SEJARAH peringatan Hari Pangan Sedunia bermula dari Konferensi FAO ke-20 pada November 1976 di Roma yang memutuskan untuk dicetuskannya Resolusi Nomor 179 mengenai World Food Day. Resolusi disepakati oleh 147 negara anggota FAO, termasuk Indonesia, menetapkan bahwa mulai tahun 1981 segenap negara anggota FAO setiap tanggal 16 Oktober memperingati Hari Pangan Sedunia (HPS).
Bicara pangan di Indonesia, lazim kita mendengar konsep tentang ketahanan pangan, hak atas pangan atau kalau kita sedikit dalam menggeluti perihal pangan ini kita akan berjumpa dengan konsep kedaulatan pangan. Lantas apakah ketahanan pangan yang digadang-gadang selama ini mampu menyelamatkan masyarakat dari ancaman kelaparan global akibat semakin menggilanya pasar bebas atau yang akrab kita kenal dengan istilah neoliberalisasi? Apakah benar kedaulatan pangan mampu menjadi alternatif perlawanan ancaman kelaparan tersebut? Dan apakah hak atas pangan mampu menjamin hak pangan untuk masyarakat?
Persoalan pangan bagi bangsa Indonesia, dan juga bangsa-bangsa lainnya di dunia ini adalah merupakan persoalan yang sangat mendasar, dan sangat menentukan nasib dari suatu bangsa. Ketergantungan pangan dapat berarti terbelenggunya kemerdekaan bangsa dan rakyat terhadap suatu kelompok, baik negara lain maupun kekuatan–kekuatan ekonomi lainnya
La Via Campesina (organisasi perjuangan petani internasional) sebagai organisasi payung Serikat Petani Indonesia (SPI) di tingkat Internasional telah memperkenalkan konsep kedaulatan pangan (Food Sovereignty) bagi umat manusia di dunia ini pada World Food Summit (WFS) yang dilaksanakan pada bulan November 1996 di Roma, Italia.
La Via Campesina didirikan oleh petani dari empat benua di Belgia pada tahun 1993. Ini adalah gerakan internasional petani, produsen kecil dan menengah, masyarakat adat, orang-orang tak bertanah, perempuan pedesaan, pemuda pedesaan, dan pekerja pertanian, Gerakan ini adalah gerakan otonom, pluralis, dan multikultural, independen dari afiliasi politik atau ekonomi apa pun. Saat ini, La Via Campesina mewakili sekitar 200 juta petani melalui lebih dari 180 organisasi di 81 negara, La Via Campesina pernah dipimpin oleh Petani Indonesia selama dua periode masa kepemimpinan yakni Henry Saragih yang juga menjabat sebagai Ketua Umum Serikat Petani Indonesia saat ini.
Apa perbedaan Ketahanan pangan, kedaulatan pangan dan hak atas pangan?
A. Ketahanan pangan (food security)
Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana semua orang memiliki akses fisik dan ekonomi dalam setiap waktu terhadap pangan yang cukup, aman, dan memenuhi kebutuhan gizi serta hidup yang sehat dan aktif.
Awalnya hanya menyoal ketersediaan pangan, tetapi indikatornya telah dikembangkan hingga aspek keberlanjutan ekologis dan kecukupan gizi. Namun, karena definisinya bias dikembangkan dan disesuaikan dengan konteks Negara, ketahanan pangan sering tidak punya sikap terhadap pasar (termasuk liberalisasi pangan) dan kekuatan korporasi (corporate power)
Bila kita kaji lebih dalam, krisis pangan yang terjadi di Indonesia dewasa ini adalah akibat kesalahan pola kebijakan pangan yang ditetapkan selama ini. Pola atau paradigma kebijakan pangan yang diterapkan selama ini berlandaskan pada konsep ketahanan pangan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 konsep ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah ataupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau.
Dalam konsep ketahanan pangan sebagaimana yang dirumuskan dalam PP Nomor 68 Tahun 2002 tersebut tidak diatur bagaimana pangan itu diproduksi dan dari mana pangan tersebut berasal.
Tidak diaturnya mengenai dari mana pangan berasal akan mengakibatkan berkembangnya industri pangan di perkotaan, terutama investasi dari perusahaan agribisnis pangan transnasional. Hal ini kemudian mengakibatkan desa dan petani tidak lagi menjadi produsen pangan, melainkan sekadar penyedia bahan baku yang murah serta pasar bagi industri pangan perkotaan.
