DETAIL.ID, Reksadana – tiga hal yang membuat kinerja reksadana pasif sulit sekali untuk dikalahkan oleh kinerja reksadana aktif, yaitu:
- Biaya-biaya reksadana pasif yang sangat rendah (dibandingkan reksadana aktif),
- kegiatan investasi adalah  zero sum game dan
- Teori efisien market (Â Efficient Market Hypothesis ) berlaku.
Hal yang paling sederhana dan paling mudah dipahami (mengapa kinerja manajemen portofolio aktif sulit sekali menandingi kinerja manajemen portofolio pasif) adalah karena biaya-biaya pengelolaan investasi pasif yang jauh lebih rendah daripada biaya-biaya pengelolaan investasi aktif.
Pembahasan tentang biaya-biaya pengelolaan investasi di sini akan mencakup biaya pengeloaan reksadana konvensional, baik reksadana aktif maupun reksadana pasif, dan juga biaya pengelolaan ETF.
Penting diperhatikan bahwa semua ETF semula bersifat pasif. Tetapi dengan perkembangan terbaru, telah muncul ETF bersifat aktif. Di Amerika Serikat, ETF aktif umumnya berasal dari konversi reksadana aktif menjadi ETF aktif untuk mendapatkan keuntungan ETF yang diperdagangkan di bursa, dan keuntungan lainnya seperti keuntungan perpajakan.
Kalau pada pembahasan sebelumnya, kita hanya melihat biaya-biaya dari sudut pandang Manajer Investasi, sekarang kita akan melihatnya dari sudut pandang pemodal (investor).
Reksadana konvensional
Di Indonesia, untuk membandingkan satu reksadana dengan reksadana lainnya dari segi biaya, pada umumnya kita hanya membandingkan biaya ( fee ) Manajer Investasi dan biaya ( fee ) Bank Kustodian saja. Di dalam fee Manajer Investasi, sudah termasuk biaya-biaya reksadana yang menjadi beban Manajer Investasi menurut ketentuan peraturan OJK yang berlaku.
Biaya yang menjadi beban Manajer Investasi itu misalnya adalah biaya penjualan unit penyertaan reksadana kepada pemodal. Sementara itu, biaya-biaya pembelian dan penjualan efek dalam portofolio, dan biaya-biaya pengelolaan investasi yang lainnya, tidak termasuk dalam biaya (fee) Manajer Investasi dan harus dilihat tersendiri pada laporan keuangan (audited) reksadana.
Fee Manajer Investasi reksadana (saham) aktif umumnya berkisar 1,5% s/d 2% per tahun dihitung dari besarnya dana kelolaan ( asset under manajemen ), sementara  fee Manajer Investasi reksadana pasif 1% s/d 1,5% per tahun. Fee Bank Kustodian reksadana aktif 0,20% s/d 0,25% per tahun, sementara fee Bank Kustodian reksadana pasif berkisar 0,15% per tahun.
Terlihat di sini bahwa fee Manajer Investasi dan fee Bank Kustodian reksadana pasif masih relatif mahal, mengikuti fee Manajer Investasi dan fee Bank Kustodian reksadana aktif (walaupun masih sedikit lebih murah).
Untuk bersaing dengan reksadana aktif, Manajer Investasi reksadana pasif masih mengandalkan superioritas strategi pengelolaan dana yang pasif (mengikuti indeks), dan bukan pada stategi meminimalkan atau menurunkan biaya-biaya investasi.
Sesungguhnya, strategi pengelolaan dana reksadana pasif yang hanya mengikuti indeks – tanpa campur tangan (discretion) Manajer Investasi – tidak memberikan hak kepada Manajer Investasi untuk mengenakan  fee Manajer Investasi yang tinggi.
Dalam reksadana pasif Manajer Investasi tidak mempunyai wewenang untuk menentukan efek-efek mana di dalam reksadana itu yang harus dibeli atau dijual. Juga, perputaran (turn over) reksadana pasif sangat rendah sehingga biaya (fee) Bank Kustodian dapat ditekan lebih rendah lagi.
Di Amerika Serikat, untuk membandingkan satu reksadana dengan reksadana lainnya, dari segi biaya investasi yang dikeluarkan reksadana, dipergunakan angka expense ratio. Rasio ini merupakan perbandingan dari semua biaya-biaya yang dikeluarkan reksadana dalam setahun dengan total aset bersih reksadana.
Biaya-biaya yang menjadi beban reksadana, termasuk fee Manajer Investasi dan fee Bank Kustodian (di negara-negara common law, reksadana tidak dibentuk sebagai kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian, sehingga istilah Bank Kustodian hanya dipakai di sini untuk memudahkan pemahaman kita saja), akan masuk ke dalam expense ratio ini.
