LINGKUNGAN
Wabup Syahlan Abaikan Instruksi Bupati Sukandar Soal Rencana Tambang di Wilayah SAD Muara Kilis
DETAIL.ID, Tebo – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tebo, Provinsi Jambi, dinilai tidak serius mengatasi persoalan rencana kegiatan pertambangan batu bara di wilayah hidup Masyarakat Hukum Adat Suku Anak Dalam (MHA SAD) Kelompok Temenggung Apung, di Desa Muara Kilis, Kecamatan Tengah Ilir, Kabupaten Tebo.
Soalnya hingga saat ini belum satu pun dari OPD maupun PT Bangun Energi Perkasa (BEP) yang menyosialisasikan rencana kegiatan pertambangan tersebut kepada MHA SAD Kelompok Temenggung Apung.
“Sampai sekarang belum ada pemerintah maupun pihak perusahaan menemui kami di sini,” kata Temenggung Apung saat dijumpai di gubuknya pada Senin lalu, 31 Mei 2021.
Menurut Temenggung Apung, apa pun alasan pemerintah maupun pihak perusahaan, dia tetap menolak rencana tambang tersebut. Alasannya, lokasi itu adalah wilayah adat MHA SAD yang telah tempati sejak nenek moyang mereka dahulu.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
“Ini adalah wilayah adat kami yang dahulunya adalah hutan pemakaman Suku Anak Dalam. Wilayah ini juga sudah diperuntukkan oleh PT WKS untuk kami. Mengapa tiba-tiba pemerintah menerbitkan izin tambang di sini. Jelas kami menolak,” kata Temenggung lagi.
Alasan lain kata Temenggung Apung, saat tidak ada lagi lokasi atau hutan yang bisa mereka tempati sebagai wilayah hidup. Sebab sudah dikuasai oleh masyarakat dan perusahaan.
“Kalau wilayah kami dijadikan tambang batu bara, terus kami mau tinggal di mana. Kami tidak mau anak-anak kami nantinya tidak memiliki tanah dan menjadi pengemis,” ucapnya dengan nada getir.
Temenggung Apung bercerita sejak tahun 2014 dahulu rakyatnya telah belajar hidup menetap dan bertani. Saat ini, apa yang telah dilakukan mulai menuai hasil. “Kebun karet kami sudah menghasilkan. Kebun sawit kami juga sudah menghasilkan. Tolong pemerintah perhatikan keberadaan kami di sini. Maaf kata, binatang saja dibina, kok kami malah mau dibinasakan,” katanya.
Dahulu, lanjut Temenggung Apung menjelaskan, Suku Anak Dalam tidak mengerti hukum dan aturan. Hampir setiap saat terjadi keributan dengan pihak perusahaan maupun masyarakat sekitar. Setelah mendapat bimbingan dari pendamping, dia dan rakyatnya mulai sedikit memahami aturan.
“Setelah kami mau mengikuti aturan, malah wilayah kami mau digusur dan dijadikan tambang batu bara. Apa pun alasannya kami tetap akan mempertahankan wilayah adat kami,” ujarnya.
Hal ini dibenarkan oleh pendamping MHA SAD Kelompok Temenggung Apung, Ahmad Firdaus. Dia mengatakan telah berupaya menyampaikan persoalan ini kepada Pemkab Tebo. Namun sejauh ini belum ada tanggapan serius dari Pemkab Tebo untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
“Kita merasa dipermainkan saja. Mereka terkesan menganggap permasalahan ini sepele,” kata Firdaus yang juga Ketua Yayasan Orang Rimbo Kito (ORIK) pada Rabu, 2 Juni 2021.
Firdaus mengaku, sebagai pendamping MHA SAD dia telah mengingatkan Pemkab Tebo agar segera menyelesaikan persoalan rencana kegiatan pertambangan batu bara di wilayah hidup MHA SAD tersebut. Mulai dari mengingatkan kerancuan terkait penerbitan Keputusan Layak Lingkungan Hidup oleh Bupati Tebo, hingga menyampaikan penolakan kegiatan tambang oleh MHA SAD.
“Kita tidak tahu apakah yang kita sampaikan itu dianggap pemerintah main-main,” ujarnya.
Awalnya, kata Firdaus, persoalan rencana kegiatan pertambangan ini ditanggapi oleh Bupati Tebo, Sukandar. Beberapa bulan yang lalu bupati menginstruksikan kepada Wakil Bupati Tebo, Syahlan Arfan segera menggelar FGD dengan mengundang semua pihak. Sayangnya, sampai saat ini belum ada tanda-tanda FGD bakal digelar.
