Sebagai ilmu hukum, materi-materi dasar harus menjadi pedoman di dalam membangun argumentasi. Ilmu hukum sebagai fondasi, dia tidak boleh terjebak dengan tarik menarik politik, kekuatan tekanan media apalagi tekanan publik. Tidak terjebak dengan argumentasi para tokoh hukum yang kemudian menjadi politisi.
Sama sekali, sekali lagi sebagai dasar ilmu hukum, dia harus kokoh. Termasuk juga keinginan untuk mengubah berbagai peraturan perundang-undangan yang terjebak demi kepentingan di luar kepentingan hukum.
Dalam praktik dunia hukum, saya sering terlibat dalam tarik menarik tema hukum yang digagas sebagian kalangan.
Sekadar cerita panjang membuktikan, dunia hukum tetap ajeg, tertib dan kembali ke rule hukum sebenarnya.
Tema hukum pertama adalah tentang “apakah narapidana koruptor dapat mencalonkan diri kembali mengikuti di parlemen?”
Tema ini sempat heboh pertengahan tahun 2018. Ketika itu KPU mengeluarkan PKPU Nomor 20 tahun 2018 yang pada point pentingnya kemudian mencantumkan “tidak pernah dipidana kasus narkoba, kejahatan seksual dan korupsi”.
Tema ini kemudian memantik polemik di tengah masyarakat. Berbagai kalangan kemudian menyetujui terhadap PKPU Nomor 20 Tahun 2018.
Saya kemudian menyebutkan sebagai “hak dipilih” yang kemudian dilarang berdasarkan peraturan perundang-undangan (PKPU No. 20 Tahun 2018).
Apakah dibenarkan “hak dipilih” dapat dibatalkan melalui regulasi ?
Ketika saya kemudian menolak “hak dipilih” dibatasi oleh regulasi melalui PKPU Nomor 20 Tahun 2018 maka kemudian sempat mengalami “bully-an”. Saya malah kemudian dituduh mendukung “pelaku koruptor/napi koruptor”.
Menuduh sang penolak “hak dipilih” dibatasi oleh regulasi dengan menuduh mendukung napi koruptor sebenarnya mencerminkan pola pemikiran “Argumentum ad Hominem”.
Dalam literatur Filsafat, “Argumentum ad Hominem” sering disebutkan sebagai bentuk argumen yang tidak ditujukan untuk menangkal argumen yang disampaikan oleh orang lain. Namun lebih menjurus kepada pribadi si pemberi argumen itu sendiri. Argumen itu akan menjadi sesat pikir ketika ia ditujukan menyerang pribadi lawan demi merusak argumen lawan.
Terhadap napi mengenai “hak dipilih” menjadi problema yuridis.
Hakekat wewenang pencabutan “hak dipilih” merupakan kewenangan yang terletak di pengadilan. Pencabutan “hak dipilih” dikategorikan sebagai “pencabutan hak-hak tertentu”.
Pencabutan “hak dipilih” telah diatur di dalam pasal 10 huruf 1 KUHP junto pasal 35 yat (1) angka 1 KUHP. Pencabutan “hak dipilih”, “hak memilih” dan “perampasan barang-barang tertentu“ dikenal sebagai pidana tambahan.
Pasal 35 ayat (1) angka 1 KUHP menyebutkan “Hak-hak terpidana yang dengan putusan hakim dapat dicabut dalam hal-hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini, atau dalam aturan umum lainnya ialah hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum”
Polemik napi koruptor telah diselesaikan oleh MK berdasarkan Putusan MK Nomor 4/PUU-V/2009. Di dalam pertimbangannya MK telah menegaskan, “pengurangan hak yang dapat dipersamakan dengan pidana pencabutan hak-hak tertentu dan tidak sesuai dengan pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP hak memilih dan dipilih dapat dicabut dengan putusan pengadilan.
Padahal UU tidak dapat mencabut hak pilih, Melainkan UU hanya memberi pembatasan sesuai Pasal 28J UUD 1945. Pembatasan hak napi untuk mencalonkan adalah bentuk diskriminasi warga negara Indonesia.