Tetapi, berbeda dengan di Indonesia, semua biaya-biaya lainnya yang dikeluarkan reksadana,  termasuk biaya-biaya transaksi efek-efek, juga akan masuk ke dalam expense ratio ini.
Penulis berpendapat, membandingkan expense ratio merupakan cara yang lebih tepat untuk membandingkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan reksadana (yang pada akhirnya juga akan menjadi beban pemegang unit penyertaan) daripada sekadar membandingkan biaya-biaya (fee) Manajer Investasi dan biaya (fee) Bank Kustodian.
Apalagi dalam hal membandingkan biaya-biaya reksadana aktif dan reksadana pasif, dimana fee Manajer Investasi dan fee Bank Kustodian belum menceritakan seluruh aktivitas reksadana (yang sangat berbeda).
Untuk reksadana konvensional yang dikelola secara aktif, Manajer Investasi akan banyak sekali melakukan pembelian dan penjualan efek-efek dalam upayanya mencapai kinerja portofolio setinggi mungkin, sehingga  expense ratio reksadana akan tinggi sekali (dibandingkan reksadana konvensional pasif).
Pada reksadana konvensional pasif (index fund) pembelian dan penjualan efek-efek hanya dilakukan apabila ada pemegang unit yang melakukan subscription (dana baru tunai masuk), atau ada pemegang unit yang melakukan penjualan kembali (redemption). Ketika terjadi redeemption sebagian portofolio reksadana harus dijual untuk mendapatkan dana tunai. Pembayaran penjualan kembali yang selalu harus dalam bantuk tunai.
Penjualan dan pembelian efek-efek juga terjadi pada waktu indeks rujukan reksadana dikocok-ulang (rebalancing). Rebalancing pada umumnya dilakukan hanya dua kali setahun dan hanya melibatkan pembelian atau penjualan atas sebagian kecil portofolio saja. Jelas dari sini bahwa expense ratio reksadana pasif akan jauh lebih kecil daripada expense ratio reksadana aktif.
Di Indonesia, hal yang menarik tentang reksadana pasif (reksadana indeks) ini adalah, ternyata faktor biaya-biaya investasi bukanlah faktor utama yang dipergunakan oleh Manajer Investasi untuk bersaing memperebutkan dana pemodal.
Hal ini sebenarnya bertentangan dengan tujuan investasi reksadana indeks pasif itu sendiri, yaitu bahwa  Manajer Investasi tidak berupaya mendapatkan imbal-hasil (return) yang setinggi-tingginya, tetapi berupaya untuk mendapatkan imbal-hasil (return) yang setara dengan imbal hasil (return) indeks rujukannya.
Untuk mendapatkan kinerja portofolio yang  setara  dengan imbal hasil ( return ) indeks rujukan, seharusnya bukan hanya perputaran (turn over) portofolio yang diminimalkan, tetapi biaya-biaya berinvestasi dalam reksadana indeks juga harus diminimalkan.
Dengan meminimalkan biaya-biaya investasi, kinerja reksadana indeks akan dapat dibuat mendekati kinerja indeks rujukan (yang tidak ada biaya-biaya apa pun di dalamnya). Tetapi hal ini tidak nampak dalam prospektus reksadana indeks yang dijual di Indonesia.
Sebagai contoh, pada prospektus reksadana indeks IDX30 yang dikelola salah satu Manajer Investasi, disebutkan bahwa pemegang unit penyertaan dikenakan biaya pembelian  sebesar 4% (!),  biaya pengalihan investasi (switching) sebesar 4% (!), dan biaya penjualan kembali (redemption) sampai sebesar maksimum 1%.
Nyata sekali di sini bahwa faktor biaya-biaya investasi bukan faktor yang dianggap penting untuk mencapai kinerja reksadana yang setara dengan indeks.
Tampaknya Manajer Investasi lebih menekankan pada  superioritas strategi investasi pasif untuk mengalahkan strategi investasi aktif, dan bukan berupaya untuk mencapai kinerja portofolio yang setara dengan kinerja indeks.
Sementara itu, upaya meminimalkan biaya-biaya yang harus ditanggung oleh pemodal, dianggap bukan urusan Manajer Investasi.
Reksadana Bursa (ETF)
Reksadana Bursa atau ETF (Exchange Traded Fund) mula-mula diterbitkan sebagai reksadana pasif yang mengacu pada indeks tertentu, baik indeks saham maupun indeks obligasi. Di Amerika Serikat, ETF pertama adalah efek dengan kode SPDR atau spider (mengacu pada indeks S&P500) yang diterbitkan pada tahun 1993.