“Instruksi Bupati saja diabaikan, apalagi kita sebagai pendamping MHA SAD,” kata dia.
Yang dikhawatirkan Firdaus, jika persoalan rencana kegiatan pertambangan itu dibiarkan hingga perusahaan tambang melakukan produksi, bakal menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
“Ini harus cepat dicari solusinya. Jangan sampai terjadi konflik antara SAD dengan perusahaan,” ujarnya.
Reporter: Syahrial
[jnews_element_newsticker newsticker_title=”Baca Juga” newsticker_icon=”empty” enable_autoplay=”true” autoplay_delay=”2500″ newsticker_animation=”vertical”]
LINGKUNGAN
Izin Belum Lengkap, DLH Hentikan Sementara Operasional Stockpile Batu Bara PT GSB
DETAIL.ID, Jambi – Aktivitas stockpile batu bara PT Gelora Sukses Bersama (GSB) di Tenam, Batanghari ditutup sementara oleh Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi. Penutupan sementara disebut ikhwal perizinan yang belum lengkap oleh PT GSB.
Menurut Kabid Penaatan DLH Provinsi Jambi, Budi Hermanto, awalnya pihaknya mendapati laporan masyatakat soal keberadaan stockpile yang belum dilengkapi oleh perizinan lingkungan tersebut. Tim PPNS PPLH lantas turun ke stockpile PT GSB dan melakukan penutupan pada Rabu, 17 Desember 2025.
Menurutnya sanksi penutupan sementara sejalan dengan amanat UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah No 21 tahun 2022 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Ada informasi, pengaduanlah. Setelah kita verifikasi ke lapangan ternyata memang ada stockpile. Kita turun ke situ PPNS PPLH, ternyata mereka belum bisa menunjukkan dokumen, intinya dokumen persetujuan lingkungan dan dokumen pengelolaan air limbah,” ujar Budi pada Jumat, 19 Desember 2025.
Budi juga mengkhawatirkan bahwa aktifitas stockpile PT GSB bakal berujung pada pencemaran lingkungan sekitar. Hal tersebut kemudian berujung pada penutupan sementara stockpile PT GSB.
Artinya, kata Budi, perusahaan perlu menyelesaikan dulu segala perizinan lingkungan untuk kemudian bisa kembali beroperasi secara legal.
“Kalau cepat mereka menyelesaiakan perizinannya, ya cepat (operasional diizinkan). Cuman ini akan tetap dilakukan sanksi penindakan administratif,” katanya.
Reporter: Juan Ambarita
LINGKUNGAN
Bocor! Minyak dari Gudang BBM Ilegal PT Kerinci Toba Abadi Cemari Lingkungan Sekitar
DETAIL.ID, Jambi – Gudang BBM ilegal di Kota Jambi lagi-lagi menuai sorotan. Kali BBM meluber dari gudang BBM PT Kerinci Toba Abadi (KTA) yang terletak di kawasan Rt 10, Pal Merah pada Senin, 15 Desember 2025 sekira pukul 00.00 WIB.
Entah bagaimana ceritanya BBM yang bersumber dari gudang ilegal tersebut mengalir ke saluran drainase sekitar, beruntung tidak terjadi kebakaran. Pantauan awak media di lokasi pada Senin siang, 15 Desember 2025, bau solar menyengat di sekitaran gudang.
Tim kepolisian tampak sudah memasangi garis polisi di sekitar gudang. Sementara kondisi gudang tampak sepi, tanpa aktivitas.
Soal insiden di gudang BBM Ilegal PT KTA tersebut, Kasat Reskrim Polresta Jambi Kompol Hendra Manurung dikonfirmasi lewat pesan WhatsApp belum ada respons.
Sementara Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Jambi, Mahruzar mengaku bahwa pihaknya telah mengambil sampel dari BBM yang meluber tersebut.
“Tadi pagi kita bersama pihak Polresta sudah ambil sampel, cuma kalau untuk hasilnya belum keluar,” ujar Mahruzar.
Reporter: Juan Ambarita
LINGKUNGAN
Sarat Masalah Pengelolaan Ekosistem Gambut
DETAIL.ID, Jambi – Sejumlah persoalan dalam kebijakan dan implementasi pengelolaan ekosistem gambut di Provinsi Jambi kembali mengemuka. Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi) Rudi Syaff, mengungkap eksploitasi besar-besaran terhadap ekosistem gambut berdampak sangat signifikan tergadap perubahan iklim.
