Connect with us
Advertisement

LINGKUNGAN

Serumpun Hijau Nusantara: Pencabutan Izin Perusahaan oleh KLHK Mengurai Konflik Agraria

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Seluas 3.126.439 hektare izin perusahaan di kawasan hutan dicabut oleh Menteri KLHK, Siti Nurbaya. Peringkat tertinggi pencabutan izin kawasan hutan di Papua menyusul Kalimantan Tengah.

Di jambi 110.803 hektare dengan 8 perusahaan  pemegang  Izin ikut dicabut oleh KLHK. 8 Perusahaan ini terletak di 6 kabupaten; Tebo, Bungo,Batanghari, Muaro jambi, Tanjabtim, Tanjabbar

Keputusan Menteri KLHK  Nomor : SK.01/MENKLHK/SETJEN/KUM.1/12022 Tentang Pencabutan Konsesi Kawasan Hutan (Provinsi Jambi)

No Nama Perusahaan Luas Areal Letak
Q PT Dyera Hutan Lestari      8.000,00 Muaro Jambi dan Tanjabtim
2 PT Arangan Hutan Lestari      9.400,00 Kec VII Koto Tebo
3 PT Agrowiyana (I)    12.734,00 Tungkal Ulu Tanjabbar
4 PT Bangun Desa Utama    27.675,00 Batang  Hari
5 PT Jamika Raya (I)   18.295, 00 Kec  Jujuhan Bungo
6 PT Limbah Kayu Utama    19.300,00 Tebo
7 PT Agrowiyana (II)      10.50,00  Tanjabbar
8 PT Bahari Gembira Ria (II)   14.349, 00 Sungai Gelam Muaro Jambi
Total Luas          110.803,00

Tidak hanya izin perusahaan di kawasan hutan, namun ada juga yang di luar kawasan hutan  dan izin pertambangan  yang  langsung diumumkan Presiden Jokowi pada 6 Januari 2022.

“Konsistensi  Presiden Jokowi dicerminkan  dalam Keputusan KLHK ini telah menyegarkan kembali kepercayaan Rakyat terhadap Kekuasaan untuk keadilan sosial,sehingga agenda Reforma Agraria dan Perhutanan sosial bisa berjalan lebih maju” ujar Azhari Ketua Umum Serumpun Hijau Nusantara (SHN) melalui pers rilisnya, Minggu, 9 Januari 2022.

BACA JUGA: Deretan Aplikasi Penghasil Uang dan Penipuan Skema Ponzi

Azhari melanjutkan, semua izin bermasalah dan berkonflik di provinsi Jambi ini, dengan dicabutnya ratusan ribu hektar ini bisa membuka peluang untuk mengurai konflik agraria selama ini. Mencadangkan areal untuk kepentingan rakyat dan kepentingan umum.

“Ada peluang ratusan ribu rakyat jambi bisa mengakses tanah tersebut secara legal tentu dengan aturan yang ditetapkan pemerinta. Menghindari mobilisasi massa, mengatasi ketimpangan struktural terhadap kaum tak bertanah “landless”, serta membangun kesejahteraan sosial di provinsi jambi, untuk itu Pemprov segera bersinergi dengan KLHK untuk segera lakukan identifikasi dan pengamanan terhadap obyek yang telah dicabut ini,” kata Azhari,  Anggota Pokja PS Percepatan izin.

Pencabutan izin atas kolaborasi NGO, Stake holder, Aktifis Agraria dan Lingkungan.

Delapan perusahaan yang dicabut izinnya ini merupakan perusahaan yang telah dilaporkan sejak lama oleh NGO, Stake Holder  dan Aktivis Agraria, mayoritas terdandung kasus Pembakaran hutan, tidak beroperasi, dan ada yang berkonflik akut  dengan warga.

“Semua izin perusahaan dari timur hingga ke barat Provinsi Jambi masih banyak bermasalah, lebih lanjut diperlukan inventarisir dan  identifikasi masalah pada areal izin perusahaan,berkonflik berkepanjangan tidak menjalankan RKU dan RKT, membangun mitra abal-abal, Parahnya  seperti PT BKU yang ternyata tidak beroperasi meninggalkan kehancuran Hutan dan tidak melakukan reforestasi daur dgn tanaman, jika ada yang spt ini kami koalisi akan laporkan ke KLHK  dan yang spt ini disinyalir ada dan selama ini mereka bermain mata,” sebut C Napitupulu, Ketua KKRJ Provinsi Jambi

“Kami dari koalisi rakyat akan terus memberikan masukan konstruktif sekaligus melaporkan perusahaan nakal tidak mampu berkontribusi  mensejahterakan rakyat,“ tambahnya

Menegaskan itu, Aktivis WALHI Riau, Riko Kurniawan menyampaikan dalam rilisnya bahwa masih ada sekitar 1,37 juta hektare lagi yang sedang dievaluasi oleh KLHK.

