Connect with us
Advertisement

OPINI

Jalan Tol, Mimpi Buruk Kota Pematang Siantar dan Lampu Kuning Bagi Dinas Pariwisata

DETAIL.ID

Published

on

MENTERI Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan pada Sabtu, 30 Februari 2021 meninjau perkembangan keseluruhan kesiapan Danau Toba sebagai salah satu Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP). Menko Luhut Binsar Panjaitan juga menyebutkan pengintegrasian tol melewati Bandara Kualanamu itu bisa mempersingkat waktu tempuh menuju Danau Toba.

Berikut data dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) per tanggal 1 Juli 2021, Jalan Tol Kuala Tanjung – Tebing Tinggi – Parapat yang sedang dalam tahap konstruksi ini sebagai konektivitas pendukung sekaligus memangkas waktu perjalanan dari Medan ke Kawasan Pariwisata Strategis Nasional (KSPN) Danau Toba, yang hanya ditempuh dalam waktu 1,5 jam saja.

Kemudian, Jalan Tol Kuala Tanjung – Tebing Tinggi – Parapat juga menjadi pendukung pertumbuhan ekonomi Sumatra Utara dalam meningkatkan ekonomi wilayah dari Medan hingga Parapat.

Jalan Tol Kuala Tanjung – Tebing Tinggi – Parapat terdiri dari enam seksi yaitu Seksi 1 Tebing Tinggi- Inderapura (20,4 km) saat ini progresnya mencapai 84,83%, Seksi 2 Inderapura – Kuala Tanjung (18,05 km) progres telah mencapai 65,93%.

Kemudian Seksi 3 Tebing Tinggi – Serbelawan (30 km) progres mencapai 62,68%, Seksi 4 Serbelawan – Pematang Siantar (28 km) dengan progres mencapai 41,65%. Keempat seksi ini dikelola oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) PT Hutama Marga Waskita dan ditargetkan konstruksinya akan rampung pada akhir tahun 2021.

Untuk Seksi 5 Pematang Siantar – Seribudolok (22,30 km), Seksi 6 Seribudolok – Parapat (16,70 km) yang merupakan dukungan Pemerintah dan saat ini masih proses pengajuan Green Book.

Jalan Tol sepanjang 143,25 km ini merupakan lanjutan konektivitas dari Jalan Tol Medan – Kualanamu – Tebing Tinggi (MKTT) sepanjang 61,72 km. (BPJT/Dms)

Menurut penelitian Januardin dan Hottua (2019), Pembangunan jalan tol merupakan salah satu solusi dari pendistribusian baik barang dan manusia dengan cara mudah dan efektif dari sisi waktu dan jarak.

Pembangunan jalan tol merupakan salah satu solusi yang ditawarkan oleh pemerintah sekarang ini untuk mempercepat pertumbuhan di suatu daerah dan melakukan perataan pembangunan di setiap daerah. Pembangunan jalan tol akan memberikan kontribusi yang negatif ketika pembangunan itu dilakukan dengan cara tidak mementingkan beberapa unsur, baik itu dari unsur masyarakat maupun lingkungan.

Penulis mengambil contoh seperti pasar bengkel, dari hasil penelitian Indah Hidayah (2020) Penurunan pendapatan mencapai 50% – 200% dibanding sebelum adanya pembangunan jalan tol. Dampak negatifnya juga berdampak pada beberapa toko dodol yang sudah tidak beroperasi kembali.

Karena adanya kekhawatiran penulis apabila ruas tol Kuala Tanjung/Medan – Tebing Tinggi – Perapat dioperasikan akan membuat kota Pematang Siantar akan menjadi “KOTA MATI!” akan sama kejadiannya seperti pasar bengkel. Pada dasarnya, jalan tol tersebut akan mendukung program pemerintah untuk menjadikan Danau Toba sebagai Destinasi Pariwisata Super Prioritas (DPSP).