Secara sederhana dia menguraikan bahwa kenaikan suhu global berbanding lurus dengan kenaikan permukaan air laut. Gambut di daerah sekitar pesisir pun lebih cepat kering, dan ketika terbakar melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Sementara 2023 lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menahan tingkat emisi diangka 29% secara mandiri.
“Kalau kita mau mempertahankan emisinya. Artinya mempertahankan hutannya dan mempertahankan muka air. Supaya gambut tidak kering dan emisi lepas. Bagaimama mempertahankan gambut, itu yang sangat penting,” kata Rudi Syaf, dalam dialog media Integrated Management of Peatland Lanscape in Indonesia (IMPLI), Kamis 23 Oktober 2025.
50 Persen Gambut Sudah Disulap
KKI Warsi mencatat, terdapat setidaknya 617 ribu hektar Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) di Provinsi Jambi. Namun 50% diantaranya sudah dikonversi menjadi perkebunan sawit maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).
Padahal Undang Undang sudah melarang agar lahan gambut dengan kedalaman 3 Meter lebih tidak boleh dikelola untuk perkebunan alias berstatus hutan lindung gambut. Namun dilapangan, kriteria tersebut nyatanya dilabrak oleh pihak-pihak tak bertanggungjwab.
“Karna dia gambut dalam, Undang Undang bilang gambut diatas 3 meter itu (statusnya) lindung. Tapi prakteknya sudah berubah jadi kebun. Ada inkonsistensi kebijakan. Padahal berfungsi sangat penting bagi kehidupan,” ujarnya.
Padahal menurut Direktur KKI Warsi tersebut, lahan gambut Jambi dengan potensi kandungan karbon yang sangat tinggi sejatinya punya nilai ekonomi tinggi bagi Jambi maupun Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik sebagaimana skema perdagangan karbon.
Oleh karena itu, ia pun mendorong peran aktif negara hingga penguatan peran masyatakat dalam menjaga dan merestorasi kawasan gambut. Menjaga gambut, kata Rudi, itu menjaga kehidupan, kunci keberhasilan kolaborasi, kebijakan yang berpihak hingga ekonomi lestari.
Penanganan Karhutla Belum Berfokus Pencegahan
Sementara itu Rektor Universitas Jambi Prof. Dr. Helmi yang juga merupakan pakar hukum lingkungan mengungkap persoalan krusial dalam paradigma penanggulangan karhutla yang belum sepenuhnya berfokus pada pencegahan. Prof Helmi, bahkan menilai terdapat politik anggaran yang ‘represif’ dalam hal karhutla.
“Ketika suatu kawasan ditetapkan masuk bencana, baru anggaran penanggulangan dicairkan. Karna (menggunakan) paradigma api dan asap, maka anggaran juga bukan angaran (untuk) mencegah atau mengatasi penyebab,” ujar Helmi.
Rektor Universitas Jambi tersebut berpandangan bahwa setidaknya terdapat beberapa penyebab yang sangat mendasar, mulai dari tata kelola lahan hingga sistem perizinan. Dia kembali mengungkit soal ketentuan perundang-undangan yang mengklasifikasikan gambut dengan kedalaman 3 meter lebih tidak boleh diusahakan lantaran masuk kawasan lindung. Namun pada prakteknya rawan pelanggaran dan minim penertiban.
“Trus apa yang harus dilakukan? Bagaimana kemudian memantau ini secara berkepanjangan? Cabut izinnya jika terjadi karhutla,” katanya.
Berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku, karhutla yang terjadi dalam areal konsesi atau HTI suatu badan usaha, sangsinya jelas yakni berupa pencabutan izin usaha atau administratif.
Namun pada prakteknya, kasus-kasus karhutla masih bergulir panjang pada proses pembuktian di persidangan. Padahal UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah menegaskan soal Strict Liability (Tanggungjawab Mutlak).
Dimana pada prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), perusahaan atau pihak pemegang izin usaha dapat dimintai tanggung jawab hukum atas terjadinya kebakaran di arealnya, tanpa perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian.
“Jadi tidak pas menurut saya, tanggungjawab mutlak itu jelas sangsinya administratif, langsung saja dicabut izinnya,” katanya.
Ditengah tantangan pemulihan, konsistensi kebijakan, tekanan konversi, dan minimnya insentif. Restorasi gambut lewat pengelolaan berkelanjutan FOLU Net Sink atau pemanfaatan hutan dan lahan dengan netral dinilai menjadi kunci. Hal itu demi menjaga kelestarian ekosistem gambut, hingga menekan laju naiknya suhu dan muka air laut.
Reporter: Juan Ambarita