Namun “pernyataan terbuka dan jujur dari mantan narapidana kepada masyarakat umum adalah bentuk notoir feiten. Selain itu juga Putusan MK Nomor 4/PUU-VII/2009 juga telah memberi jalan keluar, yaitu memberi kesempatan bagi mantan narapidana untuk menduduki jabatan publik yang dipilih (elected officials).
Namun syukurlah. MA melalui Putusan MA Nomor 46 P/HUM/2018 kemudian membatalkannya.
Tema kedua, apakah bisa mengajukan Peninjauan kembali (herzeining) ke Mahkamah Agung bersamaan mengajukan grasi kepada Presiden?
Perdebatan bisa muncul. Sebagian membenarkan dengan alasan “tidak ada ketentuan yang mengaturnya”. Sebagian menolak dengan alasan “tidak dibenarkan. Mengajukan PK merupakan bentuk perlawanan terhadap putusan kasasi.
Sementara satu sisi mengajukan meminta pengurangan hukum dengan bersandarkan “telah mengakui kesalahan”.
Namun apabila ditelisik lebih jauh, justru kedua mekanisme ini menimbulkan persoalan.
Mengajukan PK adalah upaya hukum luar biasa (diatur di dalam KUHAP). Artinya sang pemohon menyatakan keberataran terhadap putusan kasasi. Berbanding terbalik dengan pengajuan grasi. Permohonan pengampunan.
Mengajukan permohonan keduanya saat bersamaan menimbulkan problema dari sesat pikir.
Untunglah UU Grasi telah menyelesaikannya.
Tema ketiga mengenai peristiwa “tugu Tani’. Peristiwa yang menewaskan 9 orang pejalan kaki pada subuh hari di depan tugu tani, Jakarta. Sehingga peristiwa ini kemudian dikenal sebagai peristiwa tugu tani. Sebagian kalangan menyebutkan peristiwa di tugu tani adalah “kecelakaan lalu lintas”.
Namun saya berbeda pandangan. Untuk melihat sebuah peristiwa hukum maka harus dilihat apakah itu merupakan kesengajaan (dolus) atau merupakan kelalaiain (culpa).
Secara sekilas, memang kecelakaan yang terjadi sering disebutkan sebagai “kecelakaan lalu lintas”. Kecelakaan kemudian ditempatkan sebagai “kelalaian (culpa)”.
Namun apakah memang benar kecelakaan itu merupakan kelalaian semata? Tidak. Menurut peristiwa yang terjadi, dimana pelaku dalam keadaan mabuk – di bawah pengaruh alkohol dan narkoba – sehingga di bawah kesadaran mengemudi namun kemudian tetap mengendarai malah justru mengakibatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan. Sehingga kecelakaan yang diakibatkan “dikemudikan” oleh orang yang mabuk justru adalah kesalahan (dolus). Sehingga justru pelaku lebih tepat disebutkan sebagai pelaku yang disebabkan kesalahan (dolus). Demikianlah teori pemidanaan menyebutkan.
Pelaku kemudian dikategorikan “membahayakan nyawa orang lain” sehingga kemudian dihukum pidana 15 tahun penjara.
Dengan melihat pasal yang dikenakan pelaku yang menyebutkan pasal 311 UU Lalu lintas dan adanya kata-kata “sengaja” maka kemudian menempatkan “kesengajaan (dolus)” maka terbukti. Pelaku justru ditempatkan “kesengajaan (dolus)”. Bukan “kelalaian” yang disebutkan berbagai kalangan.
Tentu saja masih banyak berbagai pemikiran yang berlandaskan kepada ilmu hukum yang harus dikembalikan kepada hakekatnya.
Namun masih banyak perdebatan hukum tidak berlandaskan kepada argumentasi yang didasarkan kepada ilmu hukum.
Mengikuti hiruk pikuk suara yang didengungkan sebagian kalangan.
Dan tugas praktisi hukum dan ahli hukum untuk mengembalikannya. Agar perdebatan menjadi fokus dan menjadi perdebatan warung kopi. Yang hanya enak dinikmati tanpa menguasai substansi.
*Advokat, tinggal di Jambi
Discussion about this post