Namun, di sisi lain akan mengancam perekonomian Kota Pematang Siantar.
Kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan, mengingat kendaraan-kendaraan yang tadinya akan melintasi kota Pematang Siantar, akan beralih ke jalan tol. Pusat bisnis, seperti wisata kuliner dan UMKM tidak akan dilalui wisatawan karena lebih memilih melewati jalan tol karena tujuan utama wisatawan adalah destinasi Danau Toba. Hal ini disebabkan karena Kota Pematang Siantar tidak memiliki destinasi wisata yang menarik minat wisatawan.

Pemerintah harus cepat tanggap dalam mempersiapkan kota Pematang Siantar yang dapat menarik minat wisatawan, isu ini harus segera dibicarakan secara intens kalau kota Pematang Siantar tidak ingin menjadi “kota mati”.

Penulis memberikan solusi untuk pengelolaan rest area atau tempat peristirahatan jalan tol di Pematang Siantar (seperti rest area di Kota Cirebon), sejalan dengan hal ini Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PUPR, Herry Trisaputra Zuna mengatakan pemda juga harus terlibat aktif dalam mengembangkan rest area sehingga berpotensi menjadi destinasi wisata baru, dan para pengemudi mau mampir dan beristirahat di lokasi itu, seperti yang terjadi di sekitar Kota Cirebon.

Dalam pengelolaan tempat istirahat Kementerian PUPR juga mendorong diakomodirnya kehadiran Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di tempat istirahat.

Penulis juga mengingatkan kalau, Kota Pematang Siantar memiliki budaya yang sangat kental. Sebagai literatur, bahwasanya, Pematangsiantar yang dahulu berkedudukan di Pulau Holing dan raja terakhir dari dinasti ini adalah keturunan marga Damanik yaitu Tuan Sang Nawaluh Damanik yang memegang kekuasaan sebagai raja tahun 1906 (wikipedia).

Banyak situs budaya di Kota Pematang Siantar yang dapat diperkenalkan secara luas agar dapat menarik wisatawan untuk datang menyambangi Kota Pematang Siantar.
Kota Pematang Siantar ini sangat pluralis. Pada tahun 2020 penduduk Kota Pematang Siantar mencapai 268.254 jiwa, suku Batak Simalungun, Batak Toba, Batak Karo, Jawa, Tionghoa dan suku lainnya yang tersebar di Kota Pematang Siantar.

Tidak pernah ada bentrok agama dan budaya. Dari hal itu timbul kecurigaan penulis, bahwasanya hal ini mengakibatkan masyarakat apatis terhadap isu pembangunan yang bersifat kebudayaan.

Dapat terlihat jelas kalau masih sangat minim kesadaran masyarakat terhadap budaya yang berada di Kota Pematang Siantar, padahal Museum Simalungun tempat bersemayam berbagai kebudayaan Siantar telah tersedia dengan baik, namun sering sekali tidak aktif, karena minimnya ketertarikan masyarakat tentang kebudayaan.

Hal yang sama juga terlihat pada salah satu situs budaya makam Raja Sang Naualuh di jalan pematang tidak diekspose dengan baik, padahal tempat tersebut bisa menjadi destinasi budaya dan menarik minat wisatawan. Padahal situs kebudayaan itu merupakan kekayaan tak ternilai yang berada di Kota Pematang Siantar.

Penulis menduga Dinas Pariwisata Kota Pematang Siantar tidak serius dalam meningkatkan dan memperkenalkan situs kebudayaan yang seharusnya menjadi ikon Kota Pematang Siantar sebagai kota berbudaya. Masih sangat banyak PR yang harus dikerjakan oleh Dinas Pariwisata Kota Pematang Siantar.

Penulis juga memberikan lampu kuning kepada Dinas Pariwisata Kota Pematang Siantar, karena ada pekerjaan berat untuk memperkenalkan Kota Pematang Siantar di tengah kritisnya keadaan Kota Pematang Siantar. Destinasi wisata kebudayaan adalah solusi paling rasional untuk menyelamatkan Kota Pematang Siantar agar tidak menjadi “kota mati”.

