mungkin akan merasa gerah dan sesak sehingga hanya tahan memakainya selama beberapa jam. Masker ini pun agak sulit untuk didapatkan. Harganya juga relatif mahal, sekitar Rp25-30 ribu per buah. Mungkin, karena harganya yang cukup mahal, tidak semua apotek mau menjualnya.
Selain masker, kami mengonsumsi madu asli dari pohon sialang hutan yang dijual Orang Rimba, suku pedalaman yang tinggal di kawasan Taman Nasional Bukit 12. Paling tidak buat menambah kebugaran tubuh.
Dari pagi, Feri Irawan (42) sudah bersemangat hendak berangkat ke Jakarta jam satu siang dari Jambi. Ia diundang hadir dalam acara Indonesia Lawyer Club di TVOne; acara bincang-bincang setiap Selasa malam selama 3,5 jam yang dipandu oleh wartawan senior Karni Ilyas. Temanya “Siapa Pembakar Hutan Kita?”.
“Ada honornya pula buat narasumber. Lumayanlah,” kata Feri kepada saya dengan polos.
Sementara itu, sejak pagi, asap mulai pekat hingga mencapai puncaknya pada siang hari. Pengelola Bandara Sultan Thaha, Jambi secara resmi mengumumkan seluruh penerbangan pada 22 September dibatalkan. Feri, Direktur Perkumpulan Hijau, pulang dengan lesu. Padahal, sehari sebelumnya, cuaca Jambi sempat cerah. Lima pesawat mendarat sore hari.
Alhasil, acara ILC hanya diisi narasumber dari Riau dan Jakarta. Berita tentang kabut asap dan kebakaran hutan di Jambi tetap kalah dengan Riau secara nasional.
Pada 7 Oktober 2015 malam, sehari menjelang kedatangan Presiden Joko Widodo, seluruh pejabat di Jambi bergegas merapikan laporan korporasi pelaku pembakaran lahan.
Sekitar jam 20.00, saya ditelepon oleh Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Jambi, Budi Daya Hadi.
“Kapolda telepon saya barusan. Mereka tanya siapa saja perusahaan pemodal asing yang terlibat pembakaran lahan?”
“Siap, Bang. Malam ini juga saya kirimkan data-datanya,” jawab saya.
Malam itu juga, saya kirimkan dua perusahaan asing yang diduga terlibat pembakaran lahan. Perusahaan itu adalah PT Persada Alam Hijau (anak perusahaan PT Golden Platantion) dan PT Bahari Gembira Ria (anak perusahaan PT Sime Darby). Keduanya dimiliki oleh pengusaha asal Malaysia.
Yang bikin saya kaget, beberapa hari kemudian, hanya satu perusahaan yang ditetapkan oleh Mabes Polri sebagai tersangka, yaitu PT Permata Alam Hijau. Ternyata, kata “persada” salah didengar sehingga yang muncul di seluruh media adalah “permata”. Dan, kesalahan itu dibiarkan dimuat seluruh media lokal maupun nasional tanpa pernah mereka verifikasi. Semua media menelan mentah-mentah informasi yang diucapkan oleh Kapolda Jambi.
Sampai saat ini, Polda Jambi baru menetapkan empat korporasi menjadi tersangka. Berkasnya sudah dilimpahkan ke kejaksaan, setelah itu tinggal menunggu proses persidangan.
Wahana Lingkungan (Walhi) Jambi sudah menegaskan, sekitar 80% titik api ada di areal korporasi. Angka ini kemudian tidak sebanding dengan diseretnya pelaku di tingkat penyidikan. Dari 15 perusahaan yang disebut-sebut, baru empat perusahaan yang dinyatakan sebagai tersangka. Angka yang rendah dibandingkan dengan perseorangan yang mencapai 28 orang.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan baru mampu membekukan satu izin, memberi sanksi paksaan kepada dua izin, dan mencabut satu izin. Semua perusahaan yang dinyatakan tersangka pun hanya diinisialkan, tak berani menyebut nama lengkap perusahaan kepada publik.
Saya bicara panjang lebar dengan Direktur Eksekutif Walhi Jambi, Musri Nauli, soal proses hukum terhadap pelaku pembakaran hutan yang terkesan bertele-tele. Dia bilang kenapa polisi pakai Undang-undang Nomor 39 tahun 2014 tentang perkebunan dan Kementerian Lingkungan Hidup pakai Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Lingkungan.
Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) merupakan gagasan yang disampaikan dalam UU Nomor 23 tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, kemudian dipertegas dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 Pasal 88.
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Yang dimaksud “bertanggung jawab mutlak” adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya.
Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemar atau perusak lingkungan hidup menurut pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. “Sampai batas waktu tertentu” artinya, jika menurut penetapan peraturan perundang-undangan ditentukan keharusan asuransi bagi usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan atau telah tersedia dana lingkungan hidup.
Gampang, bukan?
Nauli khawatir, jika hanya mengandalkan Undang-undang Nomor 39 tahun 2014, polisi hanya akan berkutat menghabiskan energi untuk membuktikan kebakaran lahan disengaja atau tidak.
Ini juga membuka peluang transaksi sehingga perusahaan tersebut dapat berdalih memiliki sarana dan prasarana yang memadai untuk memadamkan api di wilayahnya.
Padahal, untuk kasus semacam ini, mestinya polisi memakai sistem hukum anglo saxon: memberi sanksi tanpa perlu membuktikan kesalahan. Korban sudah jatuh. Masyarakat terkena dampak kabut asap. Sementara, Indonesia lebih banyak menerapkan hukum Eropa Kontinental.
Wali Kota Jambi, Syarif Fasha, dengan bangganya mulai bikin 50 ruang evakuasi buat masyarakat sejak 26 Oktober 2015, empat hari menjelang Presiden Joko Widodo tiba di Jambi.
Joko Widodo akhirnya tak mampir ke ruang-ruang evakuasi yang kosong melompong itu. Dia memilih menemui Orang Rimba di Kabupaten Sarolangun. Dia mencatat rekor sebagai presiden pertama yang mengunjungi Orang Rimba.
Joko Widodo akhirnya baru datang ke Jambi ketika titik api benar-benar sudah berada di titik nol. Saya kembali bisa menghirup udara segar dan tak perlu beli air lagi.
Lucunya, dua pekan setelah Joko Widodo datang, ada seorang anggota DPR RI asal Jambi bernama Sutan Adil yang membagi-bagikan ribuan masker kepada masyarakat. Saya geli. Barangkali dia mau “cuci gudang” stok masker.
Meski dibilang masyarakat bahwa tindakannya terlambat, dengan santai dia jawab di media sosial, “Untuk berbuat baik tak ada kata terlambat.”
Kemarau panjang dan bencana kabut asap diperkirakan kembali mengancam Sumatra pada Januari atau Februari 2016. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Stasiun Pekanbaru memprediksi fenomena El Nino akan kembali mengintai Sumatra. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) malah menerka dampak El Nino bisa sampai April 2016.
Saya tak ambil pusing prediksi itu. Yang pasti, sejak November, hujan hampir setiap hari mengguyur rata seluruh wilayah di Provinsi Jambi sampai asap benar-benar bablas. Malah sekarang sudah bersalin banjir. Sayup-sayup saya dengar, tetangga sebelah rumah memutar tembang “November Rain” milik Guns N’ Roses. Saya ambil selimut dan beranjak tidur.
Ternyata, bikin titik nol tak semudah bacotnya Irman!
*Wartawan dan tinggal di Jambi. Tulisan ini pertama kali ditulis pada akhir tahun 2015.
Discussion about this post