Meskipun menjadi prioritas nasional, penganggaran acara tersebut diduga tidak menjadi prioritas pada beberapa pemerintah daerah.
“Kemudian dari identifikasi yang KPK lakukan, terdapat beberapa praktik dalam upaya penanganan prevalensi stunting yang berisiko menjadikan korupsi,” ujar Koordinator Harian Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) Niken Ariati di Gedung Merah Putih KPK, Rabu , 25 Januari 2023.
Niken mengatakan praktik tersebut dapat dilihat dari tiga aspek ialah budget, pengadaan dan pengawasan.
Pada faktor penganggaran, Niken menyebut temuan lapangan menawarkan ada indikasi tumpang-tindih penyusunan rencana dan penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah.
Sementara pada aspek pengadaan, terdapat pengadaan barang yang tidak dibutuhkan. Sebagai pola, acara Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang diseragamkan ke seluruh kawasan tanpa analisis keperluan objek.
“Hal ini membuat pengadaan barang yang tidak berkhasiat bagi penduduk ,” tuturnya.
Niken mengatakan terdapat pengadaan alat peraga (pendukung kampanye) juga bersifat sentralistis yang menyebut ada keterbatasan peran vendor. Adapun vendor yang menyediakan alat tersebut mesti menerima lisensi dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Sedangkan pada faktor pengawasan belum ada pedoman teknis untuk Aparat pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam melakukan audit atau pengawasan khusus terkait pelaksanaan acara.
“Praktik-praktik dalam aspek tersebut sungguh berisiko menimbulkan penyimpangan yang berujung pada tindak pidana korupsi. Hal ini tidak bisa dianggap enteng alasannya akan berefek pada pelayanan kesehatan gizi yang masyarakat dapatkan,” kata Niken.
KPK pun mengeluarkan sejumlah nasehat menanggapi temuan tersebut.
Pada faktor penganggaran, KPK menganjurkan integrasi perencanaan dan penganggaran antara pemerintah pusat dan kawasan untuk menangkal tumpang-tindih. Dalam hal ini diharapkan peran Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk menyusun fatwa penyusunan APBD-nya.
“Tim Stranas PK akan mendorong integrasi perencanaan dan penganggaran lewat format digital mulai dari level desa hingga pusat, termasuk monitoring proses penyusunan RKP, Renja, RKA dan DIPA, sehingga ke depan tagging anggaran untuk stunting sungguh-sungguh mendukung penurunan prevalensi stunting,” ucap Niken.
Setuturnya, diharapkan kajian efektivitas dari barang yang dihasilkan dan beban administrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan objek sehingga mampu bermanfaat.
Niken mendorong kementerian/forum menyiapkan dengan baik isyarat teknis dan koordinasi dengan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (LKPP) terkait kesesuaian barang yang tampil di e-katalog.
“Selain itu, diperlukan pedoman teknis yang mau dipakai Inspektorat untuk melaksanakan pengawasan acara percepatan penurunan prevalensi stunting ini,” kata ia.
Masalah gizi pada bayi usia di bawah lima tahun (Balita) masih menjadi dilema kesehatan yang termasuk tinggi di Indonesia, termasuk soal stunting. Menurut survei Kementerian Kesehatan, kasus stunting di Indonesia pada tahun 2022 berada di angka 21,6 persen.
Pemerintah pun tengah gencar berupaya menurunkan prevalensi stunting, termasuk dalam hal pengalokasian dana. Tahun lalu, pemerintah sentra mengalokasikan belanja cukup tinggi ialah sebesar Rp34,1 triliun.
Rinciannya untuk Kementerian Sosial sebesar Rp23,3 triliun, Kementerian Kesehatan Rp8,2 triliun, Kementerian PUPR Rp1,3 triliun, dan BKKBN Rp810 miliar (sebagai koordinator pelaksana) serta tersebar di 17 kementerian/lembaga lainnya.