Penulis juga bersedia jika Dinas Pariwisata Kota Pematang Siantar membuka diri untuk melakukan silaturahmi dan berdiskusi untuk kemajuan destinasi wisata Kota Pematang Siantar.

Melihat hasil tulisan di atas, penulis memiliki keyakinan kalau kebangkitan destinasi wisata budaya dan destinasi pariwisata lainnya yang berada di Kota Pematang Siantar mampu meningkatkan minat wisatawan dan akan menyokong sektor perekonomian Kota Pematang Siantar terkhusus saat jalan tol trans Sumatra Kuala Tanjung/Medan – Parapat rampung dan dioperasikan. Semua elemen harus bahu – membahu dan serius dalam mengawal isu ini.

SEGERA SADAR! ATAU KOTA PEMATANG SIANTAR AKAN MATI!

*Akademisi, pegiat literasi, dan aktivis lingkungan. Tinggal di Pematang Siantar, Sumatra Utara.

OPINI

Sibuk Merayakan Maulid, Lupa Meneladani Amanah Rasulullah

Oleh: Naz*

DETAIL.ID

Published

on

SETIAP tahun, suasana Maulid Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu dirayakan dengan gegap gempita di berbagai daerah. Namun, ada ironi besar di balik semua itu. Semangat merayakan hari lahir Rasulullah sering kali hanya berhenti pada simbol, tidak menembus ke substansi.

Rasulullah SAW bukanlah figur yang gemar pada kemewahan perayaan. Beliau diutus membawa risalah kebenaran, menegakkan amanah, kejujuran, dan keadilan. Yang beliau wariskan bukanlah seremonial kosong, melainkan teladan akhlak mulia yang seharusnya menjadi pedoman para pemimpin umat, termasuk pemimpin daerah kita.

Padahal, inti dari peringatan Maulid bukanlah sekadar mendengar ceramah atau memajang baliho besar gambar Kepala Daerah di masjid. Inti Maulid adalah meneguhkan kembali teladan Rasulullah:

1. Amanah dalam kepemimpinan;
Rasulullah menunjukkan bahwa jabatan adalah titipan, bukan alat memperkaya diri atau keluarga. Kepala daerah hari ini mestinya meneladani itu, memastikan setiap rupiah APBD digunakan untuk kesejahteraan rakyat, bukan untuk memperbesar rekening pribadi.

2. Kejujuran dalam setiap kebijakan;
Rasulullah tidak pernah berbohong meski dalam perkara kecil. Pemimpin seharusnya berani berkata jujur pada rakyat: tentang kondisi keuangan daerah, tentang keterbatasan, bahkan tentang kegagalan. Bukan malah menutup-nutupi dengan angka manipulatif demi pencitraan.

3. Kesederhanaan hidup;
Rasulullah hidup sederhana, bahkan ketika memiliki peluang untuk kaya raya. Sedangkan para kepala daerah kita sering kali larut dalam gaya hidup mewah: mobil dinas berderet, perjalanan dinas berulang, pesta perayaan digelar besar-besaran, sementara rakyat kecil masih kesulitan biaya pendidikan dan kesehatan.

Jika para kepala daerah benar-benar ingin menjadikan Maulid sebagai momen penting, seharusnya mereka tidak hanya sibuk di atas panggung, tapi juga menjadikan amanah dan kejujuran sebagai kompas kepemimpinan sehari-hari. Tidak ada artinya mengeluarkan kata-kata manis tentang Rasulullah jika kebijakan yang diambil justru menyengsarakan rakyat.

Rasulullah pernah bersabda bahwa sebaik-baik pemimpin adalah yang paling dicintai rakyat karena keadilannya, dan seburuk-buruk pemimpin adalah yang dibenci rakyat karena kezalimannya.

Pertanyaannya: apakah kepala daerah hari ini sudah berada di jalan yang benar? Ataukah mereka hanya menumpang nama Rasulullah untuk memperindah citra di depan rakyat?
Maulid seharusnya menjadi alarm moral: jangan sibuk dengan perayaan tapi lalai dari keteladanan.