“Artinya ke depan masih ada ancaman sanksi pencabutan izin yang harus terus dikawal bersama. Pemerintah harus aktif melibatkan para stakeholders di daerah, NGO, Pers, Akademisi, dan semua pihak untuk upaya penyelamatan hutan Indonesia. Keterbukaan informasi dan kerja kolaborasi KLHK, menjadi kunci penting dari koreksi kebijakan yang sedang berjalan,” ujar Riko.

Pencabutan 192 izin sektor kehutanan yang diumumkan Presiden Jokowi menjadi tahap kedua, setelah pada periode September 2015-Juni 2021, sudah ada  106 izin atau area seluas 812 ribu hektare dicabut. Sehingga total izin sawit dan kehutanan yang dicabut mencapai hampir 4 juta hektare atau sekitar 54 kali luasan Singapura.

BACA JUGA: Tercatat 320 Korban Rugi Rp2,09 Milyar, Polda Jambi Membuka Posko Aduan Korban Penipuan Share Result ‘SR’

”Ini langkah berani dan tegas karena mencakup area yang sangat luas. Keputusan ini sudah lama ditunggu karena tidak hanya merugikan lingkungan, tapi juga menutup ruang hidup masyarakat sekitar hutan sehingga mereka hidup dalam kemiskinan dan penindasan. Pencabutan izin membuktikan negara masih hadir di tengah ketimpangan akses masyarakat terhadap sumber daya alam,” ungkap Riko.

Untuk itu ia mengingatkan perihal kewajiban hukum yang mengikat pemilik konsesi meski lahannya telah dicabut. ”Mereka yang terbukti tidak memanfaatkan lahannya dengan baik dan melanggar aturan, wajib diberi sanksi hukum secara pidana maupun perdata, dan harus ada target pemulihan lingkungan, serta distribusi akses legal masyarakat secara terukur,” tambah Riko.

Pencabutan izin sektor kehutanan juga menyasar 38 izin konsesi penebangan dan kayu pulp. Luasannya mencakup area 1,32 juta hektar atau lebih dari 18 kali luas Singapura. Sebagian besar berada di Provinsi Aceh, Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Papua. Nantinya dari areal HPH dan HTI yang dicabut ini, akan didistribusikan kepada masyarakat melalui skema Perhutanan Sosial dan Reforma Agraria.

Sedangkan untuk dua ribu lebih izin pertambangan yang dicabut, antara KLHK dan Kementerian ESDM harus dapat memastikan langkah penegakan hukum, dan pemulihan lingkungan.

LINGKUNGAN

Sarat Masalah Pengelolaan Ekosistem Gambut

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Sejumlah persoalan dalam kebijakan dan implementasi pengelolaan ekosistem gambut di Provinsi Jambi kembali mengemuka. Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (Warsi) Rudi Syaff, mengungkap eksploitasi besar-besaran terhadap ekosistem gambut berdampak sangat signifikan tergadap perubahan iklim.

Secara sederhana dia menguraikan bahwa kenaikan suhu global berbanding lurus dengan kenaikan permukaan air laut. Gambut di daerah sekitar pesisir pun lebih cepat kering, dan ketika terbakar melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar. Sementara 2023 lalu, Indonesia menyatakan komitmen untuk menahan tingkat emisi diangka 29% secara mandiri.

“Kalau kita mau mempertahankan emisinya. Artinya mempertahankan hutannya dan mempertahankan muka air. Supaya gambut tidak kering dan emisi lepas. Bagaimama mempertahankan gambut, itu yang sangat penting,” kata Rudi Syaf, dalam dialog media Integrated Management of Peatland Lanscape in Indonesia (IMPLI), Kamis 23 Oktober 2025.

50 Persen Gambut Sudah Disulap

KKI Warsi mencatat, terdapat setidaknya 617 ribu hektar Kawasan Hidrologis Gambut (KHG) di Provinsi Jambi. Namun 50% diantaranya sudah dikonversi menjadi perkebunan sawit maupun Hutan Tanaman Industri (HTI).

Padahal Undang Undang sudah melarang agar lahan gambut dengan kedalaman 3 Meter lebih tidak boleh dikelola untuk perkebunan alias berstatus hutan lindung gambut. Namun dilapangan, kriteria tersebut nyatanya dilabrak oleh pihak-pihak tak bertanggungjwab.

