DETAIL.ID, Jakarta – Presiden Joko Widodo mengangkat Tri Rismaharini atau Risma sebagai Menteri Sosial. Risma yang merupakan salah satu kader unggulan PDIP saat ini masih merangkap jabatan sebagai Wali Kota Surabaya.
Risma mengatakan, rangkap jabatan ini sudah mendapat izin dari Jokowi.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menilai, rangkap jabatan ini tidak etis dilakukan.
“Praktik rangkap jabatan kembali terlihat oleh publik. Lewat pengakuan Risma, kita bisa melihat inkompetensi. Dua pejabat publik itu tidak berpegang pada prinsip etika publik,” kata Egi dalam keterangan persnya, Rabu 23 Desember 2020.
Oleh sebab itu, ICW mendesak Risma untuk mundur dari salah satu jabatannya. Seharusnya, kata Egi, pejabat publik memiliki kemampuan untuk memahami peraturan dan berorientasi pada kepentingan publik.
“Jika Ibu Risma tidak segera mengundurkan diri, maka ia tidak layak menduduki posisi pejabat publik apapun,” ujar Egi.
Dia menjabarkan, ada dua undang-undang (UU) yang dilanggar dengan Risma saat merangkap jabatan.
Pertama, Pasal 76 huruf H UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
“Pada Pasal tersebut memuat larangan bagi kepala daerah dan wakil kepala daerah untuk melakukan rangkap jabatan sebagai pejabat negara lainnya,” kata Egi.
Kedua, lanjut dia, Pasal 23 huruf a UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara. Pasal itu menyebutkan, menteri dilarang merangkap jabatan pejabat negara lainnya.
“Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai: a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah,” bunyi pasal tersebut.
Merujuk pada regulasi lain, yakni Pasal 122 UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Menteri dan Wali Kota disebut sebagai pejabat negara.
“Ini menunjukkan bahwa baik dalam kapasitasnya sebagai wali kota atau menteri, posisi Risma bertentangan dengan dua UU tersebut,” tutur Egi.
Izin Presiden Tak Bisa Kesampingkan UU
Egi juga mempermasalahkan Keputusan Jokowi yang mengizinkan Risma untuk merangkap jabatan. Dia mengatakan, perintah undang-undang tidak bisa dikesampingkan oleh izin Presiden. Apalagi hanya sebatas izin secara lisan.
“Ini jelas bermasalah, pengangkatan Risma sebagai menteri tanpa menanggalkan posisi wali kota bisa dinilai cacat hukum,” ujar Egi.
Dia melihat, Jokowi seperti menormalisasi fenomena rangkap jabatan ini. Padahal, imbah dia, menormalisasi praktik rangkap jabatan sama dengan menormalisasi sesuatu yang dapat berujung pada perilaku koruptif.
Selain itu, dia menilai, rangkap jabatan bisa berpotensi menimbulkan konflik kepentingan saat merumuskan sebuah kebijakan.
“Izin yang diberikan Presiden semakin menunjukkan praktik permisif terhadap praktik koruptif. Apalagi ini sudah melanggar UU. Jadinya mengikis nilai etika publik,” ujar Egi.
“Rangkap jabatan bukan hal baru. Sebelumnya, Ombudsman menemukan praktik serupa di BUMN. Sayangnya, hal ini dinormalisasi oleh Pak Jokowi,” tutup dia.
Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini atau Risma mengatakan, sementara ini akan merangkap jabatan sebagai menteri dan Wali Kota Surabaya, Jawa Timur. Dia mengaku sudah menyampaikannya kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi.
“Mungkin karena saya masih merangkap wali kota untuk sementara waktu, saya sudah izin Pak Presiden, ‘Ndak apa-apa, Bu Risma pulang pergi.’,” kata Risma dalam video YouTube Kemensos RI, Rabu 23 Desember 2020.
Selain itu, dia mengaku ingin pulang ke Surabaya untuk meresmikan jembatan hingga menghadiri sejumlah kegiatan. Menurut Risma, sejumlah peresmian tersebut didedikasikan untuk warga Surabaya.
“Saya mau pulang, mau meresmikan museum olahraga karena di situ ada jersey-nya Rudi Hartonono, raketnya Alan Budi Kusuma. Saya pengin resmikan itu untuk anak-anak Surabaya,” tutur Risma.
Discussion about this post