Jadikanlah Rasulullah sebagai teladan dalam kejujuran, jadilah pemimpin yang Al-Amin bukan yang Al-Korup. Sebab, yang paling dibutuhkan rakyat bukanlah panggung megah dan sambutan panjang, melainkan pemimpin yang benar-benar meneladani sifat Al-Amin, Amanah, Jujur, dan Adil.

*Pengamat sosial dan politik, tinggal di Jambi

Continue Reading

OPINI

PETI Dicaci, PETI Pemberi Rezeki: Siapa yang Ditumbalkan?

Oleh: Daryanto*

DETAIL.ID

Published

on

FENOMENA Penambangan Emas Tanpa Izin (Peti), bukanlah terjadi baru-baru ini saja. Sejak transmigrasi masuk, sudah banyak bekas galian PETI di sepanjang lokasi yang dijadikan perkebunan. Seperti yang terjadi di Kecamatan Renah Pamenang, Pamenang Selatan misalnya, bekas galian para warga yang mencari butiran emas bisa disaksikan secara kasat mata. Hanya saja cara mereka awalnya hanya mengunakan dulang atau alat tradisional yang digunakan untuk memisahkan butiran pasir dan buliran emas, cara mereka menggalinya pun mengunakan alat sederhana seperti linggis.

Namun memasuki tahun 2010, aktivitas PETI berubah total, dari yang awalnya tradisional, berubah mengunakan mesin dan merambah mengunakan alat berat sampai sekarang.

Tapi diakui atau tidak, di Provinsi Jambi, aktivitas peti khususnya di Jambi Wilayah Barat, seperti Tebo, Muara Bungo, Merangin, dan Sarolangun aktivitas PETI terus terjadi, namun pola-pola yang dilakukan oleh masyarakat untuk mendapatkan emas dilakukan dengan tiga cara, seperti dompeng darat, lanting, dan menggunakan box

Dompeng darat, biasanya oknum masyarakat mencari emas menggunakan alat berat dengan cara mengali tanah dengan kedalam tertentu, dibantu dua mesin penyedot air dan mesin penyedot batu dan mampu menampung sampai delapan tenaga kerja, dengan kelebihannya setelah ditambang bisa direklamasi ulang dan bisa ditanami kembali.

Berbeda dengan dompeng lanting, biasanya masyarakat mengunakan rakit buatan yang dilakukan di dalam sungai, dengan cara menyedot batu dan pasir di dalam sungai dengan dua mesin yang biasanya dilakukan oleh tiga tenaga kerja, Terkadang pasir yang disedot dimasukan kembali ke sungai sehingga membuat aliran sungai menjadi dangkal.

Lain halnya PETI menggunakan alat berat yang bekerja, mengambil pasir dan batu menggunakan baket alat berat kemudian dimasukan dalam alat box, dan biasanya ada dua sampai tiga pekerja yang melakukan pekerjaan secara terus menerus di bantaran aliran sungai sehingga mengakibatkan kerusakan lingkungan yang cukup parah dan susah untuk direklamasi ulang.

Tentu ada hal yang menarik dari tiga katagori PETI yang sering dilakukan oleh warga, Bagaimana pengunaan merkuri atau logam berat. Dari pantauan penulis, masyarakat yang beraktivitas PETI rata-rata mengunakan logam berat untuk memisahkan emas dari pasir hitam dengan cara memasukan ke dalam ember, kemudian diaduk di satu tempat agar logam berat tidak terbuang lalu di peras mengunakan kain tipis untuk memisahkan emas dan logam berat, atau bagi masyarakat pendompeng mengenalnya dengan istilah “ngepok”, setelah terpisah air tak tadi dimasukan ke dalam botol untuk bisa dipergunakan lagi.

Lalu kemana para pemain petugas menjual hasilnya? Banyak di sejumlah tempat yang biasa menampung hasil PETI, ada pemilik modal yang bekerja sama dengan cara main “DO”, dengan sistem pembelian yang berbeda dengan harga toko emas, dan ada juga yang langsung menjual lepas ke penadah emas dengan harga yang lebih tinggi di banding pemilik “DO”. Tak perlu harus menelisik toko emas mana yang menjadi langganan pelaku PETI menjual hasilnya dan “aman dari pengamatan petugas” dan sudah jadi pengetahuan umum masyarakat Merangin.