“Karna dia gambut dalam, Undang Undang bilang gambut diatas 3 meter itu (statusnya) lindung. Tapi prakteknya sudah berubah jadi kebun. Ada inkonsistensi kebijakan. Padahal berfungsi sangat penting bagi kehidupan,” ujarnya.

Padahal menurut Direktur KKI Warsi tersebut, lahan gambut Jambi dengan potensi kandungan karbon yang sangat tinggi sejatinya punya nilai ekonomi tinggi bagi Jambi maupun Indonesia jika dimanfaatkan dengan baik sebagaimana skema perdagangan karbon.

Oleh karena itu, ia pun mendorong peran aktif negara hingga penguatan peran masyatakat dalam menjaga dan merestorasi kawasan gambut. Menjaga gambut, kata Rudi, itu menjaga kehidupan, kunci keberhasilan kolaborasi, kebijakan yang berpihak hingga ekonomi lestari.

Penanganan Karhutla Belum Berfokus Pencegahan

Sementara itu Rektor Universitas Jambi Prof. Dr. Helmi yang juga merupakan pakar hukum lingkungan mengungkap persoalan krusial dalam paradigma penanggulangan karhutla yang belum sepenuhnya berfokus pada pencegahan. Prof Helmi, bahkan menilai terdapat politik anggaran yang ‘represif’ dalam hal karhutla.

“Ketika suatu kawasan ditetapkan masuk bencana, baru anggaran penanggulangan dicairkan. Karna (menggunakan) paradigma api dan asap, maka anggaran juga bukan angaran (untuk) mencegah atau mengatasi penyebab,” ujar Helmi.

Rektor Universitas Jambi tersebut berpandangan bahwa setidaknya terdapat beberapa penyebab yang sangat mendasar, mulai dari tata kelola lahan hingga sistem perizinan. Dia kembali mengungkit soal ketentuan perundang-undangan yang mengklasifikasikan gambut dengan kedalaman 3 meter lebih tidak boleh diusahakan lantaran masuk kawasan lindung. Namun pada prakteknya rawan pelanggaran dan minim penertiban.

“Trus apa yang harus dilakukan? Bagaimana kemudian memantau ini secara berkepanjangan? Cabut izinnya jika terjadi karhutla,” katanya.

Berdasarkan ketentuan perundangan yang berlaku, karhutla yang terjadi dalam areal konsesi atau HTI suatu badan usaha, sangsinya jelas yakni berupa pencabutan izin usaha atau administratif.

Namun pada prakteknya, kasus-kasus karhutla masih bergulir panjang pada proses pembuktian di persidangan. Padahal UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah menegaskan soal Strict Liability (Tanggungjawab Mutlak).

Dimana pada prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), perusahaan atau pihak pemegang izin usaha dapat dimintai tanggung jawab hukum atas terjadinya kebakaran di arealnya, tanpa perlu dibuktikan adanya unsur kesalahan atau kelalaian.

“Jadi tidak pas menurut saya, tanggungjawab mutlak itu jelas sangsinya administratif, langsung saja dicabut izinnya,” katanya.

Ditengah tantangan pemulihan, konsistensi kebijakan, tekanan konversi, dan minimnya insentif. Restorasi gambut lewat pengelolaan berkelanjutan FOLU Net Sink atau pemanfaatan hutan dan lahan dengan netral dinilai menjadi kunci. Hal itu demi menjaga kelestarian ekosistem gambut, hingga menekan laju naiknya suhu dan muka air laut.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

LINGKUNGAN

Pertemuan Mendadak DPRD, PT SAS dan Sejumlah Warga Picu Kontroversi

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Pertemuan mendadak antara DPRD Provinsi Jambi, PT SAS, dan sejumlah warga Aur Kenali serta Mendalo Darat pada Kamis kenarin, 2 Oktober 2025 menuai sorotan tajam. Warga menilai agenda tersebut melanggar kesepakatan sebelumnya dengan Gubernur Jambi.

Ketua DPRD Provinsi Jambi Hafiz Fattah, Wakil Ketua I Ivan Wirata, perwakilan Dinas Lingkungan Hidup (DLH), serta sejumlah warga hadir dalam forum yang disebut sebagai mediasi. Namun, masyarakat mengaku baru menerima pemberitahuan dua jam sebelum pelaksanaan tanpa adanya surat undangan resmi.

Dalam rekaman video yang beredar, warga menolak berdialog. Mereka menyatakan pertemuan itu tidak sesuai jalur komunikasi yang telah ditetapkan bersama gubernur.