B. Kedaulatan pangan (food sovereignty)
Kedaulatan pangan merupakan hak setiap manusia terhadap produk pangan yang layak secara kesehatan maupun kultural, yang diproduksi dengan metode yang berkelanjutan dan ekologis, dan menekankan kedaulatan rakyat untuk menentukan sendiri pangan (cara pangan diproduksi – dikonsumsi) atau sistem pertanian yang dikehendaki, Sikapnya jelas terhadap sistem perdagangan bebas, komodifikasi pangan dan korporatisasi pangan.
Kedaulatan pangan lebih dari sekadar memastikan bahwa orang memiliki cukup makanan untuk memenuhi kebutuhan fisik mereka. Ini menegaskan bahwa orang harus merebut kembali kekuasaan mereka dalam sistem pangan dengan membangun kembali hubungan antara manusia dan tanah, dan antara penyedia makanan dan mereka yang makan.
Melansir dari laman globaljustice.org.uk, bisnis besar mendominasi sistem pangan global kita. Segelintir kecil perusahaan besar mengendalikan sebagian besar produksi, pemrosesan, distribusi, pemasaran, dan penjualan eceran makanan.
Konsentrasi kekuatan ini memungkinkan bisnis besar untuk menghapus persaingan dan mendikte persyaratan sulit kepada pemasok mereka. Ini memaksa petani dan konsumen ke dalam kemiskinan dan kelaparan. Di bawah sistem ini, sekitar satu miliar orang kelaparan dan sekitar dua miliar orang mengalami obesitas atau kelebihan berat badan.
Kedaulatan pangan harus didukung dan bertumpu pada kedaulatan petani. Tanpa adanya kedaulatan petani tidak akan terwujud kedaulatan pangan yang sejati. Kedaulatan petani hanya akan terwujud apabila ada pengakuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi petani, Secara lebih konkret, ada tujuh prinsip utama untuk menegakkan kedaulatan pangan, antara lain adalah:
(1) pembaruan agraria,
(2) adanya hak akses rakyat terhadap pangan,
(3) penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan,
(4) pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang diperdagangkan,
(5) pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi,
(6) melarang penggunaan pangan sebagai senjata,
(7) pemberian akses ke petani kecil untuk perumusan kebijakan pertanian”.
Selain ketujuh syarat tersebut, praktik untuk membangun kedaulatan pangan harus dilandaskan pada prinsip-prinsip dasar sebagaimana pada diagram di bawah ini:
C. Hak atas pangan (Right to food)
Melihat pangan sebagai hak, dimana setiap laki-laki, perempuan dan anak, secara individual atau sebagai bagian dalam komunitas, memiliki akses fisik dan ekonomi setiap saat atau sarana yang memadai dalam pengadaan atas pangan.
Punya indikator yang jelas terhadap siapakah yang memiliki kewajiban untuk merealisasikannya (lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, Komnas HAM Dan Ombudsman) dan siapa penerimanya (seluruh manusia), dan punya mekanisme pengaduan dan pelaporan yang jelas jika haknya dilanggar.
Hak atas pangan merupakan hak asasi manusia dan merupakan kewajiban mengikat yang dijamin dalam hukum internasional. Pemenuhan atas hak ini merupakan tanggung jawab semua orang, tetapi menekankan peranan penting pada dua aktor: pemerintah, sebagai pemegang kewajiban (duty bearers) dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sebagai National Human Rights Institutions (NHRIs) yang imparsial dan independen yang harus turut melindungi dan menegakkan hak atas pangan sebagai bagian dari hak asasi manusia dengan melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi atas hak tersebut.
Menurut FIAN, Indonesia ada beberapa hal yang mengurgensikan pemantauan dan pemenuhan hak atas pangan. Pertama, angka stunting Indonesia di tingkat dunia yang masih tinggi. Kedua, kondisi Covid-19 yang telah menyebabkan kematian dan kelaparan. Ketiga, integrasi pertanian dari hulu ke hilir dapat semakin meminggirkan petani, nelayan, dan produsen skala kecil. Keempat, konsumen perempuan dan anak yang selalu dikelabui oleh makanan industrial dan pabrikan. Terakhir, dampak potensial dari implementasi UU Cipta Kerja terhadap masa depan hak atas pangan dan gizi warga negara Indonesia.
D. Kesimpulan
Hak atas pangan, kedaulatan pangan, dan ketahanan pangan memiliki irisan dan trajektori historis atau sejarah yang sama. Tapi apakah setiap konsep ini sama-sama berpihak kepada petani? Jawabannya tentu tidak.
*Presidium Nasional di DPP Gema Petani (Gerakan Mahasiswa Petani Indonesia) periode 2021 -2023
Discussion about this post