Dari sisi ekonomi, bagi sebagian masyarakat, kerja di Penambangan Emas Tanpa Izin tentu sangat menjanjikan, sebab banyak masyarakat yang tertolong dari pinjaman pinjol, tagihan angsuran bank, angsuran kredit motor dan biaya anak sekolah, belum lagi bagi oknum NGO, oknum organisasi profesi, institusi tertentu, yang sering mendapatkan rezeki dari para pemilik mesin dompeng, walaupun hanya sekedar berbasa-basi dengan pemilik PETI.

Lalu bagaimana PETI yang sudah terjadi puluhan tahun tetap berlangsung sampai saat ini? Meskipun sudah banyak pekerja PETI yang tertangkap dan dipenjara, apakah ada efek jera?

Bagi sebagian kecil pekerja pasti dapat efek jera, sebab hanya pekerja saja yang jadi tumbal dan jarang pemilik dan pemodal PETI yang tertangkap. Namun fakta di lapangan bisa dilihat hari ini dirazia aparat keamanan berhenti bekerja, besok pasti sudah bekerja lagi demi tuntutan kebutuhan perut.

Terkadang ada juga faktor x yang berpengaruh, agar saat razia terkesan ada hasil, di lokasi tertentu para pemilik alat berat dan dompeng bisa berkoordinasi dengan baik dengan para oknum, maka sudah pasti akan selamat, tetapi jika di satu wilayah para pemain alat berat dan pemilik dompeng di anggap “pelit”, dan sering masuk pemberitaan bisa dipastikan bakal ada yang kena, dan ini fakta yang terus menerus terjadi.

Mari kita lihat bagaimana peran penting PETI yang dicaci tetapi membawa rezeki. PETI tidaklah akan berjalan sampai hari ini jika bahan bakar distop dari hulunya, tetapi ada fakta lainnya yang tidak bisa dipisahkan, ibarat PETI adalah gula manis, tentu banyak jenis semut yang mendekati untuk mendapatkan rasa manisnya.

Siapa yang berani menjual bahan bakar PETI seperti solar subsidi dalam jumlah besar jika bukan ada oknum aparat keamanan yang bermain? Pemandangan antrian solar subsidi pasti mengular di sejumlah SPBU di Merangin yang menyediakan bio solar, banyak cara dilakukan dengan mengisi berkali kali dengan nomor barcode yang berbeda beda, lalu hasil antrian solar sudah pasti sudah ada pembeli yang dijual ke lokasi PETI. Lalu kenapa PETI bisa sebagian aman saat dirazia dan sudah bocor duluan saat didatangi ke lokasi, sudah bisa diduga ada oknum aparat keamanan yang pasti ikut mendapatkan bagian dari kegiatan ilegal tersebut, dan bahasa sederhananya adalah mendapatkan “bulanan” per alat berat di setiap wilayah di Merangin pasti berbeda beda nominalnya.

Lalu ada peran Pemerintah Daerah yang tidak mau kehilangan cara, dengan menerbitkan surat edaran Kepala Daerah yang ditujukan kepada perangkat pemerintahan kecamatan hingga level desa untuk tidak terlibat PETI, apalagi Kades merupakan pemangku adat di desanya.

Situasi ini tentunya mudah disampaikan tapi sulit dikerjakan. sebagian besar masyarakat di Merangin sudah puluhan tahun banyak yang bekerja dan menggantungkan hidup di sektor “per-PETI-an” , dan saat pemerintah menghimbau tidak melakukan aktivitas PETI tetapi sayangnya edaran tersebut tidak disertai solusi konkrit yang bisa dikerjakan masyarakat agar bisa beralih ke pekerjaan lainnya selain kerja PETI.

