Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto menyampaikan komitmen itu memiliki peluang menunjukkan pemasukan sekitar US$2,3 miliar atau Rp43,85 triliun (Kurs Rp15.661 per dolar AS).
“Potensi penerimaan meraih 2,3 miliar dolar AS,” kata Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mirip dikutip dari Antara, Jumat , 25 November 2022.
Ia merinci akad tersebut meliputi 10 dokumen tentang Prosedur Election Not To Take in Kind (ENTIK). ENTIK merupakan kesepakatanyang menertibkan peran dan tanggung jawab antara SKK Migas dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) sebagai penjual minyak mentah dan kondensat bab negara.
Selain itu, ada 18 dokumen persetujuanjual beli gas bumi (PJBG), amandemen PJBG, heads of agreement (HoA), nota kesepahaman (MoU) untuk gas pipa, LNG, dan LPG.
Ia memperkirakan dari 28 kesepakatantersebut bisai menciptakan potensi lifting (pemasaran) minyak dan kondensat sebesar 265 ribu barel minyak per hari serta perkiraan total lifting gas bumi sebesar 390 miliar british thermal unit (TBTU) dengan rentang durasi kesepakatan dua sampai 11 tahun.
Penandatanganan kesepakatan itu, kata dia, tidak cuma menghasilkan pemasukan, tetapi juga untuk mendukung kemajuan ekonomi nasional.
Dwi menyertakan minyak mentah dan kondensat yang terjual seluruhnya akan disuplai untuk keperluan domestik. Gas yang terjual sebagian akan disuplai ke pabrik pupuk dan petrokimia di Sumatera Selatan dan Sulawesi Tengah, untuk pengembangan industri di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Tengah, serta kelistrikan untuk keperluan PLN.
LPG dari Sumatera Selatan rencananya semuanya akan dipasok untuk keperluan dalam negeri.
“Ini memperlihatkan komitmen hulu migas dalam mempertahankan ketahanan energi nasional,” ucap Dwi.
Komersialisasi migas, utamanya gas bumi menjadi salah satu pilar strategis dalam mendukung pencapaian visi jangka panjang SKK Migas dengan sasaran bikinan satu juta barel minyak per hari dan gas bumi sebesar 12 miliar kaki kubik per hari (BSCFD) pada 2030. Produksi tersebut akan diprioritaskan untuk pembeli dalam negeri.
Meski begitu, tantangan yang dihadapi yaitu absorpsi gas bumi dalam negeri cenderung stagnan. SKK Migas mencatat semenjak 2012, secara rata-rata perkembangan pemanfaatan gas bumi oleh pembeli dalam negeri mencapai satu persen per tahun.
Pertumbuhan ini lebih rendah dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai lima persen per tahun.
“Karena itu perlu ada terobosan dari seluruh pihak untuk memajukan kebutuhan pembelian gas bumi di dalam negeri,” tutur Dwi.