SEORANG tetangga mengeluh. Saat ia sedang menulis berita terpaksa berebut android dengan dua anaknya. Ia – seorang jurnalis – terpaksa menunda aktivitasnya yang diuber media online, mesti berpacu dengan kecepatan. Sementara anaknya setiap hari dijejali dengan PR dari sekolah. Ada yang lewat aplikasi, ada pula yang lewat WhatsApp. Kerepotan ini gara-gara mereka sekeluarga hanya punya satu android.
Ada pula kisah anak-anak yang tak berdaya masa pandemi COVID-19 ini. Boro-boro mau mengerjakan PR, ayah dan ibunya tak punya kemampuan untuk membeli android. Mau sekolah tak mungkin, sekolah masih diliburkan. Mau kerjakan tugas lewat online tak bisa.
Dua kisah di atas adalah kisah nyata dan dua hal yang berbeda. Kisah yang pertama, adalah situasi yang kerepotan dalam membagi waktu. Pekerjaan si ayah sebagai kepala rumah tangga penting namun pendidikan bagi anaknya juga penting.
Hanya saja, kedua hal itu menjadi tergesa-gesa. Sesuatu yang tergesa-gesa tentu hasilnya tak maksimal. Apalagi proses pendidikan si anak hanya lewat tugas dan kuis secara cepat. Apa yang bisa didapatkan si anak jika sekolah dasar disuguhi pelajaran cepat saji?
Yang kedua lebih ironis, si anak tak mendapat akses pendidikan akibat situasi pandemi. Mereka tak berdaya akibat impitan ekonomi, tanpa ada solusi.
Saya yakin masih banyak kisah yang lebih dramatis dari contoh di atas. Saya kemarin baca bahkan ada seorang ayah yang nekat mencuri demi membelikan android buat anaknya agar bisa mengakses pendidikan.
Adakah solusinya? Sampai sejauh ini belum ada. Sekolah tak punya kebijakan apa pun. Boleh dibilang, banyak sekolah gagap menghadapi situasi pandemi ini. Mengingat segudang problem muncul dengan seketika dan sering kali pemerintah berubah-ubah dalam mengambil kebijakan.
Bayangkan, kita menghadapi situasi yang sulit selama enam bulan ini tanpa ada kepastian kapan akan berakhir. Kita diserang bertubi-tubi, dari sisi kesehatan, kemudian pendidikan, ekonomi, sosial sampai mengubah peradaban dan sederet problem yang terus menerus mendera kita, entah sampai kapan.
Saya kemudian membayangkan jika pandemi ini tak kunjung berakhir, maka anak-anak hanya bersekolah hanya lewat live streaming Youtube setiap hari. Lantas tugas dikerjakan lewat aplikasi, yang bisa saja dikerjakan lewat bantuan orang tua. Artinya, pendidikan apa yang didapat anak-anak?
Hal yang paling ironis terjadi bagi anak-anak yang berada di daerah terpencil. Mereka tak bisa mengakses internet, sementara pemerintah melarang mereka bersekolah tatap muka langsung. Apa yang terjadi?
Sambil menunggu situasi benar-benar aman, bukankah lebih baik sekolah diliburkan saja tahun ini? Walau pun keputusan ini rasanya tak mungkin diambil pemerintah atau sekolah. Mirip judul film Warkop “Maju Kena Mundur Kena”. Stop, rasanya mustahil!
*jurnalis, tinggal di Jambi
Discussion about this post