Jikalau mau dan serius dalam memberantas PETI, Pemerintah Daerah wajib membentuk Tim Terpadu untuk melakukan kerja sama dan secara serius mencarikan solusi agar masyarakat bisa mendapatkan pilihan pekerjaan selain PETI, dan berani tegas untuk menindak semua oknum aparat keamanan yang berani menjual BBM kepada para pelaku PETI, tidak menerima uang bulanan, dan sama-sama mengawal kebijakan soal wilayah pertambangan rakyat, bagaimana izin pertambangan rakyat bisa didapatkan, sehingga tidak ada lagi cara-cara ilegal untuk mendapatkan uang demi kebutuhan hidup masyarakat banyak.

Seperti kaga pepatah, jika air keruh di hilir tengoklah dari hulunya.

Salam santun.

*Penulis adalah wartawan DETAIL.ID yang tinggal di Kabupaten Merangin.

Continue Reading

OPINI

Pembangunan Stockpile Batu Bara dan Penolakan Warga: Ujian Serius Bagi Pemerintah

Oleh: Eko Saputra S. Lumban Gaol, SH*

DETAIL.ID

Published

on

PEMBANGUNAN stockpile batu bara di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi, telah memicu gelombang penolakan besar. Warga menilai proyek ini bukan sekadar persoalan teknis perizinan, tetapi ancaman langsung terhadap keselamatan, kesehatan, dan hak hidup mereka.

Provinsi Jambi selama ini menjadi salah satu lumbung batu bara nasional. Namun, di balik sumbangan devisa, masyarakat justru menanggung dampak: jalan rusak akibat truk over tonase, kemacetan kronis, polusi udara yang memicu penyakit, dan meningkatnya kecelakaan lalu lintas yang berujung korban jiwa. Terakhir, pembangunan stockpile batu bara di tengah pemukiman padat semakin memperparah beban masyarakat.

Pemerintah Harus Memihak Rakyat

PT Sinar Anugerah Sukses (SAS), pemilik IUP ±1.273 hektare di Sarolangun, mengklaim memiliki izin sah untuk membangun stockpile sekaligus pelabuhan pengangkutan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan minimnya keterbukaan:

  • Tidak ada sosialisasi yang layak bagi warga terdampak.
  • Lokasi di jantung pemukiman yang rawan banjir, macet, dan polusi.
  • Dugaan pelanggaran tata ruang dan peruntukan lahan.

Penolakan pun meluas, para aktivis lingkungan, mahasiswa, pemuda, hingga warga sekitar menegaskan ketidaksetujuan mereka. Bagi masyarakat, proyek ini bukan peluang ekonomi, melainkan ancaman hidup.

Klaim PT SAS soal kepatuhan izin tak bisa menjadi tameng. Pemerintah dari pusat hingga kota dituntut berhenti bersikap pasif. Jika izin memang diberikan, prosesnya perlu diaudit terbuka. Bila memang menyalahi RTRW atau mengancam keselamatan warga, pencabutan izin atau relokasi harus menjadi langkah tegas.

Just Transition Bukan Sekadar Konsep

Transisi energi yang adil (Just Transition) adalah pendekatan yang menekankan perlunya transisi energi yang adil, inklusif dan adil untuk semua pihak. Di Aur Kenali, Just Transition menjadi satu hal yang prinsip, tidak ada pembangunan yang mengorbankan kesehatan, keselamatan, dan ruang hidup warga yang mengatasnamakan investasi dan keuntungan segelintir perusahaan.

Penolakan warga Aur Kenali adalah peringatan keras bahwa investasi tak boleh menindas hak masyarakat, tapi seyogyanya mendorong transisi energi dan ekonomi yang adil, dengan memastikan tidak ada yang tertinggal.

Pemerintah wajib hadir sebagai pelindung rakyat, bukan sekadar pemberi izin. Tanpa keberpihakan tegas, pembangunan stockpile batu bara hanya akan meninggalkan luka sosial dan ekologis yang dalam.

*Warga RT 014/002 Desa Mendalo Darat, mahasiswa Pascasarjana Universitas Jambi dan Ketua DPC FSB NIKEUBA Muarojambi

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs