Direktur Ekonomi KPPU Mulyawan Ranamanggala mengatakan bahwa berdasarkan data observasi 2020, Google Advertising belum menjadi pelaku usaha secara umum dikuasai dalam industri iklan digital di Indonesia.
“Namun, mengenang cepatnya pergeseran di digital economy, kami akan melakukan observasi kembali tentang industri digital advertising dan apakah sikap Google di USA dan UE juga terjadi di Indonesia,” katanya terhadap CNNIndonesia.com, Kamis , 26 Januari 2023.
Kendati, Mulyawan belum mampu berkomentar banyak soal praduga praktik monopoli iklan digital oleh Google tersebut. Ia mengaku masih harus mempelajari lebih jauh bagaimana problem yang terjadi di AS.
Tudingan monopoli iklan menyasar Google gres-baru ini. Kementerian Kehakiman AS dan pemerintah delapan negara bab yang lain menggugat Google ke pengadilan di Alexandria, Virginia pada Rabu , 25 Januari 2023.
“Karena kasusnya baru saja diumumkan, kami belum sempat mempelajari bagaimana otoritas persaingan AS dapat menyimpulkan sudah terjadi pelanggaran terhadap undang-undang persaingan usaha di AS,” jelas Mulyawan.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU Deswin Nur lantas menerangkan bahwa tindakan monopoli berdasarkan undang-undang belum dianggap melanggar. Namun, bagaimana pihak terkait menyalahgunakan kesanggupan monopolinya gres dapat dikategorikan melanggar.
Deswin menyebut duduk perkara iklan digital Google memang sering menjadi perhatian otoritas terkait. Ia mencontohkan di mana Google mengutamakan atau mengarahkan search engine ke iklan yang terafiliasi dengan mereka. Hal tersebut, berdasarkan Deswin, merugikan perusahaan iklan lain.
“Itu yang tidak diperkenankan. Jika perusahaan iklan di Indonesia ikut menggugat atau melapor ke KPPU atas tindakan Google itu, tentunya mampu didalami dan mampu dikerjakan penegakan aturan atasnya,” ucap Deswin.
Sementara itu, Jaksa Agung AS Merrick Garland menyampaikan bahwa Google selama 15 tahun “menerapkan kebijakan anti-kompetisi” yang meredam kebangkitan teknologi rival.
Garland menuding Google turut memanipulasi mekanisme lelang iklan guna memaksa pengiklan dan penerbit memakai perangkat mereka.
Dengan begitu, Google ‘melaksanakan praktik eksklusif’ yang sungguh melemahkan, bahkan mungkin menghancurkan persaingan di industri teknologi iklan.
Selain itu, Garland menuduh Google mengatur teknologi yang digunakan pada umumnya penerbit situs besar untuk menawarkan potongan harga tempat iklan. Akibatnya, ‘kreator situs menerima lebih minim dan pengiklan membayar lebih tinggi’.
Melalui gugatan itu, Kementerian Kehakiman AS mendesak Google melepaskan diri dari bisnis menertibkan perangkat teknis yang mengontrol pembelian, pemasaran, dan lelang iklan digital.
Mereka juga menuntut Google supaya fokus saja pada bisnis inti, adalah mesin pencari serta produk-produk mereka, termasuk YouTube dan Gmail.
Di lain segi, Google membantah tudingan tersebut. Mereka menyebut permintaan tersebut didasarkan kepada “argumen yang lemah”.
Wakil Presiden Global Ads Google Dan Taylor menyampaikan Departemen Kehakiman AS justru akan merusak industri periklanan digital dengan permintaan tersebut.
“Tuntutan hari ini dari Departemen Kehakiman merupakan perjuangan untuk memilih yang mana yang jadi pemenang dan pecundang dalam sektor periklanan yang sungguh kompetitif,” katanya dalam blog resmi Google.
Menurut Dan, Google telah merespons komplain dan klaim serupa, yang sebelumnya dibentuk oleh Jaksa Agung di Texas. Tuntutan serupa memang sudah diajukan oleh Jaksa Agung di Texas pada 2020, tetapi mental di pengadilan federal.
Dan juga membantah Google memonopoli industri iklan digital dan menyingkirkan para kompetitor. Sebaliknya, Dan menyebut teknologi yang dibangun Google didesain untuk melakukan pekerjaan dengan produk dari kompetitor.
“Tidak ada yang dipaksa untuk menggunakan teknologi kami. Mereka menggunakannya alasannya efektivitas teknologi itu. Faktanya, para penerbit dan pengikat melakukan pekerjaan dengan beragam teknologi secara terus menerus untuk mencapai konsumen dan menciptakan lebih banyak uang,” bantah Dan.
(skt/dzu)