“Kami hadir hanya untuk memastikan tidak ada dialog. Yang harus ditindaklanjuti sekarang adalah adu data PT SAS mengenai rencana aktivitas mereka di lokasi stockpile,” kata perwakilan warga, Dlomiri.

Masyarakat menegaskan bahwa dialog resmi sudah pernah difasilitasi gubernur, sehingga tidak perlu ada pertemuan serupa. Mereka menuntut DPRD menyatakan sikap tegas menolak keberadaan stockpile PT SAS, bukan justru memfasilitasi dialog baru.

Selain itu, warga juga mempertanyakan kehadiran salah satu petinggi organisasi masyarakat dan perwakilan media tertentu dalam forum tersebut. Mereka menduga ada kepentingan lain di balik keterlibatan pihak yang dinilai tidak relevan.

“Yang kami butuhkan dari DPR bukan memediasi pertemuan, tapi berdiri bersama rakyat dengan jelas menolak stockpile PT SAS,” ujarnya.

Rencana pembangunan stokpile PT SAS di kawasan tersebut ditolak warga karena dinilai berpotensi menimbulkan dampak lingkungan dan mengganggu kehidupan masyarakat sekitar.

Reporter: Juan Ambarita

Continue Reading

LINGKUNGAN

Makatara Ungkap Dugaan Pelanggaran Tata Ruang di Rencana Terminal Batu Bara PT SAS

DETAIL.ID

Published

on

DETAIL.ID, Jambi – Perkumpulan Makatara (Masyarakat Anti Kerusakan Lingkungan dan Tata Ruang) membeberkan temuan dugaan pelanggaran pemanfaatan lahan pada rencana pembangunan terminal batu bara atau Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) milik PT Sinar Anugerah Sukses (SAS) di Kelurahan Aur Kenali, Kecamatan Telanaipura, Kota Jambi.

Dalam rilis resmi yang diterima Sabtu 20 September 2025, Makatara menyebut hasil pengamatan citra satelit resolusi tinggi periode 2018-2025 menunjukkan perubahan tutupan lahan seluas 47,6 hektare. Area yang sebelumnya berupa lahan pertanian dan hamparan hijau kini menjadi lahan terbuka. Temuan itu diperkuat dengan pengecekan lapangan.

“Penggunaan lahan di lokasi beririsan dengan kawasan perumahan 56 persen, kawasan lindung 30 persen, tanaman pangan 9 persen, serta perdagangan dan jasa 5 persen,” kata Sekretaris Umum Makatara, Willy Marlupi.

Pemetaan tersebut mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jambi Nomor 5/2024, data Kementerian ATR/BPN, peta rupa bumi BIG, serta verifikasi lapangan. Makatara juga menemukan lahan rencana terminal batubara berada dekat aliran sungai, intake PDAM Aur Duri, jalan lintas Sumatra, perkantoran, dan permukiman.

Sejumlah titik lahan disebut terindikasi sengketa, terlihat dari pemasangan plang dan panel beton. Warga sekitar telah menyampaikan surat penolakan, sementara Pemkot Jambi disebut telah menyurati Gubernur Jambi agar rencana penggunaan lahan ditinjau ulang.

Temuan lain menunjukkan sebagian lahan masuk dalam Kawasan Pertanian Pangan Berkelanjutan (KP2B) Kota Jambi yang ditetapkan Perda No.5/2024 seluas 459 hektare. Berdasarkan UU No.41/2009, lahan KP2B dilarang dialihfungsikan kecuali untuk kepentingan umum.

“Jika terjadi alih fungsi, segala perizinannya batal demi hukum,” ujarnya.

Makatara menilai kegiatan terminal batubara tidak termasuk dalam peruntukan tata ruang yang diatur, mulai dari kawasan lindung, perumahan, tanaman pangan, hingga perdagangan dan jasa. Laporan resmi sudah disampaikan ke Wali Kota Jambi, Dinas Lingkungan Hidup, dan Kantor BPN sejak 12 September, namun hingga kini belum mendapat jawaban.

“Penolakan ini bukan sekadar aspirasi masyarakat, tetapi upaya menegakkan aturan tata ruang dan perlindungan lingkungan,” katanya.

Makatara mendesak pemerintah kota dan provinsi menindaklanjuti temuan tersebut sesuai ketentuan peraturan, termasuk Perda RTRW Kota Jambi No.5/2024, PP No.21/2021 tentang Penataan Ruang, UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang, UU No.32/2009 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup dan UU Cipta Kerja No.6/2023. (*)

Continue Reading
Advertisement Advertisement
Advertisement ads

Dilarang menyalin atau mengambil artikel dan property pada situs