Di Indonesia, ETF pertama adalah R-LQ45X (mengacu pada indeks saham LQ-45) dan R-ABFII (mengacu pada indeks obligasi IBoxx) yang diterbitkan bersamaan pada bulan Desember 2007.
Dalam perkembangan selanjutnya, telah ada ETF yang dikelola secara aktif (di Amerika Serikat, ETF yang dikelola secara aktif pada saat ini umumnya  berasal dari konversi reksadana aktif yang telah dikelola oleh Manajer Investasi dengan aset yang cukup besar, dan bukan dimulai dari nol seperti halnya ETF sebelumnya yang bersifat pasif). Sekitar delapan persen dari seluruh ETF di dunia saat ini dikelola secara aktif.
Di Amerika Serikat,  expense ratio untuk ETF pasif tetap jauh lebih kecil dibandingkan ETF aktif. Sedangkan untuk ETF pasif, expense ratio-nya sangat kecil. Sebagai contoh, ETF terbesar di Amerika Serikat yakni SPDR yang ‘dikelola‘ oleh State Street Global Advisor (SSGA), mengenakan biaya (fee)  management fee (Manajer Investasi) yang bertingkat (makin besar aset, makin kecil manajemen  fee -nya). Saat ini, fee yang dikenakan hanya berkisar pada 10 bps (basis points) atau 0,10% saja.
Bagi pemodal, biaya (fee) Manajer Investasi yang rendah adalah keuntungan (dan juga keharusan untuk mendapatkan kinerja portofolio ETF yang setara dengan kinerja indeks yang pasif).
Pada waktu suatu saham di dalam indeks membagikan deviden maka, secara teoritis, angka indeks pada saat pembagian dividen dilakukan, akan turun sebesar rata-rata tertimbang dividen yang dibagikan. Angka indeks yang turun inilah yang dicatat sebagai angka indeks pada saat itu.
Tetapi, ketika suatu ETF dikelola secara pasif, maka dividen yang dibayarkan oleh suatu saham dalam indeks akan masuk (berupa uang tunai) ke dalam portofolio dan menambah Nilai Aktiva Bersih (NAB) portofolio ETF itu.
Jika saham-saham dalam indeks membagikan dividen yang cukup banyak (lebih besar daripada biaya Manajer Investasi dan biaya Bank Kustodian dalam setahun), maka dapat terjadi justru Nilai Aktiva Bersih (NAB) portofolio akan menjadi lebih besar daripada nilai indeks yang menjadi acuan ETF itu (hal ini termasuk dalam pengertian tracking error juga).
Untuk itu, Manajer Investasi ETF akan melakukan pembagian deviden atas unit penyertaan ETF yang dimiliki pemodal sehingga NAB ETF kembali menjadi sama dengan angka indeks yang menjadi acuannya.
Terakhir, kita bisa melihat ada perbedaan antara reksadana pasif (reksadana indeks) konvensional dibanding reksadana bursa (ETF) pasif. Dalam reksadana pasif konvensional, Manajer Investasi harus selalu membayarkan setiap permohonan penjualan kembali (Â redemption ) secara tunai.
Artinya, portofolio reksadana indeks tersebut, tidak dapat berinvestasi penuh ke dalam indeks, tetapi harus ada sebagian portofolio yang berbentuk tunai (5% – 10%). Hal ini akan menyebabkan portofolio reksadana pasif akan selalu ‘tertinggal’ dibanding angka indeks ( cash lag ) pada waktu indeks mengalami kenaikan harga ( rally ).
Sementara itu, portofolio ETF pasif dapat diinvestasikan mendekati 100% ke dalam saham-saham indeks (hanya terdapat sejumlah kecil uang tunai dalam portofolio ETF untuk pembayaran komponen tunai kepada Dealer Partisipan) karena Manajer Investasi ETF tidak perlu memikirkan ketersediaan uang tunai untuk pembayaran penjualan kembali (redemption).
Pada ETF, portofolionya sudah terbagi-bagi ke dalam satuan Unit Kreasi yang sama besarnya, dan pembayaran penjualan kembali (redemption) dilakukan oleh Manajer Investasi secara  in-kind tanpa harus menjual sebagian portofolio seperti pada reksadana konvensional pasif, melainkan dengan cara menyerahkan sebagian portofolionya dalam satuan unit kreasi.
Terakhir, dari segi kepatuhan (compliance), pemodal akan lebih mudah mengontrol Manajer Investasi jika pemodal memilih ETF pasif, karena pemodal telah mengetahui bagaimana dana miliknya akan diinvestasikan oleh Manajer Investasi.
Discussion about this post